Sabtu, 31 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 065

Pak-kau-pang-hoat ini memang bagus luar biasa, arah yang dituju juga sama sekali tidak bisa diduga orang, maka ketika pangeran Hotu melompat enteng hendak berkelit, tanpa terduga pentung bambu itu mendadak memutar balik secepat kilat hingga betisnya kena tersabet. Hotu terhuyung-huyung dan lekas-lekas melompat mundur, dengan begitu baru ia bisa berdiri tegak lagi. Senang sekali para kesatria melihat Loh Yu-ka berhasil menghajar orang.

“Ha, anjingnya kena gebuk, tuh!”

“Nah, biar kau rasakan enaknya Pak-kau-pang-hoat!”

Begitulah mereka bersorak memberi semangat pada Loh Yu-ka. Di lain pihak Hotu menjadi merah jengah karena kekalahan itu. Ketika dengan enteng dia membalik tubuh, cepat sekali dia balas menghantam orang dengan tangan kirinya. Namun tahu-tahu Loh Yu-ka telah menendang, sesudah itu pentungnya menyambar kian kemari dengan perubahan yang sukar ditangkap.

“Nyata Pak-kau-pang-hoat memang bukan omong kosong belaka!” diam-diam Hotu amat terperanjat oleh ilmu permainan pentung itu. Maka tak berani lagi dia memandang rendah lawannya, dia kumpulkan seluruh semangat lalu menempur orang sungguh-sungguh.

Bagaimana pun juga memang Loh Yu-ka belum masak betul mempelajari ilmu permainan pentung itu. Beberapa kali dengan gampang saja sesungguhnya dia dapat menjungkalkan lawan, tetapi karena kalah ulet maka serangannya gagal di tengah jalan. Menyaksikan itu, diam-diam Oey Yong dan Kwe Ceng sangat menyayangkan.

Setelah belasan jurus lagi, lambat laun kelemahan Loh Yu-ka menjadi terlihat lebih jelas, Meski pun Yo Ko duduk di pojok ruangan itu, tapi setiap gerak tipu orang dapat dilihatnya semua. Kini nampak keadaan Loh Yu-ka itu, diam-diam ia ikut kuatir. Untung betis pangeran Hotu sudah kena dihajar pada permulaan sehingga ia menjadi jeri terhadap Pak-kau-pang-hoat yang aneh ini, maka ia tak berani terlampau mendesak. Kalau tidak, sejak tadi Loh Yu-ka tentu sudah dirobohkan.

Melihat gelagatnya makin jelek, Oey Yong menjadi kuatir. Selagi ia hendak teriaki Loh Yu-ka agar mengundurkan diri, mendadak Loh Yu-ka menggunakan suatu tipu yang disebut ‘sia-ta-kau-pwe’ atau menggebuk punggung anjing dari samping. Begitu pentung bambu berkelebat, dengan sengit ia menghantam dan tepat mengenai pipi kiri Hotu.

Tentu saja pangeran Mongol itu malu tercampur sakit. Tanpa pikir lagi ia pegang pentung orang, menyusul sebelah tangannya terus menghantam, maka terdengarlah suara “bluk” yang keras, tepat dada Loh Yu-ka kena dipukul sekali. Habis itu, sebelah kaki Hotu menyerampang pula, segera terdengar lagi suara “krak”, nyata tulang kaki Loh-Yu-ka patah, darah segar menyembur pula dari mulutnya, orangnya terus terguling roboh. Dua anak murid Kay-pang berkantong delapan lekas menubruk maju lalu membangunkan Pangcu mereka.

Melihat cara turun tangan Hotu begitu keji, semua orang marah sekali. Sementara itu dengan memegang pentung bambu hijau mengkilap yang baru didapatkan dari hasil merampas itu, Pangeran Hotu tampak berseri-seri saking senangnya.

“Ha, Pak-kau-pang-hoat yang menjadi pusaka kebanggaan Kay-pang ternyata tidak lebih hanya begini saja,” demikian ia menyindir.

Karena maksudnya hendak menghina perkumpulan kaum jembel pembela keadilan ini, dia segera pegang kedua ujung tongkat bambu itu, segera pentung bambu itu hendak ditekuk patah di hadapan orang banyak. Tak ia duga, sekonyong-konyong pandangannya menjadi silau, tahu-tahu seorang wanita muda lemah lembut telah berdiri di hadapannya.

“Nanti dulu!” terdengar wanita itu berseru. Nyata, ia bukan lain ialah Oey Yong adanya.

Nampak gerak tubuh orang begitu cepat, Hotu kaget bukan main. “Kau...” baru demikian ia membuka mulut, mendadak Oey Yong mengulur tangannya dan kedua matanya hendak dicoloknya. Lekas Hotu menangkis, karena itulah dengan enteng pentung bambu itu telah berpindah tangan direbut kembali oleh Oey Yong.

Tipu gerakan yang dipakai Oey Yong ini disebut ‘Kau-go-toat-theng’ atau merebut tongkat dari mulut anjing, termasuk satu di antara tipu Pak-kau-pang-hoat yang paling lihay. Tipu ini bisa berubah tanpa dapat diraba sebelumnya hingga betapa pun hebat lawannya pasti tidak sanggup menghindarkan diri.

Begitulah, dengan diiringi suara sorak sorai para kesatria, kemudian Oey Yong kembali ke tempatnya semula lantas menaruh tongkat bambu di sampingnya. Hotu yang ditinggalkan sendirian terpaku di tengah kalangan dengan rasa kikuk dan serba salah. Sungguh, meski pun ilmu silatnya sudah terhitung tingkat tertinggi, namun dengan cara bagaimana sebenarnya Oey Yong dapat merebut pentung bambu dari tangannya, hal ini bikin dia tetap bingung. Ia pikir apakah wanita ini bisa ilmu sihir.

Sementara itu, di tengah suara orang menyindir mencemoohkan yang riuh ramai, wajah gurunya lama kelamaan juga bersungut, sungguh marah Hotu sukar dikatakan. Tapi ia pun sangat cerdik, dengan suara keras segera dia berseru:

“Oey-pangcu, tongkatmu itu sudah kukembalikan, sekarang silakan maju lagi buat coba-coba.”

Dengan kata-katanya ini, betul saja ada orang menyangka tadi bukannya Oey Yong yang merebut, tapi Hotu yang mengembalikan tongkat bambu itu untuk minta bertanding secara teratur. Hanya beberapa orang yang memiliki kepandaian amat tinggi yang dapat melihat sebenarnya Oey Yong telah merebut pentung itu dengan ilmu silat yang maha tinggi.

Di samping sana Kwe Hu menjadi mendongkol mendengar kata-kata Hotu itu. Selamanya belum pernah gadis ini melihat seorang berani berlaku kurang ajar terhadap ibunya, maka tanpa pikir, dengan cepat pedangnya telah dilolosnya.

“Hu-moay, biar aku gantikan kau maju,” kata Siu-bun tiba-tiba.

Tun-si juga berpikiran sama, maka tanpa janji kedua saudara Bu itu sudah melompat ke tengah berbareng.

“lbu guruku adalah orang yang terhormat,” demikian kata yang satu, lalu yang lain cepat menyambung,

“Mana sudi dia bergebrak dengan manusia liar seperti kau ini?”

Dan yang duluan segera menyambung lagi: “Kau boleh coba dulu ilmu kepandaian Siauya (tuan muda) ini!”



Melihat umur kedua saudara Bu ini meski muda namun gerak-geriknya tangkas dan kuat, tampaknya pernah mendapat ajaran guru pandai, diam-diam Hotu berpikir: “Kedatangan kami hari ini memang bertujuan memamerkan kepandaian untuk menjatuhkan nama jago silat bangsa Han, kalau bisa bertarung beberapa babak adalah lebih baik. Cuma mereka berjumlah lebih banyak, kalau terjadi keroyokan pasti sukar untuk menang.”

Karena pikiran itu, segera ia pun berkata: “Para Enghiong yang hadir, kedua anak bawang ini ingin bertanding dengan aku. Kalau Siau-ong menerima tantangannya, mungkin orang akan bilang aku orang tua akali anak kecil, tetapi bila tak bertanding, rasanya seperti jeri terhadap dua bocah. Baiknya begini saja, kita janji dulu bertanding tiga babak, pihak mana bisa menangkan dua babak, itu berarti menang dan memperoleh kedudukan Beng-cu. Pertandingan Siau-ong tadi dengan Loh-pangcu bolehlah tak usah dihitung, sekarang juga kita mulai pertandingan yang baru. Bagaimana pendapat kalian dengan usulku ini?” Beberapa kata-kata itu diucapkan dengan mengagulkan kedudukannya dan menonjolkan pihaknya yang suka mengalah.

Maka Kwe Ceng dan Oey Yong lantas bisik-bisik berunding dengan beberapa tamunya. Mereka mengusulkan Kwe Ceng, Hek Tay-thong dan si Su-seng, sastrawan murid It-teng Taysu itu sebagai tiga jago mereka. Si Su-seng maju pada babak pertama melawan Hotu, Hek Tay-thong di babak kedua menempur Darba dan Kwe Ceng terakhir menandingi Kim-lun Hoat-ong.

Dengan barisan jago mereka ini apa pasti menang atau tidak, sesungguhnya mereka pun belum yakin. Jika ilmu silat Kim-lun Hoat-ong benar-benar tinggi luar biasa sehingga Kwe Ceng tak mampu menandingi, boleh jadi tiga babak akan kalah semua, hal ini benar-benar suatu kekalahan yang mengenaskan sekali. Karena itu semua orang menjadi ragu-ragu tak berani mengambil keputusan.

“Aku ada akal dan pasti akan menang,” tiba-tiba Oey Yong berkata.

Girang sekali Kwe Ceng. Selagi ia mau tanya, tiba-tiba didengarnya angin senjata sudah sambar menyambar, ia lihat Bu-si Hengte dengan pedang mereka sudah mulai menempur Hotu dengan serunya. Kwe Ceng, Oey Yong dan si Su-seng murid It-teng Taysu amat kuatir atas keselamatan murid mereka, maka mau tak mau mereka mengikuti pertandingan seru itu dengan penuh perhatian.

Kiranya setelah mendengar Hotu menghina mereka sebagai bocah yang masih ingusan, Bu-si Hengte menjadi tidak kepalang murkanya, lebih-lebih karena kata-kata itu diucapkan di hadapan ‘si dia’, bukankah hal itu membikin mereka sangat malu? Maka tanpa pikir lagi segera mereka lolos pedang terus merangsek maju.

Mereka sangka ilmu silat Hotu tidak seberapa lihaynya, buktinya dengan gampang saja ibu gurunya sudah dapat merebut tongkat bambu dari tangannya. Mereka pikir meski pun Loh Yu-ka kena dikalahkan olehnya, hal ini mungkin ilmu silat Loh Yu-ka yang tidak berguna, mereka juga mengagulkan diri karena sudah mendapat pelajaran silat dari Kwe Ceng. Seorang diri mungkin bukan tandingannya, tetapi kalau dua orang maju bersama, sekali-kali tidak terkalahkan. Siapa tahu, baru beberapa jurus saja, kedua pedang mereka sudah terkurung oleh kipasnya Hotu hingga tak bisa berkutik.

Hotu sengaja pamerkan kepandaiannya di depan orang banyak. Ia tunggu waktu Bu Siu-bun menusuk, tiba-tiba saja jari telunjuk kirinya menahan batang pedang orang ke atas, berbareng itu kipasnya mendadak diayun dari samping dan menghantam pedang orang. Maka terdengarlah suara nyaring sekali, tahu-tahu pedang panjang itu patah menjadi dua.

Bu-si Hengte kaget sekali. Lekas-lekas Siu-bun melompat pergi, sebaliknya Tun-si kuatir adiknya dilukai, dari belakang segera dia tusuk punggung orang untuk memaksa musuh tak sempat mengejar. Di luar dugaan, tipu serangannya ini sudah diperhitungkan Hotu sebelumnya. Tanpa berpaling sedikit pun, kipas lempitnya tahu-tahu diputar ke belakang, dengan tepat sekali pedang Tun-si kena jepit, berbareng itu pun Hotu puntir dengan jarinya.

Jika Tun-si memutar mengikuti puntiran kipas Hotu, maka tulang pundaknya pasti akan keseleo, karena itu terpaksa ia lepaskan pedang dan melompat ke belakang. Maka tampaklah pedangnya mencelat ke udara mengeluarkan sinar yang gemilapan untuk kemudian jatuh kembali.

Terkejut sekali Bu-si Hengte tercampur marah. Tun-si siapkan telapak tangan kiri di depan dan pasang kuda-kuda gaya Hang-liong-sip-ciang, sebaliknya Siu-bun meluruskan tangan kanan ke bawah dengan jari telunjuk menjengkit sedikit, dia menunggu bila musuh berani merangsek maju segera akan dilayaninya dengan It-yang-ci.

Melihat kuda-kuda kedua pemuda yang kukuh, agaknya Hotu tak berani memandang ringan. Ia pikir kemenangannya sudah cukup, jadi lebih baik disudahi saja untuk menjaga segala kemungkinan.

Supaya diketahui bahwa Hang-liong-sip-pat-ciang (18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) ajaran Ang Chit-kong serta It-yang-ci (ilmu jari betara surya) ajaran It-teng Taysu yang berjuluk Lam-tie atau raja dari selatan, kedua ilmu itu terhitung ilmu kelas wahid di dunia silat. Meski latihan Bu-si Hengte masih cetek, tapi kuda-kuda yang mereka pasang sudah begitu kuat. Bagi orang biasa mungkin tak mengetahui di mana letak kelihayannya, tetapi bagi Hotu yang tergolong ahli, diinsafinya tidak mudah untuk mengalahkannya.

“Ha-ha-ha,” demikian ia bergelak ketawa, “kalian berdua silakan kembali saja, kita hanya tentukan unggul dan asor sampai di sini, tetapi tidak perlu adu jiwa!” Nyata lagu suaranya lebih halus dari pada tadi.

Bu-si Hengte juga insaf bila menempur orang dengan tangan kosong, kekalahan mereka pasti akan lebih menyedihkan, maka dengan muka merah terpaksa mereka undurkan diri dengan lesu, mereka menyingkir ke samping, tetapi tidak berdiri di sekeliling Kwe Hu lagi.

“Bu-keh Koko, mari kita bertiga menempur dia lagi,” mendadak Kwe Hu berteriak sambil mendekat mereka.

Semua orang jadi tertarik oleh teriakan si gadis, sedangkan Kwe Hu dengan cepat sudah meloloskan pedangnya.

“Hu-ji, jangan sembrono!” lekas-lekas Kwe Ceng membentak.

Memang Kwe Hu paling takut pada sang ayah, terpaksa ia mundur kembali sambil pelototi Hotu dengan marah. Melihat rupa si gadis yang cantik molek, dengan tersenyum Hotu manggut-manggut. Akan tetapi sekali lagi Kwe Hu pelototi orang, kemudian berpaling dan tidak menggubrisnya.

Tadinya Bu-si Hengte kuatir ditertawai Kwe Hu karena kekalahan mereka. Kini melihat si gadis membela mereka dengan sesungguh hati, suatu tanda bahwa hati si gadis menaruh simpatik, tentu saja mereka sangat terhibur.

“Pertandingan tadi dengan sendirinya tak terhitung,” sementara Hotu membuka suara lagi sambil pentangkan kipasnya. “Kwe-tayhiap, pihak kami adalah guruku, suheng-ku dan Cayhe sendiri. Ilmu silatku yang paling rendah, jadi babak pertama aku yang maju dulu. Dari pihakmu siapakah yang sudi turun kalangan memberi petunjuk sedikit padaku? Cuma harus diingat, siapa yang bakal menang atau kalah, sekarang bukan main-main lagi.”

Karena tadi mendengar Oey Yong bilang “ada akal” yang pasti akan menang, Kwe Ceng yakin sang isteri yang pintar cerdik dan banyak akal, walau pun belum diketahui apa tipu daya yang hendak diaturnya, namun dalam hati ia sudah merasa takluk.

“Baiklah,” segera ia pun menjawab tantangan orang, “kita tentukan unggul dan asor dalam tiga babak. Pihak mana yang kalah, selanjutnya harus tunduk pada perintah Beng-cu, sekali-kali tak boleh menolak.”

Hotu tahu ilmu silat yang tertinggi di pihak lawan adalah Kwe Ceng, tetapi gurunya yakin dapat mengalahkannya. Ada lagi Oey Yong, meski tadi menggunakan tipu aneh merebut tongkat dari tangannya, namun melihat gaya orang yang lemah lembut, kalau betul-betul saling gebrak, belum tentu begitu lihay, sedangkan yang lain-lain sama sekali tidak dipikirkan olehnya.

“Baiklah, apa bila para hadirin ada usul, silakan berkata,” begitulah ia bertanya sembari matanya memandang sekeliling ruangan. “Dan nanti kalau unggul atau asor sudah diputuskan, hendaklah kalian juga tunduk pada perintah Beng-cu.”

Sebenarnya banyak kesatria yang hendak menjawab tantangannya, tetapi menyaksikan Loh Yu-ka dan Bu-si Hengte dikalahkan secara gampang, agaknya kepandaiannya juga belum dikeluarkan semua sehingga tak diketahui masih berapa banyak ilmu silatnya yang tersimpan, maka seorang pun segan membuka mulut. Mereka hanya memandang Kwe Ceng dan Oey Yong, pasrah saja kepada suami isteri ini.

“Kau bilang mau maju pada babak pertama, lalu Suheng-mu babak kedua dan akhirnya gurumu babak ketiga, apakah ini sudah pasti dan tak digeser lagi bukan?” tiba-tiba Oey Yong bertanya.

“Ya, betul,” sahut Hotu.

“Kemenangan sudah pasti berada pada kita,” kata Oey Yong, tetapi bukan kepada Hotu melainkan membisiki orang-orang yang berada di sampingnya.

“Tipu akal apakah yang kau atur?” tanya Kwe Ceng bingung.

“Jangan kuatir,” sahut Oey Yong perlahan. “Kita pasang kuda rendahan untuk menandingi kuda bagus….” berkata sampai disini, tiba-tiba Oey Yong pandang si Su-seng dari Tay-li.

Karena itu, dengan tersenyum Su-seng itu menyambung dengan perlahan: “Dengan kuda bagus kita menandingi kuda tengahannya lantas dengan kuda tengahan kita menandingi kuda jeleknya. Jika tiga babak berakhir maka tanpa susah Dian Ki mendapatkan hadiah seribu emas dari raja.”

Kwe Ceng tak pandai dalam hal kesusastraan, ia menjadi bingung entah apa yang mereka maksudkan.


PERTANDINGAN BABAK PERTAMA

Melihat sang suami masih belum paham, segera Oey Yong membisikinya: “Ceng-koko, kau pandai dalam ilmu militer, kenapa kau melupakan tipu akal bagus dari kakek-moyang ilmu militer Sun-cu?”

Karena peringatan ini barulah Kwe Ceng teringat kepada kitab militer yang dahulu pernah dibacanya, di mana Oey Yong pernah menuturkan suatu kisah padanya bahwa di jaman Cian-kok, panglima dari negeri Ce, Dian Ki, berlomba kuda dengan raja Ce sendiri dengan taruhan seribu tail emas. Untuk ini Sun-cu telah ajarkan sebuah akal yang pasti menang pada Dian Ki, yaitu gunakan kuda paling jelek buat lawan kuda terpilih raja Ce, sebaliknya gunakan kuda pilihan sendiri untuk melawan kuda cukupan lawan dan kuda cukupan buat menandingi kuda terjelek sang raja. Dengan demikian hasilnya adalah menang 2 kalah 1, maka hadiah 1000 tail emas telah digondol Dian Ki. Sekarang maksud Oey Yong juga hendak mencontoh siasat Sun-cu itu.

“Cu-suheng, dengan ilmu kepandaianmu It-yang-ci, untuk mengalahkan pangeran Mongol ini tentunya tidak sulit,” demikian kata Oey Yong.

Su-seng dari negeri Tay-li itu she Cu bernama Cu-liu, dulu ilmu sastranya menjagoi negerinya dan terpilih sebagai Conggoan (suatu gelar kebesaran dalam ujian kesastraan tertinggi di hadapan raja), dan pernah juga menjabat sebagai Caysiang (perdana menteri negeri Tayli (daerah Hunlam), maka dengan sendirinya kepintaran dan kecerdasannya melebihi orang biasa.

Waktu pertama dia masuk perguruan It-teng Taysu (yang tadinya adalah Sri Bagindanya), di antara empat saudara seperguruan ‘Hi-Jiau-Keng-Tok’ atau si Nelayan, si Tukang Kayu, si Petani dan si Sastrawan, jadi ilmu silatnya terhitung paling rendah. Akan tetapi sepuluh tahun kemudian dia meningkat sebagai orang kedua di antara empat saudara seperguruannya. Dan kini, ilmu silatnya malah sudah jauh di atas sesama saudara seperguruan yang lain.

Lebih-lebih ilmu It-yang-ci, boleh dikatakan sudah mewarisi seluruh kemahiran It-teng Taysu. Diambil secara rata ilmu silatnya meski belum setingkat dengan Kwe Ceng, tetapi sudah jauh melebihi jago segolongan Ong Ju-it, Hek Tay-thong, Loh Yu-ka dan lain-lain.

Begitulah, maka demi mendengar kata-kata sang isteri, Kwe Ceng yang selamanya selalu berpikir sederhana dan berbicara terus terang, segera ia menyambung ucapan Oey Yong:

“Ya, Cu-suheng pasti bisa menangkan orang Mongol ini, aku pun dapat mengalahkan paderi Tibet Darba itu, tapi Hek-susiok yang harus melawan Kim-lun Hoat-ong, ini yang terlalu berbahaya, meski kalah menang tidak banyak hubungannya lagi dengan keadaan seluruhnya, tetapi dikuatirkan musuh terlalu keji hingga Hek-susiok sukar melawannya.”

Tapi Hek Tay-thung adalah seorang berjiwa besar, dia tahu pertandingan ini berhubungan dengan soal nasib negara, amat berbeda dari pada perebutan nama dan keuntungan diri sendiri seperti yang umumnya terjadi di kalangan Bu-lim. Apa bila pertandingan ini sampai dimenangkan imam negara MongoI, hal ini bukan saja dunia persilatan bangsa Han akan kehilangan muka, bahkan susah juga untuk dapat bersatu padu buat melawan musuh dan membela nasib negara.

Karena itu, dengan suara keras segera ia berkata. “Soal diriku tak perlu dikuatirkan, asal bermanfaat bagi negara, sekali pun aku harus mati di tangan musuh tidaklah menjadi pikiranku.”

“Soal itu jangan kuatir,” kata Oey Yong, “Kalau dalam pertandingan tiga babak kita sudah menangkan dua babak, maka babak ketiga dengan sendirinya tidak perlu dilangsungkan lagi.”

Kwe Ceng menjadi girang oleh penjelasan ini, berulang kali ia menyatakan benar. “Jika begitu tugas Cayhe nyata tidak ringan. Apa bila tidak dapat mengalahkan pangeran Mongol itu tentu bakal dicaci maki oleh kesatria seluruh jagat buat selamanya,” kata Cu Cu-liu dengan tertawa.

“Jangan kau merendah diri, silakan majulah,” ujar Oey Yong.

Lalu Cu Cu-liu majulah ke tengah, ia kiong-chiu memberi salam kepada Hotu lebih dulu. “Untuk babak pertama biarlah aku yang belajar kenal dengan Tianhe (Putera Pengeran),” demikian ia berkata, “Aku she Cu bernama Cu-liu, asal orang Kimbeng, Hunlam, murid It-teng Taysu, selama hidupku paling senang bersyair dan membaca, maka soal ilmu silat banyak yang terlantar, hal ini hendaklah Tianhe suka banyak memberi petunjuk.”

Habis berkata ia membungkuk memberi hormat, kemudian dari bajunya ia keluarkan sebatang pit, ia menggores-gores beberapa kali di udara, lagaknya tepat sekali sebagai seorang terpelajar.

“Semakin aneh orangnya, semakin tinggi kepandaiannya. Agaknya tak boleh memandang enteng,” demikian pikir Hotu. Oleh karena itu ia pun balas memberi hormat dan membuka suara: “Siau-ong minta belajar sedikit pada Cianpwe, silakan keluarkan senjata!”

“Mongol adalah negeri yang masih biadab dan belum mendapat ajaran Nabi. Kalau Tiante minta belajar, sudah tentu akan kuberi petunjuk seperlunya,” sahut Cu-liu.

Mendongkol sekali hati Hotu oleh kata-kata orang yang menghina negerinya. “Baiklah, dan ini adalah senjataku. Kau memakai golok atau pedang?” tantangnya segera sembari kebas-kebas kipasnya.

Cu-liu tidak lantas menjawab, ia angkat dulu pit-nya dan menulis di udara satu huruf ‘pit’, lalu dengan tertawa ia menyahut:

“Selama hidupku selalu berdampingan dengan batang pit, senjata apa yang bisa kugunakan?”

Waktu Hotu menegasi, ia melihat alat tulis orang memang benar-benar sebatang pit yang gagangnya terbuat dari bambu dengan ujung bulu kambing, pada bagian ujung bulu masih berlepotan tinta, sama sekali berlainan dengan Boan-koan-pit atau potlot jaksa yang terbikin dari baja yang biasa digunakan untuk Tiam-hiat oleh jago silat. Dan karena merasa heran, selagi ia hendak bertanya, mendadak matanya terbeliak, tahu-tahu dari depan dilihatnya berjalan masuk seorang gadis berbaju putih.

Sesudah masuk gadis itu berdiri di depan pintu, sinar matanya mengerling perlahan pada setiap orang, agaknya ada seseorang yang sedang dicarinya. Waktu itu sebenarnya pandangan semua orang sedang dicurahkan pada Cu-liu dan Hotu yang hampir saling gebrak. Tetapi begitu si gadis baju putih itu masuk, tanpa tertahan sinar mata semua orang beralih.

Wajah gadis itu kelihatan putih lesi seperti orang habis sakit, di bawah cahaya lilin yang terang benderang, wajahnya sedikit pun tiada warna darah, namun hal ini justru semakin menunjukkan kehalusan kulit si gadis yang lain dari pada yang lain, wajahnya pun cantik luar biasa.

Biasanya orang suka menggunakan kata-kata ‘secantik bidadari’ sebagai bahasa kiasan untuk wanita cantik, tetapi betapa cantiknya bidadari sesungguhnya, siapa pun tiada yang tahu. Sekarang demi nampak si gadis, tanpa terasa dalam hati semua orang lantas timbul kesan seperti apa yang dikatakan ‘secantik bidadari’ itu. Sementara itu, demi nampak si gadis baju putih, girang Yo Ko bukan buatan, dadanya seakan-akan mendadak dipukul sekali dengan palu, bagaikan orang gila saja ia melompat keluar dari pojok ruangan terus merangkul erat-erat gadis itu.

“Kokoh! Kokoh! Oh...! Kokoh!” demikian ia berteriak-teriak.

Kiranya gadis ini memang benar Siao-Iiong-li adanya. Sesudah meninggalkan Yo Ko di gunung Cong-lam-san, seorang diri ia telah kembali ke kamar batu di dalam kuburan kuno dengan selulup lagi melalui lorong di bawah sungai.

Dahulu waktu ia masih tinggal dalam kuburan itu bersama Sun-popoh, hatinya waktu itu boleh dikatakan setenang air berhenti, sedikit pun tidak bergolak. Tetapi sejak bertemu Yo Ko dan sesudah mengalami banyak rintangan, hendak kembali lagi kepada ketentraman batinnya yang dulu ternyata sudah tidak mungkin lagi. Asal dia berlatih di atas ranjang batu pualam, segera ia ingat Yo Ko pernah tidur juga di atas ranjang itu, bila ia sedang makan, segera ia ingat pula si Yo Ko selalu mendampinginya makan.

Karena itulah ia menjadi uring-uringan sendiri. Tidak berapa lama ia berlatih, segera ia merasa hatinya menjadi gelisah dan sukar melatih diri. Keadaan begitu dapat dilewatkan satu bulan, tapi akhirnya ia tak tahan lagi, ia mengambil keputusan pergi mencari Yo Ko. Bila kelak ketemu, cara bagaimana ia akan hadapi pemuda itu, hal ini ia sendiri pun tidak tahu.

Setelah turun gunung, ia melihat segalanya serba baru baginya. Sudah tentu ia tak kenal jalan pula, terlebih lagi ke mana harus mencari si Yo Ko? Dan karena kurang pergaulan, ia pun tidak kenal tata-krama segala, siapa pun yang dia ketemukan segera dia tanya:

“Kau melihat Yo Ko tidak?”

Bila perutnya lapar, ia ambil saja milik orang lantas dimakan, ia tidak kenal apakah harus membayar atau tidak. Karena itu tidak sedikit keonaran dan lelucon yang terjadi sepanjang perjaIanannya. Baiknya semua orang melihat rupanya demikian cantik molek, siapa saja suka mengalah dan tidak menarik panjang persoalan.

Suatu hari, tanpa sengaja di dalam hoteI ia mendengar percakapan dua lelaki bahwa para kesatria dari seluruh jagat hendak pergi menghadiri Eng-hiong-yan di Liok-keh-ceng. Dia menduga boleh jadi Yo Ko berada di sana juga, maka sesudah menanya arah jalannya ia pun berangkatlah menuju Liok-keh-ceng. Di antara para kesatria yang hadir itu, kecuali Hek Tay-thong, In Ci-peng dan Thio Ci-keng, tiada orang lain lagi yang mengetahui dari mana asal usulnya Siao liong-li, cuma melihat kecantikannya sungguh luar biasa, dalam hati mereka timbul kesan yang aneh.

Sementara itu demi kenali Siao-liong-li, muka In Ci-peng mendadak menjadi pucat bagai mayat, tubuhnya gemetar, sebaliknya Ci-keng melirik-lirik sang Sute sambil tertawa dingin.

Kwe Ceng dan Oey Yong juga rada heran. “Ko-ji, ternyata kau benar-benar berada di sini, sungguh susah payah aku mencari kau,” demikian kata Siao-liong-li.

Saking terharunya, Yo Ko mengalirkan air mata. “Kau... kau tak akan meninggalkan aku lagi bukan?” tanyanya dengan terguguk-guguk.

“Aku tak tahu,” sahut Siao-liong-li sambil menggeleng kepala.

“Kemana kau pergi, ke sana juga aku ikut kau,” kata Yo Ko pasti.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar