Senin, 02 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 066

Begitulah, meski dalam ruangan pendopo berjubel-jubel dengan tetamu yang ribuan jumlahnya, tetapi kedua muda-mudi itu seakan-akan berada berduaan saja dan bercakap-cakap dengan seenaknya. Siao-liong-li memegangi tangan Yo Ko, waktu itu hatinya entah lagi suka atau duka.

Melihat Siao-liong-li yang menggiurkan, meski pun Hotu terguncang juga hatinya, tetapi ia tidak tahu gadis ini bukan lain adalah orang yang dahulu pernah dilamarnya ke Cong-lam-san itu. Ia lihat pakaian Yo Ko compang-camping dan berbau busuk, tapi sikapnya begitu kasih sayang pada si gadis, tanpa terasa timbul rasa cemburunya dan dongkoI pula.

“Hai, kami hendak adu kepandaian, kalian hendaklah menyingkir dulu,” demikian ia lantas berseru.

Tak sempat lagi Yo Ko menjawab. Ia pun tidak banyak cingcong, ia gandeng tangan Siao-liong-li dan diajaknya duduk di pinggir kalangan untuk menceritakan pengalaman masing-masing sesudah berpisah selama ini.

Nampak orang sudah minggir, Hotu lantas berpaling dan berkata lagi kepada Cu Cu-liu: “Baiklah, jika kau tak pakai senjata, boleh juga kita bertanding dengan tangan kosong.”

“Bukan begitu maksudku,” sahut Cu-liu seakan-akan sedang bersanjak. “Negeri Tiongkok kami adalah negeri bermartabat tinggi dan berbeda dengan negeri Mongol yang masih liar, laki-laki sejati hanya bicara secara halus, pertemuan antara sobat cukup dengan pakai pit, kini milikku hanya pit saja, buat apa pakai senjata?”

“Kalau begitu, awas serangan!” kata Hotu mendadak, lalu kipasnya terpentang, segera ia menyabet ke depan.

Sambil geleng-geleng kepala lekas-lekas Cu-liu melangkah ke samping, selagi tangan kiri mendadak meraba ke depan, dengan tangan kanan yang memegang pit terus mencoret ke muka Pangeran Hotu. Melihat gerak-gerik orang enteng dan gesit, tipu serangannya aneh, Hotu tak berani main merangsek, ia ingin memahami dulu cara bersilat orang barulah mengambil siasat untuk perlawanannya.

“Awas, Tianhe, pit-ku ini biasanya menyapu bersih be-ribu prajurit!” kata Cu-liu tertawa, berbareng itu ujung pit-nya menutul lagi ke depan.

Meski ilmu silat Hotu dipelajari di daerah Tibet, tapi gurunya, yaitu Kim-lun Hoat-ong luas sekali pengalamannya. Setiap cabang, setiap aliran persilatan di daerah Tionggoan tiada yang tak dipahaminya, dan karena ketika mulai belajar Hotu telah ber-cita-cita mau tonjolkan nama besarnya ke daerah Tionggoan, maka Kim-lun Hoat-ong pernah memberi perincian semua tipu-tipu serangan lihay dari berbagai cabang dan aliran silat pada muridnya.

Tak terduga Cu-liu memakai senjata aneh, tipu serangannya juga lain dari pada yang lain, gerak-geriknya bebas, ujung pit-nya menggores ke sana dan mencoret ke sini di udara, tampaknya seperti lagi menulis, tetapi tempat di mana ujung pit-nya mengarah justru adalah Hiat-to atau jalan darah berbahaya di tubuh lawan.

Kiranya Cu Cu-liu ini adalah ahli seni-tulis (di samping seni-lukis, di Tiongkok dikenal juga seni-tulis, yakni mengutamakan tulisan bagus dengan gaya tersendiri yang bertenaga dan indah, ada yang disebut ‘Cau-su’, yakni tulisan yang mendekati ‘coretan’ secara bebas dan ada lagi yang disebut ‘thay-su’ yang ditulis secara lugu dan orisinil) di daerah selatan. Meski ia belajar silat, akan tetapi ilmu sastranya tak pernah dikesampingkan. Setelah ilmu silatnya makin tinggi, akhirnya ia malah menciptakan sendiri semacam kepandaian yang dia lebur antara It-yang-ci dengan seni-tulisnya. Karena itu, kalau lawannya tidak cukup punya dasar ilmu sastra, sungguh susah hendak melawan ilmu silatnya yang aneh ini.

Baiknya Pengeran Hotu suka berlagak terpelajar. Sejak kecil dia pun pernah bersekolah dengan guru sastra bangsa Han, karena itu ia masih dapat menahan serangan Cu-liu. Ia melihat di antara gaya tulisan orang terseling pula gaya menotok dan di antara menotok bergaya pula menuIis, sehingga di antara kegagahannya tercampur juga gaya lembutnya orang terpelajar.

Kwe Ceng tidak paham ilmu sastra, dengan sendirinya ia terheran-heran oleh permainan silat itu. Sebaliknya Oey Yong keturunan keluarga cendekiawan, baik silat mau pun surat lengkap dipelajari semua, sekarang dilihatnya ilmu silat Cu-liu yang aneh tetapi hebat ini, ia menjadi kagum tak terhingga. Sementara itu, Kwe Hu yang ikut menyaksikan pertarungan itu agaknya merasa bingung, ia mendekati sang ibu dan bertanya:

“Ibu, ia mencorat-coret dengan pit-nya kian kemari, permainan apa itu?”

Karena seluruh perhatiannya lagi dicurahkan ke kalangan pertempuran, maka sekenanya Oey Yong menjawab:

“Pang-hian-ling-pi.”

“Pang-hian-ling-pi apa itu?” tanya lagi Kwe Hu semakin bingung.

Tetapi Oey Yong sedang terpesona oleh pertarungan itu maka tak dijawabnya pertanyaan Kwe Hu. Kiranya ‘Pang-hian-ling-pi’ adalah judul karangan yang ditulis pada suatu pilar oleh pembesar ahala Tong yang bernama Si Sui-liong, tulisan ini dilakukan dengan gaya ‘Khay-su’ yang sangat bagus. Dan sekarang Cu-liu sudah mencemooh karangan itu dengan menulisnya pakai ‘It-yang-su’ atau tulisan dengan It-yang-ci, ia gunakan ujung pit sebagai gantinya jari, maka setiap coretan, setiap goresan, dilakukan dengan menurut aturan dan mirip sekali seperti sedang menulis secara ‘Khay-su’.

Meski Hotu tak kenal lihaynya It-yang-ci, namun sedikitnya ia masih paham setiap huruf dalam karangan ‘Pang-hian-ling-pi’, maka sebelum alat tulis orang bergerak, ia sudah bisa menduga ke mana goresan dan coretan hendak dilakukan, dengan begitu ia bisa menjaga diri secara rapat dan belum tampak tanda-tanda bakal kalah.

“Bagus!” seru Cu-liu demi nampak kepandaian Hotu memang tinggi. “Sekarang datanglah ‘Chau-su’, hati-hati sedikit!”

Habis ini mendadak ia copot kopiahnya terus dilempar ke lantai, lalu ia pun berlari cepat ke sana kemari hingga lengan bajunya yang besar lebar ikut beterbangan, tipu serangan yang dilontarkan juga secara bebas di luar aturan. Karena itu tampaknya dia menjadi seperti orang linglung, mirip orang mabuk dan seperti orang keranjingan, padahal pit-nya menggores terus sambung menyambung tak berhenti bagai ular laga yang melingkar-lingkar.

“Ibu, apa dia sudah gendeng?” tiba-tiba Kwe Hu bertanya lagi.

“Ehm,” jawab Oey Yong acuh tak acuh, “Kalau ditambahi minum arak tiga cawan, tentu gaya tulisannya akan lebih bagus.”

Habis berkata, ia angkat poci arak terus menuangi penuh secawan. “Cu-toako,” teriak Oey Yong, ”silakan minum tiga cawan buat menambah semangatmu.”

Berbareng itu tangan kirinya memegang cawan, dengan jari kanan mendadak ia menyentil cawan, tampaklah cawan arak itu terbang ke depan dengan antengnya. Itu adalah ilmu tenaga jari sakti ajaran ayah Oey Yong yang tak ada bandingannya.

Mendadak Cu-liu menutul pit-nya satu kali sehingga Hotu terdesak mundur, pada saat itu pula cawan arak itu disambarnya terus ditenggak habis, menyusul Oey Yong menyentilkan cawan kedua dan ketiga beruntun-runtun.

Alangkah marahnya Pangeran Hotu melihat kedua orang itu main suguhkan arak dalam keadaan sedang bertempur, sama sekali tak pandang sebelah mata atas dirinya. Segera ia bermaksud menyampuk jatuh cawan arak orang, tapi di waktu Oey Yong menyentilkan cawannya tadi, selalu ia iringi gaya coretan pit-nya Cu-liu dan selalu menerobos di tempat luang, maka sama sekali Hotu tak mampu menyampuknya.

“Banyak terima kasih,” seru Cu-liu sesudah keringkan tiga cawan arak. “Sungguh tenaga jari sakti yang hebat!”

“Kau juga. Swe-ih-tiap yang tajam sekali!” balas Oey Yong memuji dengan tertawa.

Cu-liu tertawa senang, di dalam hati ia pun kagum sekali terhadap kepintaran Oey Yong, hanya sekali lihat saja sudah dapat mengetahui ilmu silat ciptaannya yang terlatih selama belasan tahun.

Di lain pihak sejak tadi Kim-lun Hoat-ong mengikuti juga pertarungan itu dengan cermat. Melihat muridnya lambat laun mulai terdesak di bawah angin, mendadak dia pun berseru:

“Akuskintel mimoasten, cilcialci!”

Semua orang menjadi bingung, tiada yang paham apa arti bahasa Tibet. Sebaliknya Pangeran Hotu tahu bahwa gurunya sedang memperingatkan agar jangan mau bertahan saja, tetapi harus main serobot ikut menyerang secara keras lawan keras dengan ilmu ‘Hong-hong-siok-lui-kang’ atau ilmu badai menderu dan petir menyambar.

Karena peringatan itu Hotu bersuit panjang, di antara suaranya itu seolah-olah membawa suara topan dan guntur yang gemuruh, berbareng kipasnya menyabet dan lengan bajunya mengebas hingga menerbitkan sambaran angin keras, secepat kilat ia tubruk Cu Cu-liu. Begitu keras tenaga pukulan dan sambaran angin yang dikeluarkan serangan Hotu hingga semua orang yang menonton lambat laun terdesak minggir, sedangkan mulut Hotu masih tiada hentinya membentak-bentak dengan menggelegar untuk menambah semangat.

Kiranya ilmu yang disebut ‘Hong-hong-siok-lui-kang’ memang mengutamakan bentakan dan gertakan keras sebagai salah satu cara mengalahkan musuh yang lihay. Akan tetapi Cu-liu gesit luar biasa, ia melompat kian kemari dengan bebas dan tak gentar, kekuatan mereka ternyata sembabat.

Begitulah, setelah ratusan jurus lewat, mendadak Cu-liu ubah lagi gaya menulisnya, tiba-tiba gerak tangannya menjadi lamban, coretan pit-nya seperti menjadi sempit dan kaku. Sebaliknya Hotu masih saja menggunakan ilmu ‘Hong-hong-siok-lui-kang’ untuk melawan, cuma tenaga lawannya makin bertambah kuat, terpaksa ia pun kerahkan seluruh tenaga pada kipasnya, suara bentakan dan geramannya juga semakin hebat. Karena itu penonton yang sedikit rendah ilmu silatnya tidak tahan berdiri terlalu dekat, setindak demi setindak mereka terpaksa mundur terus ke belakang.



Sementara itu ketika Oey Yong berpaling, ia lihat Yo Ko sedang duduk berendeng dengan Siao-liong-li di samping sebuah tiang. Biar pun jarak mereka tidak lebih setombak dari kalangan pertempuran, tapi mereka masih tetap bercakap-cakap dengan asyiknya, terhadap pertarungan sengit di sampingnya ternyata tak diperhatikannya sama sekali, bahkan angin pukulan yang diterbitkan oleh Hotu juga sedikit pun tak mengganggu mereka, hanya ujung baju Siao-liong-li saja yang kelihatan rada bergoyang-goyang tertiup angin, tetapi gadis ini tetap seperti anggap sepele saja, dengan wajah penuh rasa cinta asmara ia sedang memandang Yo Ko dengan mesra.

Makin dilihat, Oey Yong menjadi semakin heran, sampai akhirnya ia menjadi lebih banyak memandang Yo Ko dan Siao-liong-li berdua dari pada memperhatikan pertarungan antara Hotu dengan Cu-liu.

“Tampaknya anak dara ini memiliki ilmu silat yang maha tinggi, sedang Ko-ji begitu rapat hubungannya dengan dia, entah dia anak murid siapakah?” demikian ia membatin.

Begitulah, Siao-liong-li dalam pandangan Oey Yong masih dianggap seorang anak dara saja, padahal umur Siao-liong-li sudah lebih 20 tahun, cuma karena sejak kecil ia dibesarkan dalam kuburan kuno yang tak tertembus sinar matahari, maka kulit tubuhnya menjadi halus luar biasa, lagi pula Iwekang-nya sangat tinggi, maka tampaknya menjadi sepadan dengan nona yang berumur 17-18 tahun. Sebenarnya kalau Siao-liong-li tidak ketemukan Yo Ko dan turuti ajaran gurunya melatih diri tanpa gangguan perasaan, bukan saja umur 100 tahun pasti bisa dicapainya, bahkan kalau sudah berumur satu abad, badan dan wajahnya serupa dengan orang yang berumur 50-an.

Oleh sebab itulah dalam pandangan Oey Yong tampaknya Siao-liong-li malah lebih muda dari pada Yo Ko, sedangkan gerak-geriknya, wajahnya yang polos dan masih kekanak-kanakan malahan nyata kelihatan lebih muda dibanding Kwe Hu, pantas kalau Siao-liong-li disangkanya masih anak dara cilik.

Sementara itu goresan pit Cu-liu makin lama makin lambat, tetapi bertambah kuat, diam-diam Hotu terkejut dan mulai kewalahan.

“Mamipami, kushis!” tiba-tiba Kim-lun Hoat-ong membentak.

Meski apa yang dikatakan itu tidak ada yang paham, namun suara bentakannya terlalu keras hingga memekakkan telinga. Mendengar Kim-lun Hoat-ong berulang kali memberi petunjuk kepada muridnya, akhirnya Cu-liu menjadi gopoh juga. Ia pikir kalau orang berganti permainannya lagi, pertandingan ini harus berlangsung sampai kapan? Sekonyong-konyong ia mendahului ganti corat-coret tulisannya, kini gayanya tidak seperti orang menulis lagi melainkan seperti orang sedang menatah sesuatu di atas batu. Gaya ini agaknya sekarang dapat dipahami Kwe Hu.

“Ibu, apakah Cu-pepek sedang mengukir tulisan?” demikian ia tanya sang ibu lagi.

“Ha, agaknya anakku tidak terlalu bodoh,” sahut Oey Yong tertawa. “Permainan Cu-pepek ini memang tulisan tatah ‘Ciok-ko-bun’ (tulisan batu), ini adalah tulisan di atas batu jaman Chunchiu. Coba kau perhatikan, kenal tidak huruf apa yang sedang ditatah Cu-pepek?”

Waktu Kwe Hu memperhatikan menurut gaya goresan pit-nya Cu-Iiu, ia lihat setiap huruf kelihatan melingkar dan lebih mirip sebuah gambar, satu huruf saja tak dikenalnya.

“Ya, ini adalah tulisan gambar dari jaman purbakala, jangankan kau, aku sendiri pun tidak kenal,” kata Oey Yong kemudian dengan tertawa.

“Ha-ha-ha, apa lagi si tolol orang Mongol itu, pasti lebih-lebih tak paham,” sorak Kwe Hu sembari bertepuk tangan, “Ibu, lihatlah, bukankah dia sudah mandi keringat dan kerupukan tak keruan.”

Nyata sekali, memang terhadap tulisan gambar jaman kuno ini, Hotu hanya paham satu-dua huruf saja. Dan karena tidak mengetahui huruf apa yang bakal ditulis Cu-liu, dengan sendirinya Hotu tak bisa berjaga-jaga lebih dahulu, keruan saja seketika ia terdesak. Sebaliknya makin lama gaya tulisan Cu-liu semakin beraksi dan bertambah kuat terutama daya tekanan It-yang-ci yang dikombinasikannya.

Suatu ketika Hotu mengibas kipasnya ke depan dan sedikit terlambat menarik kembali, tahu-tahu Cu-liu sudah menutulkan pit-nya, seketika di atas kipasnya sudah bertambah dengan satu huruf besar. Ketika Hotu memeriksa tulisan itu, ia menjadi bingung.

“Apakah ini huruf ‘bong’?” tanyanya tak paham.

“Bukan,” sahut Cu-liu tertawa. “ltu adalah huruf ‘ni’!” Menyusul mana pit-nya menggores lagi, kembali kipas orang kena ditulis pula satu huruf.

“Dan ini huruf ‘goat’ tentunya?” kata Hotu.

“Salah,” ujar Cu-liu menggoyang kepala, “ltu adalah huruf ‘goan’!”

Hotu menjadi lesu dan kewalahan, dia goyangkan kipasnya dengan maksud menghindari ujung pit orang supaya jangan menulis lagi, siapa tahu justru Cu-liu mendadak memukul dengan tangan kirinya yang kosong, dan ketika Hotu menangkis, pada kesempatan itu Cu-liu telah ulurkan pit-nya lagi dan kembali menambahkan dua huruf pada kipasnya. Sekali ini benar-benar Hotu kenal kedua huruf itu.

“Eh, ini adalah ‘ban-ih’, bukan?” serunya tiba-tiba.

“Ha-ha, memang betul ‘ni-goan-ban-ih’!” sahut Cu-liu dengan gelak tertawa.

Para kesatria yang hadir semuanya benci pada penjajahan bangsa Mongol yang secara kejam membunuh rakyat tak berdosa, kini mendengar Cu-liu memaki Hotu ‘ni-goan-ban-ih’ atau ‘kau adalah bangsa biadab’, keruan suara sorak sorai bergemuruh seketika.

Hotu memang telah kewalahan melayani daya serangan orang dengan ilmu ‘lt-yang-su-ci’, sekarang mendengar lagi sorak sorai para kesatria, tentu saja semangatnya semakin kacau. Selagi ia pikir paling selamat angkat kaki saja, sekonyong-konyong lututnya terasa kesemutan kaku, kiranya sudah kena ditotok Cu-liu dengan gagang pit-nya. Betapa pun juga Hotu adalah anak murid tokoh terkemuka. Ketika terasa lututnya lemas dan segera bakal berlutut ke hadapan orang, ia pikir kalau sampai berlutut pamornya akan lenyap, maka sekuatnya dia coba tarik napas panjang menembus Hiat-to lututnya, kemudian ia bermaksud melompat pergi dan mengaku kalah.

Siapa tahu gerakan pit Cu-liu ternyata secepat kilat, menyusul ia sudah menotok lagi, ia gunakan pit sebagai jari dan pakai gagang pit untuk menyerang secara berantai dengan ilmu It-yang-ci, maka tidak mungkin lagi Hotu mampu menangkisnya, akhirnya ia pun jadi berlutut, saking malunya mukanya merah padam. Karena itu, suara sorak sorai para kesatria bergemuruh lagi.

“Akalmu telah berhasil,” kata Kwe Ceng kepada sang isteri.

Oey Yong tersenyum gembira. Di samping sana, melihat Susiok mereka begitu hebat dengan ilmu It-yang-ci-nya, Bu-si Hengte juga kagum luar biasa. Meski ilmu jari sakti itu sudah mereka pelajari, namun kekuatannya terang berbeda seperti langit dan bumi dibanding sang paman guru. Saking kagumnya segera mereka hendak berseru memuji, tapi mendadak terdengar suara jeritan ngeri Cu Cu-liu. Dengan cepat Bu-si Hengte menoleh, tiba-tiba saja Susiok mereka sudah menggeletak di lantai dengan kedua kaki berkelejetan.

Perubahan yang luar biasa dan cepat ini bikin semua orang ikut kaget. Ternyata tadi sesudah Hotu dikalahkan, Cu-liu yang baik budi bermaksud memunahkan totokannya atas Hotu, sebab totokan It-yang-ci ajaran It-teng Taysu itu berlainan dengan ilmu Tiam-hiat biasa dan orang lain sukar menolongnya, maka ia telah memijat beberapa kali bagian iga Hotu untuk melancarkan jalan darahnya. Siapa tahu hatinya yang berbudi ini malahan mengakibatkan mara bahaya bagi dirinya sendiri. Begitu Hiat-tonya lancar kembali, sekonyong-konyong timbul maksud jahat Hotu. Ia pura-pura merintih sakit, setelah berdiri, mendadak ia tekan alat rahasia pada kipasnya hingga empat buah paku berbisa menyambar keluar lalu menancap semua di atas badan Cu-liu.

Sebenarnya pertandingan di antara jago silat, kalau salah satu pihak sudah terkalahkan tentunya tak boleh turun tangan lagi, apa lagi di bawah pandangan orang begitu banyak, siapa yang menduga Hotu mendadak akan membokong? Jika Am-gi atau senjata rahasia itu dilepaskan Hotu sewaktu bertanding, sekali pun paku berbisa itu tersembunyi di antara ruji-ruji kipasnya, dapat dipastikan tidak akan Cu-liu bisa dicelakainya. Tapi kini Cu-liu sedang memunahkan Hiat-to yang ditotoknya, jaraknya tidak lebih dari satu kaki, dalam keadaan demikian meski pun kepandaian Cu-liu setinggi langit juga sukar menghindarkan pembokongan Hotu.

Hebatnya keempat paku berbisa itu adalah rendaman lendir beracun ular jahat yang hidup di daerah Tibet, kerjanya racun itu lihay luar biasa. Begitu terkena paku, seketika Cu-liu merasakan seluruh badannya sakit dan gatal luar biasa, saking tak tahan ia bergulung-gulung di lantai.


PERTANDINGAN BABAK KEDUA

Tentu saja marah sekali para kesatria campur terkejut, beramai-ramai mereka menuding Hotu sambil mencaci maki atas perbuatannya yang keji dan tidak kenal malu itu. Namun Hotu tidak kurang alasan.

“Siau-ong dari kalah menjadikannya kemenangan, kenapa harus malu?” demikian katanya dengan tertawa, “Toh sebelum bertanding kita tidak berjanji tak boleh menggunakan Am-gi. Jika tadi Cu-heng ini menggunakan Am-gi dan merobohkan Siau-ong dulu, tentu aku akan terima kalah dan pasrah nasib.”

Meski merasa alasan Hotu ini terlampau dicari-cari, tetapi seketika semua orang tiada jalan buat mendebatnya. Sementara itu cepat sekali Kwe Ceng maju membangunkan Cu-Iiu. Ia lihat empat buah paku kecil lembut menancap empat segi di dadanya, wajah Cu-liu seperti tertawa tapi bukan tertawa. Kwe Ceng tahu racun paku itu sangat aneh, maka lekas-lekas ia totok dulu tiga tempat Hiat-to orang sebagai pertolongan pertama untuk melambatkan jalannya darah dan menutup nadinya agar hawa racun tidak merembes ke dalam.

“Bagaimana baiknya, Yong-ji?” tanyanya kepada sang isteri.

Oey Yong tak menjawab, ia mengkerutkan kening. Ia tahu kalau hendak memunahkan racun paku ini harus minta obat kepada Hotu atau Kim-lun Hoat-ong, tetapi bagaimana caranya merebut obat pemunahnya, ini yang membikin dia tak berdaya. Di samping lain ruangan itu, demi nampak sang Sute terluka oleh racun jahat, si Nelayan menjadi kuatir dan murka, tanpa pikir lagi ia kencangkan bajunya terus hendak melompat maju buat melabrak Hotu.

Tapi syukur sebelum ia bertindak keburu dicegah Oey Yong yang bisa berpikir panjang. Ia pertimbangkan kedudukan pihak sendiri dan pihak lawan secara keseluruhannya, ia pikir pihak lawan sudah menang satu babak, kalau si Hi-jin (nelayan) Suheng ini maju melawan Darba, soal menang atau kalah sungguh sukar diduga, karena itulah ia minta si Nelayan suka bersabar.

“Kenapa?” tanya si Nelayan.

Namun Oey Yong tidak menjawab. Sungguh pun ia adalah wanita yang pintar luar biasa dengan tipu akalnya yang beraneka macam, tapi setelah mengalami kekalahan dalam babak pertama, untuk dua babak selanjutnya betapa pun juga sudah membikin dia serba sulit.

Di lain pihak setelah merobohkan Cu-liu dengan akal licik, dengan wajah berseri-seri Hotu berdiri di tengah kalangan sambil matanya menjalang ke sana ke mari dengan lagak yang mentang-mentang sudah menang.

Tiba-tiba dilihatnya Siao-liong-li dan Yo Ko tengah pasang omong dengan asyiknya sambil tangan bergandeng tangan seperti sama sekali tidak memandang sebelah mata padanya, keruan hati Hotu menjadi panas.

“Binatang cilik, berdiri!” bentaknya mendadak sambil menuding Yo Ko dengan kipasnya.

Akan tetapi ketika itu seluruh perhatian Yo Ko lagi tercurahkan pada Siao-liong-li seorang. Ia merasa meski pun dunia ini luas, namun tiada sesuatu urusan lain yang bisa membagi pikirannya. Oleh karenanya, biar pun pertarungan Hotu lawan Cu-liu tadi begitu seru dan gempar, namun semua itu seperti tak dilihat dan tak didengar olehnya.

Selama beberapa tahun Yo Ko tinggal di kuburan kuno bersama Siao-liong-li, sesungguhnya dia tak tahu bahwa dirinya sudah begitu mendalam mencintai si gadis dan mengikat sehidup semati. Hari itu waktu Siao-liong-li bertanya apa mau memperisterikan dia atau tidak, karena pertanyaan itu diajukan secara mendadak dan hal mana selamanya belum pernah terbayang dalam benaknya, maka ia menjadi bingung tidak bisa menjawab. Belakangan sesudah Siao-liong-li menghilang, dia menjadi menyesal tak kepalang, pada saat itulah dalam hati beratus kali dia berkata:

“Mau, tentu saja aku mau. Sekali pun aku harus mati, pasti aku inginkan Kokoh menjadi isteriku.”

Cinta asmara antara Yo Ko dengan Siao-Iiong-li timbulnya memang dalam keadaan tidak terasa antara dua muda-mudi, setelah saling berpisah barulah perasaan itu membakar dan sulit ditahan. Lebih-lebih Siao-liong-li yang semenjak kecil telah mengekang diri dalam hal perasaan dan nafsu, tidak punya pikiran senang juga tidak pernah marah, tetapi perasaan cinta yang berasal dari pembawaan itu siapa pun juga sukar menghindarinya, maka ketika mendadak jatuh cinta pada Yo Ko, perasaan itu menjadi lebih hangat berpuluh kali dari pada orang biasa.

Yo Ko sendiri tak pernah kenal takut, sedangkan Siao-liong-li sedikit pun tak kenal segala macam tata krama umum. Ia pikir bila aku jatuh cinta, aku boleh main cinta, mau senang boleh senang, ada sangkut paut apa dengan orang lain? Begitulah cara berpikir kedua muda-mudi itu, yang satu tak pedulian, yang lain tidak mau mengerti, meski berada di tengah-tengah ribuan orang yang sedang asyik menyaksikan pertarungan sengit, mereka pasang omong sendiri dengan mesra.

Bentakan Hotu tadi oleh si Yo Ko masih tetap tak didengarnya. Keruan saja Hotu semakin murka, segera dia hendak mendamperat lagi ketika tiba-tiba terdengar Kim-lun Hoat-ong berseru dalam bahasa Tibet dengan maksud bahwa pihak sendiri sudah menangkan satu babak, maka babak kedua boleh diteruskan. Sebab itu Hotu melotot sekali kepada Yo Ko, setelah ini ia pun undurkan diri ke mejanya sambil berteriak:

“Pihak kami telah menang satu babak, untuk babak kedua ini yang maju adalah suheng-ku Darba, dari pihak kalian siapa yang akan maju?”

Darba melangkah ke tengah ruangan, dari balik kasa (jubah paderi) merahnya ia mengeluarkan semacam senjata. Nampak senjata Darba yang hebat ini, diam-diam semua orang terperanjat. Kiranya senjata yang dia pakai adalah sebatang gada besar yang disebut ‘Kim-kong-hang-mo-cu’ (penggada penakluk iblis) yang biasanya dikenal sebagai senjata Hou-hoat Cuncia dalam agama Budha.

Hang-mo-cu senjata Darba ini panjangnya kira-kira empat kaki, pangkal gada sebesar mulut mangkok, batang gadanya mengkilap seperti terbikin dari emas murni, maka dapat dibayangkan bobot senjata ini pasti jauh lebih berat dari pada terbikin dari besi baja. Sesudah berada di tengah kalangan, Darba merangkapkan kedua tangannya menjalankan penghormatan kepada semua orang, lalu gadanya dia lemparkan ke atas. Maka segera terdengar suara gedombrangan yang keras, jatuhnya gada sudah membuat beberapa ubin besar ruangan pendopo itu pecah berantakan, malah batang gada itu ambles hampir separoh ke dalam tanah.

Dengan mengunjuk gertakan ini dapat diketahui betapa hebatnya berat gada itu. Sungguh tak nyana bahwa seorang Hwesio yang bertubuh kurus kering seperti Darba ternyata kuat menggunakan senjata seberat itu, maka dapatlah dibayangkan alangkah hebat tenaga pukulannya.

“Ceng-koko sudah tentu dapat taklukkan Hwesio kasar ini, cuma babak ketiga nanti kalau Hoat-ong turun tangan sendiri dan pihak kita tidak ada yang sanggup melawannya, maka pertandingan ini pasti akan kalah,” demikian Oey Yong berpikir. “Tetapi biarlah aku tempur Hwesio ini dengan akal saja.” Kemudian, begitu angkat tongkat bambunya Pak-kau-pang, pentung pemukul anjing, segera ia bermaksud maju.

“Jangan... jangan,” lekas-lekas Kwe Ceng mencegah. “Kesehatanmu sedang terganggu, mana bisa kau bergebrak dengan orang?”

Sesungguhnya Oey Yong sendiri juga tidak yakin pasti akan menang. Jika sampai babak kedua ini kalah lagi, maka babak ketiga tidak perlu diteruskan pula, karena itu ia menjadi ragu-ragu.

“Oey-pangcu, biar aku saja yang melayani paderi jahat ini,” tiba-tiba Tiam-jong Hi-un atau si Nelayan Pertapa murid pertama It-teng Taysu, menyelak maju. Nyata sejak sute-nya terkena jarum berbisa musuh hingga penderitaannya mengenaskan sekali, si Nelayan ini sudah tak sabar lagi dan ingin bisa membalas dendam.

Sesungguhnya Oey Yong juga sedang kerupukan tak berdaya. Ia pikir tiada jalan lain lagi kecuali adu kekuatan sebisanya. Kalau si Nelayan ini bisa menangkan paderi Tibet, nanti Ceng-koko masih dapat keras lawan keras untuk menentukan menang dan kalah dengan Kim-lun Hoat-ong.

“Baiklah, kalau begitu hendaklah Suheng berhati-hati,” demikian katanya kemudian.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar