Jumat, 27 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 096

Terpikir demikian, seketika semangatnya bangkit. Segera pula Lik-oh mengumpulkan buah kurma lalu dibagikan kepada sang ibu dan Yo Ko untuk dimakan bersama. Dalam goa bawah tanah itu Lik-oh bertindak secara tertib sebagai anak yang meladeni sang ibu sebagaimana layaknya seorang nyonya rumah. Kiu Jian-jio sudah mengalami musibah yang mengenaskan, sudah beberapa tahun rasa dendam dan benci terkumpul dalam hatinya, jangankan dasar wataknya amat keras, sekali pun perempuan yang lemah lembut juga akan berubah menjadi eksentrik apa bila mengalami nasib seperti dia.

Namun apa pun juga kasih sayang antara ibu dan anak adalah pembawaan alamiah, apa lagi dilihatnya anak perempuan yang dirindukannya selama ini ternyata begini cantik dan lemah lembut, maka kelembutan kasih sayang seorang ibu akhirnya mengatasi segenap perasaannya, dengan suara halus Kiu Jian-jio bertanya:

“Hal busuk apa saja yang dikatakan Kongsun Ci atas diriku?”

“Selamanya ayah tidak pernah menyinggung tentang ibu,” tutur Lik-oh. “Waktu masih kecil pernah kutanya beliau apakah wajahku mirip ibu dan kutanyakan pula penyakit apa yang menyebabkan kematian ibu. Tapi ayah marah, aku didamperat habis-habisan dan seterusnya aku dilarang menyebut ibu lagi. Beberapa tahun kemudian aku coba bertanya lagi, tetapi kembali ayah marah dan mendamprat.”

“Oh, bagaimana pikiranmu sendiri?” tanya Kiu Jian-jio.

Air mata Lik-oh berlinang, katanya: “Senantiasa anak berpikir ibu tentu sangat baik dan cantik, tentu ayah dan ibu saling cinta mencintai, karena itu ayah suka berduka apa bila ada orang lain menyinggung meninggalnya ibu, dan sebab itulah seterusnya aku tidak berani bertanya lagi.”

“Hm, sekarang kau pasti kecewa sekali, bukan?” jengek Kiu Jian-jio. “Ibumu ternyata tidak cantik dan juga tidak ramah, melainkan seorang nenek bermuka jelek, galak lagi ganas. Tahu begitu, kukira kau lebih suka tidak bertemu dengan aku.”

Lik-oh merangkul leher sang ibu sambil berkata dengan suara lembut “Oh ibu, betapa pun anak tidak pernah berpikir begitu.” Lalu ia berpaling dan berkata kepada Yo Ko: “Yo-toako, ibuku sangat cantik, bukan? Dia sangat baik padaku dan juga sangat baik padamu, betul tidak?”

Pertanyaan si nona diucapkan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketulusan hati, dalam batinnya ternyata menganggap sang ibu adalah perempuan yang paling sempurna di dunia ini.

Yo Ko pikir waktu mudanya mungkin si nenek memang cantik, tapi sekarang apanya yang dapat dikatakan cantik? Mungkin dia baik kepada Lik-oh, tapi baik tidak terhadapku masih harus diuji dahulu. Namun dia tidak ingin membikin kikuk si nona, terpaksa dia menjawab:

“Memang betul ucapanmu.”

Tetapi ucapan Yo Ko tidak setulus ucapan Lik-oh tadi, hal ini dapat dibedakan oleh Kiu Jian-jio. Dia bersyukur karena dirinya masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan puterinya, maka seluruh sebab musabab penderitaannya haruslah diceritakan kepadanya dengan jelas.

Begitulah Kiu Jian-jio lantas bertutur. “Anak Lik, tadi kau bertanya mengapa aku terkurung di sini dan sebab apa Kongsun Ci mengatakan aku sudah mati. Nah, duduklah yang baik, biar kuceritakan kisahnya padamu. Leluhur Kongsun Ci adalah pembesar di jaman dinasti Tong. Karena kekacauan negara pada waktu itu, maka keluarga Kongsun lalu berpindah ke lembah pegunungan sunyi ini. Leluhurnya adalah pembesar militer, maka ia pun belajar ilmu silat keluarga sendiri, bahkan lebih tinggi dari pada leluhurnya, tapi ilmu silatnya yang benar-benar lihay itu justru akulah yang mengajarkan dia.”

Berbareng Yo Ko dan Lik-oh berseru heran. Sungguh hal itu sama sekali di luar dugaan mereka.

Dengan bangga Kiu Jian-jio menyambung. “Kalian masih kecil, dengan sendirinya tak paham seluk-beluknya. Hm, di dunia persilatan siapa yang tak kenal dengan Thi-cio-pang (perserikatan telapak besi)? Nah, Pangcu dari organisasi besar itu, Thi-cio-cui-siang-biau (si telapak besi melayang di atas air) Kiu Jian-yim adalah kakak kandungku. Coba Yo Ko, ceritakan sekadarnya tentang Thi-cio-pang kepada anak Lik biar dia tahu.”

Yo Ko melengak lantas menjawab: “Oh, Wanpwe kurang pengalaman dan pengetahuan, entah apakah Thi-cio-pang yang dimaksud itu?”

“Kurang ajar, kau berani berbohong?” damperat Kiu Jian-jio. “Nama Thi-cio-pang terkenal di mana-mana, sama tersohornya seperti Kay-pang, masa kau tidak tahu?”

“Kalau Kay-pang Wanpwe memang pernah dengar,” jawab Yo Ko, “tetapi Thi-cio-pang, wah...”

Kiu Jian-jio tambah marah, kembali dia memaki: “He-he, percuma kau belajar silat segala, masa Thi-cio-pang saja tidak tahu, sungguh...”

Melihat sang ibu marah-marah, cepat Lik-oh menyela: “Ibu, Yo-toako masih muda, sejak kecil dia tinggal di pegunungan yang terpencil, maka tidaklah heran jika seluk-beluk dunia persilatan kurang diketahuinya.”

Tapi Kiu Jian-jio tidak menggubrisnya dan masih terus mengomel. Pada masa lampau, 20-an tahun yang lalu Thi-cio-pang memang sangat terkenal di dunia Kangouw, namun kemudian pimpinannya, yaitu Thi-cio-ciu-siang-biau Kiu Jian-yim, sudah berguru kepada It-teng Taysu dan memeluk agama Budha, maka anak buah Thi-cio-pang lantas kocar-kacir dan bubar.

Tatkala itu Yo Ko baru lahir, dengan sendirinya belum tahu apa-apa, padahal bertemunya ayah-ibu kandungnya besar sangkut-pautnya dengan Thi-cio-pang itu. Kini ia ditanya oleh Kiu Jian-jio, dia melongo tak dapat menjawab.

Kiu Jian-jio sendiri sudah menyepi selama 30-an tahun di Cui-sian-kok, segala kejadian di dunia Kangouw hampir tidak diketahuinya lagi, dia mengira Thi-cio-pang yang bersejarah ratusan tahun sekarang tentu bertambah jaya, maka tidaklah heran dia berjingkrak marah-marah ketika Yo Ko menjawab tidak tahu ‘Thi-cio-pang’.



Biasanya Yo Ko tidak tahan dibikin sirik orang lain. Jika sudah gusar, sekali pun gurunya seperti Thio Ci-keng juga dilabraknya habis-habisan. Dan kini Kiu Jian-jio mendampratnya tanpa alasan, semula dia masih tahan, tetapi lama-lama dia menjadi gregetan juga, segera dia bermaksud balas memaki nenek itu. Tapi baru saja dia hendak membuka mulut, dilihatnya Lik-oh tengah memandangnya dengan sorot mata yang lembut penuh rasa menyesal atas sikap ibunya.

Mau tak-mau hati Yo Ko menjadi lunak kembali, terpaksa dia hanya angkat bahu sebagai tanda apa boleh buat saja. Ia pikir semakin keji ibumu memaki aku, semakin baik pula kau terhadapku. Omelan si nenek kuanggap angin lalu saja, hati si cantik harus dihormati. Ia menjadi lapang dada setelah mengambil keputusan itu, tiba-tiba otaknya menjadi tajam dan berpikir: “Ilmu silat nona Wanyen Peng tempo hari sungguh mirip dengan Kongsun Ci, jangan-jangan mereka sama-sama orang Thi-cio-pang?”

Ia mencoba merenungkan kembali ilmu silat yang pernah dimainkan Wanyen Peng dahulu ketika mendesak Yalu Ce, dan rasanya ia masih ingat sebagian. Segera ia berseru:

“Aha, ingatlah aku!”

Kiu Jian-jio terkejut oleh teriakan Yo Ko, damperatnya keras: “Kau menjerit apa?!”

“Tentang Thi-cio-pang aku menjadi ingat kepada seorang tokoh aneh,” tutur Yo Ko. “Kira-kira tiga tahun yang lalu, kulihat tokoh itu bergebrak melawan belasan orang, sendirian dia hajar orang-orang itu, akhirnya sembilan di antaranya luka parah dan sembilan orang lagi dibinasakan olehnya. Konon tokoh Bu-lim yang hebat itu adalah orang Thi-cio-pang.”

“Bagaimana macamnya orang itu?” tanya Kiu Jian-jio cepat.

Padahal Yo Ko hanya membual belaka, tetapi sudah telanjur omong, lagi pula tidak bakal ada saksi, segera ia meneruskan dongengnya:

“Orang itu berkepala botak, usianya antara 60-an, wajahnya merah, perawakannya tinggi besar, memakai jubah hijau dan mengaku she Kiu.”

“Omong kosong!” mendadak Kiu Jian-jio membentak, “Kedua kakakku sama sekali tidak botak, perawakannya juga tidak tinggi, selamanya tidak pernah memakai baju hijau. Hmm, kau melihat aku botak, maka kau sangka kakakku juga botak, begitu bukan?”

Diam-diam Yo Ko mengeluh karena dongengnya bisa terbongkar, tetapi air mukanya tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan tertawa.

“Ahh, sabar dulu, Locianpwe, dengarkan lebih lanjut ceritaku ini. Kan Wanpwe tidak bilang orang itu adalah kakakmu, memang setiap orang she Kiu di dunia ini mesti kakakmu?”

Kiu Jian-jio malah menjadi bungkam oleh debatan anak muda itu, terpaksa dia bertanya:

“Jika begitu, coba katakan bagaimana ilmu silatnya?”

Yo Ko berdiri lantas memainkan beberapa jurus silat yang pernah dilihatnya dari Wanyen Peng, akhirnya permainannya semakin lancar dan menimbulkan sambaran angin yang keras, gayanya ilmu tiruan dari Wanyen Peng, tapi tenaganya adalah milik Yo Ko dan jauh lebih kuat, bagian kelemahan Wanyen Peng dapat dicukupi oleh kepandaian Yo Ko yang sekarang memang sudah tinggi, maka permainannya menjadi sangat rapi.

Keruan Kiu Jian-jio sangat senang, ia berseru: “Anak Lik, lihatlah, memang inilah ilmu silat Thi-cio-pang kita, ikutilah yang cermat!”

Diam-diam Yo Ko merasa geli. Dia pikir kalau bermain lebih lama lagi bisa jadi rahasianya akan terbongkar, maka ia lantas berhenti dan berkata:

“sampai di sini tokoh aneh itu menang total dan selesailah pertarungan dahsyat yang kusaksikan itu.”

“BoIeh juga kau dapat mengingatnya sedemikian jelas,” kata Kiu Jian-jio dengan gembira. “Ehh, siapakah nama tokoh itu, apakah dia menerangkan padamu?”

“Tokoh aneh itu lucu juga kelakuannya, sesudah menang beliau terus pergi begitu saja,” sahut Yo-Ko. “Hanya dari korbannya yang terluka dan menggeletak itu kudengar saling menggerundel dan saling menyalahkan, katanya seharusnya mereka jangan mengganggu Kiu-loyacu dari Thi-cio-pang, sebab hal itu berarti mereka mencari mampus sendiri.”

“Ya, kukira orang she Kiu itu besar kemungkinan adalah anak murid kakakku,” sahut Kiu Jian-jio dengan girang.

Dasar dia memang keranjingan ilmu silat, tetapi selama berpuluh tahun dia tak dapat bergerak, sekarang menyaksikan Yo Ko memainkan ilmu silat keluarganya, tentu saja dia amat senang, maka dengan bersemangat dia membicarakan ilmu telapak tangan besi andalan Thi-cio-pang dengan Yo Ko dan Lik-oh.


AIR SUSU DIBALAS AIR TUBA

Yo Ko sendiri amat gelisah dan ingin cepat meninggalkan goa agar dapat mengantarkan Coat-ceng-tan kepada Siao-liong-li, maka dia tak sabar mengikuti ocehan nenek botak itu. Segera dia memberi isyarat kepada Lik-oh.

Si nona paham maksudnya, segera ia berkata: “lbu, cara bagaimana engkau mengajarkan ilmu silat kepada ayah?”

“Panggil dia Kongsun Ci, tak perlu menyebutnya ayah segala!” bentak Kiu Jian-jio dengan marah.

“Baiklah, harap ibu suka menerangkan,” sahut Lik-oh.

“Hm,” Kiu Jian-jio mendengus dengan penuh dendam, selang sejenak kemudian baru dia menyambung: “itu kejadian lebih 20 tahun yang lalu. Karena kedua kakakku berselisih paham...”

“Wah, jadi aku mempunyai dua paman?” sela Lik-oh.

“Memang kau tidak tahu?” Kiu Jian-jio menegas dengan suara bengis yang se-akan menyalahkan sinona.

“Dari mana aku tahu?” demikian dia membatin dalam hati. Segera dia pun menjawab: “Ya, sebab selama ini tak pernah ada orang yang memberi-tahukan padaku.”

Teringat bahwa sejak kecil Lik-oh tidak mendapat kasih sayang ibu, betapa pun Kiu Jian-jio menjadi terharu. Segera suaranya berubah halus, katanya:

“Kedua pamanmu adalah saudara kembar, Toaku (paman pertama) bernama Jian-li dan Jiku (paman kedua) bernama Jian-yim. Karena kembar maka wajah mereka dan pakaiannya juga serupa bagai pinang dibelah dua, namun wataknya sangat berbeda. Ilmu silat Jiku-mu amat tinggi, sedangkan kepandaian Toaku hanya biasa saja. Kepandaianku adalah ajaran langsung dari Jiko (kakak kedua), namun Toako (kakak pertama) lebih rapat dengan aku, soalnya Jiko menjabat sebagai pangcu Thi-cio-pang, wataknya keras, pekerjaannya sibuk dan giat berlatih ilmu silat sehingga jarang bertemu muka dengan aku, sebaliknya Toako suka berkumpul dengan aku, setiap hari selalu memanggil ‘adik sayang’ padaku. Tetapi kemudian antara Toako dan Jiko terjadi selisih paham dan ribut mulut, dengan sendirinya aku rada condong pada pihak Toako.”

“Sebab apa kedua paman berselisih paham?” tanya Lik-oh.

Tiba-tiba wajah Kiu Jian-jio menampilkan senyuman, katanya: “Persoalannya tidak dapat dikatakan penting, tapi juga tidak boleh dianggap remeh. Jiko sendiri juga teramat kukuh pada pendiriannya. Maklumlah, nama Thi-cio-ciu-siang-biau Kiu Jian-yim sudah terkenal sekali di dunia Kangouw, sedangkan nama Kiu Jian-li jarang yang tahu.

Sebab itulah bila mana Toako mengembara, terkadang dia suka menggunakan nama Jiko. Wajah keduanya memang mirip, sebenarnya tidak apa-apa jika meminjam nama saudaranya sendiri. Tapi Jiko sering mengomel mengenai hal itu dan menganggap Toako suka berdusta dan menipu orang sehingga merugikan nama baiknya. Sifat Toako memang sangat sabar dan periang, kalau Jiko marah-marah dan ngomel, selalu Toako tertawa dan minta maaf.

Suatu kali Jiko mendamperat Toako secara keterlaluan. Aku tidak tahan lalu menimbrung membela Toako, dan akibatnya aku sendiri bertengkar dengan Jiko. Dalam marahku aku meninggalkan Thi-cio-san dan selanjutnya tak pernah pulang lagi ke sana. Seorang diri aku ter-lunta di dunia Kangouw. Suatu kali aku mengudak seorang penjahat sehingga sampailah di Cui-sian-kok ini. Mungkin sudah suratan nasib, di sini aku bertemu dengan Kongsun Ci dan akhirnya kami menikah.

Usiaku lebih tua beberapa tahun dari dia, ilmu silatku juga lebih tinggi, maka sehabis menjadi suami-isteri kuanggap ia seperti adikku saja dan kuajarkan seluruh kepandaianku kepadanya, bahkan kuladeni dan mencukupi segala kehendaknya sebagai seorang isteri yang baik. Tapi siapa duga kalau bangsat Kongsun Ci itu ternyata manusia berhati binatang, air susu dibalas air tuba. Sesudah dia menjadi kuat, dia lupa ilmu silatnya berasal dari siapa...”

Sampai di sini ia menghamburkan caci maki kepada Kongsun Ci dengan istilah-istilah kasar dan kotor, semakin memaki semakin menjadi-jadi. Muka Lik-oh menjadi merah, ia merasa caci maki sang ibu itu agak kurang patut didengar oleh Yo Ko, maka cepat ia memanggil,

“Ibu...!”

Namun hamburan kata-kasar Kiu Jian-jio itu sukar dicegah. Yo Ko sendiri juga sangat benci terhadap Kongsun Ci, maka caci maki Kiu Jian-jio terasa amat mencocoki seleranya, malah terkadang dia sengaja membumbui untuk menambah semangat Kiu Jian-jio. Kalau saja dia tidak rikuh di hadapan Lik-oh, bisa jadi dia pun ikut mencaci maki.

BegituIah Kiu Jian-jio terus mencaci maki dengan istilah yang paling kasar dan aneh sehingga hampir kehabisan bahan makian barulah dia berhenti, katanya:

“Pada tahun aku mengandung, wanita yang sedang hamil dengan sendirinya bersifat agak aseran. Tak terduga pada lahirnya saja Kongsun Ci sangat penurut padaku, tetapi diam-diam main gila dengan seorang pelayan muda. MuIa-mula aku tidak tahu hubungan gelap mereka, kukira sesudah memperoleh seorang puteri yang menyenangkan dia jadi tambah sayang padaku. Dua tahun kemudian, waktu kau mulai dapat bicara, tanpa sengaja kudengar bangsat Kongsun Ci sedang berembuk dengan pelayan hina itu hendak meninggalkan Cui-sian-kok dan meninggalkan anak isterinya.

Aku bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mendengar Kongsun Ci mengatakan merasa jeri pada kelihayan ilmu silatku, maka ingin minggat sejauhnya untuk menghindari pencarianku. Katanya aku telah mengawasi dia dengan ketat tanpa kebebasan sedikit pun dan dia merasa bahagia kalau berada bersama budak hina itu. Tadinya kukira Kongsun Ci mencintai aku dengan segenap jiwa raganya, keruan hampir saja aku jatuh semaput saat mendengar ucapannya itu, sungguh aku ingin sekali menerjang maju dan membinasakan sepasang anjing laki perempuan yang tidak tahu malu itu.

Namun kemudian aku dapat bersabar mengingat hubungan baik suami isteri sekian lama. Kupikir Kongsun Ci adalah orang baik, tentu dia tergoda oleh mulut manis budak hina itu sehingga lupa daratan. Maka dengan menahan rasa murka aku tetap mendengarkan pembicaraan mereka. Aku mendengar mereka mengambil keputusan akan minggat bersama tiga hari lagi pada saat aku mengasingkan diri di kamar untuk berlatih ilmu. Memang biasanya selama tujuh hari tujuh malam aku mengurung diri dalam kamar dan tak pernah keluar, pada kesempatan itulah mereka akan kabur dan bila kemudian kuketahui toh mereka sudah minggat selama tujuh hari, tentu aku tak dapat mencari atau menyusul mereka.

Aku benar-benar mengkirik mendengar keputusan mereka. Aku bersyukur pada Tuhan yang maha pengasih yang sudah memberi kesempatan padaku untuk mengetahui rencana busuk mereka, sebab kalau tidak demikian, setelah lewat tujuh hari, ke mana lagi aku harus mencari mereka?” Berkata sampai di sini Kiu Jian-jio lantas mengertak gigi dengan penuh rasa gemas dan dendam.

“Siapakah nama pelayan muda itu? Apakah dia sangat cantik?” tanya Lik-oh.

“Huh, cantik apa? Dia cuma penurut saja, apa saja yang dikatakan Kongsun Ci dia hanya menurut belaka, entah dia mempunyai ilmu apa sehingga bangsat Kongsun Ci itu sampai tergoda olehnya. Hm, budak hina itu bernama Yu-ji.”

Sekarang diam-diam Yo Ko menaruh kasihan kepada Kongsun Ci. Ia pikir bukan mustahil Kiu Jian-jio sendiri yang terlalu bawel dan main kuasa sehingga menimbulkan rasa benci suaminya sendiri.

Dalam pada itu Lik-oh bertanya. “Kemudian bagaimana, Bu?”

“Ya, dua manusia rendah itu berjanji lohor besoknya akan bertemu lagi di situ, cuma selama dua hari keduanya harus bersikap wajar seperti tidak terjadi apa-apa agar rahasia mereka tidak terbongkar olehku,” tutur Kiu Jian-jio.

“Sesudah itu kedua manusia rendah itu berasyik masyuk dengan kata-kata mesra yang membikin aku hampir saja kelengar saking marahnya. Pada esok hari ketiga aku pura-pura bersemedi di dalam kamar latihan, aku tahu Kongsun Ci beberapa kali mengintip di luar jendela dan dapat kuduga dia pasti sangat gembira sebab mengira rencana mereka akan berhasil. Tapi begitu dia pergi, segera aku mendahului menuju ke tempat pertemuan mereka yang sudah ditentukan. Benar saja Yu-ji sudah menunggu di situ. Tanpa bicara aku segera menyeret dia dan kulemparkan ke semak-semak bunga cinta.”

Yo Ko dan Lik-oh berseru kaget demi mendengar Yu-ji juga terkena racun duri bunga cinta.

Kui Jian-jio memelototi kedua orang sekejap, lalu menyambung ceritanya: “Selang tak lama Kongsun Ci juga menyusul. Ketika melihat kekasihnya menjerit sambil berkelojotan di tengah semak-semak bunga, tentu saja dia juga kelabakan. Segera aku meloncat keluar dari balik pohon kucengkeram urat nadi pergelangan tangannya dan membanting dia ke semak-semak bunga cinta pula. Sebenarnya keluarga Kongsun memiliki obat penawar racun bunga cinta, namanya Coat-ceng-tan, maka cepat Kongsun Ci merangkak bangun dan memayang budak hina itu sembari berlari ke kamar obat, maksudnya hendak mengambil Coat-ceng-tan. Tapi, ha-ha-ha, coba terka, apa yang dilihatnya di sana?”

“Aku tidak tahu,” sahut Lik-oh menggeleng. “Apa yang dilihatnya?”

Yo Ko sendiri membatin, tentu Coat-ceng-tan itu sudah dimusnahkan. Benar saja segera terdengar Kiu Jian-jio menutur lagi:

“Ha-ha-ha, di sana dia melihat di atas meja ada sebuah mangkok besar berisi air warangan, beberapa ratus pil Coat-ceng-tan terendam dalam air tuba itu. Kalau minum Coat-ceng-tan tentu juga akan kena racun Warangan, jika tidak minum pil itu akhirnya mati juga. Sebenarnya tak sulit bagi Kongsun Ci untuk meracik lagi Coat-ceng-tan, sebab obat itu berasal dari resep warisan leluhurnya, namun bahan obatnya seketika sukar dikumpulkan, untuk meraciknya memerlukan waktu ber-bulan-bulan.

Karena putus asa segera dia berlari ke kamarku dan berlutut di hadapanku, dia minta aku mengampuni jiwa mereka berdua. Rupanya dia yakin aku pasti tidak tega memusnahkan semua Coat-ceng-tan mengingat hubungan suami-isteri selama ini, dan tentu akan menyisakan beberapa biji obat.

Begitulah berulang-ulang ia menampar pipinya sendiri sambil mengutuki perbuatannya. Ia bersumpah, katanya bila aku mangampuni jiwa keduanya, segera dia akan mengusir Yu-ji dan selamanya tidak akan bertemu serta selanjutnya tidak berani timbul pikiran tidak senonoh lagi. Waktu minta ampun padaku ia masih menyebut nama Yu-ji, tentu saja aku sangat marah. Segera kukeluarkan satu biji Coat-ceng-tan yang kutaruh di atas meja kemudian berkata kepadanya: ‘Coat-ceng-tan hanya tersisa satu biji ini dan cuma dapat menyelamatkan jiwa seorang saja. Nah, kau boleh pilih sendiri, menolong jiwamu atau jiwanya, terserah padamu!

Dia melenggong sejenak, lalu mengambil obat itu dan berlari kembali ke kamar obat. Aku segera menyusul ke sana, sementara budak hina itu sedang kelojotan saking kesakitan. Aku mendengar Kongsun Ci berkata: ‘Yu-ji, mangkatlah kau dengan baik, biar aku mati bersamamu!’ Habis itu dia lantas melolos pedang.

Melihat Kongsun Ci begitu setia padanya, Yu-ji tampak amat berterima kasih dan dia pun menjawab dengan setengah merintih: ‘Baiklah, marilah kita menjadi suami isteri di akhirat saja.

Segera Kongsun Ci menusukkan pedangnya ke dada Yu-ji dan matilah dia. Diam-diam aku terkejut menyaksikan itu dari luar jendela, aku kuatir dia akan menggorok lehernya sendiri. Sementara itu kulihat dia sudah mengangkat pedangnya, baru saja aku hendak mencegah dia, mendadak pedangnya digosok-gosokkannya pada mayat Yu-ji untuk menghilangkan noda darah, kemudian pedang dimasukkan kembali ke sarungnya dan ia berpaling ke arah jendela sambil berkata: ‘Niocu (isteriku), aku sudah insaf dengan setulus hati, budak hina ini telah kubunuh, sekarang hendaklah kau mengampuni diriku.’ Habis berkata dia terus minum sendiri Coat-ceng-tan.

Tindakannya sungguh di luar dugaanku. Meski aku merasa perbuatannya itu rada kelewat kejam dan keji, tapi urusan dapat diselesaikan, betapa pun aku merasa puas. Malamnya ia mengadakan perjamuan di kamar dan berulang-ulang ia menyuguhkan arak untukku sebagai tanda permintaan maaf. Aku sudah mendamperat dia secara pedas, dia juga mengaku salah dan bersumpah macam-macam, ia berjanji selanjutnya tak akan berani berbuat lagi.”

Sampai di sini, air mata Lik-oh tampak berlinang-linang.

“Memangnya kenapa? Apa kau kasihan kepada budak hina itu?” tanya Kiu Jian-jio dengan marah.

Lik-oh menggeleng dan tidak menjawab, yang dia sedihkan sebenarnya adalah kekejian hati ayahnya.

Lalu Kiu Jian-jio menyambung: “Setelah minum dua cawan arak, dengan tersenyum kukeluarkan satu biji Coat-ceng-tan, kutaruh di atas meja sambil berkata kepadanya: ‘Caramu membunuh dia tadi terburu napsu, sebenarnya aku hanya ingin menguji pikiranmu, asalkan kau memohon lagi dengan setulus hati, waktu itu tentu akan kuberikan kedua biji obat sekaligus untuk menyelamatkan jiwa si cantik itu.

“lbu,” cepat Lik-oh bertanya, “jika dia benar-benar memohon begitu padamu, apakah betul kau akan memberikan kedua biji obat itu padanya?”

Kiu Jian-jio termenung sejenak, lalu menjawab: “Entahlah, aku sendiri pun tak tahu. Pada waktu itu pernah juga timbul pikiran untuk menyelamatkan nyawa budak hina itu, dengan demikian kupikir Kongsun Ci akan berterima kasih, lalu perasaannya padaku akan tergugah. Akan tetapi demi menyelamatkan jiwanya sendiri ia buru-buru menghabisi kekasihnya, tentunya aku tak dapat disalahkan.”

“BegituIah dia termenung memegangi Coat-ceng-tan kedua, kemudian dia mengangkat cawan dan berkata padaku dengan tertawa: ‘Jio-cici, urusan yang telah selesai, buat apa dibicarakan lagi, Marilah kita menghabiskan secawan ini.’ Ia terus membujuk aku minum, aku pun tidak menolak karena merasa suatu ganjalan hati telah kubereskan. Tanpa terasa aku telah mabok hingga tak sadarkan diri. Waktu aku siuman, ternyata aku telah berada di goa ini, urat kaki tanganku putus, tetapi bangsat keparat Kongsun Ci itu pun tidak berani lagi bertemu dengan aku. Hmm, tentu dia menyangka aku sudah menjadi tulang belulang di sini.”

Habis menuturkan kisahnya itu, sorot mata Kiui Jian-jio menjadi beringas, sikapnya sangat menakutkan.

“lbu, selama belasan tahun engkau hidup di goa ini, apakah berkat buah korma ini maka engkau bisa bertahan sampai sekarang?” tanya Lik-oh.

“Ya, memang kau kira Kongsun Ci mau mengirimkan nasi untukku setiap hari?” kata Kiu Jian-jio.

Tidak kepalang pedih dan haru hati Lik-oh, dia memeluk sang ibu dan berseru: “O, lbu...!”

“Apakah Kongsun Ci itu dahulu pernah bicara kepadamu mengenai goa di dalam tanah ini serta jalan keluarnya?” tanya Yo Ko.

“Hm, sekian lama kami menjadi suami-isteri, belum pernah dia mengatakan di bawah perkampungan ini ada sebuah goa sebesar ini, lebih-lebih tidak diketahui bila di kolam sana banyak buayanya,” jawab Kiu Jian-jio, “Tentang jalan keluar goa ini kukira ada, cuma aku orang cacat, apa dayaku.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar