Minggu, 29 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 100

Cepat-cepat Lik-oh menyela: “Ibu, sudah lama Yo-toako dan nona Liong ini saling terikat oleh janji pernikahan, persoalan mereka biarlah nanti kuceritakan kepadamu.”

Tapi Kiu Jian-jio lantas mendamperatnya: “Cis, memangnya kau anggap ibumu ini siapa? Apa yang sudah kukatakan masa boleh diubah lagi? Nah, orang she Yo, mau tak mau kau harus tinggal di sini, jangankan anak perempuanku cukup cantik dan cocok bagimu, sekali pun dia bermuka jelek juga hari ini kau mesti memperisteri dia.”

Mendengar ucapan si nenek botak yang sangat semena-mena itu, Be Kong-co terbahak-bahak dan berseru:

“Ha-ha-ha, suami-isteri yang tinggal di sini betul-betul satu pasangan manusia ajaib, yang laki-laki memaksa perawan orang untuk menjadi isterinya, dan yang perempuan juga memaksa pemuda untuk mengawini puterinya. Ha-ha-ha, sungguh lucu! Eh, kalau orang menolak boleh tidak?”

“Tidak boleh!” jengek Kiu Jian-jio mendadak.

Dan selagi Be Kong-co bergelak tertawa dengan mulut terbuka, sekonyong-konyong terdengar suara mendesisnya sebuah benda kecil, satu biji kurma menyambar ke dahinya secepat kilat dan tampaknya sukar dihindarkan. Saking kagetnya cepat Be Kong-co berjongkok.

“Plokk!”

Dua buah gigi depannya rompal seketika akibat terkena biji kurma itu. Keruan Be Kong-co menjadi murka, ia mengerang dan menubruk maju.

“Awas, Be-heng!” cepat In Kik-si memperingatkan. Namun sudah terlambat!

“Plak! Plok!”

Tahu-tahu dua tempat Hiat-to pada kedua kaki Be Kong-co tepat terbidik oleh biji kurma yang disemprotkan Kiu Jian-jio, kontan kakinya lemas hingga jatuh tersungkur tak dapat bangun lagi. Menyambarnya biji-biji kurma itu sungguh cepat luar biasa.

Waktu Be Kong-co bergelak tertawa tadi Yo Ko sudah memperkirakan bahwa Kiu Jian-jio pasti akan menghajar si dogol. Segera ia melolos pedang hendak menolongnya, tapi tetap terlambat sedikit. Cepat dia membuka Hiat-to kaki Be Kong-co yang terbidik biji kurma itu lalu membangunkannya.

Orang dogol biasanya berhati jujur, begitu pula dengan Be Kong-co, dia berani mengaku kalah, apa lagi melihat Kiu Jian-jio tanpa bergerak, hanya pentang mulut saja dapat merobohkannya, hatinya menjadi sangat kagum, sambil mengacungkan ibu jari ia memuji:

“Kau sungguh hebat, nenek botak, kepandaianmu memang jauh lebih tinggi dari padaku. Aku mengaku kalah dan tak berani lagi padamu.”

Kiu Jian-jio tidak menggubrisnya, dia mendelik pada Yo Ko dan bertanya: “Jadi kau tetap tidak mau menikahi puteriku?”

Merasa dibikin malu di depan orang banyak, Kongsun Lik-oh tidak tahan lagi, segera dia melolos belati dan mengancam dada sendiri sambil berteriak:

“Ibu, jika engkau tanya dia lagi, segera anak membunuh diri di hadapanmu!”

Mendadak Kiu Jian-jio pentang mulutnya. “Berrr...!”

Satu biji kurma menyambar ke sana dan tepat menghantam belati yang dipegang Lik-oh, begitu hebat tenaganya sehingga belati itu mencelat lalu menancap pada tiang batu. Semua orang berseru kaget dan kagum betapa lihaynya senjata rahasia si nenek.

Yo Ko pikir tiada gunanya tinggal lebih lama di situ, segera dia gandeng Siao-liong-li dan diajaknya berangkat. Dengan hati pedih cepat Lik-oh mendekati Yo Ko dan menyodorkan baju robek yang dipinjamnya dari Yo Ko tempo hari, katanya dengan sedih:

“Yo-toako, ini bajumu!”

“Oh, terima kasih,” jawab Yo Ko dan menerima kembali baju itu. Ia dan Siao-liong-li cukup memahami maksud Lik-oh, yaitu sengaja mengaling di depan Yo Ko agar Kiu Jian-jio tidak dapat menyerangnya dengan biji kurma.

Sambil tersenyum simpul Siao-liong-li menyatakan terima kasihnya dengan mengangguk perlahan. Lik-oh memberi isyarat dengan mulutnya agar kedua orang itu lekas pergi.

Akan tetapi tiba-tiba Kiu Jian-jio berteriak: “Yo Ko, kau tidak mau menikahi puteriku, apakah jiwamu pun kau tidak mau lagi?”

Sambil tersenyum pedih Yo Ko melangkah mundur keluar pintu. Tiba-tiba Siao-liong-li merandek, hatinya terkesiap, katanya:

“Nanti dulu!” Lalu ia bertanya dengan suara lantang: “Kiu-iocianpwe, apakah engkau memiliki obat penawar racun bunga cinta?”

Sebenarnya hal ini telah terpikir oleh Lik-oh. Ia menduga ibunya pasti akan menggunakan obat penawar sebagai alat pemeras kepada Yo Ko agar anak muda itu mau menikahinya, sebab itulah sejak tadi dia tidak berani memohon obat itu bagi Yo Ko. Betapa pun dia adalah gadis suci bersih, dengan sendirinya tidak pantas membela Yo Ko di depan umum.

Tetapi sekarang urusan sudah gawat, ia tidak dapat memikirkan hal-hal itu lagi, segera ia berkata kepada sang ibu:

“Kalau saja Yo-toako tidak memberi bantuan, tentu saat ini ibu masih terkurung di goa bawah tanah, utang budi ini harus dibalas dengan budi pula, haraplah ibu suka berusaha menyembuhkan racun yang diidap oleh Yo-toako,”

“Hm, utang budi balas budi, utang jiwa balas jiwa? Masa di dunia dapat membedakan budi dan dendam sejelas itu?” jengek Kiu Jian-jio, “Coba kau katakan, apakah Kongsun Ci memperlakukan diriku secara begitu keji juga termasuk balas budinya padaku?”

Mendadak Lik-oh berteriak: “Anak paling benci terhadap laki-laki yang tak beriman. Kalau orang she Yo ini juga sengaja meninggalkan kekasih lama dan ingin menikahi anak, biar pun mati juga anak tidak sudi menjadi isterinya.”

Sebenarnya ucapan Lik-oh ini sangat cocok dengan jalan pikiran Kiu Jian-jio, tapi segera ia pun tahu maksud tujuan Lik-oh. Nona ini teramat cinta kepada Yo Ko, kalau anak muda itu mau menikahinya tentu saja ia bersedia pula. Cuma terpaksa oleh keadaan sekarang, yang diharapkan adalah menolong dulu jiwa Yo Ko.

Kim-Iun Hoat-ong, In Kik-si dan lain-Iain saling pandang dengan tersenyum menyaksikan adegan ‘kawin paksa’ yang amat menarik ini. Sampai sekarang barulah Kim-lun Hoat-ong tahu bahwa Yo Ko mengidap racun. Diam-diam dia girang dan berharap anak muda itu tetap kepala batu, dengan demikian orang yang berwatak seperti Kiu Jian-jio itu pasti tak akan mau memberi obat penawarnya apa bila tiada mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kehendaknya.

Begitulah sorot mata Kiu Jian-jio mengusap perlahan muka setiap orang secara bergilir, kemudian dia berkata:



“Yo Ko, kulihat orang-orang yang hadir ini ada yang menginginkan kematianmu, tetapi ada juga yang berharap kau hidup terus, Nah, kau sendiri ingin mati atau ingin hidup, hendaklah kau memikirkan dengan baik!”

Sambil merangkul pinggang Siao-liong-li dengan lantang Yo Ko menjawab: “Bila dia tidak menjadi milikku dan aku tidak dapat memiliki dia, kami berdua lebih suka mati bersama.”

“Benar!” tukas Siao-liong-li dengan tertawa manis. Keduanya sudah ada perpaduan batin, cinta mereka telah sedemikian mendalam, mati hidup bagi mereka sudah bukan soal lagi.

Tapi Kiu Jian-jio sukar memahami isi hati Siao-liong-li. Dia membentak: “Jika bocah itu tidak kutoIong, maka jiwanya akan melayang, kau tahu tidak hal ini? Dia hanya dapat hidup 36 hari lagi, kau mengerti tidak?”

“Kalau kau sudi menolongnya dan kami dapat berkumpul lebih lama beberapa tahun lagi, kami amat berterima kasih,” kata Siao-liong-li. “Jika kau tidak mau menolongnya maka biarlah kami berkumpul lagi selama 36 hari juga boleh. Toh kalau dia mati aku sendiri pun tidak bakal hidup terus.”

Waktu bicara tadi wajahnya yang cantik molek itu sama sekali tidak mengunjuk sesuatu perasaan kuatir dan sedih, soal mati dan hidup dianggapnya sepele saja. Tentu Kiu Jian-jio merasa bingung, sebentar ia pandang Yo Ko, lain saat ia pandang Siao-liong-li, dilihatnya kedua muda-mudi itu saling menatap dengan penuh kasih sayang, rasa cinta murni begini selamanya belum pernah terasakan oleh Kiu Jian-jio sendiri, malah juga tidak pernah terpikir olehnya ternyata di dunia ini ada lelaki dan perempuan yang begitu mendalam cintanya.

Tanpa terasa dia ingat nasibnya sendiri yang bersuamikan Kongsun Ci, akhirnya ternyata begini jadinya. Mendadak ia menghela napas panjang dan air matanya bercucuran.

Segera Lik-oh menubruk maju dan merangkul sang ibu, katanya dengan menangis: “Oh, ibu, obatilah dia. Nanti kita pergi mencari Jiku saja, beliau sangat rindu padamu bukan?”

Karena air matanya, terangsang pula perasaan halusnya sebagai wanita. Segera Kiu Jian-jio teringat kepada kedua kakaknya, kakak pertama menurut surat kakak kedua yang dibacakan oleh Kongsun Ci katanya sudah tewas di tangan Kwe Ceng dan Oey Yong, sedangkan dirinya sendiri lumpuh dan kakak kedua sekarang sudah menjadi Hwesio, itu berarti sakit hati kematian kakak pertama itu sukar dibalas lagi.

Tiba-tiba teringat oleh Kiu Jian-jio bahwa ilmu silat bocah she Yo ini tidak lemah, kalau dia bersikeras tidak mau menikahi Lik-oh, boleh juga kusuruh dia membalaskan sakit hatiku kepada Kwe Ceng dan Oey Yong sebagai imbalannya! Sesudah mengambil keputusan demikian, perlahan dia lantas mengeluarkan satu-satunya Coat-ceng-tan yang masih ada. Dia potong pil persegi sebesar gundu itu menjadi dua dengan kukunya, dia ambil setengah potong obat itu dan ditaruh pada telapak tangannya lalu berkata:

“Nah, Yo Ko, obat akan kuberikan padamu, kau tak sudi menjadi menantuku juga tak apalah, tapi kau harus berjanji untuk melakukan suatu urusan bagiku.”

Yo Ko saling pandang sekejap dengan Siao-liong-li, sama sekali tak terduga bahwa nenek botak itu bisa berhati baik kepada mereka. Biar pun kedua orang tidak memikirkan soal mati dan hidup lagi, tapi kalau ada jalan untuk tetap hidup, sudah tentu hal ini sangat menggembirakan. Segera dia bertanya:

“Urusan apa yang perlu kulakukan bagi Kiu-locianpwe? Jika mampu tentu akan kami kerjakan sepenuh tenaga.”

“Aku ingin kau menanggalkan kepala dua orang lalu diserahkan padaku di sini,” jawab Kiu Jian-jio.

Mendengar itu, seketika Yo Ko dan Siao-liong-li berpikir bahwa salah satu di antara kedua orang yang ingin dibunuhnya itu pasti Kongsun Ci adanya. Sudah tentu Yo Ko tidak mempunyai kesan baik terhadap Kongsun Ci. Setelah matanya buta sebelah dan punah ilmu kebal Tiam-hiatnya, dalam waktu singkat saja keadaan Kongsun Ci tentu amat payah, untuk mencari dan membunuhnya rasanya tidak sukar. Tapi mengingat dia adalah ayah Lik-oh, sedangkan nona itu sangat kesengsem pada dirinya, rasanya menjadi tidak enak kalau ayahnya harus dibunuh.

Dalam hati Siao-liong-li juga merasa utang budi kepada Kongsun Ci. Meski pun orang itu memang jahat dan pantas dibinasakan, tapi melihat sikap Kiu Jian-jio yang ketus itu, kalau permintaannya tidak dilaksanakan betapa pun obat yang dimilikinya pasti tidak akan diberikan kepada Yo Ko, tampaknya urusan ini harus disanggupi lebih dulu.

Melihat kedua orang itu mengunjuk rasa ragu, Kiu Jian-jio lantas menjengek: “Aku pun tidak tahu antara kalian dengan dua orang itu apakah ada hubungan baik atau tidak, tetapi yang pasti aku harus membunuh kedua orang itu.” Sembari bicara tangannya memainkan setengah potong pil Coat-ceng-tan dengan dilempar-lemparkan ke atas secara acuh tak acuh.

Yo Ko merasa nada ucapan Kiu Jian-jio itu seperti Kongsun Ci yang dimaksud. Segera ia pun bertanya:

“Siapakah musuh-musuh Kiu-locianpwe?”

“Masa kau tidak mendengar isi surat yang dibaca tadi?” jawab Kiu Jian-jio. “Dua orang yang membunuh Toako-ku kan bernama Kwe Ceng dan Oey Yong.”

“Aha, bagus sekali, sungguh kebetulan!” seru Yo Ko kegirangan. “Kedua orang itu adalah pembunuh ayahku, seumpama tak ada permintaanmu juga Wanpwe akan menuntut balas kepada kedua orang itu.”

Hati Kiu Jian-jio terkesiap. “Apa betul katamu?” ia menegas.

“Taysu ini juga pernah bersengketa dengan kedua orang itu, malah urusanku juga pernah aku ceritakan padanya,” kata Yo Ko sambil menuding Kim-lun Hoat-ong.

Kiu Jian-jio memandang ke arah Hoat-ong sebagai tanda bertanya.

“Ya, memang benar, ” jawab Hoat-ong sambil mengangguk, “Tapi saudara Yo ini waktu itu jelas membantu Kwe Ceng dan Oey Yong serta memusuhiku.”

Siao-liong-li dan Kongsun Lik-oh menjadi gemas karena Hwesio ini senantiasa berusaha mengadu domba, berbareng mereka melototinya. Namun Kim-lun Hoat-ong anggap tidak tahu saja, dengan tersenyum dia bertanya pada Yo Ko:

“Saudara Yo, coba katakan, betul tidak ucapanku tadi?”

“Benar,” jawab Yo Ko dengan tertawa, “Sesudah kubalas sakit hati ayah-bundaku, kelak aku masih harus minta petunjuk beberapa jurus lagi kepada Taysu.”

“Baik, baik!” ujar Hoat-ong sambil merangkap kedua tangannya depan dada.

Kalau kedua orang itu sedang adu mulut, Kiu Jian-jio sedang merenungkan persoalannya sendiri, tiba-tiba dia menyodorkan obat yang dipegangnya dan berkata kepada Yo Ko:

“Aku tidak urus apakah ucapanmu benar atau tidak, bolehlah kau makan obat ini.”

Yo Ko mendekatinya dan menerima obat itu. Ia menerima obat itu cuma setengah potong saja, diam-diam ia pun paham maksud si nenek, katanya dengan tertawa:

“Jadi setengah potong obat lagi harus kutukar dengan kepala kedua orang itu?”

“Benar, kau memang pintar,” jawab Kiu Jian-jio mengangguk.

Yo Ko pikir minum saja setengah potong obat ini dari pada sama sekali tidak ada. Maka ia terus memasukkan obat itu ke mulut dan ditelannya ke dalam perut.

“Di dunia ini Coat-ceng-tan ini cuma sisa satu biji saja, sekarang setengahnya sudah kau minum, masih ada separoh lagi yang akan kusimpan pada suatu tempat. 18 hari lagi akan kuberikan obat itu apa bila kau membawa kepala kedua orang yang kuminta,” kata Kiu Jian-jio kemudian. “Kalau kau tidak melaksanakan perintahku, biar pun nanti kau dapat menawan aku serta menyiksaku dengan cara apa pun juga, maka jangan harap akan mendapat separoh pil itu. Nah, cukup sampai di sini saja, selamanya aku bicara dengan tegas. Para tamu silakan pulang. Yo-toaya dan nona Liong, kita berjumpa 18 hari lagi.” Habis bicara dia terus memejamkan mata tanpa menggubris orang lain, jelas sikapnya itu adalah mengusir tetamu.

“Mengapa memberi batas waktu 18 hari?” tanya Siao-liong-li.

Sambil pejamkan mata Kiu Jian-jio menjawab: “Racun bunga cinta mestinya baru akan bekerja 36 hari lagi. Tetapi sekarang dia sudah makan separoh pil Coat-ceng-tan sehingga kadar racun di dalam tubuhnya mengumpul menjadi satu, masa kerjanya menjadi tambah cepat. Maka 18 hari lagi kalau dia makan sisa obat ini seketika racun dalam tubuhnya akan punah, kalau tidak...” sampai di sini dia tidak meneruskan lagi melainkan memberi tanda agar semua orang lekas pergi.

Yo Ko dan Siao Iiong-li tahu orang ini sukar diajak bicara dengan baik-baik, maka segera mereka melangkah pergi. Setiba di mulut lembah dan melihat kudanya yang ditinggalkan oleh Yo Ko pada saat datang itu, sekali Yo Ko bersuit, segera kuda itu berlari keluar dari hutan sana. Meski pun Yo Ko hanya tiga hari saja berada di Cui-sian-kok, namun selama tiga hari ini telah banyak mengalami bahaya dan beberapa kali jiwanya hampir melayang, kini bisa meninggalkan tempat berbahaya ini bersama dengan buah hatinya, sungguh dia merasa seperti hidup di dunia lain.

Sementara itu fajar sudah menyingsing. Berdiri di tempat tinggi memandangi perkampungan yang penuh dikelilingi pepohonan yang rindang di bawah sinar sang surya pagi, pemandangan yang menghijau permai itu sungguh sangat menarik.

Yo Ko menggandeng Siao-liong-li ke bawah pohon yang rindang, katanya: “Kokoh...“

“Kukira kau jangan memanggil Kokoh lagi padaku,” ujar Siao-liong-li sambil menggelendot di tubuh anak muda itu.

Dalam hati Yo Ko memang sudah lama tidak menganggap Siao-liong-li sebagai guru lagi. Ia masih memanggil ‘Kokoh’ (bibi) padanya adalah karena kebiasaan, maka senang sekali ia mendengar ucapan si nona tadi. Ia berpaling dan menatap bola mata Siao-liong-li yang hitam itu, lalu bertanya:

“Habis aku mesti panggil apa?”

“Kau suka memanggii apa, boleh terserah padamu,” kata Siao-liong-li.

Yo Ko termenung sejenak. lalu berkata pula: “Saat yang paling menyenangkan selama hidupku adalah waktu kita tinggal bersama di kuburan kuno. Tatkala itu kupanggil engkau Kokoh, sampai mati pun biarlah tetap kupanggil kau Kokoh.”

“Ehh? Kau masih ingat tidak ketika kupukul pantatmu, apakah waktu itu kau pun sangat senang?” ujar Siao-liong-li dengan tertawa.

Mendadak Yo Ko merangkul Siao-liong-li ke dalam pelukannya. Terasa bau harum lembut dari tubuh si nona yang berbaur dengan hawa segar tetumbuhan pegunungan. Sungguh membikin orang mabuk dan syur serta sukar mengendalikan diri.

Dengan perlahan Yo Ko berkata: “Kalau kita berada bersama seperti ini selama 18 hari, kukira kita akan mati bahagia sehingga tidak perlu membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong segala. Dari pada kita susah-susah pergi ke sana lalu bertempur mati-matian, lebih baik kita hidup aman tenteram untuk menikmati kebahagiaan selama 18 hari ini.”

“Terserah bagaimana kehendakmu!” ujar Siao-liong-li, “Dahulu aku selalu menyuruh kau tunduk pada perintahku, sejak kini aku cuma menuruti perkataanmu.”

Biasanya Siao-liong-li sangat dingin, tapi sekarang perasaannya penuh kasih mesra, mulai mata alisnya hingga badannya serta tangan dan kaki pun terasa hangatnya cinta kasih. Ia merasa bahagia apa bila menuruti perkataan Yo Ko dengan segenap jiwa raganya.

Yo Ko termangu memandangi Siao-liong-li. Setelah agak lama barulah dia berkata dengan perlahan:

“Mengapa matamu menggenang air?”

Siao-liong-li pegang sebelah tangan anak muda itu lantas ditempelkan perlahan pada pipi sendiri, jawabnya kemudian dengan suara lambat:

“Aku... aku sendiri tidak tahu.” Selang sejenak dia menyambung: “Tentunya disebabkan aku teramat suka padamu.”

“Kutahu kau sedang berduka sesuatu persoalan,” ujar Yo Ko.

Tiba-tiba Siao-liong-Ii mengangkat kepalanya dan air mata pun bercucuran. Ia mendekap dalam pelukan Yo Ko, katanya dengan tersedu-sedan:

“Ko-ji. Ko-ji, kau... kita hanya ada waktu 18 hari, mana bisa cukup?”

Yo Ko mengusap bahu si nona dan berkata: “Ya, aku pun bilang tidak cukup.”

“Kuingin kau senantiasa perlakukan aku begini, selamanya, seratus tahun, seribu tahun,” kata Siao-liong-li dengan ter-sedat.

Yo Ko pegang muka Siao-liong-li dan dikecupnya perlahan bibirnya yang merah delima itu, lalu berkata dengan tegas:

“Baik, betapa pun harus kubunuh Kwe Ceng dan Oey Yong.”

Ketika ujung lidah merasakan asinnya air mata si nona, seketika cinta berahinya bergejolak, serentak dadanya kesakitan, seluruh tubuhnya seakan-akan meledak. Pada saat itulah mendadak terdengar suara seseorang berkata di tempat ketinggian sebelah sana:

“Huh, seumpama ingin ber-kasih-kasihan, kan harus mencari tempat yang baik dan tidak perlu di tempat terbuka seperti ini.”

Cepat Yo Ko menoleh, dilihatnya di atas tanjakan bukit sana berdiri Kim-lun Hoat-ong, Be Kong-co, ln Kik-si, Siau-siang-cu dan Nimo Singh. Yang membuka suara tadi jelas adalah Kim-lun Hoat-ong. Kiranya sewaktu Yo Ko dan Siao-liong-li meninggalkan Cui-sian-kok secara terburu-buru tanpa menghiraukan orang lain, maka Kim-lun Hoat-ong serta rombongannya diam-diam mengikuti di belakang mereka. Saking asyiknya Yo Ko dan Siao-liong-li menumpahkan rasa cinta masing-masing sehingga mereka tidak tahu kalau perbuatan merekanya dilihat oleh Hoat-ong dan rombongan.

Begitu teringat pada sikap Kim-lun Hoat-ong yang kurang simpatik, beberapa kali sengaja mengadu domba Yo Ko dengan Kongsun Ci dan hampir saja Yo Ko dicelakai, diam-diam Yo Ko merasa menyesal telah bantu menyembuhkan luka Hoat-ong ketika dia bersemadi di pegunungan sunyi tempo hari. Tahu begitu tentu Hwesio gede itu telah dibinasakannya.

Melihat sorot mata Yo Ko yang marah, cepat Siao-liong-li menghiburnya: “Jangan urus orang macam begitu, orang begitu biar pun hidup selamanya juga tidak lebih bahagia dari pada kita hidup selama 18 hari.”

Dalam pada itu terdengar Be Kong-co berseru: “Adik Yo dan nona Liong, mari kita pergi bersama. Pegunungan sunyi begini masa ada yang menarik?”

Tapi yang diharapkan Yo Ko sekarang ini hanyalah dapat berkumpul bersama Siao-liong-li selama masih ada kesempatan, namun orang-orang itu justru datang mengganggunya. Ia tahu Be Kong-co bermaksud baik, maka lantas ia menjawab:

“Silakan Be-toako berangkat dahulu, sebentar Siaute menyusul.”

“Baiklah, lekas ya!” kata Be Kong-co.

“Ha-ha-ha, mengapa kau ikut ribut?” ujar Kim-lun Hoat-ong sambil bergelak tawa, “Mereka lebih suka bergadang selama 18 hari di pegunungan sunyi ini, tetapi kau justru merecoki.”

Mengenai batas waktu 18 hari seperti apa yang dikatakan Kiu Jian-jio dapat didengar setiap orang, maka Be Kong-co menjadi gusar mendengar ucapan Kim-lun Hoat-ong, mendadak ia menubruk maju dan menjamberet baju di dada Hoat-ong dan mendamperat:

“Bangsat gundul, hatimu sungguh keji! Kita datang ke sini satu rombongan dengan adik Yo. Kau tidak membantu dia saja kudu dimaki, sekarang kau malah mengejek dan meng-olok dia lagi, sebenarnya apa kehendakmu?”

“Hm, kau lepaskan tidak?” jengek Hoat-ong.

“Tidak, kau mau apa?” jawab Be Kong-co dengan marah bahkan ia tarik baju orang dengan lebih kencang. Mendadak kepalan kanan Hoat-ong menjotos ke muka lawan.

“Bagus! Kau ingin berkelahi, ya?” seru Be Kong-co sambil angkat telapak tangannya yang besar untuk menangkap kepalan Hoat-ong.

Tak terduga jotosan Hoat-ong itu ternyata pancingan belaka, tangan kirinya menolak sekuatnya di punggung Be Kong-co, kontan tubuh Be Kong-co yang besar langsung mencelat ke sana dan terguling ke bawah tanjakan bukit.

Untunglah lereng bukit itu penuh rumput tebal dan panjang, pula kulit daging Be Kong-co kasar lagi tebal sehingga dia tidak mengalami luka parah, sungguh pun begitu tidak urung kepalanya benjol dan muka matang biru. Sampai lama dia tidak sanggup bangun.

Ketika melihat kedua orang mulai bergebrak, Yo Ko tahu bahwa Be Kong-co pasti akan kecundang. Saat ia memburu ke sana, namun sudah terlambat, Be Kong-co telah telanjur terguling ke bawah. Segera Yo Ko memayangnya bangun, kedua orang lantas naik lagi ke atas bukit. Meski pun dogol, akan tetapi orang dogol juga punya akal dogoI. Dia tahu kalau berkelahi secara berhadapan pasti bukan tandingan, maka sambil berjalan ia pun pura-pura merintih kesakitan.

“Aduh tanganku patah dipukul bangsat gundul!”

Bahwa Kim-Iun Hoat-ong diundang oleh pangeran MongoI, yakni Kubilai, serta diangkat menjadi Koksu kerajaan MongoI, hal ini memang sudah menimbulkan rasa dongkol tokoh-tokoh lain seperti Siau-siang-cu, Nimo Singh dan lain-lain. Sekarang mereka melihat pula Hoat-ong bertindak sangat semena-mena terhadap kawan sendiri, keruan Siau-siang-cu dan Nimo Singh bertambah gusar, segera keduanya saling memberi isyarat.

“Hmm, kepandaian Taysu memang hebat, pantas mendapatkan gelar Koksu nomor satu kerajaan MongoI,” demikian Sian-siang-cu mengejek.

“Ahh, mana aku...” Hoat-ong berendah hati.

Dia dapat melihat gelagat bahwa kedua orang ini ada maksud menyerangnya, sedangkan Yo Ko dan Siao-liong-li di sebelah lain juga siap-siap akan melabrak, bagaimana dengan In Kik-si belum lagi diketahui. Kalau saja dirinya dikerubut, walau pun belum tentu kalah, namun untuk menang jelas juga sukar. Maka sambil berjalan diam-diam dia pun mencari akal untuk meloloskan diri.

Di luar dugaan, sambil berlagak merintih kesakitan, Be Kong-co mendekati belakang Hoat-ong dan mendadak menghantam tepat mengenai kepalanya. Dengan kepandaian Kim-Iun Hoat-ong yang maha tinggi, sesungguhnya sukar bagi Be Kong-co untuk menyergapnya. Tetapi sekarang perhatian Hoat-ong lagi dicurahkan untuk menghadapi kemungkinan kerubutan Yo Ko, Siau-siang-cu dan lain-lain, sehingga ia tidak memperhatikan kelakuan si dogol dan akibatnya kena dihantam keras dari belakang.

Hantaman keras itu membuat kepala Hoat-ong kesakitan dan mata berkunang-kunang. Dengan murka tanpa pikir Hoat-ong menyikut ke belakang hingga dada Be Kong-co tepat tersodok. Tanpa ampun si dogol menjerit dan rebah ke bagian depan. Perawakan Hoat-ong lebih pendek, sementara itu tubuh Be Kong-co yang tinggi besar itu tepat rebah dan bersandarkan di pundaknya. Tanpa pikir lagi Hoat-ong terus memanggul tubuh yang gede itu dan di bawa lari ke bawah bukit.

Tindakan Hoat-ong ini betul-betul di luar dugaan siapa pun. Dengan pedang terhunus Yo Ko yang pertama-tama mengudak ke sana. Kepandaian Kim-Iun Hoat-ong betul-betul luar biasa, meski memanggul seorang raksasa yang beratnya hampir 300 kati, namun larinya secepat terbang. Yo Ko, Siao-liong-li, Nimo Singh dan lain-lain juga memiliki Ginkang yang tinggi, tapi dalam jarak berpuluh meter itu sukar bagi mereka menyusulnya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar