Jumat, 27 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 095

Sesudah menerima baju itu, segera Yo Ko melompat ke sisi sana dan berdiri pada tempat dekukan dinding karang, tangan kirinya memegang kencang pada sebuah tonjolan karang, tangan kanan terus memutar bajunya yang telah dibasahi dan diluruskan menjadi sepotong tali besar, serunya.

“Coba kau perhatikan suaranya!” Segera ia menyabetkan bajunya ke depan terus ditarik kembali.

“Blukk!”

Bajunya yang basah itu tepat memukul mulut lorong itu. Berturut dia berbuat begitu tiga kali, lalu bertanya:

“Sudah jelas letak mulut gua ini?”

Dari suara “bluk-bluk” tadi Lik-oh membedakan arah dan jauh dekat tempatnya, segera ia menjawab:

“Ya, aku tahu jelas.”

“Sekarang melompatlah dan pegang ujung baju yang aku ayunkan ini, akan kulemparkan kau ke seberang sana,” kata Yo Ko.

Sehabis Yo Ko berkata, Lik-oh memandang ke sana, tetapi keadaan di sana tetap gelap kelam. Dia rada takut dan berkata:

“Aku... aku tak...”

“Jangan takut,” kata Yo Ko dengan tertawa.

“Jika kau gagal memegang ujung baju dan terjeblos ke ko!am, segera aku terjun ke sana untuk menolong. Kalau tadi saja kau tidak takut kepada kawanan buaya, apa lagi sekarang sesudah mempunyai belati mestika ini, kenapa takut?”

Segera dia mengayunkan gulungan bajunya lagi. Terpaksa Kongsun Lik-oh harus meloncat, dua kakinya menggenjot sekuatnya pada batu karang, segera tubuhnya melayang ke udara, didengarnya suara menyambarnya gulungan baju di udara, kedua tangannya meraih, syukur tangan kanan berhasil memegang ujung baju itu.

Begitu Yo Ko merasa tangannya terbetot, sekuatnya ia terus menyendal hingga tubuh si nona dapat dilontarkan ke mulut goa tadi. Kuatir kalau nona itu kurang mantap berdirinya, setelah mengayunkan bajunya ia langsung melompat pula ke sana dan menolak perlahan pinggang si nona untuk kemudian duduklah mereka di mulut goa.

“Bagus sekali gagasanmu ini,” seru Lik-oh kegirangan.

“Tapi dalam goa ini entah ada makhluk buas apa, terpaksa kita pasrah nasib saja,” ujar Yo Ko sambil tertawa. Segera ia menerobos ke dalam lorong goa itu sambil membungkuk.

“Gunakan senjata ini untuk membuka jalan,” kata Lik-oh sambil menyodorkan belati pada Yo Ko.

Mulut goa amat sempit, maka keduanya merangkak maju. Lantaran hawa lembab kolam buaya, bagian dalam goa ternyata berlumut dan licin, bahkan berbau apek dan busuk.

“Pagi tadi kita masih menikmati pemandangan alam dan bunga yang mekar semerbak, tetapi siapa tahu beberapa jam kemudian berada di tempat seperti ini, sungguh aku telah membikin susah saja padamu,” kata Yo Ko sembari merangkak ke depan.

“Ini bukan salahmu,” ujar Lik-oh.

Setelah merangkak sekian Iama, terasalah lorong goa itu memang terus menyerong turun ke bawah, tapi makin jauh makin kering dan bau busuk juga mulai lenyap.

“Ahh, tampaknya habis merasakan pahit kini mulai merasakan manisnya, kita sudah mulai memasuki wilayah bahagia.”

“Yo-toako,” kata Lik-oh sambil menghela napas, “aku tahu hatimu sendiri susah, tak perlu engkau sengaja membikin senang hatiku.”

Belum habis ucapannya, tiba-tiba dari sebelah kiri berkumandang suara gelak tawa seorang perempuan:

“Ha-ha-ha-ha-ha-haaah!”

Jelas sekali suara itu adalah suara orang tertawa, tapi kedengarannya justru mirip orang menangis, suara “ha-ha” itu bernadakan rasa sedih memilukan luar biasa. Selamanya Yo Ko dan Kongsun Lik-oh tidak pernah mendengar suara yang bukan tangis dan bukan tawa itu, apa lagi di dalam goa yang gelap dan seram tiba-tiba mendengar suara aneh itu, tentu saja lebih mengejutkan dari pada mendadak kepergok binatang buas dan makhluk yang menakutkan.

Yo Ko sebenarnya pemuda yang tabah dan pemberani, tapi tidak urung kaget juga oleh suara itu sehingga ubun-ubun kepalanya kesakitan membentur atap goa. Lebih-lebih Lik-oh, dia bahkan mengkirik dan merangkul kencang kaki Yo Ko.


THI-CIO-LIAN-HOA (Si Bunga Teratai Bertangan Besi)

Untuk sejenak Yo Ko berhenti merangkak dan pasang telinga, tapi sedikit pun tiada suara orang lagi. Kedua orang menjadi serba salah, ingin maju terus takut, mau mundur penasaran.

“Apakah setan?” bisik Lik-oh dengan suara lirih sekali.

Siapa tahu suara ‘tangis-tawa’ tadi kembali berkumandang, lalu terdengar katanya: “Betul, aku ini setan, aku ini setan! Ha-ha... ha-ha-haaah!”

Yo Ko pikir bila dia mengaku sebagai setan maka pasti bukanlah setan. Sebab itu dengan berani segera dia menanggapi dengan suara lantang:

“Cayhe bernama Yo Ko, bersama nona Kongsun sedang tertimpa bencana, yang kami harapkan hanya cari selamat dan sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap orang lain.”

“Nona Kongsun?” tiba-tiba orang itu menyela, “Nona Kongsun apa?”

“Puteri Kongsun Kokcu, namanya Kongsun Lik-oh,” jawab Yo Ko.



Habis tanya jawab ini, lalu lenyaplah suara di sebelah sana, se-akan orang itu mendadak hilang sirna tanpa bekas. Ketika orang itu mengeluarkan suara ‘tangis bukan dan tawa tidak’ itu, sebenarnya Yo Ko berdua amat ketakutan. Kini keadaan mendadak menjadi sunyi senyap, dalam kegelapan kedua orang itu merasa lebih ngeri sehingga mereka meringkuk berdekapan tanpa berani bergerak.

Selang agak lama sekonyong-konyong orang itu kembali membentak: “Kongsun Kokcu apa maksudmu?! Apakah Kongsun Ci?!” Nadanya penuh rasa marah dan dendam.

Dengan menabahkan hati Kongsun Lik-oh menjawab: “Benar, memang ayahku bernama Ci. Apakah Locianpwe kenal ayahku?”

“He-he-he, apakah kukenal dia? Apakah kukenal dia? He-he!” demikian orang itu terkekeh aneh.

Lik-oh tidak berani menanggapi lagi, terpaksa diam saja. Selang sejenak, mendadak orang itu membentak:

“Dan kau bernama siapa?!”

“Wanpwe bernama Lik-oh, Lik artinya hijau dan Oh artinya kelopak bunga,” demikian Lik-oh menjelaskan.

Orang itu mendengus: “Hmm! Coba katakan, kau dilahirkan tahun kapan, bulan dan hari apa serta waktunya kapan?”

Tentu saja Lik-oh menjadi terheran-heran. Dia tidak mengerti untuk apa orang aneh ini menanyakan waktu kelahirannya. Apakah bermaksud jahat padaku? Dia coba membisiki Yo Ko:

“Bolehkah kukatakan padanya?”

Belum lagi Yo Ko menjawab, tiba-tiba orang itu menjengek lagi: “Tahun ini kau berumur 18, lahir pada pukul 12 siang tanggal 3 bulan 2, betul tidak?”

Lik-oh sangat terkejut, serunya tersendat: “Dari... dari mana engkau ta... tahu?”

Tiba-tiba timbul semacam firasat aneh yang sukar terkatakan, dia merasa yakin manusia aneh ini pasti takkan membikin susah dirinya. Cepat dia mendahului Yo Ko merangkak ke sana, sesudah berputar beberapa belokan tiba-tiba pandangannya terbeliak. Terlihat seorang nenek botak dan setengah badan telanjang duduk di atas tanah dengan wajah gusar tapi berwibawa. Lik-oh menjerit kaget sambil berdiri dengan melenggong. Kuatir si nona mengalami apa-apa, cepat Yo Ko menyusul ke sana.

Tampaklah tempat di mana si nenek botak itu duduk adalah lekukan batu alam, sebuah goa yang tak diketahui berapa dalamnya, di bagian atas ada sebuah lubang besar yang tengahnya bulat seluas dua-tiga meter, dari situlah sinar matahari memancar masuk. Cuma saja lubang besar itu terletak ratusan meter tingginya dari permukaan tanah. Besar kemungkinan nenek ini terjatuh dari lubang besar itu lantas untuk seterusnya tidak dapat keluar lagi.

Karena goa itu terletak jauh di bawah tanah, sekali pun berteriak dan menjerit sekerasnya sulit terdengar oleh orang yang lewat di atas sana. Cuma aneh juga, jatuh dari tempat setinggi itu ternyata nenek botak ini tidak terbanting mampus, sungguh luar biasa dan sukar dimengerti.

Yo Ko melihat si nenek menutupi bagian bawah tubuhnya dengan kulit pohon serta daun-daunan. Barang kali sudah terlalu lama dia meringkuk di dalam goa ini hingga pakaiannya sudah hancur semua. Nenek itu tahu juga munculnya Yo Ko, tapi tidak digubrisnya, Kongsun Lik-oh saja yang diamat-amatinya. Tiba-tiba dia tertawa sedih, katanya:

“Cantik amat kau, nona...”

Lik-oh membalas dengan tersenyum manis, dia melangkah maju lalu memberi hormat serta menyapa:

“Selamat, Locianpwe!”

Kembali nenek itu menengadah sambil mengeluarkan suara ‘tangis bukan tawa tidak’, lalu berkata:

“Locianpwe apa? Ha-ha-ha, selamat? Aku selamat! Aha-ha-ha-haah!” Habis ini mendadak wajahnya penuh rasa marah dan matanya melotot.

Tentu saja Lik-oh merasa bingung dan takut karena tidak tahu di mana letak ucapannya tadi yang telah membikin marah si nenek. Ia menoleh kepada Yo Ko sebagai tanda minta bantuan.

Yo Ko berpendapat mungkin si nenek sudah terlalu lama hidup terpencil dan tersiksa lahir batin di goa ini sehingga pikirannya menjadi abnormal, maka dia menggeleng kepada Lik-oh sambil tersenyum sebagai tanda supaya nona itu jangan pikirkan sikap si nenek yang aneh. Di samping itu Yo Ko justru lagi berpikir cara bagaimana dapat merambat keluar lubang di atas. Namun letak lubang teramat tinggi, sekali pun dengan Ginkang yang maha tinggi sukar mencapainya.

Sementara itu Lik-oh memperhatikan si nenek dengan penuh perhatian. Dilihatnya pada kepala si nenek yang botak itu hanya ada beberapa utas rambut yang amat jarang-jarang, mukanya penuh keriput, namun kedua matanya bersinar tajam, dari raut mukanya dapat dibayangkan di masa dahulu si nenek pasti seorang wanita cantik. Sementara si nenek pun masih memandangi Kongsun Lik-oh tanpa berkedip. Jadinya kedua orang hanya saling pandang saja dan tidak menggubris Yo Ko sama sekali.

Sejenak kemudian mendadak nenek itu berkata: “Di sebelah kiri pinggangmu ada sebuah toh merah, betul tidak?”

Kembali Lik-oh terkejut, pikirnya: “Toh merah pada tubuhku ini sekali pun ayah kandungku belum tentu tahu, mengapa nenek yang terasing di goa bawah tanah ini malah tahu dengan jelas? Ia juga tahu waktu kelahiran, tampaknya dia pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keluargaku.”

Karena itu segera dia bertanya dengan suara lembut: “Nenek, engkau pasti kenal ayahku dan tentu juga kenal mendiang ibuku, bukan?”

Nenek itu melengak, lalu menggumam: “Mendiang ibumu...? Mendiang ibumu? Ha-ha-ha, sudah tentu kukenal.” Tiba-tiba suaranya berubah bengis, dia membentak: “Hm, pinggangmu ada toh merah seperti kutanyakan tadi tidak? Lekas kau buka pakaianmu dan perlihatkan kepadaku, kalau berbohong sedikit saja seketika akan kubinasakan kau di sini.”

Lik-oh berpaling sekejap kepada Yo Ko dengan muka merah jengah, dan segera Yo Ko membalik tubuh ke arah sana. Maka Lik-oh membuka baju Yo Ko yang dipakainya, lalu menyingkapkan sebagian kutang dan celananya. Terlihatlah pada pinggangnya yang putih bersih itu memang betul ada sebuah toh merah sebesar ibu jari.

Melihat sekejap saja toh merah itu, seketika tubuh si nenek gemetaran, air matanya tiba-tiba bercucuran terus merangkul Lik-oh dengan erat sambil berseru:

“Oh, permata hatiku, betapa selama ini ibu merindukan kau.”

Melihat sikap dan air muka si nenek saja secara otomatis telah menggugah watak alamiah seorang anak terhadap ibunya. Terus saja Lik-oh mendekap si nenek sekencangnya dan berseru sambil menangis

“Oh, ibu!”

Mendengar orang di belakangnya saling berseru, yang seorang memanggil ‘permata hati’ dan yang lain menyebut ibu, Yo Ko terkejut dan cepat berpaling. Dilihatnya kedua orang saling mendekap kencang, jelas Kongsun Lik-oh sedang menangis tersedat dan muka si nenek juga kelihatan penuh ingus dan air mata. Ia menjadi heran apakah nenek botak ini benar-benar ibu nona Kongsun?

Pada saat lain tiba-tiba saja tampak alis nenek itu menegak dan air mukanya berubah beringas, mirip sekali dengan Kongsun Kokcu apa bila hendak menyerang orang. Yo Ko menjadi kuatir kalau-kalau nenek ini akan mencelakai Kongsun Lik-oh, maka ia pun cepat melangkah maju. Tapi segera terlihat si nenek menepuk perlahan bahu Lik-oh kemudian membentak:

“Coba berdiri sana, aku hendak tanya kau.”

Lik-oh tercengang dan menjauhi tubuh si nenek sambil memanggil lagi sekali: “lbu...”

Tiba-tiba nenek itu membentak dengan bengis. “Untuk maksud apa Kongsun Ci menyuruh kau ke sini? Suruh kau membohongi aku dengan kata-kata manis, bukan?”

Lik-oh menggeleng dan berseru: “O, ibu, kiranya engkau masih hidup di dunia ini. O, ibu!” Air mukanya jelas memperlihatkan rasa girang dan haru, inilah perasaan murni seorang anak terhadap ibunya, sedikit pun tidak pura-pura.

Tapi nenek botak itu tetap membentak lagi: “Kongsun Ci bilang aku sudah mati, bukan?”

“Anak telah menderita selama belasan tahun dan mengira sudah piatu tak beribu, ternyata ibu masih hidup dengan baik, sungguh girang hatiku sekarang,” kata Lik-oh.

“Dan siapa dia?” tanya si nenek menuding Yo Ko. “Untuk apa kau membawanya ke sini?”

“Dengarkan dulu ceritaku, ibu,” kata Lik-oh lalu dia pun menguraikan cara bagaimana Yo Ko datang ke Cui-sian-kok serta terkena racun duri bunga cinta, cara bagaimana kedua orang terjeblos ke dalam kolam buaya. Hanya mengenai Kongsun Kokcu hendak menikah dengan Siao-liong-li tidak diceritakannya untuk menjaga supaya sang ibu tidak menaruh dendam dan cemburu.

Air muka si nenek tampak lebih tenang sesudah mendengar cerita itu, pandangannya terhadap Yo Ko juga semakin simpatik, sampai akhirnya ketika mengetahui Yo Ko sudah membinasakan buaya dan menyelamatkan Lik-oh ber-ulang, nenek itu manggut-manggut dan berkata:

“Bagus, anak muda, bagus! Tidak sia-sia puteriku penujui kau.”

Wajah Lik-oh menjadi merah dan menunduk malu. Yo Ko pun merasa serba kikuk untuk menuturkan seluk beluk dirinya, dia hanya berkata:

“Kongsun-pekbo (bibi), sebaiknya kita mencari akal untuk bisa keluar dari sini.”

Tiba-tiba si nenek menarik muka dan berkata: “Kongsun-pekbo apa katamu? Selanjutnya jangan lagi kau menyebut perkataan Kongsun segala, jangan kau kira kaki tanganku ini tak bertenaga, jika aku hendak membunuh kau, boleh dikatakan teramat mudah bagiku.”

“Crot!” mendadak dari mulutnya menyemprot keluar sesuatu dan...

“Cring...!” terdengar suara yang nyaring, belati di tangan Yo Ko dengan tepat terbentur, seketika tangan Yo Ko terasa kesemutan, dan “trang”, tahu-tahu belati itu terlepas lantas jatuh ke tanah.

Dalam kagetnya cepat Yo Ko melompat mundur. Waktu dia mengawasi, ternyata di tepi belati ada satu butir biji kurma. Yo Ko terkejut dan juga merasa sangsi, pikirnya: “Dengan tenaga yang kugunakan untuk memegangi belati ini, walau pun roda emas Kim-Ium Hoat-ong, gada si Darba atau golok bergigi Kongsun Kokcu juga sukar menggetar jatuh belatiku ini, tapi satu biji kurma yang disemburkan dari mulut nenek ini ternyata mampu menjatuhkan senjata dalam cekalanku. Meski aku sendiri memang tidak bersiaga, namun dari sini pun dapat dibayangkan betapa hebat ilmu silat si nenek yang sukar diukur ini,”

Melihat kegugupan air muka Yo Ko, cepat Lik-oh berkata kepadanya: “Jangan kuatir, Yo-toako, ibuku pasti takkan mencelakai kau.” Segera ia mendekati dan pegang tangan anak muda itu, lalu berpaling dan berkata kepada sang ibu: “Engkau jangan marah, ibu, boleh engkau suruh dia ganti sebutan saja. Dia kan tidak tahu persoalannya.”

“Baiklah,” ujar nenek itu sambil tertawa, “nyonya selamanya tidak pernah ganti nama atau she, Thi-cio-lian-hoa (si bunga teratai bertangan besi) Kiu Jian-jio ialah diriku ini. Dan cara bagaimana kau memanggil aku, he-he, memangnya masih perlu tanya? Tidak lekas kau menyembah dan menyebut ‘ibu mertua’ padaku?”

Cepat Lik-oh menyela: “lbu, sesungguhnya Yo-toako dan anak tiada apa-apa, dia hanya... hanya bermaksud baik saja kepada anak dan tiada kehendak...”

“Hm,” si nenek alias Kiu Jian-jio mendengus, “tiada apa-apa katamu dan tiada kehendak lain? Habis mengapa kau cuma memakai baju dalam dan sebaliknya memakai bajunya?” Mendadak dia perkeras suaranya dan setengah menjerit: “Kalau bocah she Yo ini berani meniru cara kotor dan rendah seperti Kongsun Ci, hm, tentu akan kubinasakan dia di sini. Nah, orang she Yo, kau mau menikahi anakku atau tidak?”

Melihat cara bicaranya seperti orang gila dan sulit diberi penjelasan, Yo Ko menjadi serba salah. Sungguh aneh, baru pertama kali kenal sudah memaksa dirinya menikahi puterinya? Bila ditolak secara terang-terangan, dikuatirkan pula akan menyinggung perasaan Lik-oh. Apa lagi ilmu silat nenek ini sangat tinggi dan perangainya aneh, kalau sampai membikin marah tidak mustahil seketika akan dibunuh olehnya. Padahal mereka sekarang bernasib sama, yakni terkurung di goa bawah tanah, yang penting hanya mencari jalan meloloskan diri.

Karena itu sambil tersenyum berkatalah Yo Ko: “Hendaklah Locianpwe jangan kuatir, nona Kongsun telah menolong aku dengan segala pengorbanan, Yo Ko bukanlah manusia yang tidak berperasaan, betapa pun budi kebaikan nona Kongsun tidak akan kulupakan selama hidup.”

Ucapan Yo Ko ini cukup licin, meski tidak jelas menyanggupi akan menikahi Kongsun Lik-oh, tetapi terasa memuaskan bagi pendengaran Kiu Jian-jio. Nenek ini manggut-manggut dan berkata:

“Baiklah kalau begitu.”

Kongsun Lik-oh paham isi hati Yo Ko, dipandangnya sekejap anak muda itu dengan sorot yang menyesal dan perasaan hampa, lalu menunduk dan tidak bicara lagi. Selang sejenak baru dia berkata kepada Kiu Jian-Jio:

“Mengapa engkau bisa berada di sini, ibu? Sebab apa ayah justru bilang engkau sudah meninggal dunia sehingga membikin anak berduka selama belasan tahun. Jika anak mengetahui engkau berada di sini, dengan cara apa pun anak pasti akan mencari ke sini.”

Dilihatnya bagian atas tubuh sang ibu telanjang, kalau baju Yo Ko itu diberikan kepadanya berarti dia sendiri yang kurang pakaian, maka terpaksa Lik-oh merobek sebagian baju itu untuk disampirkan di atas bahu sang ibu.

Diam-diam Yo Ko menyayangkan nasib baju yang dibuatkan oleh Siao-liong-li itu. Hatinya menjadi berduka sehingga merangsang racun bunga cinta, seketika itu sekujur badan terasa kesakitan.

Melihat itu, tiba-tiba Kiu Jian-jio meraba pangkuannya seperti hendak mengambil sesuatu, tapi setelah dipikir lagi akhirnya tangan ditarik kembali dalam keadaan kosong.

Dari gerakan sang ibu, Lik-oh melihat sesuatu. Segera dia memohon: “Oh ibu, tentu engkau dapat menyembuhkan racun bunga cinta itu, bukan?”

Dengan hambar Kiu Jian-jio menjawab: “Aku sendiri dalam keadaan susah, orang lain tak mampu menolong aku, mana aku dapat menolong orang lain?”

“Tapi asalkan ibu menolong dia, tentu dia akan berusaha menolong ibu juga,” kata Lik-oh cepat. “Andaikan engkau tidak menolong dia juga, Yo-toako akan membantu kau sepenuh tenaga. Betul tidak, Yo-toako?”

Sebenarnya Yo Ko tidak menaruh simpatik terhadap Kiu Jian-jio yang eksentrik itu, cuma mengingat si Lik-oh, dengan sendirinya dia harus membantu sebisanya, maka jawabnya:

“Ya, sudah tentu. Locianpwe telah berdiam sekian lamanya di sini, tentu sudah amat apal dengan keadaan tempat ini, apakah dapat memberi petunjuk sekedarnya?”

Kiu Jian-jio menghela napas, katanya: “Meski tempat ini amat dalam di bawah tanah, tapi tidaklah sulit jika mau keluar dari sini.”

Ia memandang Yo Ko sekejap, lalu menyambung. “Tentu dalam hati kau sedang berpikir, apa bila tidak sulit untuk keluar, lantas mengapa engkau masih menongkrong saja di sini? Ai, ketahuilah bahwa urat nadi kaki dan tanganku sudah putus, seluruh ilmu silatku sudah punah.”

Sejak tadi Yo Ko memang melihat anggota badan nenek itu rada kurang wajar, maka dia pun tidak heran mendengar keterangan itu. Tapi Lik-oh menjerit lantas berseru:

“Oh, ibu, siapakah yang mencelakai engkau? Kita harus menuntut balas.”

“Hm, menuntut balas? Apakah kau tega membalasnya?” jengek Kiu Jian-jio. “Orang yang memutuskan urat kaki dan tanganku justru bukan Iain dari pada Kongsun Ci adanya.”

Setelah mengetahui nenek itu adalah ibu kandung sendiri, dalam hati Lik-oh samar-samar sudah mulai membayangkan hal demikian, kini sang ibu mengatakannya sendiri, maka tak urung hati Lik-oh tergetar juga, segera dia bertanya:

”Apa sebabnya ayah berbuat begitu terhadap ibu?”

Kiu Jian-jio melirik Yo Ko sekejap, lalu berkata: “Sebab aku telah membunuh satu orang, seorang perempuan muda cantik jelita. Hm, sebab aku telah membunuh perempuan yang dicintai Kongsun Ci.” Bicara sampai di sini dia menggertak gigi hingga berbunyi gemertak.

Lik-oh menjadi takut sehingga rada menjauhi sang ibu dan menyurut mendekati Yo Ko. Seketika dalam goa itu suasana menjadi sunyi senyap.

Tiba-tiba Kiu Jian-jio berkata: “Kalian tentu sudah lapar, bukan? Di sini hanya bisa mengisi perut dengan kurma.” Habis berkata ia terus berjongkok dan merangkak ke depan dengan gerakan yang sangat cepat seperti binatang.

Pedih dan haru hati Yo Ko dan Lik-oh melihat kelakuan orang tua itu, sebaliknya Kiu Jian-jio selama belasan tahun sudah terbiasa merangkak cara begitu, maka bukan soal lagi baginya. Segera Lik-oh bermaksud menyusul ke sana untuk memayang ibunya, tapi terlihat orang tua itu sudah berhenti di bawah sebatang pohon kurma yang besar.

Sulit dibayangkan entah berapa tahun yang lalu dari udara telah jatuh satu biji bibit kurma dan mulai tumbuh di dalam goa ini, kemudian mulai menjalar dan berkembang biak hingga seluruhnya di dalam goa kini tumbuh beberapa puluh pohon kurma. Jika saja dulu tidak pernah terjatuh satu biji kurma atau bibit kurma itu tak dapat tumbuh, maka kedatangan Yo Ko dan Lik-oh di dalam goa sekarang ini hanya akan menyaksikan setumpuk tulang belulang belaka. Siapakah yang akan menduga tulang ini adalah seorang tokoh Bu-lim yang maha sakti, bahkan Lik-oh juga tidak akan mengetahui tulang belulang inilah ibu kandungnya sendiri.

Begitulah Kiu Jian-jio telah menjemput satu biji buah kurma terus dimakan. Kemudian dia menengadah, sekali semprot biji kurma terbidik ke atas dan tepat mengenai dahan pohon. Dahan pohon kurma itu terguncang dan rontoklah buah kurma laksana hujan.

Yo Ko manggut-manggut dan membatin: “Kiranya cacat anggota tubuhnya telah memaksa dia berlatih ilmu menyemprot biji kurma yang lihay, hal ini menandakan Thian (Tuhan) memang tidak pernah membikin buntu kehidupan manusia.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar