Kamis, 26 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 094

PERANGKAP SUMUR BUAYA

Walau pun menderita keracunan bunga cinta, akan tetapi ilmu silat Yo Ko sedikit pun tak terganggu. Tendangannya amat kuat, habis mengenai sasarannya ia sendiri merasa ujung kaki amat kesakitan, sedangkan buaya yang tercebur lagi ke dalam sumur masih dapat berenang dengan bebas, maka dapat dibayangkan betapa keras dan kuat kulit dagingnya.

Yo Ko pikir kalau cuma dengan tangan kosong tentu sukar melayani buaya sebanyak itu, akhirnya dirinya dan si nona pasti akan menjadi isi perut binatang buas itu, maka rasanya harus mencari akal supaya kawanan buaya dapat dibinasakan semua. Ia coba meraba batu karang sekitarnya dengan mencari sepotong batu sebagai senjata, tetapi batu karang itu terasa halus licin, sebutir pasir pun tiada. Dalam pada itu dua ekor buaya telah datang mendekat, cepat ia tanya Kongsun Lik-oh:

“Apakah kau membawa senjata?”

“Aku?” si nona mengulang.

Segera teringat olehnya akan tubuhnya sendiri yang sekarang hanya mengenakan kutang dan celana dalam saja, berada dalam pelukan si Yo Ko. Seketika ia merasa malu, namun dalam hati pun merasa manis bahagia.

Karena perhatiannya tercurah kepada kawanan buaya, Yo Ko tidak memperhatikan sikap nona yang kikuk itu, kedua tangannya menghantam sekaligus dan tepat mengenai kepala dua ekor buaya itu. Kedua buaya itu kurang gesit dan juga tidak berusaha menghindar, namun kulit dan sisiknya sangat keras. Buaya itu cuma kelengar saja, lalu terperosot ke dalam kolam walau pun tidak mati.

Pada saat lain dua ekor buaya merayap tiba, sebelah kaki Yo Ko cepat mendepak hingga salah seekor terpental ke dalam kolam. Tapi lantaran terlalu keras menggunakan tenaga maka rangkulannya kepada Kongsun Lik-oh menjadi kurang kencang tubuh si nona ikut tergeser miring ke samping kemudian tergelincir ke bawah.

Keruan Kongsun Lik-oh menjerit kaget. Syukur sebelah tangannya sempat menahan pada batu karang, dengan sekuatnya dia meloncat ke atas, pula Yo Ko sudah bantu menahan punggungnya sehingga dapatlah si nona tertolong ke atas. Tetapi karena selingan itu, buaya terakhir sudah berada di samping Yo Ko, mulutnya terpentang lebar terus menggigit pundak anak muda itu.

Dalam keadaan begitu Yo Ko tidak sempat memukul atau menendang lagi. Meski pun dapat melompat menghindar tetapi bila mulut buaya yang lebar itu terkatup, bukan mustahil badan Kongsun Lik-oh yang akan menjadi mangsanya. Tiada jalan lain, terpaksa kedua tangan Yo Ko bekerja sekaligus, ia pentang mulut buaya itu sekuatnya, mendadak ia menggertak keras dan mengerahkan tenaga.

“Kletak!” terdengar suara berkeletak, moncong buaya yang panjang itu sempal dan robek, seketika mati.

Walau pun sudah membinasakan buaya buas itu, Yo Ko sendiri pun berkeringat dingin.

“Kau tidak cidera bukan?” tanya Lik-oh kuatir.

“Tidak,” jawab Yo Ko, hatinya sedikit terguncang mendengar suara si nona yang halus dan penuh simpatik itu.

Karena terlalu kuat mengeluarkan tenaga, kedua lengan sendiri terasa rada sakit. Memandangi bangkai buaya yang tergeletak di atas batu karang, dalam hati Kongsun Lik-oh sangat kagum, katanya:

“Dengan bertangan kosong cara bagaimana engkau dapat membinasakan dia? Dalam kegelapan engkau ternyata dapat melihatnya dengan jelas.”

“Cukup lama aku tinggal di kuburan kuno bersama Kokoh, asal ada sedikit cahaya terang saja dapatlah aku melihatnya,” kata Yo Ko.

Teringat kuburan kuno dan Siao-liong-li, tanpa terasa ia menghela napas. Oleh karena itu mendadak seluruh badan terasa kesakitan, tanpa dapat ditahan dia menjerit sekerasnya.

Dua ekor buaya sebenarnya sedang merambat ke atas karang. Karena jeritan Yo Ko yang menyeramkan itu, buaya menjadi kaget lantas melompat kembali ke dalam kolam.

Cepat Kongsun Lik-oh memegangi lengan Yo Ko, sementara tangan yang lain mengusap perlahan dahi anak muda itu dengan harapan akan dapat mengurangi rasa sakitnya.

Yo Ko menyadari tubuhnya sendiri yang keracunan, sekali pun tidak terjeblos ke dalam sumur di bawah tanah ini juga hidupnya takkan lama lagi. Menurut cerita Kongsun Kokcu, aku akan menderita selama 36 hari baru mati, namun rasa sakit yang sukar ditahan ini, asal kumat beberapa kali lagi terpaksa aku akan membunuh diri saja. Tetapi sesudah aku mati, nona ini akan kehilangan teman dan pelindung, bukankah harus dikasihani? Padahal beradanya dia di sini adalah disebabkan membela diriku. Ya, apa pun penderitaanku aku harus bertahan dan tetap hidup, semoga Kokcu itu masih mempunyai perasaan sebagai ayah dan akhirnya berubah pikiran lalu mau menolong puterinya keluar dari sini.

Karena memikirkan Kongsun Lik-oh dan untuk sementara melupakan Siao-liong-li, maka rasa sakitnya segera mereda. Katanya kemudian:

“Nona Kongsun jangan kuatir, kuyakin nanti ayahmu pasti akan menolong kau. Dia cuma benci padaku seorang, terhadapmu dia tentu merasa sayang, kini dia pasti menyesali.”

Dengan air mata berlinang Kongsun Lik-oh berkata: “Ketika ibuku masih hidup, memang ayah sangat sayang padaku. Tapi setelah ibu meninggal makin hari makin dinginlah ayah terhadapku. Namun kutahu dalam... dalam hatinya tidaklah... tidaklah benci padaku.” Dia berhenti sejenak dan teringat kepada macam-macam kejadian aneh, tiba-tiba dia berkata puIa: “Yo-toako, bila kupikir sekarang, rasanya ayah sebenarnya takut padaku.”

“Mengapa dia bisa takut padamu? Sungguh aneh,” ujar Yo Ko.

“Memang begitulah,” kata Lik-oh “Dahulu selalu kurasakan gerak-gerik ayah kurang wajar apa bila bertemu denganku, seakan-akan di dalam hatinya tersimpan sesuatu rahasia dan kuatir diketahui olehku.”

Walau pun sudah lama Lik-oh merasa heran atas sikap ayahnya, tetapi setiap kali memikirkan hal itu, selalu dia anggap barang kali ayahnya merasa sedih karena wafat ibunya sehingga perangainya juga rada berubah. Tetapi terceburnya dia ke dalam kolam buaya ini jelas perangkap yang telah diatur.



Ketika ayahnya menggeser tiga anglo di kamar obat itu, jelas itulah pesawat rahasianya. Kalau dikatakan ayah cuma dendam kepada Yo Ko dan harus membunuhnya, maka anak muda ini sudah terkena racun bunga cinta, asal tidak diberi obat penawar tentu dia akan binasa, apa lagi dia terjeblos ke dalam kolam buaya ini. Lantas apa sebabnya ayah mesti mendorong diriku pula ke dalam kolam ini? Tenaga dorongannya yang keras itu jelas tiada lagi punya perasaan seorang ayah terhadap anak perempuannya.

Begitulah makin dipikir semakin sedih hatinya, semakin jelas duduknya perkara. Semua tindak dan kata sang ayah dahulu yang membingungkan dan sering dianggapnya aneh, kalau dipikirkan sekarang jelas semua itu disebabkan oleh rasa ‘takut’, cuma apa sebabnya seorang ayah bisa merasa takut terhadap puteri kandungnya sendiri inilah yang sukar dipahami.

Sementara itu dalam kolam sedang terjadi hiruk pikuk, kawanan buaya tengah berpesta pora mengganyang bangkai buaya yang dibunuh Yo Ko tadi sehingga tak ada seekor pun yang menyerang ke atas karang. Melihat si nona termangu-mangu, Yo Ko bertanya:

“Apakah mungkin ada rahasia ayahmu yang dipergoki olehmu tanpa sengaja?”

“Tidak,” jawab Lik-oh sambil menggeleng. “Tindak tanduk ayah sangat kereng dan tertib, cara menyelesaikan urusan juga adil dan bijaksana sehingga setiap orang sangat hormat dan merasa segan padanya. Tindakannya terhadap dirimu memang tidak baik, tapi biasanya beliau tidak pernah berbuat hal-hal kurang wajar.”

Karena tidak tahu seluk beluk keadaan Cui-sian-kok masa Ialu, dengan sendirinya Yo Ko lebih-lebih tidak dapat ikut memecahkan persoalan yang dipikirkan si nona.

Kolam buaya itu berada di bawah tanah yang amat dalam, dinginnya menyerupai goa es, apa lagi kedua orang basah kuyup, tentu saja rasa dingin merasuk tulang. Bagi Yo Ko yang sudah pernah berlatih Iwekang dengan tidur di dipan batu kemala di kuburan kuno tempat Siao liong-li, sedikit rasa dingin ini tidaklah menjadi soal. Tetapi Kongsun Lik-oh jelas tidak tahan, dia menggigil kedinginan dan meringkuk dalam pelukan Yo Ko.

Yo Ko pikir jiwa anak perempuan ini dalam bahaya, hatinya tentu merasa sedih dan takut, maka dia sengaja berkelakar agar dapat menyenangkan hati Lik-oh. Dilihatnya kawanan buaya sedang berebut pangan di dalam kolam secara ganas dan menyeramkan, maka dengan tertawa ia berkata:

“Nona Kongsun, kalau nanti kita mati semua, pada jelmaan hidup yang akan datang kau ingin menjelma menjadi apa? Kalau buaya yang buruk ini, terang aku tidak mau.”

Lik-oh tersenyum dan menjawab: “Jika begitu boleh kau menjelma menjadi bunga Cui-sian saja, harum lagi cantik dan disukai setiap orang.”

“Hanya engkau yang sesuai menjelma jadi bunga.” ujar Yo Ko dengan tertawa. “Kalau umpama aku menjelma menjadi bunga paling-paling bunga terompet atau bunga tahi sapi.”

Kongsun Lik-oh terkekeh geli, katanya: “Kalau Giam-lo-ong (raja akhirat) menyuruh kau menjelma menjadi bunga cinta, kau mau tidak?”

Yo Ko terdiam dan tidak menjawab, diam-diam dia merasa gemas, pikirnya: “Sebenarnya gabungan ilmu pedangku dengan Kokoh pasti akan dapat menusuk Kokcu bangsat itu, konyolnya justru Kokoh tertusuk oleh duri bunga cinta di kamar senjata itu, sedangkan Giok-li-kiam-hoat justru harus dimainkan oleh dua orang yang bersatu hati dengan penuh rasa mesra baru nampak daya kerjanya. Ai, agaknya memang sudah takdir dan apa daya, hanya saja Kokoh entah berada di mana sekarang.

Teringat pada Siao-liong-li, tiba-tiba luka di berbagai tempat tubuhnya menjadi kesakitan lagi. Begitu melihat anak muda itu diam saja, Kongsun Lik-oh tahu seharusnya dirinya jangan menyebut lagi bunga cinta, maka cepat dia menyimpangkan pokok bicara, katanya:

“Yo-toako, engkau dapat melihat buaya, tapi pandanganku gelap dan tidak melihat apa-apa.”

“Moncong kawanan buaya itu sangat buruk, lebih baik jangan kau melihatnya. “ ujar Yo Ko tertawa sambil menepuk perlahan bahu si nona sebagai tanda simpatiknya, tanpa terduga kalau tangannya menyentuh badan yang halus licin tanpa baju.

Rupanya Kongsun Lik-oh telah membuka pakaiannya ketika ayahnya menuduh ia mencuri obat sehingga yang dia pakai sekarang hanya tinggal kutang saja, dengan sendirinya dari pundak hingga lengan tiada tertutup sesuatu. Yo Ko terkejut dan cepat-cepat menarik kembali tangannya.

Kongsun Lik-oh membayangkan keadaan dirinya tentu telah dapat dilihat seluruhnya oleh anak muda yang sanggup melihat sesuatu di tempat gelap itu, betapa pun juga ia menjadi malu. Kalau tadi mereka saling meringkuk menjadi satu ketika berusaha menghalau kawanan buaya tanpa memikirkan soal lelaki dan perempuan, sekarang yang satu menarik kembali tangannya dan yang lain merasa malu, keadaan malah menjadi serba kikuk.

Yo Ko menggeser duduknya agar rada jauh, lalu menanggalkan bajunya sendiri untuk diselampirkan pada tubuh si nona. Waktu membuka baju ia menjadi teringat kepada Siao-liong-li dan juga terbayang Thia Eng yang sudah menjahitkan bajunya itu, terpikir pula Liok Bu-siang yang rela mati baginya. Ia menjadi gegetun karena tak dapat membalas budi kebaikan nona-nona itu.

Kongsun Lik-oh memakai baju Yo Ko dan mengikat tali pinggangnya. Tiba-tiba ia merasa dalam saku baju Yo Ko ada bungkusan kecil, ia merogohnya keluar dan diserahkan kepada yang empunya, katanya:

“Apakah ini? Apakah kau takkan menggunakannya?”

Yo Ko menerima dan berkata dengan heran: “Barang apa ini?”

“Barang dalam sakumu, masa kau malah bertanya padaku?” ujar Lik-oh dengan heran.

Waktu Yo Ko mengamati, kiranya satu bungkusan kecil dari kain kasar warna biru yang selamanya belum pernah diIihatnya. Segera dia membukanya, pandangannya terbeliak. Ternyata bungkusan itu berisi empat macam barang, di antaranya sebilah belati kecil, pada gagang belati itu terbingkai sebutir mutiara sebesar biji buah kelengkeng yang mengeluarkan sinar.

“Hei!” seru Lik-oh sambil mencomot sebuah botol kecil warna hijau dalam bungkusan itu: “lni Coat-ceng-tan!”

Yo Ko terkejut sekaligus girang bukan main, tanyanya: “lnikah Coat-ceng-tan yang dapat menyembuhkan racun bunga cinta?”

“Ya, sampai lama sekali aku mencarinya di kamar obat ayah tetapi tidak menemukannya, mengapa malah sudah diambil olehmu?” jawab Lik-oh kegirangan. “Cara bagaimana kau mengambilnya? Mengapa tidak kau minum saja? Ahh, barang kali kau tidak tahu bahwa ini Coat-ceng-tan yang kita cari.”

Yo Ko menggaruk-garuk kepala, katanya: “Memang sama sekali aku tidak... tidak tahu. Sungguh aneh, mengapa botol... botol obat ini bisa berada dalam saku bajuku?”

Berkat cahaya yang dipantulkan oleh belati yang mengkilat, Kongsun Lik-oh melihat benda-benda di dekatnya. Terlihat isi bungkusan itu kecuali belati dan Coat-ceng-tan masih ada pula secarik kertas dan setengah potong Lengci (sejenis obat tumbuh-an yang berkhasiat seperti kolesom dsb).”

Tergerak pikiran Lik-oh, katanya: “He, potongan Lengci itu jelas dipetik oleh Lo-wan-tong.”

“Lo-wan-tong? Kau tidak keliru?” kata Yo Ko.

“Ya, pasti dia,” jawab Lik-oh. “Kamar penyimpan Lengci di bawah pengurusanku, Lengci ini jelas-jelas berasal dari sana. Sewaktu Lo-wan-tong mengobrak-abrik di sini, membakar kitab dan lukisan, mencuri pedang, merusak anglo dan memetik Lengci, semua itu adalah perbuatannya.”

“Ya, ya tahulah aku!” tiba-tiba Yo Ko berseru menyadari duduknya perkara.

“Ada apa?” tanya Lik-oh.

“Sekarang aku tahu, Ciu-locianpwe itulah yang telah menaruh bungkusan kecil ini dalam bajuku,” kata Yo Ko.

Sekarang ia pun tahu sebenarnya Ciu Pek-thong bermaksud membantunya secara diam-diam, maka dari sebutan ‘Lo-wan-tong’ digantinya dengan sebutan ‘Ciu-locianpwe’.

Kongsun Lik-oh juga mulai paham duduknya persoalan, ia tanya: “Dia yang menyerahkan padamu?”

“Tidak,” sahut Yo Ko. “Tokoh Bu-Iim yang jenaka ini tindak tanduknya benar-benar sukar dijajaki. Dia mengambil gunting dan kedok di luar tahuku, malahan aku pun tidak tahu sama sekali kalau dia juga menaruh bungkusan kecil ini dalam bajuku. Aih, sungguh kepandaianku teramat jauh kalau dibandingkan orang tua itu.”

“Agaknya memang begitulah,” kata Lik-oh. “Ketika ayah menuduh dia mencuri dan suruh dia mengembalikan barangnya, Lo-wan-tong malah mem... membuka pakaiannya di depan orang banyak dan memang tidak membekal sesuatu benda apa pun.”

“Ia membuka semua pakaian sampai telanjang bulat sehingga Kokcu juga kena dikelabui. Kiranya bungkusan ini sudah dia alihkan ke dalam bajuku,” kata Yo Ko sambil tertawa.

Lik-oh membuka gabus tutup botol itu. Dengan hati-hati dia menuang obat pada telapak tangannya, ternyata hanya tertuang keluar satu butir pil yang bentuknya persegi seperti dadu, warnanya hitam mulus, baunya amis dan busuk. Pada umumnya obat pil tentu berbentuk bundar supaya mudah meminumnya, meski obat kapsul tentu juga berbentuk lonjong, akan tetapi pil berbentuk persegi begini sungguh tak pernah dilihat oleh Yo Ko. Ia coba mengambilnya dari tangan si nona kemudian diamat-amatinya.

Kemudian Kongsun Lik-oh meng-goyang botol itu, lalu dituang pula serta di-ketok pada telapak tangahnya, namun ternyata tiada isinya lagi.

“Sudah kosong, hanya satu biji ini,” katanya.

“Lekas engkau meminumnya, bisa runyam kalau sampai jatuh ke kolam.”

Selagi Yo Ko hendak memasukkan pil itu ke mulut, dia jadi merandek mendengar si nona menyatakan obat itu cuma satu biji. Segera ia menegas:

“Mengapa isi botol cuma satu biji? Masih ada tidak di tempat ayahmu?”

“Justru cuma ada satu biji ini, maka sangat berharga, kalau tidak, buat apa ayah marah-marah padaku,” kata Lik-oh.

Yo Ko terkejut, katanya: “Kalau begitu, dengan cara bagaimana ayahmu akan menolong Kokoh-ku yang sekujur badannya tercocok duri bunga cinta?”

“Pernah kudengar cerita Toa-suhengku, katanya pil ini mestinya ada dua biji, tetapi entah kenapa kemudian cuma tersisa satu biji ini saja,” tutur Lik-oh, “Bahkan resep pembuatan obat ini sudah hilang, ayahku sendiri tidak tahu cara membuat obat ini, sebab itu Toa-suheng memberi peringatan agar waspada dan jangan sampai terkena racun duri bunga itu.”

“Wah, jika begitu, mengapa ayahmu belum datang menolong kau?” seru Yo Ko gegetun.

Kongsun Lik-oh cukup cerdas, dia pun paham isi hati anak muda itu. Melihat Yo Ko telah mengembalikan lagi pil itu ke dalam botol, dengan menghela napas perlahan dia berkata:

“Yo-toako, demikian besar cintamu terhadap nona Liong, masa ayahku tidak tahu diri? Aku tahu, engkau bukan mengharapkan ayahku datang menolong diriku, lebih dari itu kau justru mengharapkan kubawa serta Coat-ceng-tan ini ke atas sana untuk menyelamatkan jiwa nona Liong.”

Karena isi hatinya dengan tepat dikatai, Yo Ko tersenyum dan berkata: “Seumpama racun di dalam tubuhku dapat disembuhkan, tetapi sukar juga bagiku untuk hidup di kolam buaya ini, dengan sendirinya lebih penting menolong jiwa Kokoh-ku saja.”

Lik-oh tahu tiada gunanya membujuk anak muda itu untuk meminum pil, diam-diam dia menyesal tadi telanjur bicara terus terang tentang satu-satunya pil itu, segera dia berkata:

“Meski Lengci ini tak dapat menawarkan racun, tapi amat berfaedah bagi kesehatan tubuh, lekas kau memakannya saja.”

Yo Ko mengiyakan. Ia lalu memotong Lengci itu menjadi dua, ia sendiri makan sebagian, sebagian lagi dijejalkan ke mulut Lik-oh sambil berkata:

“Entah kapan baru ayahmu akan datang menolong kau, maka makanlah sepotong Lengci ini untuk menghalau hawa dingin.”

Melihat kesungguhan hati anak muda ini, Lik-oh tidak tega menolaknya, maka segera dia membuka mulut dan makan potongan Lengci itu. Umur Lengci ada ratusan tahun, maka sesudah makan Lengci, seketika kedua orang merasakan badan segar dan hangat, semangat bangkit dan pikiran pun terang.

Tiba-tiba Lik-oh berkata: “Setelah Coat-ceng-tan ini dicuri Lo-wan-tong, jelas ayah sudah tahu juga bahwa janjinya menyembuhkan kau hanya sekadar menipu nona Liong, bahkan memaksa aku menyerahkan obat ini juga cuma pura-pura saja.”

Sebenarnya sudah sejak tadi hal ini terpikir oleh Yo Ko, cuma dia tidak ingin menambah rasa sedih si nona, maka hingga kini belum dibeberkannya. Sekarang hal itu terucap dari Lik-oh sendiri, maka dia pun berkata:

“Sesudah kau dilepaskan ayahmu, kelak kau perlu berhati-hati, paling baik kalau berusaha meninggalkan tempat ini.”

“O, agaknya kau tidak kenal pribadi ayah,” ujar Lik-oh. “Sekali dia mendorong aku ke kolam buaya ini, betapa pun dia takkan melepaskan aku lagi. Yo-toako, masa engkau melarang aku mati bersama kau di sini?”

Selagi Yo Ko hendak menghiburnya, mendadak seekor buaya merambat lagi ke atas karang dan sebelah kakinya tepat meraih kertas yang jatuh dari bungkusan kecil tadi. Tergerak hati Yo Ko, katanya:

“Coba kita lihat apa yang tertulis di kertas itu.”

Segera dia angkat belatinya dan menusukkannya pada bagian antara kedua mata buaya.

“Bless...!”

Dengan mudah saja belati itu menembus kulit buaya yang keras dan tebal. Ternyata belati itu adalah senjata mestika yang sangat tajam. Buaya itu berkelojotan beberapa kali lalu terguling ke dalam kolam dan binasa.

“Kita mempunyai belati ini, maka celakalah bagi kawanan buaya itu,” ujar Yo Ko dengan girang. Perlahan dia ambil kertas yang sudah rada basah itu, belati yang dipegangnya dipepetkan pada kertas, dari pantulan sinar mutiara di gagang belati dapatlah terbaca tulisan di atas kertas. Tapi setelah mereka mengamati, satu huruf saja tidak tampak, yang ada cuma lukisan menyerupai pemandangan alam, ada rumah, bukit dan sebagainya.

Yo Ko merasa lukisan berupa corat-coret itu tidak ada sesuatu yang menarik, maka kertas itu ditaruhnya lagi ke atas karang. Tetapi Kongsun Lik-oh yang ikut membaca mendadak berkata:

“lni adalah denah bangunan perkampungan Cui-sian-kok. Lihat, inilah sungai kecil ketika kalian datang ke sini, yang ini ruangan depan, ini kamar senjata, itu kamar obat dan...” sembari bicara si nona juga menunjukkan bagian-bagian peta yang dimaksud.

“He, lihat ini, lihatlah!” mendadak Yo Ko berseru heran sambil menunjuk kolam besar yang terlukis di bawah kamar obat.

“Ya, inilah kolam buaya dan... ahh, malahan ada jalan tembusannya di sini,” kata Lik-oh.

Menurut peta itu, di tepi kolam buaya terlukis sebuah tembusan, seketika mereka menjadi bersemangat, cepat Yo Ko mengambil peta itu lalu dicocokkan dengan keadaan di sekitar kolam, katanya kemudian:

“Kalau apa yang terlukis di dalam peta ini tidak bohong, maka selewatnya jalan tembus, di sana tentu ada lagi jalan keluarnya, cuma...”

“Di sinilah letak keanehannya,” sambung Lik-oh. “Jalan tembus ini terlukis menyerong ke bawah, padahal kolam buaya ini sudah jauh di bawah tanah. Kalau menyerong turun lagi, lalu menembus ke mana?”

Setelah mereka mengamati lagi peta itu, jalan tembus yang dilukis itu pun berhenti sampai di tepi kertas sehingga tidak diketahui menembus ke mana akhirnya.

“Apakah soal kolam buaya ini pernah kau dengar dari ayahmu atau Toa-suhengmu?” tanya Yo Ko.

Lik-oh menggeleng, jawabnya: “Sekarang barulah kuketahui bahwa di bawah kamar obat terdapat makhluk buas sebanyak ini, mungkin Toa-suheng sendiri pun tidak mengetahui.”

Yo Ko mengamati keadaan sekeliling, terlihat di depan sana ada segulung bayangan yang kelam, agaknya di sanalah terletak mulut jalan tembusan yang dimaksud, namun jaraknya agak jauh sehingga tidak terlihat dengan jelas. Ia menjadi sangsi jangan-jangan di lorong itu terdapat makhluk buas lainnya dan bukan mustahil jauh lebih berbahaya dari pada kawanan buaya ini.

Tapi dari pada duduk menanti ajal, masih lebih baik kalau menyerempet bahaya. Asalkan nona Kongsun dapat diselamatkan keluar dari sini sehingga bisa mengantar pil ini kepada Kokoh, maka tercapailah sudah cita-citaku. Segera dia menyerahkan belati ke tangan Lik-oh dan berkata:

“Coba kulihat ke seberang sana.” Sekali loncat tahu-tahu dia sudah melayang ke tengah kolam.

Lik-oh menjerit kaget, tampak olehnya sebelah kaki Yo Ko menginjak bangkai buaya yang masih mengambang dan sekali Ioncat lagi, kaki yang Iain menutul punggung seekor buaya. Ketika buaya itu ambles ke bawah air, Yo Ko sudah melayang sampai di seberang. Dia berdiri mepet pada dinding karang, sebelah tangannya yang coba meraba ke sana terasa kosong, segera dia berseru:

“Ya, memang betul ini jalannya.”

Ginkang Kongsun Lik-oh tidak setinggi Yo Ko, dia tidak berani melompat ke sana menurut cara anak muda itu. Yo Ko pikir kalau melompat kembali ke sana untuk menggendong si nona, tentu gerak geriknya tak leluasa sehingga sulit juga menggunakan buaya sebagai batu loncatan. Tapi urusan sudah telanjur, maka segera ia berseru:

“Nona Kongsun, coba kau lemparkan bajuku ke sini setelah kau celupkan di air.”

Walau pun tidak tahu apa maksud tujuannya tapi Lik-oh melakukan permintaan anak muda itu. Dia menanggalkan baju Yo Ko yang dipakainya dan dicelup ke dalam kolam, lalu dia gulung dan berseru:

“lni terimalah!” Sekuatnya ia lantas menyambitkan gulungan baju basah itu ke seberang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar