Sabtu, 07 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 071

“Bagaimana, kau tetap tidak mengaku kalah?” seru Yo Ko pada Kim-lun Hoat-ong sambil angkat gadanya tinggi-tinggi dengan roda emas di pucuk gada itu. ”Senjatamu saja sudah berada di tanganku, masih cukup tebal kulit mukamu untuk berlagak di sini? Apa ada di jagat ini senjata seorang Bu-lim Bengcu kena dirampas orang?”

Pada waktu itu Kim-lun Hoat-ong lagi menjalankan tenaga dalamnya, apa yang dikatakan Yo Ko cukup jelas didengarnya, cuma ia tak berani membuka suara untuk menjawab.

Melihat keadaan lawan, Yo Ko dapat meraba beberapa bagian, segera dia berteriak lagi:

“Wahai para ksatria, dengarlah sekarang akan kutanya dia tiga kali lagi, apa bila Hoat-ong tidak menjawab, itu berarti dia mengaku kalah secara diam-diam.”

Nyata Yo Ko amat cerdik. Ia kuatir sebentar lagi Hoat-ong selesai menjalankan napasnya, maka tanpa henti dia bertanya pula dengan cepat:

“Nah, bagaimana, kau mengaku kalah bukan? Bu-lim Bengcu bukan bagianmu lagi bukan? Kau bungkam terus berarti mengaku secara diam-diam bukan?”

Pada waktu itu kebetulan Hoat-ong sudah selesai menghilangkan rasa sesak di dadanya. Selagi dia hendak jawab orang, begitu melihat bibirnya bergerak, cepat Yo Ko mendahului buka suara lagi.

“Baiklah, kalau kau sudah mengaku kalah, kami pun tak mau bikin susah kau, kalian beramai-ramai boleh lekas enyah saja.”

Habis itu dia angkat tinggi gada dan roda emas rampasannya itu lalu diserahkan kepada Kwe Ceng. Ia pikir jika diserahkan pada Suhu, kuatirnya Kim-lun Hoat-ong akan menjadi murka dan merebutnya, Suhu tentu tak sanggup melawannya.

Di lain pihak alangkah gusarnya Kim-lun Hoat-ong hingga mukanya merah padam. Tapi ia gentar juga terhadap ilmu silat Kwe Ceng yang lihay, roda emas telah jatuh di tangannya, kalau hendak merebutnya kembali rasanya belum tentu berhasil, pula jumlah lawan terlalu banyak, kalau terjadi pertempuran besar, pihak Mongol pasti akan kalah habis-habisan. Agar tidak menerima hinaan, terpaksa sekarang harus mundur teratur, kelak cari jalan lagi buat membalas.


HUBUNGAN YANG DITABUKAN

Oleh karena itu dengan suara lantang Hoat-ong lantas berkata: “Bangsa Han banyak tipu muslihat, menang dengan jumlah banyak, se-kali-kali bukan cara ksatria sejati, marilah ikut aku pergi saja.”

Habis berkata, ia memberi tanda dan para jago Mongol itu pun mundur keluar rumah. Dari jauh Hoat-ong masih memberi hormat pada Kwe Ceng dan berkata:

“Kwe-tayhiap, Oey-pangcu, tadi aku sudah belajar kenal ilmu kepandaian kalian yang hebat, Gunung selalu hijau, air sungai senantiasa mengalir, biarlah kita bersua lagi kelak.”

Kwe Ceng orangnya jujur dan berbudi, maka sambil membungkuk membalas hormat dia pun menjawab:

“Ilmu silat Taysu sungguh hebat sekali, Cayhe kagum luar biasa. Senjata kalian bolehlah diambil kembali saja.” Sembari berkata, roda emas dan gada emas itu pun hendak disodorkannya.

Akan tetapi Yo Ko segera menyelak: “Kim-lun Hoat-ong, apa mukamu cukup tebal untuk menerimanya kembali?”

Lekas-lekas Kwe Ceng membentak, akan tetapi Kim-lun Hoat-ong telah mengebas lengan bajunya terus jalan pergi tanpa berpaling lagi.

Tiba-tiba Yo Ko ingat sesuatu. “Hai, muridmu Hotu terkena racun senjata rahasiaku, lekas kau serahkan obat penawar untuk tukar obatku!” ia berteriak.

Tapi Hoat-ong yakin kepandaiannya cukup memahami ilmu pertabiban, segala racun apa saja dapat disembuhkannya. Ia benci terhadap kelicikan Yo Ko, maka kata-kata orang tak digubrisnya terus melangkah pergi.

Sementara Oey Yong melihat Cu-liu pejamkan mata dan tertidur, ia pikir di sini tidak sedikit terdapat ahli-ahli pemakai Am-gi berbisa, pasti ada di antara mereka yang sanggup menyembuhkan lukanya, maka melihat Kim-lun Hoat-ong tak mau terima ajakan Yo Ko untuk bertukar obat penawar, ia pun tidak pikirkan lebih jauh.

Pada saat itu seluruh Liok-keh-ceng telah terbenam dalam suasana sorak sorai yang riuh rendah, semua memuji Yo Ko dan Siao-Iiong-li yang telah mengalahkan Kim-lun Hoat-ong dengan gemilang. Kedua muda-mudi ini dirubung beratus orang yang dengan berisik mempersoalkan pertarungan tadi. Ada yang bilang cara Yo Ko mengalahkan Hotu betul-betul gunakan cara ‘senjata makan tuannya’, ada yang berkata Ginkang Siao-liong-Ii tiada taranya sehingga dapat hindarkan diri dari udakan Kim-lun Hoat-ong yang hendak menghantamnya, cuma mengenai ‘Ih-hun-tay-hoat’ yang dipakai Yo Ko menangkan Darba hingga paderi Tibet itu dengan keras memukul dan menghantam dirinya sendiri, 9 dari 10 di antara mereka tiada satu pun yang paham.

Kemudian perjamuan lantas diperbaharui. Selama hidup Yo Ko selalu menderita hinaan, baru hari ini dia melampiaskan deritanya itu dan unjuk keperkasaannya mendirikan pahala bagi dunia persilatan Tionggoan, maka tiada seorang pun yang tidak menghormat padanya, dengan sendirinya hatinya amat girang. Siao-liong-li suci bersih batinnya dan tak kenal sedikit pun tata pergaulan. Dia lihat Yo Ko gembira, maka ia pun ikut bergirang. Terhadap ‘gadis’ ini Oey Yong juga sangat suka, dia tarik tangan orang kemudian bertanya ini dan itu, dia minta Siao-liong-li duduk semeja di sampingnya. Ketika melihat Yo Ko duduk di antara Tiam-jong Hi-un dan Kwe Ceng, jaraknya terlampau jauh dari tempatnya, segera Siao-liong-li menggapai dan memanggil:

“Ko-ji, kemari duduk di sampingku!”

Tapi Yo Ko sedikit banyak paham perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tadi waktu bertemu sesaat ia lupa daratan dan unjuk perasaan hatinya yang murni, tapi kini di bawah pandangan orang begitu banyak, jika masih unjuk perasaan mesra, rasanya rada kurang pantas. Maka demi mendengar panggilan orang, tanpa tertahan wajahnya sedikit merah, ia bersenyum tapi tak mendekati.

“Ko-ji, hayo, kenapa kau tak kemari?” kembali Siao-liong-li mendesak.

“Biarlah aku duduk di sini saja, Kwe-pepek sedang bicara dengan aku,” sahut Yo Ko.

Tiba-tiba alis Siao-liong-li terkerut. “Aku ingin kau duduk ke sini,” katanya lagi.

Tampak sikap orang yang kurang senang, hati Yo Ko terguncang hebat. Ia merasa wajah orang yang rada marah itu benar-benar menggiurkan, sekali pun harus hancur lebur untuknya juga rela. Dulu karena sifat Liok Bu-siang di waktu marah rada mirip Siao-liong-li, maka Yo Ko rela membela si gadis itu dari musuh ganas, bahkan melindunginya sejauh ribuan li. Kini orang sesungguhnya sudah berada di depan mata, mana bisa ia membangkang lagi? Maka ia pun berdirilah dan mendekati meja Siao-liong-li. Melihat sikap kedua muda-mudi ini, diam-diam Oey Yong rada curiga, namun ia pun cepat perintahkan untuk mengatur tempat duduk Yo Ko.

“Ko-ji, ilmu silatmu yang hebat ini kau dapat belajar dari siapa?” segera Oey Yong tanya Yo Ko.

“Dia inilah guruku, kenapa Kwe-pekbo tak percaya,” sahut Yo Ko sambil tunjuk Siao-liong-li.

Tapi Oey Yong sudah kenal kelicinan pemuda ini. Bila dilihatnya wajah Siao-liong-li yang polos jujur, ia yakin orang tak akan membohong, karena itu dia pun berpaling dan tanya:

“Moay-moay, betulkah ilmu silatnya dipelajari dari kau?”

Siao-liong-li sangat senang atas pertanyaan orang. “Ya, memang. Bagaimana, baik tidak ajaranku?” sahutnya segera.

“Baik, baik sekali,” kata Oey Yong, “Moaymoay, siapakah gurumu?”

“Guruku sudah lama meninggal,” sahut Siao-liong-li. Dan matanya mendadak pula basah, hatinya berduka.



“Tolong tanya, siapakah nama dan she gurumu yang terhormat itu?” kembali Oey Yong bertanya.

“Entah, Suhu ya Suhu,” sahut Siao-liong-li sambil geleng-geleng kepala.

Oey Yong sangka orang tidak mau mengaku, memang adalah biasa kalau orang Bu-Iim pantang bicara soal perguruan sendiri. Padahal guru Siao-liong-li adalah budak pelayan pribadi Lim Tiao-eng, selamanya hanya dikenal nama kecilnya sebagai pelayan, she dan nama asli memang ia tidak tahu.

Sementara itu para ksatria dari berbagai aliran beruntun-runtun telah menyuguh arak kepada Kwe Ceng, Oey Yong, Siao-liong-li dan Yo Ko sebagai penghormatan dan ucapan selamat karena telah mengalahkan musuh tangguh seperti Kim-lun Hoat-ong itu.

Biasanya Kwe Hu sangat dihormati orang berkat orang tuanya, namun jika dibandingkan kini, keadaannya menjadi sangat guram, kecuali Bu-si Hengte yang masih me-nyanjung padanya, tiada seorang lain yang perhatikan dia, Tentu saja gadis ini menjadi kesal.

“Toa-Bu-koko, Siao-Bu-koko, jangan minum arak lagi, marilah kita jalan-jalan keluar saja,” ajaknya kemudian kepada kedua saudara Bu itu.

Bu Tun-si dan Bu Siu-bun menyahut berbareng, lalu mereka bertiga bangkit. Dan selagi mereka hendak keluar, tiba-tiba di dengarnya Kwe Ceng sedang memanggil:

“Hu-ji, mari sini!”

Waktu Kwe Hu menoleh, ia lihat sang ayah sudah pindah semeja dengan ibunya dan lagi menggapai padanya dengan berseri-seri. Karena itu ia pun mendekati kedua orang tuanya dan memanggil manja sambil bersandar di tubuh Oey Yong.

“Nah, dulu kau kuatir Ko-ji kurang baik kelakuannya dan bilang ilmu silatnya kurang tinggi sehingga tak sesuai bagi Hu-ji, kini kau tidak bisa mencela lagi bukan?” demikian dengan tertawa Kwe Ceng berkata pada sang isteri: “la telah berjasa besar untuk para Enghiong dari Tionggoan. Sekarang jangan kata dia tidak punya kesalahan, sekali pun ada apa-apa yang tak baik jasanya tadi jauh lebih besar untuk menutup kesalahannya.”

“Ya, kali ini penglihatanku memang salah,” sahut Oey Yong meng-angguk tertawa, “baik ilmu silat mau pun sifat Ko-ji memang bagus semua, aku sendiri amat suka padanya.”

Mendengar jawaban sang isteri yang merupakan kesanggupan perjodohan puterinya, Kwe Ceng sangat senang.

“Liong-kohnio.” katanya kepada Siao-liong-li, “mendiang ayah muridmu ini adalah saudara angkatku, hubungan kedua keluarga Yo dan Kwe turun temurun amat baik, Cayhe melulu punya satu anak perempuan, soal wajah dan ilmu silat masih boleh juga...”

Begitulah dasar watak Kwe Ceng memang terus terang, apa yang ingin dikatakan lantas diucapkannya begitu saja.

“Hm coba, anak sendiri dipuji-puji, apa tidak takut ditertawai adik Liong?” sela Oey Yong tertawa.

Kwe Ceng ikut terbahak, lalu ia pun menyambung kembali: “Maka maksud Cayhe hendak menjodohkan puteriku ini pada muridmu, ayah-bundanya sudah wafat semua, urusan ini dengan sendirinya perlu minta keputusan Liong-kohnio. Dan kebetulan para ksatria tengah berkumpul di sini, maka kita bisa minta dua Enghiong terkemuka sebagai comblang untuk menetapkan perjodohan ini, bagaimana?”

Hendaklah diketahui pada jaman dulu soal perjodohan biasanya tergantung perintah orang tua dan berdasarkan perantara comblang, pihak muda-mudi yang bersangkutan malahan tak berkuasa mengambil keputusan.

Begitulah habis berkata, dengan ketawa-ketawa Kwe Ceng memandang Yo Ko dan puteri sendiri, ia duga pasti Siao-liong-li akan terima perjodohan bagus itu. Tentu saja muka Kwe Hu merah jengah. Ia sembunyikan mukanya ke pangkuan sang ibu. Sebaliknya air muka Siao-liong-li rada-rada berubah mendengar kata-kata Kwe Ceng tadi. Belum ia menjawab tiba-tiba Yo Ko telah berdiri, ia menjura dalam-dalam pada Kwe Ceng dan Oey Yong, lalu berkata:

“Budi Kwe-pepek dan Kwe-pekbo yang membesarkan aku dulu serta rasa sayang padaku ini, sekali pun hancur lebur tubuhku juga sukar membalasnya. Tetapi keluargaku miskin, kepandaianku juga tak berarti, sekali-kali tak berani memikirkan puteri bijaksana.”

Seketika Kwe Ceng tercengang, sungguh tidak pernah disangkanya bahwa dengan nama suami-isteri yang tersohor di kolong langit, wajah dan silat puterinya juga tergolong kelas satu, apa lagi ia sendiri yang buka mulut hendak menjodohkannya, tapi siapa tahu orang malah menolak mentah-mentah. Namun dia lantas ingat. Tentu usia Yo Ko masih muda sehingga merasa malu dan pura-pura menolaknya. Maka ia tertawa pula dan berkata:

“Ko-ji, kita bukan orang luar, urusan ini bersangkutan dengan seumur hidupmu tak perlu kau malu-malu.”

Tapi lagi-lagi Yo Ko menjura dan menjawab: “Kwe-pepek, jika engkau ada perintah ke lautan api atau masuk air mendidih, sedikit pun aku takkan menolak, namun urusan perjodohan ini, betapa pun tak berani aku menurut.”

Melihat pemuda ini bersikap sungguh-sungguh, alangkah herannya Kwe Ceng, ia pandang sang isteri dan berharap ikut menjelaskan persoalannya. Oey Yong sesalkan sang suami terlampau lurus, tidak selidiki dulu lantas berkata terang-terangan dalam perjamuan terbuka hingga kebentur tembok sendiri.

Sudah jelas dilihatnya sikap antara Yo Ko dan Siao-liong-li yang sedang saling cinta, tapi mereka mengaku sebagai guru dan murid, apakah mungkin kedua orang ini telah tersesat dan berzinah? Tentang ini sesungguhnya ia tak berani percaya, ia pikir Yo Ko belum pasti seorang jantan sejati, tapi juga tak nanti melakukan perbuatan terkutuk dan rendah itu.

Harus diketahui orang pada ahala Song amat mementingkan tata susila, tingkatan antara guru dan murid dipandang seperti raja dan hambanya, seperti ayah dan anak yang sekali-kali tak boleh berbuat sembarangan. Walau pun Oey Yong bercuriga, namun urusan ini terlalu besar artinya, seketika dia pun tak berani percaya, maka dia tanya Yo Ko:

“Ko-ji, benarkah Liong-kohnio gurumu?”

“Ya,” sahut Yo Ko pasti.

“Apakah kau angkat guru padanya dengan menjura dan menyembah?” tanya Oey Yong lagi.

“Ya,” jawab Yo Ko tegas, mulutnya menjawab, tapi matanya memandang Siao-liong-li dengan penuh rasa kasih mesra, jangankan Oey Yong cerdik melebihi orang biasa, sekali pun orang lain juga dapat melihat bahwa antara kedua muda-mudi ini tentu memiliki hubungan yang lain dari pada yang lain.

Namun Kwe Ceng belum juga paham maksud tujuan sang isteri, ia pikir: “Bukankah sejak tadi ia bilang murid Liong-kohnio, ilmu silat mereka berdua terang juga sama, mana bisa dipalsukan lagi? Aku persoalkan perjodohan, mengapa adik Yong tanyakan perguruan dan alirannya? Hm, ya, lebih dulu bocah ini masuk Coan-cin-pay, kemudian ganti angkat guru lain, meski hal ini tidak baik, tapi urusannya gampang juga diselesaikan.”

Sementara itu melihat sikap Yo Ko terhadap Siao-liong-li, diam-diam Oey Yong terkejut sekali, lekas-lekas dia kedipi sang suami dan berkata:

“Sudahlah, umur Hu-ji masih kecil, soal perjodohan mengapa harus terburu-buru? Hari ini para ksatria berkumpul di sini, paling betul berunding dulu masalah negara yang besar, urusan pribadi sementara boleh kesampingkan dulu.”

Kwe Ceng pikir betul juga, maka jawabnya: “Ya, betul, hampir saja aku pentingkan urusan pribadi dan melupakan soal besar. Liong-kohnio, urusan perjodohan Ko-ji dan puteriku ini biarlah kita bicarakan lagi kelak.”

Siapa duga mendadak Siao-liong-Ii geleng-geleng kepala. “Tidak, aku yang akan menjadi isteri Ko-ji, tak akan dia menikahi anakmu,” sahutnya tiba-tiba.

Kata-kata itu diucapkan dengan cukup keras dan terang, maka ada ratusan hadirin di situ yang mendengarnya. Keruan Kwe Ceng terperanjat, seketika ia berbangkit sungguh ia tak percaya pada telinga sendiri, namun bila dilihatnya Siao-liong-li memegangi tangan Yo Ko dengan sikap begitu hangat dan mesra, hal ini tak bisa pula tidak mempercayainya.

“Ap... apa katamu? Di... dia... muridmu bukan?” tanyanya cepat tak lancar.

“Ya,” sahut Siao-liong-li dengan tersenyum simpul. “Dulu aku yang mengajarkan ilmu silat padanya, tapi kepandaiannya sekarang sudah sama kuatnya dengan aku. Ia sangat suka padaku dan aku pun suka padanya. Dulu....” sampai di sini tiba-tiba saja dia perlahankan suaranya, meski pun gadis ini masih polos, tetapi sifat malu-malu anak perempuan adalah pembawaan, maka dengan lirih ia sambung: “...dulu, dulu kukira dia tak suka padaku dan tidak mau aku menjadi isterinya. Ak... aku menjadi sedih sekali, aku ingin lebih baik mati saja. Tapi ha... hari ini barulah aku tahu ia cinta padaku sesungguh hati, ak... aku...”

Luar biasa penuturan Siao-liong-li yang keluar dari jiwa murninya ini sehingga seketika beratus hadirin itu sama sunyi senyap mendengarkan kata-kata si gadis. Umumnya, sekali pun seorang gadis yang sedang terbakar api asmara, namun tak nanti mengumumkannya terang-terangan di hadapan orang banyak. Apa lagi menutur kepada orang luar yang bukan sanak keluarga sendiri. Tapi Siao-liong-li terlalu bersih, ia tak kenal urusan umum, apa itu tata krama atau kebiasaan manusia, segalanya tidak dipahaminya, apa dirasakan perlu dikatakannya segera pula dikatakan.

Sebaliknya Yo Ko sangat terharu melihat perasaan si gadis yang murni itu, tapi bila mana dilihatnya wajah orang lain rada unjuk rasa terkejut dan heran, ia menjadi kikuk dan tidak bisa membenarkan pula. Ia tahu Siao-liong-li terlalu hijau, sepatutnya tidak membicarakan urusan ini di tempat orang banyak. Maka tangan orang lantas ditariknya, dengan suara halus ia pun mengajak:

“Marilah, Kokoh, kita pergi saja!”

“Baik,” sahut Siao-liong-li. Lalu kedua muda-mudi ini pun bertindak keluar berendeng.

Tatkala itu meski seluruh ruangan penuh berjubel dengan orang, tetapi dalam pandangan Siao-liong-li seakan-akan Yo Ko seorang saja yang dilihatnya.

Kwe Ceng saling pandang bingung dengan Oey Yong. Tidak sedikit peristiwa berbahaya dan aneh yang pernah mereka alami selama hidup, tapi kejadian di depan mata sekarang ini sungguh tidak pernah mereka duga, seketika mereka pun tidak tahu bagaimana harus bertindak..Pada waktu Siao-liong-li dan Yo Ko sudah hampir melangkah keluar ruangan pendopo itu, tiba-tiba Oey Yong meneriakinya:

“Liong-kohnio, kau adalah Bu-lim Bengcu yang dihormat dan dipandang sebagai suri teladan semua orang, maka urusan ini hendaklah kau pikirkan lebih masak.”

Tiba-tiba saja Siao-liong-li menoleh sambil tersenyum manis, sahutnya: “Aku tak sanggup menjadi Bu-lim Bengcu segala, kalau cici suka bolehlah kau ambil jabatan itu.”

“Tidak, apa bila kau mau menolak, maka serahkan saja kepada ksatria angkatan tua Ang-lopangcu,” kata Oey Yong.

Bu-lim Bengcu adalah gelar kehormatan yang amat agungnya dalam dunia persilatan, tapi sedikit pun tak terpikir oleh Siao-liong-li, dia menjawab pula sekenanya:

“Terserahlah kau, pendeknya aku tidak kepingin.”

Habis itu tangan Yo Ko ditariknya hendak berjalan keluar lagi. Sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat, dari tengah orang banyak tahu-tahu melompat keluar seorang berjubah pertapaan dan tangan menghunus pedang, dia bukan lain dari pada imam Coan-cin-kau, Thio Ci-keng adanya.

“Yo Ko!” bentak Ci-keng dengan pedang melintang sambil menghadang di ambang pintu. “Kau durhaka dan mengkhianati perguruan, hal ini saja tak dibesarkan orang, kini kau berbuat lagi serendah binatang, apa kau masih punya muka untuk hidup di dunia ini? Asal aku Thio Ci-keng masih bisa bernapas, tidak akan kubiarkan kau.”

Yo Ko tidak suka ribut-ribut dengan Ci-keng di depan orang banyak, maka dengan suara tertahan ia membentak:

“Menyingkir!”

“In-sute,” teriak Ci-keng pula, “coba kau majulah dan katakan, malam itu di Cong-lam-san dengan mata kepala kita sendiri menyaksikan kedua orang ini telanjang bulat lagi berbuat apa?”

PeIahan Ci-peng berdiri dengan sedikit gemetar. Waktu dia angkat tangan kirinya, maka terlihatlah jari-jari kecil dan manis tangannya telah kutung semua. Meski semua orang tak tahu maksudnya mengunjuk tangan cacat ini, namun melihat tubuh Ci-peng yang gemetar dan bersikap aneh, orang pun dapat menduga pasti di dalamnya tersangkut sesuatu yang ganjil.

Seperti yang diketahui, malam itu Siao-liong-li dan Yo Ko sedang melatih Giok-li-sim-keng di dalam semak-semak bunga lalu dipergoki Ci-keng dan Ci-peng tanpa sengaja, tatkala mana Yo Ko telah paksa Ci-peng bersumpah agar tak bercerita pada orang kelima, siapa tahu hari ini orang telah menistanya di hadapan orang banyak, tentu saja Yo Ko marah luar biasa.

“Kau telah bersumpah tak akan menceritakan pada orang kelima, apa kau lupa?!” bentak Yo Ko segera.

Ci-keng terbahak-bahak oleh teguran ini. “Ya. memang aku pernah bersumpah tidak akan bercerita pada orang kelima,” sahutnya keras. “Tapi sekarang di sini ada orang ke enam, ke tujuh, bahkan beratus dan beribu orang, dengan sendirinya sumpahku itu sudah batal. Kalian berdua berani berbuat, sudah tentu aku pun boleh mengomongnya bukan?”

Peristiwa itu memang amat kebetulan, ketika tengah malam Ci-keng melihat dua muda-mudi itu telanjang bulat berada bersama di dalam semak-semak, dia sangka orang sudah berbuat kotor, siapa tahu sesungguhnya orang sedang melatih ilmu yang tidak ada bandingannya itu. Sekarang dalam marahnya peristiwa itu disiarkannya, sebenarnya bukan maksud sengaja hendak memfitnah. Akibat kejadian malam itu, Siao-liong-li sampai muntah darah saking marah dan hampir-hampir jiwanya melayang. Kini mendengar Ci-keng berdebat model pokrol bambu, ia tidak tahan lagi, cepat sekali ia ulurkan tangan dan menekan perlahan ke dada Ci-keng seraya berkata:

“Baiknya kau jangan ngaco-belo ya!”

Sementara ini Giok-li-sim-keng yang dilatihnya sudah jadi, gerak tangannya ini dilakukan tanpa suara dan tak terlihat, kebetulan juga Giok-li-sim-keng itu diciptakan sebagai lawan ilmu silat Coan-cin-pay, maka saat Ci-keng hendak menangkis, tak tahunya tangan Siao-liong-li telah memutar lagi dan tetap meraba ke dadanya. Sekali tangkis tidak kena, luar biasa kejut Ci-keng, namun begitu dadanya teraba tangan orang pun lantas ditarik kembali dan tiada sesuatu perasaan apa-apa, maka ia pun tidak ambil perhatian. Dengan tertawa dingin ia coba mengolok-olok lagi:

“Ada apa kau meraba tubuhku? Aku toh bukan gend...”

Belum kata-kata “gendakmu” selesai diucapkan, mendadak kedua matanya melotot kaku, seketika orangnya terkulai ke depan, nyata ia sudah terluka dalam yang amat parah. Melihat sang Sutit terluka, lekas-lekas Sun Put-ji dan Hek Tay-thong memburu maju buat membangunkan, dilihatnya napas Ci-keng memburu dan wajahnya merah padam laksana orang mabuk.

“Bagus, kau Ko-bong-pay benar-benar hendak memusuhi Coan-cin-kau kami!” teriak Sun Put-ji, segera pedang pun dilolosnya lantas hendak melabrak Siao-liong-li.

Lekas-lekas Kwe Ceng melompat maju dan menyela di tengah kedua pihak. “Sudahlah, orang sendiri jangan cekcok,” ia coba memisah. Lalu ia berkata juga kepada Yo Ko: “Ko-ji, kedua pihak sama-sama terhitung gurumu. Harap kau minta mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, ada apa-apa biarlah kita pertimbangkan sesungguhnya siapa yang salah.”

Akan tetapi Siao-liong-li sudah jemu dan benci pada segala kepalsuan manusia dengan pengalaman sejak ia turun gunung, maka tangan Yo Ko digandengnya dan mengajaknya lagi:

“Marilah kita pergi saja, Ko-ji, selamanya jangan kita ketemu orang-orang ini lagi!”

Yo Ko ikut bertindak pergi, tapi mendadak pedang Sun Put-ji berkelebat. Ia menghadang dan membentak:

“Hmm, enak saja, sudah melukai orang lantas hendak merat begitu saja?”

Melihat kedua pihak akan saling gebrak lagi, lekas-lekas Kwe Ceng berkata pula dengan sungguh-sungguh:

”Ko-ji, segalanya hendaklah kau pikir masak-masak dan jadilah orang baik-baik, jangan bikin susah diri sendiri dan membikin busuk nama baikmu. Namamu Ko adalah aku yang memberi, apa kau paham maksud huruf ‘Ko’ itu?”

Tergetar Yo Ko oleh teguran itu, mendadak terbayang olehnya banyak kejadian di masa kecil, teringat olehnya segala hinaan yang pernah dia rasakan, pikirnya: “Aneh, mengapa namaku ini adalah pemberian Kwe-pepek?”

“lbumu dulu tentu pernah ceritakan padamu kau bernama ‘Ko’ dan alias apa?” tegur Kwe Ceng pula bengis.

Maka ingatlah Yo Ko pernah dengar dari ibunya, cuma dahulu usianya masih kecil, maka selamanya tiada orang memanggil nama aliasnya hingga dia sendiri hampir lupa.

“Nama aliasku Kay-ci,” sahutnya kemudian.

“Benar,” kata Kwe Ceng. “Dan apa maksudnya itu?”

“Kwe-pepek maksudkan bila aku ada kesalahan (Ko) supaya bisa memperbaikinya (Kay-ci),” sahut Yo Ko.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar