Minggu, 29 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 098

Yo Ko melengak dengan perasaan kikuk, ia merasa tidak enak untuk menanggapi ucapan orang tua itu. Segera dia mengangkat tubuh Kiu Jian-jio ke punggung sendiri, kemudian dibawanya berlari secepat terbang ke bawah bukit.

Kiu Jian-yim, yakni kakak kedua Kiu Jian-jio yang menjabat sebagai ketua Thi-cio-pang, dahulu terkenal dengan julukan Thi-cio-cui-siang-biau, si telapak tangan besi melayang di permukaan air, julukan yang menggambarkan kelihayan Ginkang-nya. Dahulu dia pernah berkelahi dengan Ciu Pek-thong secara maraton dimulai dari daerah Tionggoan sampai ke wilayah barat dekat Tibet. Tokoh yang memiliki kepandaian tinggi seperti Lo-wan-tong saja sukar menyusulnya.

Sedangkan Kanghu (kepandaian silat Kungfu) Kiu Jian-jio adalah ajaran dari sang kakak, Ginkang-nya juga kelas satu, tapi sekarang berada di punggung Yo Ko, rasanya pemuda itu berlari sedemikian cepat dan langkahnya mantap seolah-olah kakinya tidak menempel tanah, mau tak mau Kiu Jian-jio amat kagum dan heran. Ia pikir Ginkang anak muda ini jelas tidak sama dengan Ginkang perguruanku sebagaimana ilmu pukulan yang pernah ia mainkan kemarin, namun jelas kepandaiannya tidak di bawah kanghu Thi-cio-pang dan sama sekali tidak boleh diremehkan.

Tadinya Kiu Jian-jio merasa rugi kalau anak perempuannya mendapatkan suami seperti Yo Ko, tetapi karena puterinya suka, dia merasa apa boleh buat. Tapi sekarang dia mulai merasakan bahwa bakal menantu ini sedikit pun tidak merendahkan harga diri anak perempuannya.

BegituIah, hanya sebentar saja Yo Ko telah membawa Kiu Jian-jio sampai di bawah bukit. Waktu ia menoleh, tampak Lik-oh masih tertinggal di pinggang bukit, sejenak kemudian barulah nona itu dapat menyusulnya dan kelihatan napas memburu dan dahi berkeringat. Dengan hati-hati mereka bertiga memutar ke belakang perkampungan Cui-sian-kok. Lik-oh tidak berani masuk ke sana melainkan pergi kepada seorang tetangga untuk meminjam baju buat dipakai sendiri, selain itu ia pun meminjam baju dan kipas yang diperlukan sang ibu.

Kiu Jian-jio mengembalikan bajunya kepada Yo Ko, kemudian memakai kedok kulit serta memakai baju coklat. Dengan tangan memegang kipas serta dipayang Yo Ko dan Lik-oh di kanan-kiri, menujulah mereka ke pintu gerbang perkampungan. Pada waktu memasuki pintu itu, pikiran ketiga orang sama-sama bergolak hebat. Sudah belasan tahun Kiu Jian-jio meninggalkan perkampungan ini dan sekarang berkunjung lagi ke sini, sungguh sukar dilukiskan perasaannya pada waktu itu.

Terlihat di pintu gerbang perkampungan itu ada beberapa pasang lampu kerudung warna merah yang sangat besar, jelas itu adalah pajangan rumah yang sedang berpesta perkawinan, suara tetabuhan juga terdengar berkumandang dari ruangan pendopo sana. Pada saat para centeng melihat Kiu Jian-jio dan Yo Ko, mereka melengak bingung, Tapi lantaran mereka didampingi Kongsun Lik-oh, dengan sendirinya para centeng itu tak berani merintangi.

Langsung saja mereka masuk ke ruangan pendopo yang penuh dengan tetamu dan dalam suasana riang gembira. Kelihatan Kongsun Ci mengenakan baju merah dan berdandan sebagai pengantin laki-laki berdiri di sebelah kiri. Di sebelah kanan pengantin perempuan mengenakan topi bertabur mutiara dan kembang goyang, meski wajahnya tidak kelihatan karena memakai kerudung, tapi dilihat dari perawakannya yang ramping, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li? Sekonyong-konyong sinar api berkelebat menyusul terdengar suara letusan beberapa kali, suara mercon.

“Kini tibalah saat bahagia, pengantin baru disilakan bersembahyang!” demikian pembawa upacara berseru.

Pada waktu itulah tiba-tiba Kiu Jian-jio bergelak, suaranya menggetar hingga genting rumah berkelotek, bahkan cahaya lilin juga turut berguncang, menyusul ia berseru lantang:

“Pengantin baru bersembahyang, pengantin lama lantas bagaimana?”

Meski urat kaki tangannya sudah putus, namun Iwekang-nya sama sekali belum punah, apa lagi selama belasan tahun ia tekun berlatih dalam goa bawah tanah tanpa terganggu, maka hasil latihan belasan tahun itu boleh dikatakan satu kali lipat lebih kuat dari pada latihan orang biasa. Maka suara seruannya itu sungguh keras luar biasa sehingga anak telinga semua orang serasa mendenging, suasana menjadi suram, sebagian besar lilin yang memenuhi sudut ruangan padam.

Semua orang terkejut lantas berpaling ke sana. Kongsun Ci juga kaget mendengar suara bentakan yang maha dahsyat itu. Dia menjadi bingung dan waswas ketika nampak Yo Ko serta anak perempuannya muncul di situ tanpa kurang sesuatu mendampingi orang berkedok yang aneh itu.

“Siapakah saudara?!” segera Kongsun Ci membentak.

Kiu Jian-jio sengaja membikin serak suaranya dan menjengek: “Hmm, aku adalah sanak familimu yang terdekat, masa kau pura-pura tidak kenal?”

Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain-lain juga sama tertarik oleh suara Kiu Jian-jio yang hebat itu. Mereka tahu orang aneh ini pasti bukan sembarang orang, maka serentak mereka memusatkan perhatian.

Melihat Kiu Jian-jio mengenakan baju coklat dan membawa kipas, dandanannya persis seperti Kiu-Jian-yim yang pernah diceritakan oleh isterinya dahulu, Kongsun Ci melengak sejenak. Tapi ia merasa janggal bahwa Kiu Jian-yim bisa mendadak datang ke sini. Tampaknya kedatangan orang tidak bermaksud baik, diam-diam ia bersiap siaga. Dengan dingin dia pun berkata:

“Selamanya kita belum pernah kenal, mengapa kau mengaku sanak familiku segala? Sungguh menggelikan!”

Di antara hadirin itu In Kik-si paling paham kisah dunia persilatan di masa lampau. Melihat dandanan Kiu Jian-jio, seketika pikirannya tergerak, segera dia bertanya:

“Apakah tuan ini Thi-cio-cui-siang-biau Kiu Jian-yim, Kiu-locianpwe?”

Kiu Jian-jio sengaja terbahak-bahak sambil menggoyang-goyang kipasnya, lalu menjawab:

“Ha-ha-ha! Kukira orang yang kenal diriku sudah mati semua, kiranya masih sisa seorang!”

Kongsun Ci tenang saja, katanya kemudian: “Apakah betul saudara ini Kiu Jian-yim? Hah, kukira tiruan belaka!”

Kiu Jian-jio terkejut akan kecerdikan orang, ia menjadi ragu, jangan-jangan penyamarannya telah diketahui. Maka ia hanya mendengus saja tanpa menjawab. Sementara itu Yo Ko tidak mempedulikan permainan apa yang sedang terjadi pada bekas suami isteri itu. Dia menyerobot ke samping Siao-liong-li, dengan tangan kanan membawa Coat-ceng-tan, tangan kirinya terus menyingkap kerudung muka si nona sambil berseru:

“Kokoh, lekas buka mulutmu!”

Jantung Siao-liong-li berdebar juga ketika mendadak nampak Yo Ko berada di depannya.

“He, engkau betul sudah sembuh!” serunya girang bercampur kejut.



Kini Siao-liong-li tahu betapa keji hati Kongsun Ci serta tindak tanduknya yang tak baik. Dia menyanggupi akan menjadi isterinya hanya demi menyelamatkan jiwa Yo Ko saja. Sekarang nampak anak muda itu muncul mendadak, disangkanya Kongsun Ci benar pegang janji telah menyembuhkan racun dalam tubuh Yo Ko.

Dalam pada itu Yo Ko langsung menyodorkan Coat-ceng-tan ke mulut Siao-liong-li sambil berseru:

“Lekas telan!”

Siao-liong-li tidak tahu barang apa yang disuruh makan itu, namun dia menurut dan cepat menelannya ke dalam perut. Segera terasa suatu arus hawa segar menyusup ke dalam perut.

“He, kau berikan dia, kau sendiri lantas bagaimana?” seru Lik-oh kuatir.

Seketika Siao-liong-li paham duduknya perkara, tanyanya dengan kaget: “Jadi kau sendiri belum pernah minum obat penawarnya?”

Yo Ko tersenyum saja tanpa menjawab, sementara itu ruangan pendopo sudah kacau baIau. Mestinya Kongsun Ci ingin mencegah pendekatan Yo Ko dengan Siao-liong-li, tapi dia pun jeri pada tokoh berkedok yang aneh itu. Sebelum tahu siapakah lawannya dia tak berani sembarangan bertindak. Dalam pada itu Yo Ko lantas menanggalkan topi pengantin Siao-liong-li dan di-robek, lalu nona itu digandeng ke pinggir ruangan, katanya:

“Kokoh, Kokcu bangsat itu bakal ketemu batunya, marilah kita menonton permainan yang amat menarik.”

Hati Siao-liong-li sendiri merasa kacau, dia menggelendot di tubuh Yo Ko dan tidak tahu apa yang harus diucapkan. Yang paling senang melihat kedatangan Yo Ko adalah si dogol Be Kong-co. Ia tidak ambil pusing anak muda itu sedang asyik masyuk dengan Siao-liong-li dan sepantasnya jangan diganggu, ia justru mendekati mereka serta bertanya ini dan itu tanpa habis-habis.

Pada 20-an tahun yang silam In Kik-si pernah mendengar nama Kiu Jian-yim yang amat termashur dan disegani setiap orang Bu-lim, dan kini melihat Iwekang-nya memang sangat tinggi, diam-diam ia ingin berkenalan dengan dia. Segera ia melangkah maju dan memberi hormat, sapanya:

“Hari ini merupakan hari bahagia Kongsun Kokcu, apakah Kiu-locianpwe hadir untuk minum arak bahagia pernikahannya ini?”

“Apa kau tahu dia punya hubungan apa dengan aku?” jawab Kiu Jian-jio sambil menuding Kongsun Ci.

In Kik-si menggeIeng. “Tidak tahu, justru Cayhe ingin minta penjelasan,” katanya.

“Coba kau suruh dia katakan sendiri,” ujar Kiu Jianjio.

“Apakah kau betul-betul Thi-cio-ciu-siang-biau?” terdengar Kongsun Ci menegas kembali. Mendadak dia bertepuk tangan lantas berkata kepada seorang muridnya: “Ambilkan kotak surat yang tertaruh di rak sebelah timur di kamar tulisku!”

Dalam keadaan bingung Lik-oh menarik sebuah kursi untuk ibunya duduk. Kongsun Ci amat heran anak perempuannya dan Yo Ko yang dijerumuskan ke dalam kolam buaya ternyata tidak mati, malahan sekarang muncul lagi dengan seorang yang mengaku sebagai Kiu Jian-yim. Tidak lama muridnya membawakan kotak surat yang diminta. Kongsun Ci membuka kotak itu lalu mengeluarkan sepucuk surat, katanya dengan dingin:

“Beberapa tahun yang lalu pernah kuterima surat dari Kiu Jian-yim, kalau benar engkau Kiu Jian-yim, maka surat ini yang palsu.”

Kiu Jian-jio terkejut, pikirnya: “Sejak Jiko bertengkar dengan aku, selama itu tidak pernah memberi kabar, kenapa dia bilang sudah menerima surat dari Jiko? Dan entah apa yang dikatakan di dalam suratnya itu.”

Karena itu segera dia berseru: “Huh, kapan aku pernah menulis surat kepadamu? Benar-benar omong kosong belaka!”

Dari logat bicaranya, mendadak Kongsun Ci teringat kepada seseorang. Ia terkejut, seketika keringat dingin membasahi punggungnya. Tapi segera ia berpikir.

“Ah, tidak mungkin. Dia sudah mati di goa bawah tanah, malah tulang belulangnya sekali pun sudah lapuk, mana bisa hidup lagi? Tapi orang ini sebenarnya siapa?”

Segera ia pun membentang surat tadi lalu dibacanya dengan suara lantang: “Kepada adik Ci dan adik Jio, sejak Toako tewas di tangan Kwe Ceng dan Oey Yong di Thi-cio-hong...”

Mendengar kalimat pertama dari isi surat itu, seketika hati Kiu Jian-jio menjadi pedih dan berduka, bentaknya cepat:

“Apa katamu?! Siapa bilang Toako-ku sudah mati?”

Selamanya dia berhubungan paling akrab dengan Kiu Jian-li, kini mendadak mendengar berita kematiannya, dengan sendirinya dia sangat sedih, tubuhnya gemetar dan suara pun berubah, mau tak mau keluar juga suara kewanitaannya.

Kongsun Ci amat cerdik. Begitu yakin orang yang dihadapinya ini adalah perempuan, biar pun dalam hatinya bertambah kejut dan waswas, namun ia pun tambah yakin orang pasti bukan Kiu Jian-yim, Maka ia pun lantas meneruskan membaca isi surat tadi:

“kakakmu ini merasa menyesal telah berselisih paham dengan kau sehingga selama ini kita tak pernah berkumpul. Kini kakak sudah disadarkan oleh It-teng Taysu, golok jagal sudah kubuang, kakak sudah tunduk pada ajaran Budha. Pada hari tua sekarang sering terkenang olehku alangkah senangnya ketika kita berkumpul dahulu. Mudah-mudah-an kalian hidup bahagia dan banyak rejeki...”

Sambil mengikuti bunyi isi surat itu, diam-diam Kiu Jian-jio meneteskan air mata. Setelah surat itu habis dibaca oleh Kongsun Ci, ia tidak dapat menahan tangisnya lagi, segera dia berteriak:

“O, Toako dan Jiko, tahukah kalian betapa penderitaanku ini!” Mendadak ia pun menanggalkan kedoknya dan membentak: ”Kongsun Ci, masih kenal tidak padaku?”

Suara bentakan yang menggelegar ini seketika membikin sebagian api lilin padam lagi, sisa api lilin yang lainnya juga terguncang goyang dan suram. Pada saat itulah mendadak wajah seorang nenek yang bengis muncul di hadapan semua orang. Seketika mereka terkejut, siapa pun tak berani bersuara, suasana menjadi sunyi senyap, hati setiap orang ikut berdebar-debar. Sekonyong-konyong seorang budak tua yang berdiri di pojok sana berlari-lari maju sambil berseru:

“Cubo, Cubo (majikan perempuan, Cukong - majikan Iaki-Iaki), kiranya engkau masih segar bugar!”

“Ya, Thio-jiok, syukur kau masih ingat padaku,” sahut Kiu Jian-jio sambil mengangguk.

Rupanya budak itu amat setia, ia girang melihat majikan perempuannya belum mati, berulang ia menyembah dan menyatakan syukur. Di antara tetamu yang hadir itu kecuali rombongan Kim-lun Hoat-ong selebihnya kebanyakan adalah tetangga perkampungan Cui-sian-kok, orang yang berusia setengah tua kebanyakan masih kenal Kiu Jian-jio, maka serentak mereka merubung maju untuk bertanya ini dan itu.

“Minggir semua!” bentak Kongsun Ci mendadak.

Semua orang kaget sehingga terpaksa menyingkir. Kongsun Ci menuding Kiu Jian-jio dan membentak:

“Perempuan hina, mengapa kau kembali lagi ke sini? Kau masih punya muka bertemu dengan aku?!”

Sejak mula Lik-oh berharap ayahnya mau mengaku salah dan rujuk kembali dengan sang ibu, siapa duga ayahnya malahan mengucapkan kata-kata yang begitu kasar dan ketus, saking sedihnya ia berlari ke depan sang ayah, ia berlutut dan berseru:

“O, ayah, ibu tidak meninggal! Beliau tidak meninggal! Lekaslah ayah minta maaf dan mohon supaya beliau mengampuni!”

“Mohon dia mengampuni?” jengek Kongsun Ci. “Hmm, mengampuni siapa? Memangnya apa salahku?”

“Ayah sudah memutuskan urat kaki tangan ibu dan mengeramnya di goa bawah tanah selama belasan tahun sehingga beliau tersiksa dalam keadaan mati tidak hidup pun tidak, betapa pun juga ayah telah membikin susah ibu,” kata Lik-oh dengan terguguk.

“Hm, dia sendiri yang mencelakai aku lebih dulu, kau tahu tidak?” jengek Kongsun Ci. “Ia melemparkan aku ke semak-semak bunga cinta hingga aku tersiksa oleh duri bunga. Dia merendam obat penawar dalam air warangan hingga aku menjadi serba salah, minum obat penawar itu akan mati, tidak minum juga mati, Apakah kau tahu semua kejadian ini? Dia malah memaksa aku membunuh... membunuh orang yang kucintai, tahu tidak kau?”

“Tahu, anak sudah tahu semua,” sahut Lik-oh sambil menangisi. “Dia bernama Yu-ji.”

Sudah belasan tahun Kongsun Ci tidak pernah mendengar orang menyebut nama itu. Air mukanya menjadi berubah hebat, ia menengadah dan menggumam:

“Yu-ji ya benar, Yu-Ji kekasihku, perempuan hina yang keji inilah yang memaksa aku membunuh dia.”

Kelihatan air muka Kongsun Ci semakin beringas dan penuh rasa duka. Ber-ulang dia menggumam perlahan:

“Yu-ji... Yu-ji...”

Yo Ko pikir suami-isteri konyol itu jelas bukan manusia baik, sedangkan dirinya sendiri mengidap racun dan takkan hidup lama lagi di dunia ini, pada kesempatan terakhir ini hanya berharap akan berkumpul dengan Siao-Iiong-li di tempat yang sunyi untuk melewatkan tempo yang tak lama lagi itu dengan tenteram, maka sama sekali tidak ada minat buat ikut campur persoalan Kongsun Ci dan isterinya. Segera dia menarik Siao-liong-li dan mengajaknya pergi saja.

“Apakah betul wanita ini adalah isterinya dan benar-benar telah dikurung selama belasan tahun?” mendadak Siao-liong-li bertanya dengan hati yang tulus, sungguh dia tak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang sejahat itu.

“Ya, mereka suami-isteri cuma saling balas dendam belaka,” kata Yo Ko.

Siao-liong-li termenung sejenak, lalu berkata dengan suara tertahan: “Sungguh aku tidak paham. Masa wanita ini serupa aku dan juga dipaksa menikah dengan dia?”

Menurut jalan pikiran gadis ini, kalau dua orang tidak dipaksa untuk menikah, seharusnya pasangan itu akan berkasih sayang, mana mungkin saling menyiksa begitu kejam.

“Di dunia ini sedikit sekali orang baik dan lebih banyak orang jahat,” ujar Yo Ko sambil menggeleng. “Hati orang-orang begini memang sukar juga dijajaki.”

Baru saja berkata sampai di sini, mendadak terdengar Kongsun Ci membentak: “Minggir!” Berbareng sebelah kakinya mendepak, kontan tubuh Lik-oh mencelat.

Arah mencelatnya tubuh Kongsun Lik-oh tepat menuju ke dada Kiu Jian-jio, padahal Kiu Jian-jio dalam keadaan lumpuh, kaki tangannya lemas tak bertenaga, maka terpaksa dia menunduk dan ingin mengelak. Namun tubrukan Lik-oh itu datangnya teramat cepat.

“BIukk!” Dengan tepat tubuh si nona menumbuk badan ibunya.

Kontan Kiu Jian-jio jatuh terjengkang bersama kursinya. Kepalanya yang botak tepat membentur tiang batu dan seketika darah muncrat serta tak dapat bangun. Lik-oh sendiri juga jatuh tersungkur dan pingsan karena depakan sang ayah.


PEMBALASAN KIU-JIAN-JIO

Dalam keadaan begitu mau tak mau Yo Ko menjadi gusar sekali menyaksikan keganasan Kongsun Ci. Baru saja ia hendak memburu maju, tiba-tiba Siao-liong-li melompat maju lebih dulu untuk membangunkan Kiu Jian-jio lalu mengurut beberapa kali di belakang kepala nenek itu untuk menghentikan darahnya, dia merobek ujung baju membalut lukanya kemudian dia membentak Kongsun Ci:

“Kongsun-siansing, dia adalah isterimu yang sah, kenapa kau perlakukan dia begini? Jika kau telah beristeri, kenapa ingin menikahi aku pula? Seumpama aku jadi menikah dengan kau, bukankah kelak kau pun akan memperlakukan diriku seperti dia ini?”

Beberapa pertanyaan yang begitu tepat ini membikin Kongsun Ci melongo dan tidak dapat menjawab. Serentak Be Kong-co bersorak memuji, sedangkan Siau-siang-cu menanggapi dengan ucapan:

“Hm, jitu benar kata-kata nona ini.”

Dasar Kongsun Ci sudah tergila-gila kepada Siao-liong-li, maka ia pun tidak menjadi marah, dengan suara halus ia menjawab:

“Liu-ji, mana bisa kau dibandingkan dengan perempuan busuk ini? Cintaku padamu tanpa batas, kalau aku mempunyai pikiran buruk padamu, biarlah aku mati tak terkubur.”

“Bagiku di dunia ini cukup hanya dia seorang saja yang mencintai aku, sekali pun engkau suka padaku seratus kali lipat juga aku tidak kepingin,” jawab Siao-liong-li hambar sambil mendekati Yo Ko dan menggenggam tangannya.

Tidak kepalang rasa gembira hati Yo Ko melihat betapa cintanya Siao-liong-li kepadanya, tapi rasa gemasnya pada Kongsun Ci juga memuncak bila ingat umurnya tinggal berapa hari saja dan semua itu gegara perbuatan Kongsun Ci. Maka dengan marah dia menuding dan memaki:

“Hm, kau berani bilang tiada pikiran buruk kepada Kokoh? Hm, kau menjebloskan aku ke kolam buaya, lalu menipu Kokoh agar mau menikah dengan kau, apakah perbuatanmu ini baik? Kokoh sudah terkena racun bunga cinta, padahal kau tahu tiada obat lagi untuk menyelamatkan dia, tapi hal ini tidak kau katakan padanya, apakah ini maksud baikmu?”

Siao-liong-li terkejut mendengar ucapan Yo Ko. Dengan suara gemetar dia menegas: “Apakah betul begitu?”

“Tapi tidak menjadi soal lagi, tadi kau sudah minum obat penawarnya,” ujar Yo Ko sambil tersenyum. Senyuman yang pedih dan girang mengingat obat Coat-ceng-tan akhirnya dapat disampaikan dan diminum oleh Siao-Iiongli, maka mati pun sekarang dia rela!

Kongsun Ci memandang ke sana dan ke sini, sorot matanya mengusap wajah Kiu Jian-jio, Siao–liong-li dan Yo Ko bertiga, hatinya penuh dengan rasa cemburu, benci dan napsu berahi, ya kecewa, ya malu, macam-macam perasaan berkecamuk menjadi satu. Meski biasanya dia sangat sabar, namun kini dia sudah berpikiran gelap dan setengah gila. Sekonyong-konyong dia berjongkok dan melolos keluar sepasang senjatanya dari bawah selimut merah yang digunakan sebagai alas kaki waktu upacara tadi.

“Trangg...!” dia mengadu kedua senjata dan membentak: “Baik, baik sekali! Biarlah hari ini kita gugur bersama.”

Karena sama sekali tak menyangka Kongsun Ci akan menyembunyikan senjata di bawah perabot sembahyang pernikahannya, maka semua orang berseru kaget.

Segera Siao-Iiong-Ii menjengek: “Ko-ji, orang jahat begini buat apa sungkan-sungkan lagi padanya?”

“Crengg...!” dari dalam baju pengantinnya dia pun mengeluarkan sepasang pedang hitam lemas itu. Kun-cu-kiam dan Siok-li-kiam.

“Aha, bagus! Jadi demi menolong diriku maka Kokoh berpura-pura mau menikah dengan dia?” seru Yo Ko girang.

Perlu dimaklumi bahwa biar pun Siao-liong-li tidak paham seluk beluk kehidupan manusia, namun terhadap orang yang dibencinya, turun tangannya sedikit pun tidak kenal ampun, seperti dahulu waktu dia menuntut balas kematian Sun-popoh, pernah dia mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong dan membikin kalang-kabut para imam Coan-cin-kau, malahan jiwa Kong-leng-cu Hek Tay-thong hampir melayang di tangannya. Sekarang Kongsun Ci telah membikin dia merana dan tidak dapat berkumpul dengan Yo Ko, diam-diam dia sudah bertekad akan melabrak orang meski harus mengorbankan jiwa sendiri.

Sebab itulah di dalam baju pengantinnya diam-diam ia sembunyikan sepasang pedang. Asalkan Yo Ko sudah diobati, segera ia mencari kesempatan untuk membunuh Kongsun Ci. Kalau gagal maka ia pun akan membunuh diri dan takkan mengorbankan kesuciannya di Cui-siang-kok. Para hadirin juga heran dan kaget melihat dua calon pengantin itu menyembunyikan senjata, hanya beberapa tokoh lihay seperti Kim-lun Hoat-ong saja sudah menduga pesta pernikahan ini pasti akan berakhir dengan keonaran.

Tetapi melihat Kiu Jian-jio hanya tertumbuk oleh tubuh Kongsun Lik-oh saja lantas roboh, jauh tidak seimbang dengan Iwekangnya yang maha tinggi, mau tak mau semua orang menjadi heran.

Yo Ko lantas menerima Kun-cu-kiam dari tangan Siao-liong-li, katanya: “Kokoh, mari kita bunuh bangsat ini untuk membalas sakit hatiku.”

“Membalas sakit hatimu?” Siao-liong-li menegas sambil menggetar pedang Siok-li-kiam.

Diam-diam hati Yo Ko berduka, tetapi mengingat hal itu tak dapat dijelaskan kepada Siao-liong-li, maka terpaksa ia hanya menjawab:

“Ya, tidak sedikit orang baik-baik yang sudah dicelakai bangsat ini.”

Habis berkata Kun-cu-kiam bergerak, langsung dia menusuk iga kiri Kongsun Ci. Dia tahu pertarungan sekarang pasti akan berlangsung dahsyat dan berbahaya. Dia sendiri mengidap racun, bila kedua orang memainkan ‘Giok-li-kiam-hoat’ lalu merangsang perasaan cinta, maka mereka akan kesakitan seketika. Karena itu pandangannya lurus menatap musuh, yang dimainkan adalah ‘Coan-cin-kiam-hoat’.

Kongsun Ci juga tahu betapa lihaynya ilmu pedang gabungan kedua muda-mudi itu, maka begitu bergebrak segera dia lancarkan serangan Im-yang-to-hoat yang terbalik itu, pedang hitam bermain dengan gaya golok, sedangkan golok bergigi bermain dengan gaya pedang, setiap jurus serangannya lihay luar biasa.

Namun ilmu pedang Coan-cin-pay yang dimainkan Yo Ko itu adalah ciptaan Ong Tiong-yang, cikal bakal Coan-cin-pay, sungguh pun tidak seganas serangan musuh, namun gayanya indah dan perubahannya rumit. Dia berjaga saja dengan rapat dan menyambut setiap serangan musuh dengan baik. Sudah tentu Siao-liong-li juga tidak kurang lihaynya. Dia membentak nyaring, Siok-Ii-kiam segera menusuk punggung Kongsun Ci.

Dongkol dan menyesal Kongsun Ci tidak terperikan. Nona secantik bidadari ini mestinya sudah menjadi isterinya kalau Yo Ko tidak muncul, tapi sekarang justru bergabung dengan anak muda ini untuk mengerubutnya. BegituIah makin dipikir makin murka Kongsun Ci, tapi serangannya tetap berjalan dengan ganas.

Di pihak lain Siao-liong-li telah mainkan Giok-li-kiam-hoat, maksudnya ingin mengadakan kontak batin dengan Yo Ko supaya daya ilmu pedang bisa dikeluarkan seluruhnya, siapa tahu anak muda itu selain menghindarkan adu pandang dengan dia juga cuma bertempur dengan caranya sendiri.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar