Jumat, 06 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 070

PERTANDINGAN PENENTUAN

Kwe Hu masih meronta beberapa kali, namun pergelangan tangannya sudah digenggam kencang hingga tak berkutik, pikirannya menjadi kabur dan akhirnya dia mendekam dalam pelukan sang ibu dan pulas.

Di pihak Darba waktu itu sudah dipengaruhi Yo Ko seluruhnya, apa yang Yo Ko Iakukan, ditirukannya pula tanpa tawar. Melihat saatnya sudah tiba, mendadak Yo Ko gunakan tipu gerakan ‘Co-Leng-kwa-pi’ atau Co Leng mengiris hidung, mendadak dia memukul batang hidungnya sendiri susul menyusul dengan dua tangan bergantian. Kiranya jaman dahulu ada isteri seorang bernama Co Leng, ketika sang suami meninggal lantas mengiris batang hidung sebagai tanda setia tak mau kawin lagi.

Kini Yo Ko gunakan gerak tipu itu buat hantam hidungnya sendiri dengan perlahan. Sudah tentu Darba tidak tahu, tiba-tiba ia pun tirukan orang menghantam hidung sendiri sekeras-kerasnya. Dasar tenaganya memang luar biasa, tiap pukulannya bertenaga ratusan kati, maka sesudah belasan kali ia gebuk batang hidung sendiri, akhirnya dia tak tahan hingga roboh pingsan. Sungguh girang tidak kepalang para ksatria, mereka bersorak-sorai:

“Hura, kita telah menangkan babak kedua!”

“Nah, Bu-lim Beng-cu sudah pasti di pihak kita!”

“Bangsa Mongol lekas enyah dari bumi Tiongkok dan jangan bikin malu disini!”

Sementara itu dua Bu-su bangsa MongoI telah melompat ke tengah lantas menggotong mundur si Darba. Melihat dua orang muridnya terjungkal semua di bawah tangan pemuda ini, bahkan cara kalahnya sukar dimengerti, luar biasa mendongkol dan gusarnya Kim-Iun Hoat-ong, cuma wajahnya tiada mengunjuk sesuatu tanda.

“Hai, anak muda, siapa suhu-mu?” segera ia membentak dari tempat duduknya.

Kim-lun Hoat-ong ini adalah seorang cendekia, ilmu silatnya tinggi, bakatnya baik dan luas pengetahuannya, ternyata fasih bicara bahasa Han.

“Suhu-ku ialah dia ini,” sahut Yo Ko tertawa sambil menunjuk Siao-liong-li. “Nah, lekas kau menyembah pada Bu-lim Beng-cu!”

Melihat Siao-liong-Ii cantik molek, bahkan usianya seperti lebih muda dari pada Yo Ko, tak mungkin Kim-lun Hoat-ong mau percaya dialah gurunya, pikirnya: “Ahh, bangsa Han banyak tipu muslihatnya, jangan sampai aku tertipu!”

Mendadak ia pun berdiri. Ketika terdengar suara gemerincing riuh, tahu-tahu dari bajunya ia keluarkan sebuah roda emas. Roda emas ini terbuat dari emas murni dan di dalamnya terdapat 9 gotri, maka begitu tergoncang, segera keluar suara gemerincing yang membisingkan.

“Hm, kau menjadi Bu-lim-Beng-cu juga baik. Asal kau sanggup terima sepuluh jurus roda emasku ini, aku lantas akui kau sebagai Bu-lim Bengcu!” demikian kata Kim-lun Hoat-ong kemudian sambil menuding Siao-liong-li.

“Hei, aneh katamu ini, aku sudah menang dua babak, menang dua dari tiga babak, kau sendiri sudah berjanji, kenapa sekarang ingkar janji?” kata Yo Ko tertawa.

“Aku hanya ingin menjajal ilmu silatnya dan ingin tahu apa dia sesuai dengan jabatannya tidak,” sahut Kim-lun Hoat-ong dengan suara tertahan.

Siao-liong-li masih terlalu hijau. Ia tak tahu ilmu silat Kim-Iun Hoat-ong beraliran tersendiri dan sudah terlatih sampai tingkatan yang amat mengejutkan, ia pun tak tahu apa itu ‘Bu-lim Beng-cu’ segala, lebih-lebih tidak pernah terpikir olehnya apa dirinya harus menerima jabatan itu atau tidak. Kini mendengar orang mau jajal ilmu kepandaiannya dan ingin tahu sanggup tidak menerima 10 jurus roda emas, tanpa pikir segera ia pun berdiri.

“Jika begitu, segera aku mencobanya,” demikian sahutnya tak acuh.

“Tapi kalau kau tidak mampu sambut 10 jurus senjataku ini, lalu bagaimana?” tanya Kim-lun-Hoat-ong.

“Kalau tak mampu ya sudah, ada apa lagi?” sahut Siao-Iiong-li.

Semenjak kecil Siao-liong-li telah melatih diri sedemikian rupa sehingga apa yang menjadi perasaannya, suka atau duka, sama sekali tidak kentara. Segala hal selalu dianggapnya sepele. Kini meski di depan matanya ada Yo Ko, namun tidak mendapatkan perhatiannya.

Para ksatria dan para Bu-su Mongol tidak tahu bahwa itu adalah tabiat pembawaannya, tetapi melihat dia acuh tak acuh dan tidak pandang sebelah mata pada Kim-lun Hoat-ong, mereka malah menyangka ilmu silat Siao-liong-li benar-benar tinggi tak terkirakan. Bahkan setelah menyaksikan Yo Ko kalahkan Darba dengan ‘lh-hun-tay-hoat’, ada orang yang menyangka Siao-liong-li bisa ilmu hitam dan mungkin pula siluman, maka suasana seketika menjadi berisik.

Kim-lun Hoat-ong sendiri kuatir juga bila Siao-liong-li benar-benar bisa gunakan ilmu sihir, maka mulutnya segera komat-kamit membaca mantera penolak sihir dalam bahasa Tibet. Yo Ko dapat mendengar jelas di samping, dia sangka Hwesio gundul ini lagi memaki sang guru dalam basa Tibet, maka dia ingat baik-baik setiap kata yang diucapkan orang. Sesudah Kim-lun Hoat-ong selesai membacakan mantera, begitu Kim-lun atau roda emas bergerak, kembali terbitlah suara gemerincing yang riuh nyaring.

“Hai, orang muda, lekas minggir, segera aku akan turun tangan,” bentaknya pada Yo Ko. Kata-kata ini diucapkannya dalam bahasa Han.

“Nanti dulu, nanti dulu,” kata Yo Ko tiba-tiba.



Lalu sekata demi sekata ia pun mengucapkan mantera orang tadi. Kebetulan waktu itu Darba mulai siuman, ia lihat sang Suhu memegang Kim-lun lagi akan bergebrak dengan orang, sebaliknya didengarnya Yo Ko tengah membaca mantera dalam bahasa Tibet. Mantera itu adalah ilmu rahasia perguruannya yang tidak akan diturunkan kepada orang luar, bila Yo Ko bukan reinkarnasi Toa-suheng-nya, dari mana ia mahir mantera itu?

Karena pikiran itu, cepat sekali ia melompat bangun lalu berlutut ke hadapan gurunya dan berseru:

“Suhu, ia betul2 jelmaan Toa-suheng, sudilah engkau menerimanya kembali!”

“Ngaco-belo, kau tertipu olehnya masih belum tahu!” bentak Kim-lun Hoat-ong marah.

“Tapi betul Suhu, hal ini betul tak salah lagi,” sahut Darba!

Melihat Darba masih ngotot, Hoat-ong menjadi sengit, ia cekal saja punggung sang murid terus diIempar pergi. Tubuh Darba yang beratnya ada ratusan kati itu dilemparkan dengan enteng saja.

Tadi semua orang menyaksikan, dengan tenaga raksasanya Darba bertarung melawan Tiam-jong Hi-un dan Yo Ko. Tapi lemparan Hoat-ong ini nyata kepandaian yang berpuluh kali lebih kuat, tampaknya Siao-liong-li yang gayanya lemah gemulai ini, jangankan harus bergebrak sepuluh jurus, mungkin kena dikebut sekali saja bisa mencelat roboh. Karena itu semua orang ikut berkuatir atas diri si gadis.

Tidak sedikit jago-jago Mongol yang sudah pernah saksikan ilmu sakti Kim-lun Hoat-ong yang boleh dikatakan tenaganya melebihi 9 ekor kerbau. Meski Siao-liong-li adalah musuh mereka, tapi melihat parasnya yang jelita, sudah menjadi pembawaan manusia suka akan rupa cantik, maka semua orang mengharap Hoat-ong jangan turun tangan.

Sementara itu, habis Yo Ko membacakan mantera, dengan perlahan ia bisiki Siao-liong-li:

“Kokoh, hati-hati terhadap Hwesio ini.”

Di lain pihak, demi mendengar Yo Ko bisa membaca mantera tanpa salah satu kata pun, Kim-lun Hoat-ong amat kagum sekali.

“Orang muda, hebat kau,” ia memuji.

“Ya, Hwesio, kau juga hebat,” sahut Yo Ko.

“Hebat apa?” Kim-lun Hoat-ong melotot.

“Hebat karena kau bernyali cukup besar untuk bergebrak dengan guruku,” kata Yo Ko. “la adalah reinkarnasi Budha, punya kesaktian setinggi langit, mahir ilmu taklukkan naga dan tundukkan harimau, maka sebaiknya kau berhati-hati!”

Kiranya Yo Ko sangat licin. Ia tahu musuh terlalu lihay, ia sengaja membual supaya orang rada selempang hingga tak berani turun tangan habis-habisan, dengan demikian gurunya lantas Iebih gampang melawannya. Siapa tahu Kim-lun Hoat-ong adalah seorang gagah perkasa yang jarang diketemukan di Tibet, baik sastra mau pun silat lengkap dipelajarinya, mana bisa dia tertipu begitu saja,

“Awas, serangan pertama, lekas kau lolos senjata!” segera ia berseru.

Yo Ko telah mencopot sarung tangan dari benang emas halus itu dan masukkan sekalian pada tangan Siao-liong-li, lalu ia mundur ke belakang. Siao-liong-li segera keluarkan sehelai selendang sutera putih terus diayun ke udara, pada ujung selendang sutera terikat sebuah bola emas kecil dan di dalamnya berisi gotri, ketika selendang itu bergerak, bola itu lantas berbunyi kelintingan bagai keleningan.

Melihat senjata kedua orang sama-sama aneh, semua penonton menjadi sangat tertarik, kalau senjata yang satu amat panjang, adalah senjata yang lain amat pendek, yang satu sangat keras, yang lain sangat lemas dan kebetulan kedua senjata masing-masing sama-sama bersuara gemerincing pula.

Roda emas yang dipergunakan sebagai senjata Kim-lun Hoat-ong itu adalah senjata aneh yang belum pernah dilihat para jago silat Tionggoan. Tidak peduli golok, tombak, pedang, toya atau lain-lain, asal kebentur Kim-lun atau roda emas sama sekali tidak berdaya, asal Kim-lun Hoat-ong mencakup sekali dengan rodanya terus ditarik, maka senjata lawan itu pasti akan terlepas dari cekalan, maka orang yang bertempur dengan dia lewat satu jurus saja pasti segera kehilangan senjata.

Dia bilang agar Siao-liong-li sambut sepuluh jurus serangannya, sebenarnya sama sekali bukan omong besar, kalau bukan melihat ilmu silat Yo Ko memang hebat, tidak akan dia bilang 10 jurus. Hendaklah diketahui sejak ia keluar Tibet belum pernah ada seorang jago yang mampu menerima tiga kali serangan roda emasnya.

Sementa itu Siao-liong-li telah ayunkan selendang suteranya, ia mendahului membuka serangan.

“Barang apakah ini?” ujar Hoat-ong melihat senjata lawannya.

Segera dengan tangan kiri ia hendak tarik selendang itu. Ia lihat kain selendang lemas dan hidup, ia tahu pasti banyak perubahannya, akan tetapi dia sudah siap sedia, dengan tarikannya dia jaga dari berbagai jurusan, tidak peduli ke mana kain selendang berkelebat tidak akan terlepas dari genggamannya. Tak ia duga bola kecil di ujung selendang itu tiba-tiba “kelinting” berbunyi sekali terus mendal ke atas hendak ketok ‘tiong-cu-hiat’ pada balik telapak tangannya. Tapi cepat sekali Kim-lun Hoat-ong mengganti gerak tangannya, ia membalikkan telapak tangan terus hendak tangkap bola kecil itu.

Kembali sedikit Siao-Iiong-li sendal tangannya, bola kecil itu memutar pula dari bawah ke atas hendak ketok ‘Hap-kok-hiat’ di-tengah-tengah antara jari jempol dan telunjuk. Tapi lagi-lagi Hoat-ong balikkan tangannya, sekali ini ia gunakan kedua jarinya hendak menjepit bola emas itu. Namun Siao-liong-li juga amat jeli, setiap perubahan musuh dapat dilihatnya jelas. Sedikit ia ulur selendangnya, bola kecil itu malah nyelonong ke depan totok ‘kiok-tik-hiat” di sikut lawan.

Beberapa gebrakan itu betul-betul dilakukan dalam sekejap mata saja dan hanya terbatas di antara telapak tangan Kim-lun Hoat-ong yang bolak-balik, setiap kali Kim-lun Hoat-ong membalikkan telapak tangan dan tiga kali Siao-liong-li sendal selendangnya, tapi masing-masing sudah saling gebrak lima jurus.

Yo Ko cukup terang menyaksikan pertarungan itu, maka dengan suara lantang ia segera menghitung:

“Satu-dua-tiga-empat-lima... nah, sudah lima jurus, tinggal lima jurus lagi!”

Padahal tadi Kim-lun Hoat-ong bilang agar orang menyambut 10 jurus, maksudnya adalah menyambut 10 jurus serangannya. Namun Yo Ko main licik, dia hitung serang-menyerang kedua belah pihak dan dihitung semua.

Meski Hoat-ong tahu bocah ini sangat licik, tapi ia adalah seorang cikal bakal satu aliran tersendiri, mana dia sudi tawar menawar soal itu dengan orang? Segera dia sedikit geser sikutnya sehingga bola Siao-liong-li tadi luput mengenai jalan darahnya, sebaliknya roda emasnya terus saja menyerang ke depan. Siao-liong-li mendengar suara gemerincing riuh berikut sinar emas berkelebat dari depan, tahu-tahu ‘roda emas’ orang cepat luar biasa sudah berada di depan mukanya.

Kejadian ini benar-benar tak terduga-duga, jangan kata hendak menangkis, bahkan untuk berkelit saja sudah telat. Dalam keadaan bahaya ini otomatis ia sendal kain selendangnya hingga melingkar dari samping, bola emasnya terus mengetok ‘Hong-ti-hiat’ di belakang kepala musuh. Tempat ini adalah urat nadi mematikan di tubuh manusia. Betapa pun tinggi ilmu silatnya, asal kena dihantam pasti jiwanya tak terjamin lagi. Serangan ini sesungguhnya dilakukan terpaksa oleh Siao-liong-li, yakni dengan resiko gugur bersama untuk memaksa lawannya menarik kembali serangan.

Betul saja Kim-lun Hoat-ong tak mau adu jiwa dengan orang, ia cepat menunduk berkelit. Karena menunduknya ini maka roda yang ia hantamkan ke depan menjadi sedikit lambat, dan kesempatan ini digunakan Siao-liong-li menarik kembali selendangnya. Terdengarlah klinting-klinting yang riuh, bola emas pada ujung selendangnya telah saling bentur dengan roda emas hingga tipu serangan Kim-lun Hoat-ong kena dielakkan.

Hanya sekejap itu saja keselamatan Siao-liong-li sudah bergulir dari hidup menuju ke jalan kematian dan dari mati kembali hidup, lekas-lekas dia gunakan Ginkang atau ilmu enteng tubuhnya melompat ke samping, saking gentarnya hingga wajahnya yang memang pucat itu lebih pucat lagi. Padahal Kim-lun Hoat-ong baru menyerang sekali, tapi Yo Ko lantas berteriak-teriak:

“...enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Nah, sudah cukup, guruku sudah bisa menyambut sepuluh jurus, apa lagi yang bisa kau katakan?”

Hanya beberapa gebrakan itu, Kim-lun Hoat-ong lantas tahu meski ilmu silat Siao-liong-li tinggi, tapi masih jauh belum bisa imbangi dirinya, kalau bertanding benar-benar, dalam 10 jurus pasti ia bisa kalahkan si gadis. Yang paling menjemukan adalah Yo Ko terus mengacau di samping sehingga pikirannya dibikin tak tenteram. Dia pikir: “Biarkan saja pemuda ini ngaco-belo, asal aku perkencang seranganku dan kalahkan dulu anak perempuan ini, maka segalanya akan menjadi beres dengan sendirinya.”

Tapi lagi-lagi Yo Ko berteriak-teriak: “Sungguh tak malu, sudah bilang 10 jurus, sekarang menyerang lagi. Sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas...”

Ia tak peduli berapa banyak kedua belah pihak sudah saling labrak, tetapi mulutnya terus mencerocos menghitung semaunya seperti mitralyur. Siao-liong-li sendiri menjadi gentar sesudah menyambut sejurus serangan musuh, betapa pun ia tak berani lagi menahan serangan orang yang kedua dari depan, maka lekas-lekas ia keluarkan ilmu entengkan tubuh dari Ko-bong-pay terus berlari cepat mengitari ruangan sambil selendang suteranya ikut bergulat dan bola emas berbunyi riuh sehingga berwujut sesosok kabut putih diseling sinar emas.

Bunyi kelintang-kelinting dari bola emasnya itu kadang kala cepat dan kadang perlahan, mendadak lirih, tahu-tahu keras, ternyata tersusun menjadi suatu irama lagu.

Di antara penonton itu ada yang paham seni suara, segera ada yang berteriak: “Hei, ini adalah ‘Uh-tat-ling-kiok’ ciptaan Tong-beng-hong!”

Waktu yang lain memperhatikan, betul saja, sedikit pun tak meleset, malahan segera ada yang ikut-ikutan tepuk tangan dan goyang-goyang kaki menuruti irama musik keleningan itu.

Kiranya Siao-liong-li wataknya suka seni musik, pada waktu iseng dalam kuburan kuno ia suka menabuh rebab menurut lagu peninggalan Cosu-popoh Lim Tiau-eng dan banyak mendapat kemajuan dalam jurus ini. Belakangan waktu dia melatih bola emas dengan selendang sutera, ia dengar bola itu menerbitkan suara kelinting yang mendekati irama musik, dasar hati anak muda, di antara ilmu silatnya itu dia kombinasikan dengan irama musik! Dan karena paduan ilmu silat dan musik ini, waktu dimainkan menjadi lebih luwes dan teratur. Kini Siao-liong-Ii tahu lawan terlampau lihay, ia tidak berani melawan dari depan, ia putar selendang suteranya dengan cepat dan berlari kian kemari untuk menghindar!

Ginkang ajaran Ko-bong-pay adalah satu di antara ilmu tertinggi dari Bu-lim yang tak bisa dicapai aliran silat lain. Meski pun ilmu silat Kim-lun Hoat-ong jauh di atas Siao-liong-li, tapi selama hidup gadis ini dilakukan dalam kuburan kuno dan melatih diri di tempat sempit, kini ia terus lari ke sana kemari sambil melompat dan berlari, ternyata sedikit pun Hoat-ong tak berdaya. Ia dengar suara ting-ting keleningan orang seakan-akan tersusun sifat lagu, tanpa tertahan hatinya tergerak, ia pusatkan pikiran buat menyerang menurut irama musik orang, lekas-lekas ia goyang roda emasnya hingga terbitkan suara gemerincing yang riuh.

Maka seketika dalam ruangan itu timbul paduan dua macam suara, kadang kala perlahan dan mendadak keras, kadang tinggi nadanya, tahu-tahu rendah lagi, nyata mereka menjadi bertanding dalam irama musik. Apa bila suara keleningan Siao-liong-li nyaring merdu, kedengarannya membuat semangat menjadi segar, sebaliknya suara roda emas gemerantang keras laksana besi dipukul dan seperti golok dikikir, seperti babi disembelih dan mirip anjing dipentung, suara itu aneh luar biasa dan tidak enak didengar. Yang satu ulem yang lain berisik, tapi kedua pihak ternyata sama kuatnya.

Sementara itu Yo Ko masih terus mencerocos menghitung, dan kini sudah dihitungnya sampai:

“1005, 1006, 1007...”

Akan tetapi karena Siao-liong-li tidak berani bergebrak berhadapan dengan musuh, maka hakikatnya 10 jurus bagi Kim-lun Hoat-ong saja belum genap. Lama-lama Kim-lun Hoat-ong tidak sabar lagi. Ia merasa dengan kedudukannya sebagai tokoh besar suatu aliran tersendiri sampai lama sekali masih belum bisa menangkan satu gadis jelita, kalau sampai berlarut-larut terus, sekali pun akhirnya menang, pasti tidak gemilang juga bagi kemenangannya, maka mendadak tangan kiri dia ulur ke samping, sedang roda emas tiba-tiba menghantam dari bawah ke atas.

Dalam keadaan bahaya, sekonyong-konyong Siao-liong-li mengayun selendang suteranya hingga menerbitkan bayangan putih, tubuhnya cepat pula melompat. Tapi roda emas Kim-lun Hoat-ong mendadak berputar balik terus menggubet kain selendangnya. Kalau senjata biasa pasti segera akan terebut olehnya, justru kain sutera ini sifatnya lemas serta licin, maka dengan enteng tahu-tahu meluncur keluar lagi dari lubang rodanya.

“ltulah serangan kedua, dan kini yang ketiga!” bentak Hoat-ong tiba-tiba, berbareng itu dia melangkah maju, roda emas mendadak terlepas dari tangannya terus menyambar ke arah Siao-liong-li.

Serangan luar biasa ini sama sekali di luar dugaan, maka terdengarlah suara mendenging yang memekak telinga, roda itu menyambar ke arah Siao-liong-li. Gadis ini kaget sekali, lekas-lekas ia mendekam ke bawah sambil melompat mundur dan tahu-tahu sinar emas menyambar lewat di depan mukanya membawa suara mendenging nyaring, begitu keras angin sambarannya hingga kulit mukanya ikut terasa pedas.

Di bawah seruan kaget semua orang, mendadak Hoat-ong turun tangan dan tepi roda itu didorong dengan telapak tangannya, seperti benda hidup saja tahu-tahu roda itu memutar balik terus menyusul ke arah Siao-liong-li. Insaf kalau gaya putaran roda emas ini amat keras, Siao-liong-li tak berani coba membelit dengan kain selendangnya, terpaksa ia berkelit ke samping.

“Ginkang bagus!” seru Hoat-ong setelah dua kali serangan tak berhasil.

Cepat sekali dia menyerobot maju terus memotong tepi rodanya, kemudian beberapa kali pukulannya mencegat di depan Siao-liong-li, sebaliknya roda emasnya ini lantas putar kembali menghantam belakang kepala karena gaya potongan Hoat-ong tadi. Meski terbangnya Kim-lun itu tidak begitu cepat, tapi membawa suara gemerincing, maka tampaknya menjadi hebat luar biasa, lagi pula sebelumnya Hoat-ong pun sudah menduga ke mana Siao-liong-Ii hendak berkelit, maka roda itu menjadi seperti tumbuh mata saja, setelah berputar sekali di udara, segera memburu sasarannya dari belakang.

Tahu akan bahaya mengancam, sekali meloncat dan berkelit Siao-liong-li sudah keluarkan seluruh kemahirannya, tetapi siapa tahu mendadak Kim-lun Hoat-ong pentangkan tangan menghadang di depannya. Melihat keadaan itu, ditambah lagi telinga seolah-olah pekak oleh suara mendengung roda emas, para ksatria itu sama terperanjat dan ikut berdebar-debar.

Nampak sang Kokoh terancam maut, tentu saja Yo Ko tidak tinggal diam saja. Mendadak ia sambar gada yang ditinggalkan Darba di lantai terus meloncat ke atas sekuatnya, ia angkat gada itu dan roda emas yang menyambar datang itu disodoknya, maka terdengar suara gemerantang yang keras, gada itu persis sudah memasuki lubang roda, cuma tenaga roda itu terlalu besar sehingga kedua tangan Yo Ko tergetar lecet dan mengalirkan darah, orangnya berikut gada dan roda emas itu pun terbanting ke lantai.

Sekilas Siao-liong-li melihat roda emas itu terpukul jatuh oleh Yo Ko, sekarang ancaman dari belakang sudah tidak ada lagi, tetapi waktu itu dia lagi meloncat, mana bisa musuh di bagian depan itu dihindarinya? Orang yang sedang terancam bahaya acap kali timbul akal mendadak, tiba-tiba selendang suteranya ia sabet ke depan dan melilit satu tiang di sebelah barat terus ditariknya kuat-kuat, dengan tenaga ayunan itu tubuhnya lantas melayang ke tiang rumah, dan dengan tepat sekali ia lolos dari lubang jarum tenaga pukulan Kim-lun Hoat-ong yang maha hebat.

Sudah terang-terangan serangannya hampir berhasil, namun siapa tahu kena dikacau lagi oleh Yo Ko, bukan saja musuh bisa menyelamatkan diri, bahkan senjatanya yang malang melintang tanpa tandingan malah kena dipukul jatuh mentah-mentah ke lantai, sungguh suatu pengalaman pahit yang selamanya tak pernah dialami Kim-lun Hoat-ong. Biasanya ia bisa berlaku tenang dan sabar, bisa berpikir. Tetapi kini sama sekali sudah lupa daratan, tidak tunggu sampai Yo Ko bangkit, cepat sekali ia hantam pemuda ini dari jauh. Meski pukulan ini dilakukan dari tempat sejauh satu tombak lebih, tapi angin pukulannya mengurung dari segala penjuru, sudah pasti sasarannya susah berkelit.

Menurut aturan Hoat-ong adalah seorang guru besar dari satu aliran tersendiri, sedangkan lawannya dari angkatan lebih muda, pula sedang terbanting di lantai dan belum bangun, dengan serangannya ini sebenarnya tidak sesuai dengan wataknya yang tinggi hati, tetapi dalam keadaan murka, semuanya itu tidak terpikir lagi olehnya.

Syukur, semenjak tadi pandangan Kwe Ceng tak pernah meninggalkan diri orang. Begitu dilihatnya orang melototi Yo Ko dan sedikit angkat tangannya, segera dia tahu orang akan turun tangan keji, diam-diam ia segera bersiap-siap. Tetapi meski pun ia menyerobot maju dan sekali pun dapat menangkis pukulan orang, namun tetap Yo Ko akan terluka. Karena waktu sudah terlalu mendesak, tanpa pikir lagi segera dengan tipu ‘hui-liong-cay-thian’ atau naga terbang ke langit, ia meloncat ke atas sambil menghantam batok kepala Kim-lun Hoat-ong.

Dalam keadaan begitu, kalau Hoat-ong tidak menarik kembali pukulannya, meski ia dapat binasakan Yo Ko, tapi ia sendiri pun akan melayang jiwanya di bawah Hang-liong-sip-pat-ciang orang yang maha lihay. Karena itu terpaksa dia tarik kembali tenaga pukulannya, sambil membentak ia alihkan telapak tangannya menyambut gablokan Kwe Ceng.

Inilah untuk kedua kalinya saling gebrak di antara dua guru besar ilmu silat. Kwe Ceng sendiri terapung di udara, tiada tempat yang dapat digunakan sandaran, maka tiada jalan lain dia pinjam tenaga pukulan orang terus berjumpalitan dan turun kembali ke belakang. Sebaliknya Kim-lun Hoat-ong masih terus berdiri di tempatnya, tubuh tak bergoyang, kaki tak menggeser seperti tak terjadi sesuatu. Ilmu silat Kwe Ceng yang hebat cukup dikenal Hek Tay thong, Sun Put-ji dan Tiam-jong Hi-un, maka demi nampak gebrakan itu, sungguh mereka menjadi terperanjat bukan main, betapa tinggi kepandaian Kim-lun Hoat-ong sesungguhnya tak bisa mereka ukur.

Padahal melompat mundurnya Kwe Ceng itu otomatis telah mengelakkan tenaga pukulan orang, cara itu adalah cara yang betul dalam ilmu silat. Sebaliknya Kim-lun Hoat-ong kena dikacau Yo Ko tadi sehingga kehilangan muka, ia paksakan diri hendak pulihkan malunya itu, maka benar-benar dia sudah sambut tenaga pukulan Kwe Ceng, hal ini berarti banyak melemahkan tenaga dalamnya, meski pun luarnya kelihatan unggul, sebetulnya dalamnya rugi.

Kedua tokoh itu berlainan ilmu kepandaian dan sama-sama gagah tiada bandingannya, kalau hanya beberapa gebrakan saja susah menentukan asor dan unggul, namun karena adu tenaga pukulan tadi, dada Kim-lun Hoat-ong terasa rada sakit, baiknya pihak lawan mementingkan menolong orang dan tidak melanjutkan serangannya, maka dengan cepat dia bisa tutup mulut rapat-rapat untuk mengumpulkan tenaga dan melancarkan dadanya yang sesak.

Di sebelah sana Yo Ko sudah terhindar dari elmaut, begitu merangkak bangun segera dia berlari ke samping Siao-liong-li dan saling menanya keadaan masing-masing, setelah tahu tak apa-apa, wajah mereka mengunjuk senyuman, tangan mereka saling genggam penuh gembira.

“Wahai, dengarkanlah para jago Mongol,” seru Yo Ko tiba-tiba sambil menyanggah roda emas rampasannya di atas gada milik Darba itu, “senjata imam negara kalian telah dapat kurampas, apa sekarang kalian masih berani berkata lagi tentang Bu-lim Beng-cu segala? Baiknya kalian lekas enyah saja dari sini.”

Tetapi para Bu-su Mongol itu belum mau terima. Sudah terang mereka saksikan Kim-lun Hoat-ong menangkan Siao-liong-li, tapi dari pihak lawan maju lagi seorang Yo Ko, bahkan maju pula seorang Kwe Ceng, Karena itu mereka pada berteriak-teriak mengejek.

“Hm, pihakmu main tiga lawan satu, tak kenal malu!”

“Hoat-ong sendiri yang melemparkan roda emasnya, mana mungkin kau bocah ini mampu merebutnya?”

“Satu lawan satu, hayo kalau berani bertanding lagi, jangan pakai keroyokan!”

“Betul! Coba bertanding lagi kalau berani!”

Begitulah riuh ramai mereka berteriak-teriak, tapi semuanya dalam bahasa Mongol, maka para ksatria Tionggoan tak satu pun yang paham. Sudah tentu di antaranya yang bisa berpikir tahu juga kalau soal ilmu silat sesungguhnya Kim-lun Hoat-ong masih di atas Siao-liong-Ii, tetapi sebutan Bu-lim Bengcu ini betapa pun juga tidak boleh direbut seorang imam negara Mongol, hal ini bukan saja membikin malu kalangan Bu-lim daerah Tionggoan, juga berarti melemahkan perbawa sendiri pada saat menghimpun kekuatan buat melawan musuh.

Maka demi dengar jago-jago Mongol berteriak-teriak, ksatria yang berdarah muda segera balas mencaci maki dan ramai-ramai meloloskan senjata. Keadaan menjadi kacau panas dan tampaknya bakal bertempur ramai-ramai.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar