Selasa, 31 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 101

PERTEMPURAN DI BENTENG SIANG-YANG

Yo Ko mempercepat Iangkahnya, lambat laun dapat memperpendek jaraknya dengan Hoat-ong. Ketika sudah dekat, sekonyong-konyong Hoat-ong berhenti dan berpaling, lalu berkata sambil menyeringai:

“Baik, kalian ingin maju sekaligus atau lebih suka satu lawan satu?”

Habis berkata ia terus angkat tubuh Be Kong-co dan mengarahkan kepalanya pada sepotong batu padas yang besar dengan gerakan akan membenturkan kepalanya.

Lebih dulu Yo Ko mengitar ke belakang Hoat-ong untuk merintangi jalan kaburnya, lalu menjawab:

“Jika membunuhnya, kami akan mengerubuti kau.”

Hoat-ong terbahak-bahak, lalu melemparkan tubuh Be Kong-co ke tanah, katanya: “Orang dogol begini buat apa kumusuhi?” Segera dia mengeluarkan senjatanya yang khas, roda perak dan roda tembaga. Ia membenturkan kedua roda sehingga menerbitkan suara nyaring, lalu berkata dengan angkuh: “Nah, siapa di antara kalian yang ingin maju lebih dulu?”

“Hi-hi-hi-hi, kalau kalian hendak berlatih, orang dagang seperti diriku ini lebih suka menjadi peninjau dan menonton saja,” kata In Kik-si dengan tertawa.

Diam-diam Hoat-ong merasa lega. Ia pikir jika orang Persia ini tidak membantu sana sini, maka berkuranglah seorang lawan berat baginya. Siau-siang-cu paling licin. Ia sendiri merasa tidak yakin dapat menandingi Kim-lun Hoat-ong, maka ia sengaja membiarkan orang lain maju lebih dulu untuk menghabiskan tenaga musuh, kemudian barulah ia maju menarik keuntungan. Maka ia berkata:

“Saudara Singh, kepandaianmu jauh lebih tinggi, silakan maju lebih dulu!”

Meski watak Nimo Singh amat berangasan tetapi dia bukan orang bodoh. Ia tahu maksud Siau-siang-cu. Tetapi ia pun merasa ilmu silatnya cukup tinggi, andaikan tidak menang, rasanya juga tidak akan kalah. Segera ia pegang sebuah batu padas yang besar, lalu berteriak.

“Baik, biar kucoba kelihayan kedua rodamu itu!” Berbareng batu padas yang diangkatnya dikeprukkan ke dada Kim-lun Hoat-ong.

Perawakan Nimo Singh pendek, sedangkan batu padas yang dipegangnya amat besar, malah tingginya melebihi dia, bobotnya sedikitnya ada tiga-empat ratus kati. Semua orang terkejut melihat dia menggunakan batu begitu sebagai senjata. Kemarin waktu menahan panas di rumah batu, Nimo Singh pingsan tergarang, Kim-lun Hoat-ong pikir Iwekang orang cebol ini tak seberapa kuat, tak terduga tenaganya ternyata sangat besar dan sanggup mengangkat batu raksasa itu untuk menghantam. Dia merasa tidak menguntungkan kalau keras lawan keras, maka cepat dia memutar ke samping, sedangkan roda tembaga di tangan kanan terus memukul ke punggung lawan.

Batu sebesar itu ternyata dapat diputar enteng saja, segera dia menangkis. Roda tembaga dan batu kebentur hingga menerbitkan lelatu api disertai suara nyaring memekak telinga.

Lengan Hoat-ong rada kesemutan, diam-diam ia membatin: “llmu silat setan hitam ini rada aneh, harus kuhadapi dengan hati-hati. Tetapi dia mengangkat batu sebesar itu, masa dia dapat bertahan lama?”

Karena pikiran itu, segera dia putar kedua rodanya dengan cepat sambil mengitari Nimo Singh dengan Ginkang-nya.

Sesudah menolong bangun Be Kong-co, Yo-Ko berdiri berjajar dengan Siao-liong-li sambil mengikuti pertarungan seru itu. Dilihatnya tenaga sakti Nimo Singh betul-betul luar biasa, ilmu silatnya juga aneh, diam-diam mereka rada heran. Sesudah berlangsung sekian Iama, tenaga Nimo Singh sedikit pun tidak berkurang, bahkan mendadak dia menggertak satu kali, batu padas raksasa itu dikeprakkan ke dada Hoat-ong.

Betapa pun lihaynya Kim-lun Hoat-ong tidak berani menahan sambaran batu sebesar itu, cepat ia melompat ke samping. Tak terduga, tiba-tiba Nimo Singh ikut melayang maju, batu itu dapat disusulnya, kedua tangannya mendadak menghantam batu sehingga bergeser arah dan memburu ke jurusan Hoat-ong. Daya sambaran batu itu adalah sisa lemparan pertama ditambah lagi tenaga dorongan yang kedua kalinya, sehingga lebih hebat dari pada sambaran yang pertama tadi.

Bicara tentang ilmu silat sejati sebenarnya Kim-lun Hoat-ong di atas Nimo Singh, namun tenaga raksasa melempar batu yang disebut ‘Sikya-hiat-siang-kang’ (llmu Budha melempar gajah) ini memang luar biasa dan belum pernah dilihatnya. Seketika ia menjadi kelabakan, terpaksa ia melompat berkelit. Selagi menang segera Nimo Singh mendesak lagi lebih lanjut, berkali-kali ia hantam batu itu sehingga daya sambarnya bertambah hebat.

Hoat-ong pikir kalau pertarungan begitu terus, akhirnya dia pasti akan dikalahkan orang keling cebol ini kalau tidak cepat-cepat berdaya lain. Begitulah, sambil bertempur dia pun memikirkan upaya cara berganti serangan untuk memperoleh kemenangan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang riuh disusul dengan panji-panji yang berkibar, serombongan orang berkuda tampak muncul di tempat ketinggian sana.

Nimo Singh dan Kim-lun Hoat-ong sedang bertarung dengan sengit sehingga tak sempat memandang ke sana, tetapi Yo Ko dan lain-lain sudah dapat melihat jelas rombongan itu adalah sepasukan tentara MongoI yang tangkas. Di bawah panji besar yang berkibar berdiri seorang perwira muda berjubah kuning yang membawa busur.

“Hei, berhenti, berhenti!” perwira itu berseru sambil melarikan kudanya ke kalangan pertempuran. Siapa lagi dia kalau bukan pangeran Mongol, Kubilai.

Mendengar suara itu, Nimo Singh melompat maju lagi kemudian menghantam batu padas dengan kedua tangannya. Batu itu langsung melayang ke sana lalu jatuh ke bawah bukit dengan menerbitkan suara gemuruh.

Kubilai melompat turun dari kudanya, sebelah tangan menarik Hoat-ong dan tangan lain menggandeng Nimo Singh, katanya dengan tertawa:

“Kiranya kalian sedang berlatih di sini, sungguh banyak menambah pengalamanku akan kelihaian kalian.”

Sudah tentu ia tahu kedua orang itu sedang bertempur mati-matian, tapi demi kehormatan kedua pihak, ia sengaja melerai.



“llmu silat saudara Singh sungguh hebat, bagus, bagus!” ujar Hoat-ong sambil tersenyum.

Dengan mendelik Nimo Singh menjawab: “Tadinya kukira Koksu nomor satu pastilah luar biasa, kiranya cuma begini saja. Hmm!”

Hoat-ong menjadi gusar dan segera akan menanggapi, namun Kubilai telah menyela: ”Wah, pemandangan di sini sungguh indah, harus diramaikan dengan minum arak. Hayo, lekas bawakan araknya, biar kita minum tiga cawan bersama!”

Bangsa MongoI sudah biasa berkenalan di padang Iuas, makan minum di mana pun tidak menjadi soal, Segera ada pengawal menghaturkan arak dan dendeng. Kubilai memandang sekejap ke arah Siao-liong-li, diam-diam ia terkesiap akan kecantikan si nona. Melihat Yo Ko berdiri sejajar dengan si nona dengan bergandengan tangan dan tampaknya sangat mesra, segera ia tanya Yo Ko:

“Siapakah nona ini?”

“Nona Liong, guruku dan bakal isteriku,” jawab Yo Ko.

Sejak pergulatan dengan maut di goa bawah tanah dan akhirnya selamat, maka watak Yo Ko menjadi semakin nyentrik, segala tata adat tidak terpikir olehnya, dia justru ingin mengumumkan kepada dunia bahwa inilah Yo Ko yang memperisterikan bekas gurunya. Kalau bangsa Han memang sangat kolot dalam adat kekeluargaan, maka bangsa Mongol tidak begitu mementingkan tata adat, Kubilai tidak merasa heran pada ucapan Yo Ko, rasa hormat dalam hatinya malah bertambah demi mendengar nona cantik itu pernah mengajarkan ilmu silat kepada Yo Ko. Dengan tertawa dia berkata:

“Yang laki-laki gagah dan yang perempuan caritik, sungguh pasangan yang sangat setimpal. Bagus, bagus! Marilah kita habiskan semangkuk arak ini sebagai ucapan selamat!” Habis berkata ia angkat mangkuk arak lalu ditenggak hingga habis.

Kim-Iun Hoat-ong tersenyum, ia pun habiskan mangkuknya. Dengan sendirinya yang lain-lain ikut minum, malahan sekaligus Be Kong-co menghabiskan tiga mangkuk.

Sesungguhnya Siao-liong-li tidak suka pada orang Mongol, sekarang didengarnya pujian Kubilai bahwa perjodohannya dengan Yo Ko setimpal, betapa pun ia menjadi girang dan ikut minum semangkuk arak sehingga makin menambah moleknya. Pikirnya: “Orang Han semuanya menganggap aku tidak boleh menikah dengan Ko-ji, tapi pangeran Mongol ini menyatakan bagus, tampaknya pandangan orang Mongol jauh lebih luas dari pada orang Han.” Karena itu diam-diam timbul hasratnya untuk membantu orang Mongol.

Dengan tertawa kemudian Kubilai berkata. “Kalian tidak pulang selama tiga hari, aku kuatir terjadi sesuatu. Soalnya situasi di Siang-yang cukup genting sehingga aku tak bisa selalu mendampingi kalian, tetapi sudah kutinggalkan pesan di markas agar kalian segera menuju garis depan di Siang-yang. Kebetulan sekarang kita bertemu di sini, sungguh hatiku sangat lega.”

“Apakah gempuran pasukan kita atas Siang-yang cukup Iancar?” tanya Hoat-ong.

“Sebetulnya panglima yang menjaga Siang-yang, yaitu Lu Bun-hoan adalah seorang yang bodoh, yang aku kuatirkan hanyalah Kwe Ceng,” tutur Kubilai.

Hati Yo Ko terkesiap, cepat ia bertanya: “Jadi Kwe Ceng memang berada di Siang-yang? Kwe Ceng ini adalah pembunuh ayahku, kalau boleh, maka aku mohon diberi tugas untuk membunuhnya.”

“Itulah maksud tujuan undanganku kepada para ksatria,” kata Kubilai dengan girang. “Cuma kabarnya ilmu silat Kwe Ceng tergolong nomor satu di seluruh Tiong-goan, banyak pula orang-orang kosen yang membantunya, beberapa kali pahlawan yang kusuruh membunuhnya mengalami kegagalan, ada yang tertangkap dan ada pula yang terbunuh. Tentu saja aku percaya pada ketangkasan saudara Yo, tapi seorang diri terasa kurang kuat, maka maksudku kalau bisa para ksatria di sini sekaligus menyusup di Siang-yang, dengan begitu kalian bisa turun tangan bersama. Asal orang she Kwe itu terbunuh, dengan mudah Siang-yang akan dapat kita duduki.”

Serentak Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan yang lain-lain berdiri, kata mereka sambil menyilang tangan di depan dada.

“Kami siap mengikuti semua perintah Ongya dan bertempur sekuat tenaga.”

“Bagus, bagus!” seru Kubilai dengan girang, “Tak peduli siapa yang akan membunuh Kwe Ceng, yang pasti setiap orang yang ikut pergi juga berjasa, tetapi hanya orang yang membunuhnya itulah akan kuusulkan kepada Sri Baginda agar diberi gelar dan diangkat menjadi jago nomor satu dari kerajaan Mongol Raya.”

Gelar bangsawan sih tidak begitu menarik bagi Siau-siang-cu, Nimo Singh dan lain-lain, tetapi sebutan ‘jago nomor satu kerajaan Mongol’ adalah cita-cita yang mereka harapkan, sebab dengan begitu namanya akan tersohor ke seluruh jagat.

Maklumlah, waktu itu kerajaan Mongol lagi jaya-jayanya, wilayah kekuasaannya sangat luas dan belum ada bandingannya dalam sejarah, kecuali benua barat, waktu itu dua pertiga wilayah Tiongkok telah diduduki. Sebagai gambaran luasnya wilayah pendudukan kerajaan Mongol waktu itu dapat dilukiskan: perjalanan dari pusat pemerintah kerajaan ke empat penjuru wilayah pendudukannya diperlukan tempo satu tahun sekali pun dilakukan dengan kuda yang paling cepat.

Karena itulah dapat dibayangkan betapa membanggakan gelar ‘jago nomor satu’ bagi setiap manusia. Semua orang tertarik dan bersemangat setelah mendengar janji Kubilai. Hanya Siao-liong-li saja yang memandang Yo Ko dengan rasa cinta yang tak terhingga. Ia pikir sebutan gelar bangsawan dan jago nomor satu segala, yang kuharapkan hanya semoga engkau dapat hidup terus.

DemikianIah semua orang menenggak beberapa mangkuk arak lagi, lalu berangkat. Para Busu Mongol membawakan kuda, lalu Yo Ko, Siao-liong-li serta Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain naik ke atas kuda, mereka ikut di belakang Kubilai dan dilarikan cepat ke arah Siang-yang.

Di sepanjang jalan rumah penduduk hampir seluruhnya kosong melompong dan hangus terbakar, mayat bergelimpangan memenuhi jalan. Setiap berjumpa orang Han, tanpa kenal ampun prajurit Mongol melakukan pembunuhan.

Tidak kepalang gusar Yo Ko menyaksikan pemandangan itu. Ia ingin mencegah perbuatan kejam itu, tetapi segan terhadap Kubilai. Diam-diam ia hanya membatin: “Kawanan prajurit Mongol ini benar-benar kejam dan menganggap bangsa Han kami lebih rendah dari pada binatang. Nanti sesudah Kwe Ceng dan Oey Yong kubunuh, aku pasti akan membunuh beberapa perwira Mongol yang paling kejam untuk melampiaskan rasa dendamku.”

Kuda tunggangan mereka adalah kuda peranakan Mongol pilihan, beberapa hari kemudian sampailah mereka di luar kota Siang-yang. Sementara pertempuran pasukan kedua pihak sudah berlangsung sebulan lebih, di medan perang penuh senjata rusak dan berceceran darah membeku, maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran.

Ketika pasukan Mongol diberi-tahu oleh kurir bahwa pangeran Kubilai telah datang sendiri di garis depan, para panglima perang menyambutnya. Kubilai menyatakan rasa penyesalannya karena kota Siang-yang sudah sekian lama belum berhasil diduduki. Para panglima itu sama berlutut dan minta ampun. Kubilai terus keprak kudanya dan dilarikan ke depan dengan cepat, sementara para panglima tetap berlutut dan tidak berani bangun, semuanya merasa kebat-kebit.

Diam-diam Yo Ko sangat mengagumi wibawa Kubilai yang luar biasa. Biasanya Kubilai sangat ramah tamah terhadap dirinya serta Kim-Iun Hoat-ong dan lain-lain, namun ketika menghadapi para panglimanya ternyata berubah menjadi sangat kereng dan disegani.

Sementara itu hari sudah terang, pasukan mendapat aba-aba menyerang, seketika terjadilah hujan panah dan batu yang berhamburan ke benteng kota, menyusul tembok benteng banyak ditempeli tangga panjang, beramai-ramai prajurit Mongol berusaha manjat.
Akan tetapi penjagaan benteng juga kuat, beberapa prajurit Han memegangi kayu besar dan banyak tangga melangit itu didorong terpental dari tembok benteng. Akhirnya ada beberapa ratus prajurit yang berhasil menyerbu ke atas benteng, sorak-sorai pasukan Mongol segera menggelegar setiap kali Pek-hu-tiang (komandan seratus orang, setingkat kapten) Mongol memimpin pasukannya merayap ke atas sebagai bala bantuan.

Mendadak terdengar suara genderang dipukul keras, sepasukan pemanah kerajaan Song muncul di balik tembok sana dan dapat menahan majunya pasukan Mongol, menyusul sepasukan lain dengan obor beramai-ramai membakar tangga panjang sehingga prajurit Mongol yang sedang merayap ke atas jatuh terjungkal. Suasana menjadi gaduh sekali.

Di tengah pertempuran dahsyat itu, di atas benteng muncul sepasukan lelaki gagah perkasa bersenjata golok, tombak dan pedang. Pasukan Mongol yang berhasil menyerbu ke aras benteng serentak disergapnya. Pasukan laki-laki itu tidak mengenakan seragam pasukan Song. Ada yang berbaju hitam ringkas, ada yang berjubah panjang dengan warna yang berbeda, waktu bertempur juga tidak menuruti peraturan pasukan, namun semuanya sangat tangkas, jelas tiap-tiap orang itu memiliki ilmu silat yang terlatih.

Prajurit Mongol yang menyerbu ke atas benteng adalah para prajurit pilihan yang telah berpengalaman dan gagah berani, namun sama sekali bukan tandingan pasukan laki-laki itu, hanya beberapa gebrakan saja satu persatu mereka dapat dikalahkan dan terbunuh, ada yang menggeletak di atas benteng, ada yang terlempar ke bawah benteng.

Di antara pasukan laki-laki itu ada seorang setengah umur berjubah abu-abu yang tampak paling tangkas. Tanpa bersenjata, tapi hanya terlihat berlari kian kemari tanpa tandingan, di situ pula musuh tercerai berai laksana harimau menyerbu ke tengah kawanan domba.

Kubilai mengawasi sendiri pertempuran itu. Melihat betapa gagahnya lelaki setengah tua itu, dia menjadi kesima. Katanya dengan gegetun:

“Apakah di antara jago-jago di dunia ini ada yang lebih hebat dari pada orang ini?”

Yo Ko berdiri di samping Kubilai, ia lantas berkata: “Apakah Ongya tahu siapakah dia?”

“Apa mungkin dia ini Kwe Ceng?” jawab Kubilai terkejut.

“Betul, memang dia,” kata Yo Ko.

Sementara itu beberapa ratus prajurit Mongol yang menyerbu ke atas benteng sudah terbunuh dan tersisa beberapa orang saja. Hanya tinggal tiga orang Pik-hu-tiang dengan bertombak dan membawa perisai masih bertempur dengan mati-matian.

Ban-hu-tiang (komandan selaksa orang, setingkat kolonel) yang memimpin pertempuran di bawah benteng kuatir didamperat Kubilai, cepat ia memerintah agar meniupkan tanduk dan memberi aba-aba penyerbuan lagi. Serentak pasukan Mongol menyerang dengan gagah berani untuk menyelamatkan ketiga Pek-hu-tiang.

Mendadak Kwe Ceng bersiul nyaring dan melangkah maju. Ketika salah seorang Pek-hu-tiang menusuknya dengan tombak, secara tepat gagang tombak itu kena dipegang terus didorong ke depan, menyusul sebelah kakinya melayang dan tepat menendang pada perisai Pek-hu-tiang kedua.

Meski kedua Pek-hu-tiang itu sangat gagah, tapi sukar menahan tenaga sakti Kwe Ceng. Seketika keduanya mencelat terjungkal ke bawah benteng lantas binasa dengan kepala pecah dan tubuh remuk. Pek-hu-tiang ketiga berusia lebih tua, rambutnya sudah ubanan. Dia pun insaf dirinya tak akan luput dari kematian, tapi sekuatnya ia putar goloknya dan menyerang dengan kalap.

Se-konyong-konyong Kwe Ceng menubruk maju, dengan tepat tangan lawan yang memegang golok kena dicengkeramnya, selagi dia hendak menyusul dengan satu kali hantaman untuk membinasakan Pek-hu-tiang itu, tiba-tiba dia melengak.

Pek-hu-tiang itu pun dapat mengenali Kwe Ceng. Cepat dia berseru: “He, engkau, Kim-to Hunji (menantu raja bergolok emas)!”

Kiranya Pek-hu-tiang ini adalah bekas anak buah Kwe Ceng ketika dahulu ikut Jengis Khan menyerbu ke wilayah barat. Meski waktu sudah lewat kurang lebih dua puluh tahun namun Kwe Ceng masih ingat muka orang, maka seketika dia tertegun. Ketika itulah berdesing sebatang anak panah meluncur deras ke arah punggungnya.

Dalam keadaan biasa jangankan desir anak panah, bahkan suara yang jauh lebih lembut saja pasti dapat segera diketahui. Namun pada saat itu Kwe Ceng sedang berdiri membelakangi, dalam keadaan terkesima melihat bekas anak buahnya, lagi pula suasana pertempuran sangat hiruk pikuk, maka kedatangan anak panah itu tidak disadarinya.

“Awass...!”

Mendadak Pek-hu-tiang berseru sambil mendorong tubuhnya ke samping, Kwe Ceng sadar dari tertegunnya, tetapi terlambat. Bekas anak buah itu roboh dengan anak panah menembus dadanya. Sekali pandang Kwe Ceng tahu orang itu sudah binasa, anak panah tadi tepat menembus jantungnya. Segera dia membalikkan badan, dilihatnya seorang perwira Mongol duduk di atas kudanya dengan busur di tangan. Seketika Kwe Ceng paham bahwa perwira itu tadi bermaksud memanahnya, namun Pek-hu-tiang tua menyelamatkan jiwanya.

Biasanya Kwe Ceng sangat sabar dan tidak suka sembarangan membunuh. Tapi Pek-hu-tiang ini, meski dia seorang Mongol yang menjadi pihak lawan, tetapi betapa pun juga dia telah menyelamatkan dirinya dengan mengorbankan jiwa sendiri, sungguh kematiannya membuat amarah memuncak.

Dengan Ginkang-nya yang maha tinggi, sekali lompat Kwe Ceng turun dari tembok benteng lalu memburu ke arah perwira pemanah tadi. Beberapa prajurit Mongol berusaha mengeroyoknya, tapi apalah artinya mereka, hanya dengan menggerakkan tangan ke kanan ke kiri tubuh mereka berpelantingan.

Tanpa menghentikan langkahnya Kwe Ceng terus menyerbu ke arah perwira berkuda itu dan dengan beberapa lompatan dia telah berada di dekatnya. Dalam jarak sedekat ini tidak mungkin perwira itu mempergunakan panah, maka cepat dia mencabut pedangnya. Akan tetapi baru saja dia memegang gagang pedang, sekonyong-konyong pukulan tangan kanan Kwe Ceng menghantam dadanya. Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi perwira pemanah ini roboh dari kudanya dengan dada remuk dan jantung pecah.

Melihat Kwe Ceng turun dan sekarang berada cukup jauh dari tembok tebal itu, segera Kubilai berseru:

“Kepung orang itu! Tangkap atau bunuh!”

Seluruh prajurit di sekitar Kwe Ceng segera mengepung, bahkan yang berada agak jauh cepat berlari mendatangi, dalam waktu sebentar saja dia telah terkepung oleh puluhan prajurit Mongol.

Kwe Ceng menyambar sebatang tombak, lalu berusaha membobol kepungan. Ia pikir: “Se-tinggi-tingginya kemampuanku, jika terus menghadapi kepungan begini banyak lawan, suatu waktu tenagaku akan habis, dan sukarlah menyelamatkan jiwaku.”

Pada saat itu dilihatnya dari jauh dua perwira memacu kudanya secepat terbang mengarah padanya, di tangan mereka tergenggam busur berisi anak panah. Sementara ia melihat pula kuda perwira yang tadi sudah dipukulnya mati masih berada di dekatnya. Tanpa pikir segera Kwe Ceng melompat ke arah kuda, sekali kakinya bergerak tubuhnya melayang lalu hinggap dengan tepat pada punggung kuda yang cepat dibalapkan ke arah tembok benteng, sementara dua perwira yang memegang busur terus memburu dan semakin lama semakin mendekat.

Kini tembok benteng berada di depan mata Kwe Ceng, dari atas kuda dia sambitkan tombak rampasan tadi ke arah seorang prajurit Mongol yang tertinggal di atas benteng, betapa kuat tenaga lontaran itu bisa dilihat dari suara mendesing yang terdengar pula oleh para prajurit yang berdiri di sekitar situ, sementara dua perwira pemanah sudah semakin dekat. Segera Kwe Ceng turun dari kuda dan berlari mendekati benteng. Mereka menarik busur dan membidikan dua panah ke arah Kwe Ceng.

Kepandaian memanah kedua orang itu memang lihay, baru saja terdengar suara teriakan prajurit di atas benteng, tahu-tahu dua panah telah menyambar sampai di depan dada Kwe Ceng, tampaknya sukar bagi Kwe Ceng untuk mengelak. Tanpa terduga mendadak kedua tangan Kwe Ceng meraih, satu tangan satu panah telah kena dipegangnya menyusul kedua panah itu berbaIik disambit ke musuh.

Belum lagi dua jago pengawal Mongol tadi melihat jelas apakah Kwe Ceng mati atau tidak, mendadak kedua panah sudah menyambar tiba dan menembus dada mereka, kontan mereka binasa. Serentak terdengarlah suara gemuruh sorak sorai pasukan Song di atas benteng disertai bunyi genderang yang bertalu-talu sebagai tanda kemenangan.

Kubilai menjadi kesal, lalu memimpin pasukannya mundur ke tempat yang diperintahkan tadi. Di tengah jalan tiba-tiba Yo Ko berkata:

“Ongya tidak perlu masgul, biarlah sebentar Cayhe masuk ke kota sana untuk membunuh Kwe Ceng.”

“Tetapi Kwe Ceng itu serba lihay, namanya memang bukan omong kosong belaka, kurasa rencanamu hendak membunuh rada sukar,” ujar Kubilai sambil menggeleng.

“Aku pernah tinggal di rumahnya selama beberapa tahun, juga pernah menolong anggota keluarganya, dia pasti tidak curiga apa pun padaku,” kata Yo Ko.

“Tadi kau berdiri di sampingku, mungkin sudah dilihat olehnya,” kata Kubilai pula.

“Sebelumnya sudah kupikirkan hal ini, maka tadi aku dan nona Liong memakai topi lebar untuk menutupi muka dan pakai mantel bulu puIa. Dia pasti pangling padaku,” ujar Yo Ko.

“Baiklah, jika begitu kuharap kau berhasil, mengenai janji anugerah pasti kupenuhi,” kata Kubilai.

Yo Ko mengucapkan terima kasih. Baru saja ia hendak berangkat bersama Siao-liong-li, sekilas dilihatnya Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain-lain menunjukkan rasa kurang senang. Segera terpikir oleh Yo Ko bahwa orang-orang itu tentu kuatir kalau gelar ‘jago nomor satu’ akan direbutnya karena berhasil membunuh Kwe Ceng, untuk itu orang-orang itu pasti akan menjegalnya agar usahanya gagal. Maka Yo Ko lantas berkata pula kepada Kubilai:

“Ada sesuatu yang ingin kutegaskan kepada Yang Mulia.”

“Urusan apa, katakan saja,” jawab Kubilai.

“Maksudku membunuh Kwe Ceng hanya demi membalas sakit hati pribadiku,” tutur Yo Ko. “Selain itu kepalanya juga kuperlukan untuk menukar obat penolong jiwa Kokoh-ku, Maka biar pun usahaku berhasil berkat doa restu Ongya, namun gelar jago nomor satu itu sama sekali tak berani kuterima.”

“Apa sebabnya?“ tanya Kubilai heran.

“Betapa pun juga kepandaianku belum dapat dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang hadir di sini, mana aku berani mengaku sebagai jago nomor satu?” kata Yo Ko. “Karena itulah Ongya harus terima dulu permohonanku ini barulah aku berani melaksanakan tugas.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar