Minggu, 29 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 099

Siao-liong-li menjadi heran dan berseru: “Ko ji, mengapa kau tidak memandang padaku?”

Karena rangsangan perasaannya yang penuh kasih mesra itu, seketika sinar pedangnya memanjang dan serangannya bertambah kuat. Sebaliknya demi mendengar nada si nona yang menggiurkan itu, hati Yo Ko terguncang, seketika dadanya kesakitan, gerak pedangnya juga berubah lambat.

“Brett...!” tahu-tahu lengan bajunya tertebas robek oleh pedang hitam Kongsun Ci.

Siao-liong-li terkejut sekali, cepat dia melancarkan tiga kali serangan untuk menghalangi gempuran Kongsun Ci.

“Aku tak dapat memandang kau dan juga tidak dapat mendengarkan perkataanmu,” kata Yo Ko.

“Sebab apa?” tanya Siao-liong-li dengan lemah lembut.

Karena kuatir terancam bahaya lagi, Yo Ko sengaja menjawab dengan suara kasar: “Jika kau ingin aku mati, maka bolehlah kau mengajak aku bicara.” Karena timbul amarahnya, rasa sakitnya berhenti seketika, semua serangan Kongsun Ci dapat ditangkisnya.

“Baiklah, aku tidak bicara lagi,” ujar Siao-liong-li dengan rasa menyesal. Tetapi mendadak pikirannya tergerak: “Ah, aku sendiri sudah sembuh dari racun bunga cinta, apakah dia belum minum obat penawarnya?”

Berpikir demikian, sungguh rasa terima kasih dan kasih sayang Siao-liong-li tak terbatas mendalamnya, perasaan mesra ini mendorong tenaga, seketika daya tempur Giok-li-kiam-hoatnya bertambah hebat, setiap jurus serangannya segera melindungi seluruh tubuh Yo Ko. Dalam keadaan begitu seharusnya Yo Ko bergilir untuk menahan serangan musuh bagi Siao-liong-li, tapi lantaran dia tak berani melirik, Siao-liong-li tak terjaga sama sekali dan selalu menjadi ancaman musuh.

Betapa tajam pandangan Kongsun Ci, hanya dalam beberapa gebrak saja ia sudah dapat melihat peluang itu, akan tetapi dia tidak ingin mencelakai Siao-liong-li sedikit pun, setiap serangannya selalu dilontarkan kepada Yo Ko. Walau pun begitu serangan yang dahsyat itu dapat juga dihadapi oleh pedang lawan yang kuat, dalam beberapa puluh jurus ternyata sedikit pun Kongsun Ci tak dapat berbuat apa-apa.

Sementara itu Kongsun Lik-oh sudah siuman, kemudian ikut menonton di sebelah ibunya. Dilihatnya Siao-liong-li terus melindungi Yo Ko melulu tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, diam-diam dia bertanya kepada dirinya sendiri: “Jika aku yang menjadi dia, dalam keadaan gawat antara hidup dan mati, apakah aku pun sanggup mengorbankan diri untuk membela dia?” Dia menghela napas perlahan dan menjawab sendiri: “Aku pasti akan berbuat sama seperti nona Liong ini kepadanya, tapi dia yang tak mungkin berbuat begitu pula terhadap diriku.”

Tengah melamun, tiba-tiba terdengar Kiu Jian-jio berseru: “Golok bukan golok, pedang bukan pedang!”

Sudah tentu Yo Ko dan Siao-liong-li merasa bingung oleh seruan itu, mereka tidak paham apa maksudnya.

Terdengar Kiu Jian-jio berteriak lagi: “Golok adalah golok, pedang adalah pedang!”

Sesudah bertempur dua kali melawan Kongsun Ci, memang semenjak tadi Yo Ko sudah memikirkan di mana letak keajaiban permainan golok Kongsun Ci itu. Ia merasa anehnya serangan musuh, pedang hitam yang enteng digunakan membacok dan menebas dengan keras seperti golok, sebaliknya golok yang berat itu digunakan menusuk dan menyabet secara gesit. Kalau saja golok dimainkan sebagai pedang dan pedang digunakan sebagai golok masih dapat dimengerti. Tetapi anehnya dalam sekejap permainannya bisa berubah lagi, dalam serangan pedang tampak gaya ilmu pedang dan serangan golok tetap bergaya ilmu golok, sungguh berubah tak menentu dan sukar diraba.

Kini mendadak mendengar seruan Kiu Jian–jio itu, cepat juga timbul ilham di dalam benak Yo Ko. Diam-diam dia membatin, apakah maksud Kiu Jian-jio hendak mengatakan bahwa gaya pedang dalam permainan golok dan gaya golok dalam permainan pedang Kongsun Ci itu cuma gaya kembangan belaka? Jika begitu halnya, biarlah aku mencobanya!

Begitulah, ketika dilihatnya pedang hitam lawan membacok tiba seperti golok, maka Yo Ko menganggapnya tetap sebagai pedang, segera dia menangkisnya dengan Kun-cu-kiam.

“Trangg...!” kedua pedang beradu dan kedua orang tergetar mundur setindak.

Nyata dugaan Yo Ko tak keliru, gaya serangan golok dari pedang hitam itu pada dasarnya tetap pedang, gerakan sebagai bacokan golok itu cuma gerakan kembangan belaka untuk membikin kabur pandangan lawan. Kalau saja kepandaian pihak lawan kurang tinggi dan tidak dapat melayani dengan tepat, maka gerakan kembangan seperti golok itu pun dapat mencelakai dirinya.

Sekali coba lagsung berhasil menjajaki ilmu silat lawan, Yo Ko menjadi girang. Segera dia perhatikan kelemahan musuh. Dia pikir betapa anehnya serangan musuh, tetapi lantaran gerakan kembangannya terlalu banyak, akhirnya pasti kacau dan terlihat titik lemahnya.

Setelah bergebrak beberapa kali lagi, tiba-tiba terdengar Kiu Jian-jio berseru pula: “Serang kaki kanannya, kaki kanannya!”

Akan tetapi Yo Ko merasa pada bagian kaki lawan sedikit pun tiada peluang untuk dapat diserang, apa lagi golok musuh diputar sedemikian kencang, hakekatnya sukar ditembus. Tetapi lantas teringat olehnya bahwa ilmu silat Kongsun Ci itu adalah ajaran Kiu Jian-jio, meski pun kaki tangan nenek botak itu sudah cacat, namun ilmu silat yang dipahaminya sedikit pun tidak pernah terlupa, tentu nenek itu dapat melihat titik kelemahan Kongsun Ci. Karena pikiran itu segera dia menurut dan menyerang kaki kanan musuh.

Cepat Kongsun Ci menangkis dengan goloknya. Kaki kanannya ternyata terjaga dengan rapat, tapi lantaran harus menangkis, bahu kiri dan iga kiri tak terjaga. Peluang itu tidak disia-siakan oleh Yo Ko, tanpa menunggu petunjuk Kiu Jian-jio segera ia menyerang dan berhasil merobek baju bawah ketiak musuh.

Kongsun Ci mengomel gusar sambil melompat mundur, dengan mendelik ia membentak Kiu Jian-jio:

“Perempuan hina, lihat nanti kalau aku tidak membinasakan kau!” Setelah itu segera ia menerjang Yo Ko Iagi.

Selagi Yo Ko menangkis, terdengar Kiu Jian-jio berseru pula: “Tendang punggungnya!”



Padahal saat itu kedua orang sedang saling berhadapan muka, untuk menendang bagian punggung jelas tidak mungkin. Namun sekarang Yo Ko sudah rada menaruh kepercayaan pada petunjuk Kiu Jian-jio, ia pikir ucapan nenek itu tentu mempunyai arti tertentu, maka tanpa banyak ulah segera ia menyusup ke belakang musuh. Cepat Kongsun Ci memutar balik goloknya lantas menebas ke belakang. Tapi Kiu Jian-jio sudah segera berteriak lagi:

“Tusuk dahinya!”

Yo Ko menjadi heran sekali. Baru saja ia memutar ke belakang orang, masa sekarang diharuskan menusuk dahi lawan pada bagian muka. Namun keadaan sudah mendesak, tanpa pikir segera ia menyerobot ke depan musuh dan baru saja hendak menusuk tempat yang dianjurkan, sekonyong-konyong Kiu Jian-jio berseru pula.

“Tebas pantatnya!”

Lik-oh ikut berdebar menyaksikan pertarungan itu, diam-diam ia pun heran kenapa ibunya gembar-gembor begitu, bukankah caranya itu justru berbalik hendak membantu ayahnya?

Dalam pada itu Be Kong-co lantas berteriak: “He, jangan kau tertipu oleh nenek itu, adik Yo, dia sengaja membikin kau lelah.”

Namun Yo Ko justru percaya kepada seruan Kiu Jian-jio yang mempunyai tujuan jitu itu. Begitu si nenek berseru suruh dia ke depan, segera ia menyerobot ke depan, bila disuruh memutar ke belakang cepat ia menyelinap ke belakang. Benar saja, sesudah berputar beberapa kali cara begitu, akhirnya iga kanan Kongsun Ci tampak kelemahannya, tanpa ayal pedang Yo Ko terus menusuk.

“Crett...!”

Baju tertembus dan ujung pedang masuk kulit daging musuh beberapa senti dalamnya, seketika darah segar mengucur dari iga Kongsun Ci. Semua orang berteriak heran sambil bangkit. Kini Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain tahu persoalannya bahwa Kiu Jian-jio sebenarnya bukan memberi petunjuk kepada Yo Ko caranya memperoleh kemenangan, tetapi mengajarkan dia mencari kesempatan menang dari keadaan yang tak mungkin menang itu, bukan ditujukan titik kelemahan Kongsun Ci, tetapi suruh Yo Ko mendesak musuh yang sama sekali tiada kelemahan itu agar terpaksa memberi titik kelemahan.

Karena Yo Ko memang anak yang cerdik dan pintar, hanya beberapa kali saja Kiu Jian-jio memberi petunjuk, segera ia dapat menangkap di mana letak intisari ilmu silat yang bagus itu. Dalam hatinya ia sangat kagum dan bersyukur akan petunjuk Kiu Jian-jio yang besar manfaatnya. Cuma agar bisa memaksa Kongsun Ci menunjukkan titik kelemahannya, selain lawannya harus lebih unggul ilmu silatnya juga harus paham akan setiap gerak serangan Kongsun Ci, dengan begini barulah dapat menapsirkan jurus serangan mana yang bakal dilontarkan musuh dan memancingnya menuju ke arah yang keliru.

Untuk hal ini memang hanya Kiu Jian-jio saja yang sanggup, Yo Ko sendiri hanya paham maksudnya namun tidak mampu melakukannya tanpa petunjuk nenek itu. Karena itulah dia turut setiap petunjuk Kiu Jian-jio dan melancarkan serangan berantai mengitari Kongsun Ci.

Setelah belasan jurus lagi, kembali kaki Kongsun Ci tertusuk oleh pedangnya. Meski tidak parah namun lukanya cukup panjang. Diam-diam Kongsun Ci sangat mendongkol. Ia pikir dalam waktu singkat jelas dirinya sukar mendapat kemenangan, malahan kalau bertempur lebih lama bukan mustahil jiwanya sendiri yang akan melayang di bawah pedang bocah ini.

Dahulu, demi untuk menyelamatkan nyawa sendiri pernah juga dia membunuh Yu-ji yang dicintainya. Kini keadaan sudah kepepet, maka ia pun tidak memikirkan Siao-liong-li lagi, segera pedang hitam bergerak ke depan, tapi mendadak goloknya yang membacok ke bahu Siao-liong-li. Yo Ko terkejut, cepat ia menangkis.

“Tusuk pinggangnya!” mendadak Kiu Jian-jio berseru lagi.

Yo Ko melengak. Dia pikir Kokoh sedang terancam, mana boleh kudiamkan saja? Tetapi setiap petunjuk Kiu-locianpwe selalu mengandung arti yang mendalam, boleh jadi cara ini adalah jurus penolong yang bagus. Karena itu pedangnya berputar ke bawah untuk menusuk pinggang musuh. Pada saat itulah terdengar Siao-liong-li menjerit kesakitan, lengannya terluka.

“Trangg...!” Siok-li-kiam terjatuh.

Menyusul itu Kongsun Ci sempat menangkis serangan Yo Ko dengan pedangnya. Yo Ko sangat kuatir akan luka Siao-liong-li itu, serunya:

“Kokoh, kau mundur saja, biarkan aku sendiri yang melayani dia!” Karena rangsangan perasaannya terhadap Siao-liong-li, tiba-tiba dadanya terasa sakit.

Dalam keadaan terluka terpaksa Siao-liong-li mundur ke samping untuk membalut lukanya dengan robekan baju. Yo Ko terus bertempur dengan gagah berani. Dia sangat mendongkol terhadap petunjuk Kiu Jian-jio yang keliru itu, pada suatu kesempatan ia melotot marah terhadap nenek itu.

Sudah tentu Kiu Jiau-jio paham maksud anak muda itu, dia menjengek: “Hm, kenapa kau menyalahkan aku? Aku hanya membantu kau menggempur musuh, peduli apa dengan dia? Hmm, biar pun mampus juga aku tidak peduli!”

“Kalian suami-isteri benar-benar pasangan manusia yang keji dan kejam!” damperat Yo Ko dengan marah.

Makian Yo Ko kini sungguh sangat tepat dan tajam, namun Kiu Jian-jio hanya mendengus saja dan tidak marah, ia tetap tenang-tenang saja mengikuti pertarungan kedua orang. Sekilas Yo Ko melihat Siao-liong-li sedang membalut lukanya, tampaknya tidak terlampau parah, seketika serangannya berubah. Dengan bersemangat, dari Coan-cin-kiam-hoat dia ganti menyerang dengan Giok-li-kiam-hoat.

Kongsun Ci rada heran melihat serangan Yo Ko sekarang hampir seluruhnya berbeda dari pada tadi, sekarang tampak lebih gesit dan lincah, juga lebih bergaya dibanding tadi yang kereng dan amat tenang. Ia menjadi curiga jangan-jangan Yo Ko sengaja main gila untuk memancingnya. Tapi setelah bergebrak lagi beberapa jurus, ternyata gaya tempur Yo Ko sekarang serupa dengan Siao-liong-li tadi, segera rasa curiga Kongsun Ci lenyap, golok serta pedangnya lantas menyerang sekaligus. Maka setelah belasan jurus, lambat laun Yo Ko terdesak lagi dan berulang kali terdesak mundur.

Beberapa kali Kiu Jian-jio berseru memberi petunjuk lagi, akan tetapi Yo Ko sudah telanjur khe-ki karena nenek itu sengaja membikin susah Siao-liong-li, maka petunjuknya tidak digubrisnya lagi.

“Srett! Sret!t”

Mendadak ia melancarkan serangan empat kali ber-turut. Ketika Kongsun Ci menangkis, secepatnya Yo Ko menubruk maju.

“Trangg...!”

Ia selentik golok lawan, seketika Kongsun Ci merasa lengannya kesemutan dan goloknya hampir saja terlepas dari pegangan. Pada saat itu juga mendadak Yo Ko menubruk maju, jari kirinya menotok bagian pusar.

Yo Ko kegirangan dan yakin musuh pasti akan roboh terluka parah. Tak terduga, sambil mendoyongkan tubuhnya, tiba-tiba sebelah kaki Kongsun Ci menendang ke dagu Yo Ko. Keruan kejut Yo Ko tak terkatakan, cepat-cepat ia melompat ke samping. Segera teringat olehnya bahwa Hiat-to di tubuh musuh memang amat aneh. Tadi Siao-liong-li juga pernah menghantam Hiat-to orang dengan genta kecil yang terikat pada ujung selendangnya, jelas Hiat-to yang di arah itu kena dengan tepat, tapi Kongsun Ci tetap tidak roboh.

Selagi Yo Ko merasa bingung cara bagaimana agar bisa mengalahkan musuh, sementara itu golok dan pedang Kongsun Ci sudah memburu tiba, sedangkan Kiu Jian-jio lagi-lagi berseru:

“Golok dan pedangnya menyilang, pedangnya akan menyerang ke kiri dan goloknya menyerang kanan!”

Tanpa pikir panjang Yo Ko mengadakan penjagaan rapat seperti peringatan Kiu Jian-jio sehingga buyarlah setiap serangan Kongsun Ci. Bicara tentang Kanghu sejati sebenarnya Yo Ko tak dapat melawan keuletan Kongsun Ci, hanya berkat petunjuk dari Kiu Jian-jio saja dapatlah Yo Ko mematahkan setiap serangan Kongsun Ci yang lihay.

Sementara itu kedua orang telah bertempur sampai beberapa ratus jurus. Para penonton berdebar dan sulit menduga siapa di antara mereka yang bakal menang dan kalah. Kongsun Ci dan Yo Ko nampak sama payahnya, napas Kongsun Ci kelihatan mulai ter-engah, sedangkan Yo Ko juga sudah mandi keringat, gerak-gerik mereka tak segesit dan secepat tadi.

Lik-oh pikir apa bila pertempuran itu berlangsung terus, akhirnya satu di antara dua pasti celaka. Dia tidak mengharapkan Yo Ko kalah, tetapi ia pun tidak tega menyaksikan ayah sendiri celaka, Maka dengan suara perlahan ia mohon kepada Kiu Jian-jio:

“lbu, sebaiknya engkau suruh mereka berhenti saja, biarlah kita bicara baik-baik untuk menentukan yang salah dan benar.”

Kiu Jian-jio hanya mendengus saja tanpa menjawab. Sejenak kemudian dia baru berkata:

“Coba ambilkan dua mangkok teh.”

Dengan pikiran kacau Lik-oh pergi menuangkan dua mangkok teh lantas dibawa ke depan sang ibu. Segera Kiu Jian-jio menanggalkan kain pembalut lukanya yang berlepotan darah itu. Seperti diketahui Siao-liong-li yang merobek baju sendiri untuk membalut lukanya, sekarang kain pembalut dilepaskan, darah lantas merembes keluar lagi dari kepalanya.

“Bu!” Lik-oh berseru kuatir.

“Jangan bersuara,” kata Kiu Jian-jio.

Dia lalu memeras beberapa tetes darah dari kain pembalut itu ke dalam mangkuk. Waktu melihat Lik-oh merasa heran dan curiga, segera dia memeras sedikit darah lagi ke dalam mangkuk yang lain. Dia guncang sedikit mangkuk itu sehingga tetesan darah terbaur dalam air teh, dalam sekejap saja tiada kelihatan apa-apa lagi. Habis itu Kiu Jian-jio menempelkan lagi kain pembalut pada lukanya, segera dia berseru:

“Tentu mereka sudah sangat lelah bertempur. Biarkan masing-masing minum semangkuk teh dulu.” Kemudian dia berkata kepada Lik-oh: “Antarkan teh ini kepada mereka, seorang semangkuk!”

Lik-oh tahu betapa benci dan dendam sang ibu terhadap ayahnya, kalau bisa sang ayah hendak dibinasakan seketika. Maka ketika melihat ibunya meneteskan darah ke dalam mangkuk, meski pun ia tidak paham apa maksudnya, tapi ia pikir perbuatan ini tentu tidak menguntungkan ayahnya. Tetapi kemudian dilihatnya kedua mangkuk teh itu sama-sama diberi tetesan darah, maka rasa curiganya menjadi lenyap. Segera dia membawa kedua mangkuk teh itu ke tengah ruangan dan berseru:

“Ayah, Yo-toako, silakan kalian minum teh dahulu!”

Memang Kongsun Ci dan Yo Ko sedang kehausan. Mendengar seruan itu, serentak mereka berhenti bertempur kemudian melompat mundur. Lebih dulu Lik-oh menyodorkan semangkuk teh kepada ayahnya. Kongsun Ci merasa sangsi. Ia pikir teh ini diantarkan kepadanya atas suruhan Kiu Jian-jio, dalam hal ini pasti ada sesuatu yang tidak beres, bukan mustahil diberi racun. Karena itu dia tidak mau menerima teh itu, tapi katanya kepada Yo Ko:

“Kau minum dulu.”

Sedikit pun Yo Ko tidak merasa gentar dan sangsi. Dia terima mangkuk itu terus hendak diminumnya. Mendadak Kongsun Ci berkata pula:

“Baiklah, biar kuminum semangkuk itu!” Segera pula ia ambil mangkuk yang dipegang Yo Ko.

Yo Ko tahu apa artinya itu, dengan tertawa dia berkata: “Anak perempuanmu sendiri yang menuangkan teh ini, masa ia menaruh racun?” Habis berkata ia terus terima mangkuk teh yang lain lantas ditenggak hingga habis.

Kongsun Ci melihat air muka Lik-oh tenang tanpa mengunjukkan sesuatu perasaan kuatir Yo Ko akan keracunan, maka percayalah dia bahwa teh itu tak berbahaya. Segera ia pun minum habis isi mangkuk itu.

“Crengg...!” Ia membentrok kedua senjatanya dan berkata: “Nah, tak perlu mengaso lagi, marilah kita mulai bertempur kembali. Hm, kalau saja perempuan hina itu tidak memberi petunjuk padamu, biar pun kau mempunyai jiwa serep sudah melayang sejak tadi.”

Pada saat itulah mendadak Kiu Jian-jio menanggapi dengan suara dingin: “Sekarang ilmu kebalnya sudah pecah, boleh kau incar saja Hiat-tonya.”

Kongsun Ci melengak, segera dia merasakan di ujung lidahnya ada rasa amisnya darah, sungguh kejutnya tak terkatakan. Kiranya ilmu kebal totokan Hiat-to yang telah dilatihnya itu pantang makan minum barang berjiwa. Untuk menjaga segala kemungkinan maka dia melarang setiap anak buahnya di Cui-sian-kok untuk makan daging dan barang apa saja yang berbau darah. Meski orang lain tidak melatih ilmu kebal itu, tapi terpaksa mesti ikut tersiksa.

Walau pun Kongsun Ci sudah berjaga dan berhati-hati, sama sekali tidak terduga olehnya bahwa Kiu Jian-jio akan menaruh darah dalam teh yang diminumnya. Bagi Yo Ko tentu tidak menjadi soal, tapi bagi Kongsun Ci, teh campur tetesan darah itu seketika membuat ilmu kebalnya hancur! Saking murkanya ia berpaling dan melihat Kiu Jian-jio sedang komat kamit asyik makan kurma, tangan yang satu menggengam kurma, tangan yang lain melangsir buah kurma itu ke mulut kemudian dimakan dengan nikmatnya.

“Ilmu itu adalah pemberianku dan sekarang aku yang memusnahkannya, tidak perlu heran dan kaget?” kata Kiu Jian-jio dengan tersenyum.

Kedua mata Kongsun Ci merah berapi, dia angkat kedua senjatanya menerjang ke arak Kiu Jian-jio. Lik-oh terkejut, cepat dia memburu maju hendak melindungi sang ibu. Namun mendadak terdengar angin keras menyambar di sebelah telinganya, menyusul terdengar Kongsun Ci menjerit nyaring, senjatanya terlepas dari tangan, sambil menutupi mata kanannya terus berlari keluar, terdengar suara jerit tangisnya yang mengaung ngeri dan makin menjauh, akhirnya lenyap di tengah pegunungan.

Para hadirin saling pandang dengan bingung karena tidak tahu dengan cara bagaimana Kiu Jian-jio bisa melukai Kongsun Ci. Hanya Yo Ko dan Lik-oh saja yang tahu duduknya perkara, jelas Kiu Jian-jio menggunakan biji kurma yang disemprotkan dari mulutnya untuk membutakan mata bekas suaminya itu.

Waktu Yo Ko bertempur dengan Kongsun Ci, diam-diam Kiu Jian-jio telah mengumpulkan beberapa biji kurma dalam mulutnya. Akan tetapi waktu itu ia tak berani sembarangan bertindak, ia lihat ilmu silat Kongsun Ci sudah jauh lebih maju, ia kuatir kalau sekali serang tidak kena maka akan membikin runyam urusan dan selanjutnya pasti sukar lagi kalau hendak melukai Kongsun Ci.

Karena itu lebih dulu Kiu Jian-jio memunahkan ilmu kebal Tiam-hiat yang dilatih Kongsun Ci itu dengan teh berdarah, lalu pada saat Kongsun Ci menjadi murka, mendadak dia pun menyerangnya dengan semburan biji kurma yang merupakan satu-satunya senjata yang dilatihnya selama belasan tahun ini, baik kekuatannya mau pun kejituannya tidak kalah dari pada senjata rahasia mana pun juga.

Kalau saja tadi Lik-oh tidak mendadak memburu maju dan menghalang di depan, bukan mustahil kedua mata Kongsun Ci sudah buta semua, bahkan kalau dahinya yang kena biji kurma, tentu jiwanya melayang seketika. Melihat ayahnya mendadak lari pergi, Lik-oh merasa tidak tega, ia terkesima dan berseru:

“Ayah, ayah!”

Segera ia bermaksud berlari keluar untuk melihat kepergian sang ayah, tetapi Kiu Jian-jio langsung menghardiknya dengan suara bengis:

“Kalau kau ingin ayah, bolehlah kau pergi bersama dia dan jangan menemui aku lagi selamanya.”

Lik-oh menjadi serba salah, tetapi bila mengingat persoalan ini memang berpangkal pada kesalahan sang ayah, sedangkan siksa derita sang ibu jauh melebihi ayah, pula ayahnya sudah pergi jauh, untuk menyusulnya juga tak dapat Iagi. Terpaksa ia melangkah kembali dan duduk dengan diam.


BERSAMA LAGI

Dengan angkuhnya Kiu Jian-jio duduk di kursinya, dipandangnya sini dan diliriknya sana, lalu mengejek mereka yang hadir:

“Hmm, bagus! Kalian datang untuk pesta pora bukan? Tapi pestanya buyar tanpa jamuan, kalian tentu kecewa,?”

Semua orang ngeri tersapu oleh sorot matanya yang sangat tajam itu, semuanya kuatir kalau mendadak nenek itu menyemburkan senjata rahasianya yang aneh dan jiwa dapat melayang seketika. Hanya Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si dan Siau-siang-cu saja yang siap siaga.

Bahwa akhirnya Kongsun Ci mengalami nasib begitu, hal ini pun tidak terduga oleh Siao-liong-li dan Yo Ko. Mereka sama menghela napas panjang, lalu saling genggam tangan dengan kencang. Walau pun begitu Siao-liong-li tidak lupa kepada budi pertolongan jiwa Kongsun Ci, kini penolong itu terluka parah dan sudah kabur, mau tidak mau dia pun rada menyesal. Segera dia mengedipi Yo Ko, kedua orang lantas melangkah pergi.

Tapi baru sampai di ambang pintu, mendadak Kiu Jian-jio membentaknya: “Yo Ko hendak ke mana?”

Yo Ko putar balik dan memberi hormat, katanya: “Kiu-locianpwe, nona Lik-oh, sekarang juga kami mohon diri.” Dia tahu umur sendiri tidak akan lama lagi, karena itu dia pun tidak mengucapkan ‘sampai berjumpa’ segala.

Lik-oh membalas hormat anak muda itu tanpa berkata-kata, sedangkan Kiu Jian-jio menghardik dengan marah:

“Sudah kujodohkan puteriku ini padamu, kenapa kau tidak sebut aku sebagai ibu mertua, bahkan sekarang mau pergi begitu saja?”

Yo Ko melengak bingung. Ia merasa tidak pernah menyatakan mau terima si nona meski nenek itu memaksa untuk menjodohkan Lik-oh padanya.

Segera Kiu Jian-jio berkata: “Ruangan upacara di sini sudah tersedia, segala sesuatu juga telah disiapkan, tamu undangan pun telah hadir sekian banyak, kaum persilatan kita juga tidak perlu banyak adat, sekarang juga kalian berdua boleh menikah.”

Padahal demi Siao-liong-li, Yo Ko sudah menempur Kongsun Ci dengan mati-matian, hal ini telah disaksikan sendiri oleh Kim-Iun Hoat-ong dan lain-lain. Kini Kiu Jian-jio memaksa Yo Ko menjadi mantunya, mereka tahu akan terjadi keonaran lagi. Mereka saling pandang dengan tersenyum dan ada pula yang geleng-geleng kepala.

Dengan sebuah tangan merangkul bahu Siao-liong-li dan tangan lain memegangi tangkai Kun-cu-kiam, berkatalah Yo Ko:

“Maksud baik Kiu-locianpwe kuterima dengan rasa terima kasih, namun hati wanpwe sudah terisi, sesungguhnya aku tidak jodoh dengan puterimu.”

Sembari bicara ia pun melangkah mundur perlahan. Ia tahu watak Kiu Jian-jio amat aneh, bukan mustahil nenek itu mendadak menyemprotkan biji kurma, maka dia sudah siapkan pedangnya untuk menangkis.

Kiu Jian-jio melotot marah sekejap ke arah Siao-liong-li, lalu berkata: “Hmm, rase cilik ini memang amat cantik, pantas yang tua bangka tergila-gila, yang muda kesengsem.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar