Sabtu, 28 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 097

Girang sekali Yo Ko, cepat dia berseru: “Dengan tenaga kita bertiga tentu bisa.”

Segera Lik-oh menggendong sang ibu, atas petunjuk nenek itu mereka segera menyusur ke ujung goa sebelah sana. Setiba di samping sebatang pohon kurma raksasa, Kiu Jian-jio menuding lubang goa bagian atas dan mengejek:

“Nah, kalau kau mampu boleh coba kau melompat keluar dari situ!”

Waktu Yo Ko menengadah, terlihat lubang goa itu sedikitnya ada ratusan meter tingginya, andaikan dapat memanjat sampai pucuk pohon juga tak berguna. Diam-diam Yo Ko mendongkol melihat sikap Kiu Jian-jio yang demikian sinis, sikap yang mencemoohkan. Ia pikir kalau aku tidak mampu keluar toh kau juga takkan bisa keluar, kenapa mesti menyindir? Ia coba berpikir sejenak, ia merasa memang serba susah dan tidak berdaya, akhirnya ia berkata:

“Coba kupanjat ke atas pohon, sekiranya dapat kulihat sesuatu di sana.”

Cepat ia melompat ke atas pohon kurma besar itu lalu memanjat ke pucuknya. Dilihat dinding goa itu berlekak-lekuk tidak merata dan tidak selicin pada bagian bawah. Ia coba menarik napas panjang, lalu melompat ke dinding goa terus merambat ke atas, semakin merayap semakin tinggi. Diam-diam dia girang. Dia menoleh dan berseru kepada Lik-oh:

“Nona Kongsun, kalau aku berhasil keluar goa ini, segera kuturunkan tali untuk mengerek kalian ke atas.”

Dia terus merayap hingga ratusan meter, berkat Ginkang-nya yang tinggi segala rintangan dapatlah diatasi. Tapi ketika 20-an meter hampir mencapai mulut goa, dindingnya ternyata licin luar biasa dan tiada tempat lagi yang dapat dipegang atau dipijak, bahkan dindingnya miring ke bagian dalam. Dengan keadaan demikian hanya cecak, lalat atau sebangsanya saja yang dapat merayap ke atas tanpa kuatir terpeleset.

Yo Ko mengamati sekitar situ, diam-diam ia mendapatkan akal. Segera ia merosot turun ke dasar goa dan berkata kepada Lik-oh berdua:

“Mungkin dapat keluar, cuma kita harus membuat seutas tambang yang panjang dan kuat.”

Segera ia mengeluarkan belati kemudian mengumpulkan kulit pohon kurma untuk dipintal menjadi tambang yang kuat. Lik-oh juga membantunya. Menjelang magrib barulah mereka berhasil memintal seutas tambang kulit pohon kurma yang amat panjang, Yo Ko menarik dan membetot sekuatnya, lalu berkata:

“Cukup kuat, tambang ini tak akan putus.”

Lalu ia memotong sebatang dahan pohon sepanjang tiga meteran, sebelah ujung tambang itu diikatnya di tengah, kemudian dibawanya serta memanjat lagi ke atas dinding goa. Setiba di tempat yang dapat dicapainya tadi, ia pasang kuda-kuda dan berdiri dengan mantap pada dinding, dia kumpulkan tenaga pada tangannya, lalu membentak:

“Naik!”

Sekuatnya ia lemparkan dahan pohon bertali tadi keluar mulut goa. Tenaga yang dia gunakan ternyata sangat tepat. Waktu dahan pohon itu jatuh ke bawah, dengan tepat melintang dan menyangkut pada mulut goa. Cepat Yo Ko menarik beberapa kali dan terasa cantolan dahan pohon sangat kukuh dan cukup kuat menahan bobot tubuhnya. Dengan girang dia menoleh ke bawah dan berseru:

“Aku naik ke atas!”

Habis itu kedua tangannya bekerja cepat bergantian, dengan gesit ia merambat ke atas. Waktu ia memandang lagi ke bawah, samar-samar ia melihat bayangan kepala Lik-oh dan ibunya telah berubah menjadi dua titik kecil.
Girang dan lega sekali hati Yo Ko mengingat tidak lama lagi dapat menyampaikan Coat-ceng-tan kepada Siau-liong-li, karena itu dia merambat lebih giat, hanya sebentar saja tangannya sudah dapat meraih dahan pohon yang melintang, sekali tarik, cepat sekali tubuhnya melayang keluar goa dan menancapkan kakinya di atas tanah. Dia menarik napas dan membusungkan dada. Dilihat rembulan baru muncul dari balik gunung. Hampir seharian dia terkurung di goa bawah tanah yang apek dan gelap itu, kini mendapatkan kembali kebebasan terasalah segar tak terkatakan. Segera ia mengulurkan tali panjang itu ke bawah.

Melihat Yo Ko berhasil keluar dari goa, kontan Kiu Jian-jio marah-marah dan mendamprat anak perempuannya:

“Goblok, mengapa kau membiarkan dia keluar sendirian? Sesudah keluar masa dia ingat lagi pada kita?”

“Jangan kuatir, ibu, Yo-toako bukanlah manusia begitu,” ujar Lik-oh.

“Huh, semua lelaki di dunia ini sama saja, mana ada yang baik?” kata Kiu Jian-jio dengan marah. Dia berpaling dan mengamat-amati Lik-oh dari ubun-ubun hingga ujung kaki, lalu menatap wajahnya dan berkata pula: “Anak bodoh, kau telah kena digasak olehnya, bukan?”

Muka Lik-oh menjadi merah, jawabnya: “Apa yang kau maksudkan, ibu, aku tidak paham.”

Kiu Jian-jio tambah marah, damperatnya: “Kau tidak paham? Tapi kenapa mukamu merah? Ketahuilah bahwa terhadap lelaki sedikit pun tak boleh longgar, harus kau pegang ekornya kencang-kencang, tidak boleh lena, cermin yang paling baik adalah nasib ibumu ini!”

Tengah mengomel, mendadak Lik-oh memburu ke sana dan menangkap ujung tali yang dijulurkan Yo Ko. Cepat ia mengikat kencang pinggang sang ibu, lalu katanya dengan tertawa:

“Lihatlah ibu, bukankah Yo-toako tetap ingat kepada kita?”

“Hm,” Kiu Jian-jio mendengus, “kau harus dengar pesan ibumu ini, nanti sesudah berada di luar sana kau harus kuntit dia serapatnya, satu langkah pun tidak boleh berpisah. Tahu tidak?”



Lik-oh merasa dongkol, geli dan duka pula. Ia tahu maksud baik sang ibu, tapi ia pun berpikir masa Yo Ko mau memperhatikan dia? Mendadak matanya menjadi merah dan basah, cepat ia berpaling ke sana. Kiu Jian-jio hendak mengoceh lagi, tetapi pinggangnya terasa kencang, tubuhnya lantas melayang ke atas. Sambil mendongak Lik-oh mengikuti sang ibu yang dikerek. Meski pun ia yakin sebentar lagi Yo Ko pasti akan menurunkan kembali tali untuk menolong dirinya, tetapi sekarang berada seorang diri di dalam goa, mau tak mau ia menjadi gemetar dan takut.

Setelah mengerek Kiu Jian-jio keluar dari goa, cepat Yo Ko melepaskan tali dari pinggang orang tua itu lantas kembali diulur ke dalam goa. Girang sekali Lik-oh. Dia ikat pinggang sendiri dengan tali kulit pohon itu, lalu ia sendal beberapa kali sebagai tanda siap. Segera terasa tali tertarik kencang dan tubuhnya terus naik ke atas.

Lik-oh melihat pohon kurma di bawah itu semakin mengecil, sebaliknya titik-titik bintang di atas sana semakin terang, rasanya sebentar lagi dirinya pasti dapat keluar dari goa. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar gertakan seseorang, menyusul tali mengendur dan tubuh Lik-oh anjlok ke bawah dengan cepat. Terjatuh dari ketinggian ratusan meter, mustahil tubuhnya takkan hancur lebur! Keruan Lik-oh menjerit kaget, hampir saja ia pingsan, dirasakan tubuhnya meluncur terus ke bawah, sedikit pun tak kuasa menahan.

Sementara itu di atas goa Yo Ko merasakan angin kuat menyambar dari arah belakang. Sungguh terkejutnya tidak kepalang, hingga tidak sempat memikirkan membalik tubuh untuk menghadapi musuh, tapi kedua tangannya bergantian dengan cepat menarik talinya. Namun segera terdengar angin menyambar, sebatang tongkat baja yang amat berat menghantam tubuhnya. Dari suara sambaran senjata itu Yo Ko tahu penyerang itu Hoat It-ong. Dalam keadaan kepepet terpaksa ia menggunakan tangan kirinya untuk menangkis, dia berusaha mendorong tongkat lawan ke samping agar hantaman itu dapat dipatahkan.

Hoat lt-ong merasa dendam karena jenggot kesayangannya kena dikacip oleh Yo Ko, maka serangannya tidak mengenal ampun. Sekali putar tongkatnya membalik menyabet lagi ke pinggang Yo Ko dengan sepenuh tenaga, bila kena, maka tubuh Yo Ko pasti akan patah menjadi dua.

Dalam keadaan cuma tangan kanan saja digunakan untuk menahan bobot tubuh Kongsun Lik-oh, ditambah lagi tali yang panjangnya ratusan meter itu pun cukup berat, lama-lama terasa payah juga bagi Yo Ko. Maka ketika melihat tongkat musuh menyambar tiba lagi, terpaksa ia gunakan tangan kiri untuk menahannya. Di luar dugaan sambaran tongkat Hoan It-ong sekali ini sungguh dahsyatnya luar biasa. Begitu tangan kiri Yo Ko menyentuh tongkat, seketika tubuhnya tergetar, tangan kanan menjadi kendur, tali yang dipegangnya terlepas, tanpa ampun tubuh Lik-oh anjlok ke bawah dengan cepat.

Di dalam goa Lik-oh menjerit kaget, di luar Yo Ko dan Kiu Jian-jio juga berteriak kuatir. Yo Ko tidak sempat memikirkan lagi serangan tongkat musuh, cepat tangan kirinya meraih, dengan setengah berjongkok ia berusaha memegang tali panjang itu, namun daya jatuh Lik-oh itu sungguh hebat sekali, bobot tubuh yang ratusan kati itu ditambah daya jatuhnya yang keras bisa mencapai ribuan kati beratnya.

Ketika Yo Ko berhasil memegang tali dan bertahan, segera ia terbetot daya anjloknya tubuh Lik-oh yang hebat itu, tanpa kuasa ia sendiri pun ikut terjerumus ke dalam goa dengan terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas. Meski sekarang ilmu silat Yo Ko sudah mencapai tingkatan kelas satu, tapi lantaran tubuh terapung di udara, pula daya turun tubuh Lik-oh itu seakan-akan membetotnya ke bawah, maka dia menjadi mati kutu, kecuali ikut jatuh ke bawah, kepandaiannya sedikit pun tidak dapat dikeluarkannya.

Menyaksikan kejadian itu, kaget dan kuatir Kiu Jian-jio tak kurang dari pada Yo Ko dan Lik-oh. Karena dia lumpuh, juga ilmu silatnya sudah punah, sama sekali dia tak dapat berbuat apa-apa dan cuma kuatir belaka. Dilihat tali yang panjangnya beratus meter itu masih terus melorot dan makin pendek, asalkan tali itu habis, maka riwayat Yo Ko dan Kangsun Lik-oh tamat. Karena tali itu hampir habis terseret ke dalam goa, saking kencangnya tertarik oleh bobot tubuh Yo Ko beserta Lik-oh, mendadak bagian tali yang masih tersisa belasan meter itu beterbangan menyebar ke samping Kiu Jian-jio.

Pikiran nenek itu langsung tergerak. Ia pikir keparat cebol itu telah membikin celaka anak perempuannya, maka biarlah kubikin kau mampus juga. Sungguh hebat daya jatuh Lik-oh serta berat tali yang ratusan meter itu, sehingga Yo Ko ikut terjerumus jungkir balik ke dalam sumur. Begitulah dia mengincar tali itu, lalu sebelah tangannya menyampuk perlahan. Sampukan itu tidak memerlukan banyak tenaga, namun arahnya sangat tepat. Ketika bagian tali itu menyambar ke sana, dengan tepat melilit beberapa putaran pinggang Hoan It-ong.

Maksud tujuan Kiu Jian-jio sebenarnya ingin membikin Hoan lt-ong ikut terseret ke dalam goa dan mati terbanting, sebab ia merasa tidak dapat menyelamatkan jiwa putrinya. Siapa tahu si kakek cebol yang berwajah jelek ini ternyata memiliki tenaga sakti yang luar biasa kuatnya. Ketika mendadak merasa pinggangnya terbelit tali lantas mengencang, cepat dia mempergunakan kepandaian Jian-kin tui (ilmu membikin berat tubuh laksana ribuan kati) untuk menahan geseran tubuhnya.

Akan tetapi gabungan bobot tubuh Yo Ko bersama Lik-oh ditambah daya tarik ke bawah yang maha dahsyat tetap menyeretnya ke depan selangkah demi selangkah menuju ke mulut goa, tampaknya kalau dia melangkah lagi satu-dua tindak tentu dia akan ikut terjungkal. Saking kagetnya dia pegang tali itu sekuatnya sambil ditarik ke belakang, bahkan disertai dengan bentakan menggelegar dan sungguh hebat, tali itu ternyata kena ditariknya hingga berhenti seketika.

Padahal saat itu jarak Lik-oh dengan permukaan tanah hanya tinggal belasan meter saja, boleh dikatakan mendekati detik terakhir ajalnya. Maklumlah, justru daya anjlokan itulah yang paling berbahaya. Biar pun hanya sepotong batu kecil saja, apa bila dijatuhkan dari tempat setinggi itu akan membawa kekuatan yang amat besar, apa lagi bobot tubuh manusia.

Sesudah Hoan It-ong berhasil menahan daya anjlokan dengan tenaga saktinya, maka bobot dua tubuh manusia ditambah tali sepanjang beratus meter yang seluruhnya paling-paling cuma dua-tiga ratus kati saja boleh dikatakan tiada artinya lagi baginya. Dengan sebelah tangannya segera ia hendak melepaskan lilitan tali pada pinggangnya itu kemudian akan menjerumuskan lagi kedua orang itu. Akan tetapi, sebelum dia sempat berbuat lebih banyak, sekonyong-konyong punggungnya terasa sakit. Sebuah benda runcing tepat mengancam Leng-tay-hiat di bagian tulang punggung. Suara seorang wanita lantas membentaknya pula:

“Lekas tarik ke atas!”

Sekali Leng-tay-hiat tertusuk, segenap urat nadi akan putus semua.!


KEKEJIAN KON-SUN-CI

Tidak kepalang kaget Hoan It-ong. ‘Sekali Leng-tay-hiap tertusuk, segenap urat nadi putus semua’ adalah istilah yang sering diucapkan gurunya di waktu mengajarkan ilmu Tiam-hiat padanya, artinya kalau Hiat-to yang dimaksud itu terserang, maka binasalah orangnya. Maka Hoat It-ong tidak berani membangkang, terpaksa kedua tangannya bekerja cepat menarik Yo Ko dan Lik-oh. Ketika menahan daya anjlokan tadi dia telah mengeluarkan tenaga terlampau hebat sehingga kini dadanya terasa sesak dan darahnya bergolak hendak tersembur keluar. Dia tahu dirinya terluka dalam, celakanya bagian mematikan terancam musuh pula, maka terpaksa dia berusaha mati-matian menarik tali.

Dengan susah payah akhirnya Hoat It-ong dapat menarik Yo Ko ke atas. Hatinya menjadi rada lega, seketika tangannya menjadi lemas, kontan darah tumpah dari mulutnya, dan akhirnya dengan tubuh lemas dia roboh terkulai.

Karena robohnya Hoat It-ong, tali yang dipegangnya terlepas dan merosot lagi ke dalam goa. Keruan Kiu Jian-jio terkejut, cepat dia berteriak:

“Lekas tolong Lik-ji!”

Tanpa disuruh juga Yo Ko lantas menubruk maju dan syukur masih keburu memegang tali itu. Akhirnya Lik-oh dapat pula dikerek ke atas. Mengalami naik turun beberapa kali di lorong sumur itu, Lik-oh seolah-olah bercanda dengan maut, maka begitu keluar dari sumur, keruan dia pingsan saking ketakutan.

Cepat Yo Ko menotok Hiat-to Hoan It-ong agar kakek cebol itu tidak dapat berkutik. Barulah ia menolong Lik-oh, ia pijat Jin-tiong-hiat (antara atas bibir dan bawah hidung) nona itu, tidak Iama nona itu pun siuman.

Perlahan-lahan Lik-oh membuka mata. Dia tidak tahu lagi sekarang dirinya berada di mana, di bawah sinar bulan samar-samar dilihatnya Yo Ko berdiri di depannya dan tengah memandang dengan senyum simpul. Tanpa tertahan dia terus menubruk dalam pelukan pemuda itu sambil berseru:

“O, Yo-toako, apakah kita sudah berada di akhirat?”

Sambil merangkul si cantik dan tertawa Yo Ko menjawab: “Ya, kita sudah mati semua.”

Mendengar ucapan Yo Ko itu mengandung nada kelakar, cepat Lik-oh mendongak memandang muka pemuda itu. Namun segera dilihatnya pula sang ibu sedang menatap dengan senyum aneh, maka dia menjadi jengah dan cepat melepaskan diri dari pelukan Yo Ko.

Betapa pun Yo Ko sangat kagum pada Kiu Jian-jio yang lumpuh itu tapi dapat mengatasi Hoan-It-ong untuk menyelamatkan jiwanya, segera ia bertanya:

“Dengan cara bagaimana tadi engkau membikin kakek cebol ini mati kutu?”

Kiu Jian-jio tersenyum sambil mengangkat sebelah tangannya, yang dipegang adalah sepotong batu kecil yang ujungnya runcing. Karena kepandaian Kongsun Ci adalah ajaran Kiu Jian-jio sendiri, sedangkan Hoan It-ong adalah murid Kongsun Ci, maka tidak heran bila Hoan It-ong dibikin mati kutu oleh ancaman Kiu Jian-jio walau pun sebenarnya nenek itu tak bertenaga sama sekali.

Kini yang terpikir oleh Yo Ko hanya keselamatan Siao-liong-li saja, sedangkan Kongsun Lik-oh dan Kiu Jian-jio sudah berada di tempat yang aman, Hoan It-ong juga sudah dibuatnya tak berkutik. Segera ia berkata:

“Harap kalian berdua menunggu sebentar, aku perlu mengantarkan Coat-ceng-tan lebih dulu.”

Kiu Jian-jio menjadi heran, tanyanya: “Coat-ceng-tan apa? Kau juga punya?”

“Ya, lihatlah ini, bukankah ini Coat-ceng-tan tulen?” jawab Yo Ko. Lalu dia mengeluarkan botol kecil dan menuang pil yang berbentuk persegi itu.

Setelah mengambilnya dan diendus beberapa kali, Kiu Jian-jio berkata: “Betul, inilah Coat-ceng-tan. Mengapa obat ini bisa berada padamu? Kau sendiri terkena racun bunga cinta, mengapa kau tidak meminumnya sendiri?”

“Soal ini cukup panjang untuk diceritakan,” ujar Yo Ko, “nanti setelah kuantarkan obat ini barulah kuceritakan kepada Locianpwe.” Habis itu ia terima kembali obat itu terus hendak melangkah pergi.

Sedih dan prihatin pula hati Lik-oh, dengan perasaan hampa dia berkata: “Yo-toako, kalau ayahku merintangi kau, kukira kau harus mencari akal yang baik.”

“Kembali ayah!” bentak Kiu Jian-jio, “Kalau kau memanggjl dia ayah lagi, selanjutnya kau jangan memanggil ibu.”

“Aku hendak mengantarkan obat untuk menyembuhkan Kokoh yang keracunan, tentu Kongsun Kokcu tak akan merintangiku,” ujar Yo Ko.

“Tapi kalau dia menjebak dengan cara lain?” kata Lik-oh lagi.

“Apa boleh buat, terpaksa aku akan bertindak menurut keadaan,” jawab Yo Ko.

Kiu Jian-jio menjadi curiga melihat tekad Yo Ko itu, segera dia bertanya: “Jadi kau perlu menemui Kongsun Ci, begitu?”

Yo Ko mengiyakan tanpa sangsi.

“Baik, aku ikut ke sana, mungkin dapat kubantu kau apa bila perlu,” kata Kiu Jian-jio.

Maksud tujuan Yo Ko hanyalah ingin menyelamatkan Siao-liong-li belaka dan tidak pernah memikirkan urusan lain. Sekarang mendengar Kiu Jian-jio hendak ikut, timbul setitik cahaya di dalam benaknya, pikirnya: “Kalau saja isteri pertama Kokcu bangsat itu muncul mendadak, masa dia dapat menikahi Kokoh lagi?” Sungguh girangnya tak terkatakan. Tapi tiba-tiba teringat pula: “Coat-ceng-tan hanya ada satu biji, meski pun dapat menyelamatkan jiwa Kokoh, diriku tetap tak terhindar dari kematian.” Berpikir demikian, seketika dia menjadi sedih pula.

Melihat air muka Yo Ko sebentar gembira dan di lain saat sedih, Lik-oh menjadi bingung, apa lagi ayah ibunya sebentar lagi bakal bertemu kembali dan entah bagaimana jadinya nanti, sungguh kacau benar pikirannya.

Sebaliknya Kiu Jian-jio tampak sangat senang dan bersemangat. Dia berseru: “Hayo anak Lik, lekas gendong aku ke sana!”

“Kukira ibu perlu mandi dulu dan berganti pakaian,” ujar Lik-oh.

Sesungguhnya dia hanya takut menyaksikan adegan pertemuan kembali ayah-bundanya nanti, maka maksudnya sengaja mengulur tempo belaka.

Kiu Jian-jio menjadi gusar, omelnya: “Memang bajuku hancur dan badanku kotor begini karena perbuatan siapa? Apakah...” Sampai di sini, tiba-tiba teringat olehnya dulu Toako Kiu Jian-li sering menyamar menjadi Jiko Kiu Jian-yim untuk menggertak orang di dunia Kangouw dan tidak sedikit tokoh persilatan yang mengkeret kena digertaknya.

Kini diri sendiri dalam keadaan lumpuh dan pasti bukan tandingan Kongsun Ci, sekali pun nanti berhadapan sakit hati sulit terbalas, jalan satu-satunya hanya menyaru sebagai Jiko untuk menggertak Kongsun Ci, biar nyalinya pecah hingga ketakutan setengah mati, setelah itu barulah aku turun tangan menurut gelagat nanti. Untungnya Kongsun Ci tidak pernah kenal Jiko, pula mengira diriku sudah mati dalam goa bawah tanah, dia pasti tidak curiga.

Begitulah diam-diam Kiu Jian-jio merencanakan cara menundukkan Kongsun Ci nanti, tapi segera terpikir pula: ”Sekian tahun menjadi isterinya, masa ia akan pangling padaku?”

Melihat si nenek ter-mangu ragu, Yo Ko dapat menerka sebagian apa yang dipikirkan oleh orang tua itu, katanya kemudian:

“Apakah engkau takut dikenali Kongsun Ci? Ha-ha, jangan kuatir aku mempunyai sesuatu barang mestika.”

Segera dia keluarkan kedok kulit dan dipakai pada mukanya sendiri. Wajahnya berubah sama sekali, seram menakutkan tanpa emosi.

Kiu Jian-jio girang bukan main, segera dia terima kedok kulit tipis itu, katanya: “Anak Lik, kau mendekati belakang perkampungan dan sembunyi di hutan sana, lalu kau menyusup ke sana mengambilkan sehelai baju coklat serta sebuah kipas bulu, jangan lupa.”

Lik-oh mengiakan, lalu dia berjongkok dan menggendong sang ibu. Waktu Yo Ko memandang sekelilingnya, kiranya sekarang mereka berada di atas bukit yang dikelilingi hutan lebat, perkampungan Cui-sinkouw kelihatan remang-remang di sebelah bukit sana.

Sambil menghela napas Kiu Jian-jio berkata: “Bukit ini bernama Le-kui-hong (bukit hantu). Konon di puncak ini sering ada hantu yang mengganggu orang, maka biasanya tiada orang berani naik ke sini. Sungguh tak tersangka bahwa kelahiranku kembali di dunia ini justru berada di bukit ini.”

Segera Yo Ko membentak Hoan It-ong untuk mengorek keterangan: “Lekas katakan, untuk apa kau datang ke sini?”

Meski berada dalam cengkeraman musuh, sedikit pun Hoan It-ong tidak gentar. Dia balas membentak:

”Tidak perlu banyak omong, lekas kau bunuh saja diriku!”

“Kongsun Kokcu yang mengirim kau ke sini, bukan?” desak Yo Ko.

“Benar,” jawab Hoan It-ong dengan marah, “Suhu memerintahkan aku memeriksa sekitar bukit ini untuk menjaga penyusupan musuh, Ternyata dugaan beliau tidak meleset, memang betul ada orang sedang main gila di sini,” Sembari bicara ia terus mengawasi Kiu Jian-jio. Dia heran siapakah nenek botak ini, dan mengapa nona Kongsun memanggil ibu padanya?

Maklumlah usia Hoan It-ong memang jauh lebih tua dari pada Kiu Jian-jio dan Kongsun Ci. Dia sudah mahir ilmu silat sebelum berguru pada Kongsun Ci, waktu masuk perguruan ia tidak pernah bertemu dengan Kiu Jian-jio karena telah dijebloskan ke dalam goa bawah tanah oleh Kongsun Ci. Tetapi dari percakapan Yo Ko bertiga Hoan It-ong yakin mereka pasti akan memusuhi sang guru.

Kiu Jian-jio menjadi marah. Dari nada ucapan Hoan It-ong dapat diketahuinya kakek cebol itu jelas amat setia pada Kongsun Ci. Segera ia berseru kepada Yo Ko:

“Lekas binasakan dia dari pada menanggung risiko di kemudian hari.”

Yo Ko menoleh, dilihatnya Hoan It-ong tak gentar menghadapi kemungkinan dibunuh, diam-diam ia kagum akan sikapnya yang jantan itu. Namun ia pun tidak ingin membantah keinginan Kiu Jian-jio, maka katanya kepada Lik-oh:

“Nona Kongsun, boleh kau gendong ibumu turun dulu ke sana, segera aku menyusul setelah kubereskan si cebol ini.”

Kongsun Lik-oh kenal pribadi Toa-suheng-nya yang baik itu, ia tidak tega melihat Hoan It-ong mati konyol, maka ia mohon ampun:

“Yo-toako...”

“Lekas berangkat... lekas!” tiba-tiba Kiu Jian-jio menyentaknya dengan gusar, “Apa yang kukatakan selalu kau bantah, percuma saja punya anak perempuan seperti kau.”

Lik-oh tak berani bicara Iagi, cepat dia menggendong sang ibu lalu turun dari bukit itu. Yo Ko mendekati Hoan It-ong lalu membuka Hiat-to bagian lengan yang ditotoknya tadi. Dengan suara tertahan ia pun berkata:

“Hoan-heng, Hiat-to pada kakimu yang kututuk tadi akan buyar dengan sendirinya setelah lewat 6 jam. Selamanya kita tidak ada permusuhan apa pun, aku tidak ingin mencelakai kau,” Habis berkata ia terus menyusul Lik-oh dengan Ginkang-nya yang tinggi.

Sebenarnya Hoan It-ong sudah pejamkan mata dan menunggu ajal, sama sekali dia tidak menduga Yo Ko akan berlaku begitu baik, seketika dia melenggong kesima dan memandangi bayangan ketiga orang menghilang di balik pepohonan yang kelam di sana.

Sesudah menyusuI, Yo Ko merasa langkah Lik-oh terlalu lambat, segera dia berkata: “Kiu-locianpwe, biar aku saja yang menggendong.”

Tadinya Lik-oh merasa kuatir karena antara Yo Ko dan ibunya sering tidak cocok dalam pembicaraan. Kini pemuda itu menyatakan mau menggendong sang ibu, tentu saja Lik-oh sangat girang, katanya:

“Wah, bikin susah kau saja.”

“Dengan susah payah aku mengandung selama sepuluh bulan, baru melahirkan anak perempuan secantik ini, sekarang tanpa kau minta sudah kuberikan kepadamu. Masa menggendong sebentar bakal mertua juga enggan?” demikian omel Kiu Jian-jio.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar