Selasa, 03 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 067

Bu-si Hengte sudah mempersiapkan kedua batang penggayu baja yang merupakan senjata Supek mereka. Ketika mendengar Oey Yong tetap pertahankan orang untuk maju, dengan cepat sepasang penggayu itu diangsurkan kepada Tiam-gong Ki-un. Dengan mengempit penggayu itu, majulah Hi-un atau si Nelayan Pertama ini, namun dia tidak lantas menyerang, melainkan dengan muka yang merah menyala ia kelilingi Darba sekali putaran.

Keruan Darba menjadi bingung sekali. Ia tidak tahu apa maksud orang ini. Ia lihat si Nelayan mengitar, maka ia pun ikut memutar. Mendadak si Nelayan menggertak sekali, kedua penggayunya diputar terus mengepruk ke atas kepala musuh. Tapi cepat sekali gerak tubuh Darba. Sekali angkat tangannya, gada emas telah ia tangkiskan. Maka terdengarlah suara nyaring keras beradunya senjata gada dan penggayu, begitu hebat suaranya hingga anak telinga semua orang jadi pekak. Seketika tangan kedua belah pihak sama-sama terasa pedas karena beradunya senjata, mereka pun sama-sama tahu telah ketemukan lawan yang bertenaga raksasa, karena itu mereka sama-sama melompat mundur.

Tiba-tiba saja Darba berkata satu kali dalam bahasa Tibet. Karena tidak paham apa yang diucapkan, kontan si nelayan balas memaki orang dengan bahasa daerah Tay-li, maka kedua orang sama-sama tidak mengerti kata-kata pihak lawan. Mendadak mereka saling menubruk maju lagi, senjata masing-masing lantas bergerak dan kembali terdengar suara nyaring keras.

Pertarungan seru kali ini berbeda lagi dengan cara pertandingan Cu-liu melawan Hotu tadi yang dilakukan secara ‘halus’. Kali ini boleh dikatakan keras lawan keras, masing-masing ketemukan tandingan dan saling labrak dengan Gwakang yang lihay, saking serunya pertarungan ini hingga membikin penonton berdebar-debar dan terkejut.

Sebagai anak murid It-teng Taysu yang kerjanya sehari-hari hanya menggayu perahu hilir mudik melawan arus air sehingga kedua lengannya terlatih kuat dengan otot-otot kelihatan menonjol, dan karena wataknya yang polos sederhana, maka biasanya si Nelayan sangat disukai It-teng Taysu. Cuma bakatnya kurang baik, Iwekang-nya tidak gampang terlatih seperti Cu Cu-liu yang cerdas, namun soal Gwakang sebaliknya lihay luar biasa. Sekarang ia menempur Darba dengan menggunakan Gwakang untuk saling labrak, hal itu kebetulan cocok dengan kemahirannya, maka tampaklah sepasang penggayunya terputar dan merangsek terus secara hebat. Berat kedua penggayu itu setiap batangnya lebih 50 kati, akan tetapi ia bisa mengangkatnya seperti barang enteng saja, bagaikan orang biasa menggunakan senjata ringan.

Sebenarnya Darba sangat mengagulkan tenaga raksasanya yang tiada bandingan, siapa duga kini ia justru ketemukan seorang ‘raksasa’ juga, bukan saja tenaga lawannya besar, malahan tipu serangannya juga aneh dan hebat. Oleh karena itu ia pun tidak berani asal, ia putar Kim-kong-cu atau gada emasnya untuk menandingi penggayu orang, kedua orang sama-sama lebih banyak merangsek dari pada menjaga diri.

Tadi waktu Cu-liu melawan Hotu, para kesatria yang menyaksikan pertandingan sudah banyak yang menyingkir mundur karena sambaran angin yang terlalu kuat. Kini lebih-lebih lagi, tiga senjata berat saling beradu, jangankan tak tahan akan angin pukulannya, bahkan suara benturan gada dan penggayu yang nyaring menusuk itu pun terasa sukar ditahan. Karena itu banyak di antaranya dekap kuping dengan tangan untuk menyaksikan pertandingan itu.

Manusia yang bertenaga demikian besar seperti Tiam-jong Hi-un ini sesungguhnya jarang diketemukan, apa lagi orang yang memiliki tenaga besar yang seimbang di antara kedua tangannya serta seimbang pula dengan ilmu silat yang dipahami lalu bertempur dengan mati-matian, hal ini susah diketemukan. Saking serunya pertempuran itu, Kwe Ceng dan Oey Yong juga ikut berkeringat.

“Yong-ji, bagaimana? Apa kita ada harapan menang?” tanya Kwe Ceng.

“Sekarang masih belum kelihatan,” sahut Oey Yong.

Padahal Kwe Ceng bukannya tidak tahu bahwa saat ini masih sukar mem-bedakan kalah dan menang, tetapi ia akan merasa lega dan terhibur apa bila dapat mendengar jawaban sang isteri yang menyatakan si Nelayan bakal menang. Ketika berpuluh jurus telah lewat, tenaga dua orang itu ternyata sedikit pun tak berkurang sebaliknya semangat mereka tambah me-nyala. Tiap kali Tiam-jong Hi-un menghantam dengan penggayunya, selalu diikuti dengan bentakan dan teriakan untuk menambah daya serangannya.

“Kau bilang apa?” tiba-tiba Darba menanya. Ia berkata dengan bahasa Tibet.

Sudah tentu Hi-un tidak paham, karena itu ia pun balas menanya: “Kau berkata apa?”

Dengan sendirinya Darba juga tak mengerti ucapan orang, maka terjadilah caci maki tak keruan di antara kedua orang itu, senjata mereka beterbangan menyambar hingga meja kursi pecah berantakan. Tidak peduli barang apa saja, asal terkena hantaman gada atau penggayu, maka dapat dipastikan barang itu hancur luluh. Malah banyak yang kuatir kalau-kalau senjata mereka akan menghantam tiang rumah.

Di lain pihak Kim-lun Hoat-ong dan pangeran Hotu tidak urung juga terperanjat diam-diam. Tampaknya kalau pertarungan sengit itu diteruskan, sekali pun Darba bisa menang, namun sedikit pun tidak terhindar dari luka parah. Tetapi dalam keadaan pertarungan seru itu, seketika sukar hendak memberhentikannya! Pertarungan mati-matian itu makin lama semakin hebat. Kedua orang sama meloncat ke sini dan melompat ke sana sambil menghantam dibarengi dengan suara bentakan. Mendadak terdengar suara menggelegar keras, kedua orang sama-sama membentak. lalu ke-duanya sama-sama melompat mundur.

Kiranya penggayu si Nelayan yang sebelah kanan telah berbenturan keras dengan gada emas. Karena keduanya sama-sama memakai tenaga penuh, batang penggayu sedikit lebih kecil dan tidak sekukuh gada, maka penggayu itu sudah patah menjadi dua. Kutungan penggayu itu mencelat terbang dan terjatuh di hadapan Siao-liong-li hingga mengeluarkan suara nyaring.

Tatkala itu Siao-liong-li sedang bicara dengan Yo Ko dengan asyiknya, sedikit pun ia tidak memperhatikan bahwa ada sepotong besi penggayu jatuh di depannya. Ketika kepingan besi itu menindih jari kaki, dalam kagetnya ia menjerit meloncat bangun. Oleh karena jeritan Siao-liong-li ini barulah Yo Ko ikut tersadar.

“Apa kau terluka?” tanyanya cepat dan kuatir.



Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya meraba jari kakinya sembari mengunjuk rasa sakit. Tentu saja Yo Ko menjadi sangat marah, segera ia membalik tubuh hendak mencari siapa gerangan yang berani bikin sakit jari kaki Siao-liong-li. Namun begitu ia berpaling, ia lihat Tiam-jong Hi-un sambil memegang penggayu patah sedang bertengkar dengan Darba dan masih ingin melanjutkan pertempuran dengan sebuah penggayu saja.

Namun Darba terus menggeleng-geleng kepala, ia tak mau teruskan pertandingan lagi. Nyata ia tahu bahwa tenaga raksasa musuh dengan dirinya adalah setali-tiga-wang alias sama kuat, kalau bertanding terus dirinya sukar memperoleh kemenangan. Kini dalam hal senjata ia sudah lebih unggul, maka pertandingan ini boleh dihitung atas kemenangannya.

“Nah, dalam tiga babak pertandingan pihak kami sudah menangkan dua babak, maka Bu-lim Beng-cu (ketua serikat dunia persilatan) ini dengan sendirinya jatuh kepada guruku,” demikian dengan suara lantang segera Hotu berdiri dan bicara lagi. “Maka para....”

Tetapi belum habis ia berkata, mendadak Yo Ko menyela dan menegur si Nelayan: “Hai, kenapa kau pukul Kokoh-ku dengan penggayumu?”

“Aku... aku ti...” demikian si Nelayan itu menjadi tergagap.

“Kau telah menyakiti kakinya. Lekas kau minta maaf padanya!” kata Yo Ko lagi.

Nampak orang hanya seorang bocah, si Nelayan anggap Yo Ko hanya mengoceh semau mulutnya saja, maka tidak digubrisnya. Tanpa terduga mendadak Yo Ko mengulurkan tangannya dan tahu-tahu penggayu patah itu sudah kena direbutnya.

“Lekas kau minta maaf kepada Kokoh-ku!” seru Yo Ko lagi.

Sementara itu bukan buatan rasa mendongkolnya Hotu oleh karena pembicaraannya tadi dibikin terputus oleh Yo Ko.

“Binatang cilik, lekas minggir!” demikian ia membentak.

“Binatang cilik memaki siapa?” sahut Yo Ko tiba-tiba sembari mengayunkan penggayu patah itu dan menghantam.

Mendengar Yo Ko balas tanya “binatang cilik memaki siapa”, tanpa pikir lagi Hotu lantas menjawab:

“Binatang cilik memaki kau!”

Nyata ia telah terjebak. Ia tidak tahu bahwa anak-anak di daerah selatan suka menggunakan jeratan kata-kata itu untuk mengadu mulut. Kalau lengah sedikit, dengan sendirinya lantas tertipu. Karena itu, maka tertawalah Yo Ko terbahak-bahak.

“Ha-ha-ha, betul, betul, binatang cilik yang memaki aku,” demikian katanya geli.

Suasana di ruangan pendopo itu sebenarnya sedang tegang, tetapi karena dikacau oleh majunya Yo Ko, seketika para kesatria itu ikut ketawa. Tentu saja Hotu bertambah marah, begitu kipas lempitnya dipentang, segera ia sabetkan ke atas kepala Yo Ko.

Para kesatria yang hadir di situ semuanya berhati mulia. Tadi mereka sudah menyaksikan ilmu silat Hotu yang amat lihay, maka bisa diduga jika kipasnya ini betul-betul berkenalan dengan kepala Yo Ko, bila tidak mampus maka sedikitnya pemuda ini terluka parah. Karena itulah beramai-ramai mereka berteriak-teriak:

“Jangan berkelahi dengan anak kecil, tak tahu malu, besar melawan kecil!”

Di samping sana secepat terbang Kwe Ceng juga telah melompat maju. Selagi tangannya hendak merebut kipas Hotu, tahu-tahu Yo Ko telah menundukkan kepala dan dengan gampang saja menerobos di bawah tangan Hotu, malah ketika penggayu patah itu ia tarik, dengan gaya ‘sian’ atau menyerempet, suatu gaya istimewa dari Pak-kau-pang-hoat, tiba-tiba ia menjegal kaki Hotu dengan penggayu patah itu.

Karena tak men-duga, dengan tepat Hotu kesandung. Ia terhuyung-huyung dan hampir-hampir terguling jatuh. Untung ilmu silatnya memang tinggi luar biasa, tubuh yang sudah kehilangan imbangan itu secara paksa dia enjot sekuatnya ke atas untuk kemudian turun ke bawah lagi dengan tegak.

“Bagaimana, Ko-ji?” tanya Kwe Ceng kuatir dan tercengang atas kejadian itu.

“Tidak apa-apa,” sahut Yo Ko tertawa, “la memandang rendah Ang Chit-kong punya Pak-kau-pang-hoat, maka aku lantas banting dia dengan gerak tipu Pak-kau-pang-hoat, biar dia kapok.”

Heran sekali Kwe Ceng mendengar jawaban itu. “Aneh, dari mana kau bisa Pak-kau-pang hoat?” tanyanya.

“Tadi waktu Loh-pangcu berkelahi dengan dia, begitu lihat aku lantas berhasil mempelajari tipu itu,” demikian Yo Ko membohong.

Kwe Ceng sendiri bakatnya terlalu tumpul, namun dia percaya tidak sedikit orang pandai di jagat ini, maka terhadap kata-kata si Yo Ko ia hanya setengah percaya setengah sangsi-sangsi.

Di lain pihak Hotu yang kena disandung satu kali oleh Yo Ko, dia kira dirinya sendiri yang kurang hati-hati sehingga terjegal, sama sekali tak dipikirnya bahwa pemuda yang usianya belum ada 20 tahun bisa mempunyai ilmu silat begitu tinggi. Ia pikir urusan paling penting sekarang ini ialah merebut gelar Beng-cu, sesudah soal ini selesai barulah bocah ini akan dibereskannya. Maka dengan langkah lebar segera ia mendekati Kwe Ceng.

“Kwe-tayhiap,” demikian katanya lantang, “pertandingan hari ini sudah jelas dimenangkan pihak kami, maka sejak kini guruku Kim-lun Hoat-ong adalah Beng-cu dunia persilatan. Apakah masih ada yang belum mau menyerah?”

Sebelum selesai ia bicara, diam-diam Yo Ko mendatangi belakangnya, tiba-tiba pengayu ia sodokkan pula, ia keluarkan salah satu tipu Pak-kau-pang-hoat dan mendadak ia jojoh bokong orang.

Tetapi betapa hebat kepandaian Hotu, masakah dia kena dibokong orang dari belakang? Cuma ilmu pentung pemukul anjing itu memang bagus tiada bandingannya, sungguh pun ia tahu dibokong, tapi hendak berkelit ternyata sama sekali tak dapat, maka terdengarlah suara “blek”, dengan tepat pantatnya kena disodok oleh penggayunya Yo Ko.

Sekali pun Iwekang-nya sudah sangat tinggi, namun pantat adalah tempat yang banyak dagingnya, maka tak urung ia kesakitan juga, ditambah kejadian itu tak tersangka-sangka, sebab ia kira pasti dapat menghindarinya tetapi justru kena disodok, maka tanpa terasa ia berteriak, sebagian besar karena terkejut dan sebagian kecil karena kesakitan.

“Hm, manusia macam apa kau? Aku justru tidak mau menyerah!” demikian terdengar Yo Ko menjengek.

Karena kejadian itu, para kesatria terheran-heran dan merasa geli. Mereka pikir pemuda ini bukan saja nakal, orangnya pun pemberani. Pangeran Mongol ini ternyata dua kali kena dikibuli. Sampai di sini Hotu tidak bisa tinggal diam lagi, akan tetapi ia masih belum anggap Yo Ko sebagai lawan, hanya tangannya tiba-tiba menampar ke belakang dengan maksud hendak menempeleng bocah ini untuk melampiaskan rasa dongkolnya. Tetapi waktu itu Kwe Ceng berdiri di sampingnya, sudah tentu ia tidak membiarkan Yo Ko dihantam. Mendadak ia angkat tangannya terus menangkap telapak tangan Hotu sambil berkata:

“Kenapa kau main-main dengan anak muda?”

Seketika Hotu rasakan separoh badannya kaku kesemutan, dalam marahnya ia pun amat terkejut. Sementara itu Yo Ko tidak menyia-siakan kesempatan, ia ayunkan penggayunya lagi terus gebuk pula pantat orang sambil berteriak-teriak:

“Binatang cilik tak dengar kata, biar bapak hajar pantatmu!”

“Ko-ji lekas undurkan diri, jangan main gila lagi,” cepat Kwe Ceng bentak si Yo Ko.

Para kesatria kembali ter-pingkal-pingkal karena kelakuan Yo Ko. sebaliknya para begundal dari Mongol beramai-ramai berteriak-teriak.

“Apa? Dua keroyok satu? Malunya!”

“Hm, tak malu!”

“Apa minta pertandingan diulang kembali, bukan?”

Begitulah mereka mengejek riuh rendah. Karena itu Kwe Ceng menjadi tertegun, lalu dia pun melepaskan tangan Hotu. Sementara itu mata Oey Yong yang memang sangat jeli itu, pada waktu dilihatnya Yo Ko menyandung orang dan menjojoh lagi sekali, gaya serangannya memang betul-betul tipu bagus dari Pak-kau-pang-hoat, keruan saja ia curiga.

“Dari mana ia dapat mencuri belajar Pak-kau-pang-hoat? Apa mungkin ia telah mengintip waktu aku mengajarkan kepada Loh Yu-ka? Tetapi setiap kali sebelumnya pasti kuperiksa dulu sekitar tempat itu, mana bisa ia mengelabui mataku?” demikian Oey Yong tidak habis mengerti. Tetapi segera ia pun berseru:

“Ceng-koko, coba kau ke sini!”

Kwe Ceng menurut, ia segera kembali ke samping sang isteri. Tetapi karena kuatir akan keselamatan Yo Ko, maka pandangannya tidak pernah meninggalkan diri pemuda itu dan Hotu. Ia lihat pangeran Mongol itu sudah merangsek maju lagi dan menyerang Yo Ko dengan hebat.

Akan tetapi Yo Ko benar-benar jahil. Sambil berkelit ia masih terus berteriak: “Aku hantam pantatmu, aku hantam pantatmu!”

Dan betul juga, selalu ia ayunkan penggayunya menggebuk pantat orang. Cuma waktu itu Hotu sudah keluarkan kepandaiannya, dengan sendirinya tak bisa lagi kena sasarannya, setiap pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Hotu ingin pukul kepala Yo Ko dengan kipasnya, sebaliknya Yo Ko terus ayunkan penggayunya hendak menggebuk pantat Hotu, maka kedua orang lalu uber-uberan di tengah ruangan pendopo itu, siapa pun tiada yang bisa memukul yang lain.

Mula-mula semua orang merasa heran dan menganggap lucu, tetapi setelah menyaksikan kedua orang uber-uberan beberapa lingkaran, akhirnya semuanya terkejut. Ternyata Yo Ko yang bajunya compang camping, usianya pun masih muda, tetapi langkahnya sangat enteng, gerak-geriknya gesit, hakikatnya tidak kalah cepat dari pada Hotu. Beberapa kali Hotu mengejar maju hendak memukul, akan tetapi dengan sigap dan indah selalu berhasil dihindarkan Yo Ko.

Tiam-jong Hi-un dan Darba sesungguhnya masih saling melotot dengan senjata terhunus yang siap menerjang maju lagi buat bertanding, sedangkan yang lain siap sedia dengan penuh perhatian untuk menjaga serbuan musuh yang mendadak. Tetapi nampak Hotu tak bisa berkutik melawan seorang anak muda yang tak terkenal, semuanya menjadi heran, yang satu tertawa lebar dan yang lainnya mengomel terus dalam bahasa Tibet yang tidak dimengerti.

Sesudah Yo Ko dan Hotu ubek-ubekan beberapa kali lagi, lambat laun dapat juga Hotu mengetahui Ginkang atau ilmu entengkan tubuh Yo Ko sangat hebat, kalau terus main balapan lari boleh jadi akhirnya ia sendiri akan terjungkal. Karena itu mendadak ia terus putar balik. Dengan tangan kiri dia pegang penggayu orang sedangkan kipas di tangan yang lain segera menotok kaki Yo Ko pada tempat ‘goan-riau-hiat’. Dengan cara ini, serangannya bukan lagi sekedar memberi hajaran kepada anak nakal, tetapi tipu serangan antara jagoan sungguh-sungguh.

Namun Yo Ko tidak mudah diarah. Meski usianya kecil tapi nyalinya cukup besar. Ia lihat lawannya mengeluarkan ilmu silat yang hebat, maka dia tidak mau melawan orang secara berhadapan. Karena itu dia hanya berkelit menghindarkan totokan tadi, menyusul dengan mengayunkan penggayunya ia masih terus berteriak-teriak:

“Bapak pukul pantatmu!”

Dengan caranya Yo Ko mempermainkan lawannya, sebenarnya kepandaiannya harus berlipat ganda lebih tinggi dari orang barulah ‘sip’. Meski Yo Ko tidak sedikit pelajari ilmu silat yang paIing bagus dan tinggi, tetapi soal keuletan dia masih belum dapat menimpali Hotu. Dengan caranya menggoda orang itu sebenarnya bisa berabe.

Tetapi karena kelakuannya yang jenaka itu, semua orang yang menonton bergelak ketawa, dan karena suara tertawa orang banyak inilah Hotu malah dibikin bingung hingga pikirannya tidak tenang. Ia betul-betul kuatir pantatnya kena digebuk lagi di hadapan para kesatria, hal ini berarti akan menghilangkan pamornya, karena itu seluruh perhatiannya dicurahkan untuk menghindarkan diri sehingga lupa untuk memutarkan serangan balasan, dengan demikian barulah Yo Ko tidak mengalami bahaya.

Sampai di sini Oey Yong sudah dapat melihat bahwa Yo Ko pasti pernah mendapat ajaran dari orang kosen, pengalamannya pasti lain dari pada yang lain, ilmu silatnya tentu susah diukur. Ia pikir biarkan bocah ini kacaukan pihak musuh, mungkin untuk sementara masih bisa pertahankan kedudukan sendiri yang sudah kalah dua babak tadi. Maka dengan suara keras dia lantas berseru:

“Ko-ji, coba kau bertanding secara baik-baik dengan toako ini, kulihat sekali-kali dia bukan tandinganmu!”

Karena seruan itu, segera Yo Ko berhenti. “Hayo, berani kau?” katanya segera sambil me-leletkan lidah mengejek serta menuding hidung Hotu.

Akan tetapi Hotu sangat licin. Ia pikir pihaknya sudah menang dua babak beruntun-runtun, kedudukan Beng-cu sudah terang dapat direbutnya, kenapa perlu cari gara-gara lain? Maka ia lantas menjawab:

“Binatang cilik, kau begini nakal, pasti akan kuhajar kau, cuma tak perlu buru-buru, kita minta Bu-lim Beng-cu Kim-lun Hoat-ong memberi petuah dan kita semua akan menurut segala perintahnya.”

Tetapi dengan riuh para kesatria membangkang hingga suaranya sangat berisik.

“Kita tadi telah sama berjanji siapa yang menangkan dua babak dialah yang mendapatkan sebutan Beng-cu. Nah, janji tadi dianggap kata-kata manusia atau bukan?” dengan suara keras segera Hotu berteriak.

Seketika para kesatria menjadi bungkam, meski kemenangan musuh yang pertama tadi dilakukan dengan cara yang licik dan babak kedua baru sampai pada senjata patah, tetapi kalau menyangkal kekalahan itu, sebagai kesatria rasanya juga sungkan, maka terpaksa mereka tak bisa menjawab.

“Kenapa Hwesio tua ini bisa menjadi Bu-lim Beng-cu? Kulihat dia tidak cocok,” kata Yo Ko tiba-tiba.

“Siapakah guru bocah ini? Lekas dipanggil dan beri hajaran, kalau masih terus mengacau di sini, jangan sesalkan bila aku tidak bermurah hati padanya!” teriak Hotu dengan marah.

“Ha-ha, guruku barulah cocok untuk diangkat menjadi Bu-lim Beng-cu, gurumu sih punya kepandaian apa?” kata Yo Ko lagi dengan tertawa.

“Siapa gurumu, silakan maju buat belajar kenal,” sahut Hotu.

Nyata dia sudah kenal kepandaian Yo Ko tidak rendah, dia pikir guru orang pasti seorang tokoh besar, maka dia gunakan kata-kata “silakan”. Tetapi Yo Ko tidak menjawab, sebaliknya ia bertanya lagi:

“Perebutan Bu-lim Beng-cu hari ini, bukankah setiap murid boleh mewakili sang guru?”

“Ya,” sahut Hotu. “Maka tadi kami sudah menangkan dua babak dari tiga babak, dengan sendirinya guruku adalah Beng-cu.”

“Baiklah, anggap benar kau sudah menangkan mereka, tetapi apa gunanya? Murid guruku toh belum pernah kau kalahkan,” kata Yo Ko.

“Siapa dia murid gurumu?” tanya Hotu.

“Goblok.” sahut Yo Ko ter-kekeh. “Murid guruku dengan sendirinya ialah aku ini!”

Mendengar banyolan ini, para kesatria kembali bergelak ketawa lagi.

“Nah, sekarang kita juga bertanding dalam tiga babak, jika kalian menang dua babak lagi, barulah aku mau ngaku Hwesio tua itu sebagai Beng-cu,” dengan tertawa Yo Ko berkata pula. “Tetapi kalau aku yang menang dua babak, maaf, sebutan Bu-lim Beng-cu itu tidak bisa lain kecuali guruku yang mendudukinya.”

Mendengar kata-kata Yo Ko ini, semua orang pikir jangan-jangan gurunya memang betul seorang tokoh ternama dan sengaja datang untuk berebut gelar Bu-lim Beng-cu dengan Ang Chit-kong dan Kim-lun Hoat-ong, tapi peduli siapa pun gurunya, setidak-tidaknya toh bangsa Han dari pada Beng-cu kena direbut oleh imam negara bangsa Mongol.


PERTANDINGAN BABAK TAMBAHAN

Karena itu, segera semua orang berseru menyokongnya. “Ya, ya, betul! Coba kau menangkan dua babak lagi!”

“Memang tepat apa yang dikatakan engkoh cilik ini!”

“Jagoan Tionggoan memang sangat banyak, secara beruntung kau menang dua babak, apanya yang perlu dibuat heran?”

Diam-diam Hotu memikirkan akal. Ia menduga dua jago tertinggi dari pihak musuh sudah dikalahkan, apa bila maju dua lagi juga tak perlu takut. Kuatirnya kalau orang main giliran, dua kalah segera maju lagi dua. Karena itu lantas ia jawab:

“Gurumu hendak berebut kedudukan Beng-cu, boleh juga, cuma orang gagah di jagat ini entah berapa ribu banyaknya, bila harus bertanding sebabak dan sebabak lagi, lalu harus bertanding sampai kapan?”

“Kalau orang lain yang menjadi Beng-cu, guruku tidak ambil pusing, soalnya asal dia lihat gurumu, hatinya merasa gemas,” sahut Yo Ko.

“Siapakah gurumu, apa dia ada di sini?” tanya Hotu.

“Dia orang tua sekarang juga berada di depan matamu,” sahut Yo Ko tertawa, kemudian ia menoleh pada Siao-liong-Ii: “Hai, Kokoh, dia menanyakanmu!”

Siao-liong-li menyahut sekali, ia pun mengangguk-angguk kepada Hotu. Mula-mula para kesatria tercengang, tapi segera pula mereka terbahak-bahak lagi, sebab wajah Siao-Iiong-li yang cantik molek, usianya tampaknya malah lebih muda dari pada Yo Ko, mana bisa menjadi gurunya? jelas Yo Ko sengaja bergurau untuk menggoda Hotu.

Hanya Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng dan In Ci-peng yang tahu bahwa apa yang dikatakan Yo Ko itu memang betul. Oey Yong sendiri meski menduga ilmu silat Yo Ko pernah memperoleh ajaran dari orang kosen, tetapi dia pun tidak percaya bahwa gadis lemah lembut sebaik Siao-liong-Ii ini bisa menjadi gurunya. Dan dengan sendirinya Hotu lebih-lebih tak percaya, ia menjadi marah.

“Siau-wan-tong (anak kecil nakal) ngaco-belo” demikian bentaknya. “Hari ini para kesatria semuanya berkumpul di sini, masih banyak urusan-urusan besar yang akan diselesaikan, mana boleh kau mengacau terus di sini? Lekas kau enyah pergi!”

Tetapi Yo Ko tidak gubris orang, ia berkata lagi: “Ha, gurumu hitam lagi jelek, kalau bicara lurak-kelurak tidak ada orang tahu. Coba kau lihat guruku, cantik dan begini manis. Jika ia yang menjadi Bu-lim Beng-cu, bukankah jauh lebih baik dari pada gurumu si Hwesio hitam pelontos itu?”

Terhadap urusan keduniawian sama sekali Siao-liong-li tak paham, tapi demi mendengar Yo Ko memuji kecantikannya tiba-tiba hatinya menjadi senang dan tersenyum. Betul saja, ia bertambah cantik bagai bunga mawar yang baru saja mekar.

Melihat cara Yo Ko mempermainkan musuh semakin berani, semua orang merasa senang dan bersyukur, walau pun ada juga yang diam-diam kuatir kalau-kalau mendadak Hotu turun tangan keji. Betul saja, digoda sedemikian rupa, Hotu tak tahan lagi.

“Dengarlah para Enghiong seluruh jagat, apa bila Siau-ong membunuh anak nakal ini, itu adalah salah dia sendiri dan jangan salahkan Siau-ong!” demikian ia berteriak. Setelah itu kipasnya mengebas, segera kepala Yo Ko hendak dihantamnya.

Tanpa terduga-duga mendadak Yo Ko juga berlaga seperti Iawan, ia busungkan dada dan pelembungkan perutnya terus berteriak juga:

“Dengarlah para Enghiong seluruh jagat, apa bila Siau-wan-tong (anak nakal) membunuh pangeran ini, itu adalah salah dia sendiri dan jangan salahkan Siau-wan-tong!”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar