Sabtu, 31 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 064

Tun-si lebih kasar lagi dari pada sang adik, tanpa tedeng aling-aling lagi mendadak ia ulur tangan kanan dan secepat kilat menjojoh ke pinggang Yo Ko. Sekali ini Yo Ko tak perlu menjalankan darahnya secara terbalik lagi. Dengan tenang saja ia luruskan tangannya yang memegang sumpit, ia gunakan potongan daging sapi yang dia cepit tadi sebagai tameng di pinggangnya yang diarah. Saking cepatnya Yo Ko bertindak, maka sama sekali Tun-si tak berasa, pada saat jarinya kena menjojoh, dengan tepat menembus potongan daging sapi itu.

“Minum arak dengan jojoh daging sapi memang paling enak,” kata Yo Ko tertawa sambil meletakkan sumpitnya.

Waktu Tun-si mengangkat tangannya, dia lihat daging sapi itu masih mencantol di jarinya dengan air kuwah masih menetes. Ia menjadi serba salah, dibuang sayang, tidak dibuang bikin malu saja. Ia pelototi Yo Ko dengan gemas, lalu cepat-cepat kembali ke mejanya. Melihat jari orang bertambah sepotong daging, Kwe Hu menjadi heran.

“Apakah itu?” demikian ia tanya.

Tentu saja Tun-si merah jengah tak bisa menjawab. Begitulah selagi pemuda ini serba salah kehilangan muka, tiba-tiba terlihat seorang pengemis tua telah angkat cawan arak sambil berdiri. Nyata pengemis tua ini bukan lain adalah Loh Yu-ka, pangcu baru Kay-pang.

“Seperti saudara-saudara mendengar tadi, Ang-lopangcu sudah mengirim perintah bahwa bangsa Mongol semakin nyata akan menjajah ke selatan, sebab itu para saudara diminta berjuang mati-matian untuk melawan musuh,” demikian ia angkat bicara setelah mengajak minum para kesatria. “Kini para kesatria dari seluruh jagat hampir semua berkumpul disini, semua orang berhati setia negara, maka kita harus merundingkan satu daya-upaya untuk mencegah penjajah bangsa asing itu, dan agar peristiwa Ong-Khong (maksudnya kedua raja Song yang ditawan negeri Kim) tidak terulang lagi.”

Karena beberapa patah kata Loh Yu-ka ini, keadaan hadirin seketika ramai lagi dan sama menyatakan akur. Sementara itu terlihat seorang tua dengan jenggot putih perak telah berdiri juga.

“Kata pribahasa, ular tanpa kepala tidak bisa berjalan, percuma saja kalau kita hanya ber-cita-cita tinggi tetapi tiada seorang pemimpin yang bijaksana, tentu pekerjaan kita akan sia-sia,” demikian ia kata, suaranya lantang bagai genta, “Kini para kesatria berkumpul di sini, harus kita angkat seorang yang memiliki nama tinggi, seorang gagah yang dihormati oleh semua orang untuk menjadi pemimpin dan kita semua akan mendengar perintahnya.”

Seketika suara sorak-sorai riuh gemuruh lagi, segera pula ada yang berteriak: “Baiklah, engkau orang tua saja yang menjadi pemimpinnya!”

“Ya, tak perlu lagi angkat yang lain!” sambung yang lain.

Tetapi orang tua itu bergelak tertawa. “Ha-ha-ha, aku si tua bangka ini terhitung manusia macam apa?” demikian katanya, “Selama ini kalangan Kangouw mengakui ilmu silat lima tokoh, Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong adalah yang paling tinggi. Tiong-sin-thong Ong Tiong-yang telah lama meninggal, Tang-sia dan Se-tok bukan orang golongan kita, sedangkan Lam-te jauh di negeri Tay-li, dengan sendirinya ketua serikat ini kecuali Pak-kay Ang-locianpwe tiada yang lebih sesuai lagi.”

Memang Ang Chit-kong adalah jago utara yang paling tinggi dan benar-benar memenuhi harapan semua orang, maka tepuk tangan segera gemuruh lagi tanpa ada yang berlainan pendapat.

“Ya, Ang-locianpwe sudah pasti cocok sekali untuk menjadi ketua serikat para kesatria ini. Kecuali dia, siapa lagi yang mampu menaklukkan semua orang dengan ilmu silatnya dan melebihi orang Iain dengan budi pekertinya?”

Demikian tiba-tiba di antara orang banyak itu ada seorang lagi yang berteriak, meski pun suaranya amat keras, tapi waktu pandangan orang diarahkan ke tempat datangnya suara, orangnya ternyata tidak kelihatan. Kiranya orang itu adalah seorang cebol yang sangat pendek sehingga tertutup oleh orang-orang di sekitarnya.

“Siapakah itu yang bicara?” segera ada yang bertanya.

Dengan cepat si cebol itu melompat ke atas meja, maka nampaklah perawakannya yang tingginya tiada satu meter, usianya dekat setengah abad sebaliknya wajahnya bercahaya penuh semangat. Sebetulnya banyak yang hendak menertawai si cebol ini, tapi demi nampak sinar matanya yang tajam, suara tertawa mereka tertelan kembali mentah-mentah.

“Cuma tindak-tanduk Ang-lopangcu amat aneh, dalam sepuluh tahun sukar untuk ketemu dia sekali, kalau dia orang tua tak di tempat, lalu jabatan ketua serikat ini harus dipegang siapa?” demikian si cebol itu berkata lagi.

Betul juga, pikir semua orang.

“Segala apa yang kita perbuat kini seluruhnya adalah untuk membela tanah air, sedikit pun kita tak punya kepentingan pribadi, maka kita harus angkat seorang ketua muda, agar bila Ang-lopangcu tidak ada, kita lantas tunduk pada wakilnya ini.”

“Bagus, bagus!” demikian terdengar sorak-sorai lagi dengan ramai. Lalu banyak lagi yang berteriak-teriak mengemukakan calonnya.

“Kwe Ceng, Kwe-tayhiap saja!”

“Paling baik Loh-pangcu!”

“Liok-cengcu, tuan rumah ini saja!”

“Tidak, sebaiknya Ma-kaucu dari Coan-cin-kau!”



“Atau Pangcu dari Thi-cio-pang saja!”

Begitulah terdengar seruan yang simpang-siur. Selagi suasana rada kacau, dari luar ruangan kelihatan bayangan orang berkelebat, empat tojin sedang berlari masuk dengan cepat, ternyata mereka adalah Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng dan In Ci-peng berempat.

Melihat mereka sudah pergi dan mendadak kembali lagi, Yo Ko menjadi heran, sebaliknya Kwe Ceng dan Liok Khoan-eng girang luar biasa. Lekas-lekas mereka meninggalkan meja dan menyambutnya.

“Ada musuh hendak mengacau ke sini, kami sengaja datang memberi kabar, hendaklah kalian berlaku waspada dan berjaga-jaga,” demikian Hek Tay-thong bisiki Kwe Ceng.

Di dalam Coan-cin-kau, Kong-ling-cu Hek Tay-thong terhitung jagoan kelas terkemuka, di kalangan Kangouw, orang yang berilmu silat lebih tinggi dari dia bisa dihitung dengan jari, namun kini cara mengucapkan berita itu kedengarannya rada gemetar dan kuatir, maka Kwe Ceng pikir tentu yang akan datang ini pasti musuh tangguh adanya.

“Apa Auwyang Hong?” demikian Kwe Ceng tanya dengan suara rendah.

“Bukan, tetapi orang Mongol yang aku sendiri pernah jatuh di tangannya,” sahut Hek Tay-thong.

“Pangeran Hotu?” kata Kwe Ceng dengan hati lega.

Dan sebelum Hek Tay-thong buka suara lagi, mendadak dari luar terdengar suara tiupan tanduk yang bertalu-talu, menyusul diselingi oleh suara genta yang terputus-putus nyaring.

“Sambut tetamu agung!” segera Liok Khoan-eng berteriak.

Baru saja berhenti suaranya, tahu-tahu di depan ruang pendopo itu telah berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam potongan dan lagaknya, ada yang tinggi besar, ada yang pendek kecil.

Para kesatria yang hadir ini sebenarnya lagi bersorak-sorai dalam pesta pora yang ria, kini mendadak nampak munculnya orang demikian banyak, mereka rada heran, tetapi mereka sangka orang juga hendak menghadiri Eng-hiong-yan ini. Setelah melihat tiada kenalan di antara orang-orang, kemudian tak diperhatikan lebih jauh.

Berlainan dengan Kwe Ceng yang sudah tinggi ilmu silatnya dan tajam penglihatannya, segera ia tahu gelagat tidak sewajarnya.

“Yang datang ini terlalu keras, mereka tidak mengandung maksud baik,” demikian ia bisiki sang isteri Oey Yong. Kemudian ia pun bangkit, pasangan suami isteri ini bersama Liok Khoan-eng menyambut keluar.

Kwe Ceng mengenali orang yang bermuka cakap berdandan sebagai putera bangsawan itu adalah Pengeran Hotu dari Mongol, sedang paderi yang berjubah merah dan berkopiah emas, mukanya kurus, adalah Ciangkau atau ketua Bit-cong dari Tibet, Darba namanya. Kedua orang ini dahulu sudah pernah dijumpainya di Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san. Meski mereka terhitung jago kelas satu, tetapi ilmu silatnya masih lebih rendah dari pada dirinya, maka tak perlu ditakuti.

Cuma di tengah-tengah kedua orang ini masih berdiri lagi seorang paderi Tibet yang juga tinggi kurus dan berjubah merah pula, kepalanya gundul licin berminyak, ubun-ubun atau mercu kepala tampak dekuk ke dalam. Melihat macamnya orang, Kwe Ceng dan Oey Yong saling pandang. Pernah mereka dengar dari Oey Yok-su yang berbicara tentang ilmu silat aneh kaum Lama sekte Bit-cong di Tibet bahwa apa bila sudah terlatih sampai tingkatan yang sangat tinggi, mercu kepala bisa sedikit dekuk ke dalam. Kini melihat ubun-ubun orang ini begitu dalam dekuknya, apa mungkin ilmu silatnya sudah sampai tingkatan yang sukar diukur?

Tetapi di kalangan Kangouw kenapa selama ini hanya terdengar Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, sebaliknya tidak pernah dengar bahwa di Tibet terdapat seorang jago seperti dia ini? Sebab itulah mereka berdua diam-diam berlaku waspada, lalu mereka membungkuk memberi hormat sambil mengucapkan selamat datang dan menyilakan duduk.

Segera Liok Khoan-eng memberi tanda perintah, para centeng segera sibuk menyediakan meja baru dan daharan. Bu-si Hengte sudah terbiasa membantu bapak dan ibu guru mereka mengurusi pekerjaan rumah tangga, Iebih-lebih Bu Siu-bun yang serba cepat dan giat, maka kedua saudara Bu segera memimpin para centeng itu mengatur tempat dan sediakan beberapa meja yang terhormat buat tamu agung, mereka pun minta maaf kepada tetamu yang duluan supaya suka menggeser sedikit tempat luang.

Sementara itu, melihat Yo Ko ikut-ikut hadir dalam perjamuan ini, dalam pandangan Kwe Hu rasanya kurang senang, “Hm, kau terhitung Enghiong macam apa? Meski Enghiong seluruh jagat mati ludes juga tidak bergilir pada dirimu!” demikian ia membatin. Habis ini ia kedipi Bu Siu-bun sambil mulutnya merot-merot ke jurusan Yo Ko. Maka tahulah Siu-bun maksud si gadis, segera Yo Ko didekatinya.

“Yo-toako, meja ini hendaklah digeser sedikit,” demikian ia kata. Habis ini, tanpa menanti Yo Ko bilang boleh atau tidak, segera ia suruh centeng memindahkan mangkok dan sumpit si Yo Ko ke pojok.

Tentu saja hati Yo Ko terbakar, tetapi ia pun tidak bicara, melainkan diam-diam ia tertawa dingin.

Sementara itu terdengar Pengeran Hotu sudah membuka suara. “Suhu, ini kuperkenalkan engkau kepada dua Enghiong dari Tionggoan yang namanya gilang-gemilang...”

Kwe Ceng terkejut, pikirnya: “Oh, kiranya paderi Tibet tinggi kurus ini adalah gurunya.”

Dilihatnya paderi Tibet itu sedang manggut-manggut, dua matanya melek tidak meram pun tidak. Pangeran Hotu lantas menyambung lagi:

“dan yang ini adalah Kwe Ceng, Kwe-tayhiap yang dahulu pernah menjadi Ceng-se-goanswe di negeri Mongol, Dan yang ini adalah Oey-pangcu.”

Ketika mendengar Hotu menyebut “Ceng-se-goanswe”, mendadak paderi itu pentangkan kedua matanya hingga menyorotkan sinar tajam. Dia pandang beberapa saat Kwe Ceng, habis itu kelopak matanya menurun pula setengah menutup, sebaliknya terhadap Pangcu dari Kay-pang ternyata sama sekali tak diperhatikannya.

“lni adalah guruku, orang di Tibet menyebutnya Kim-lun Hoat-ong dan oleh Hong-thayhou (ibusuri) negeri MongoI sekarang diangkat dengan gelar Houkok Taysu,” Pangeran Hotu berkata lagi dengan suara lantang, (Houkok Taysu = imam besar pelindung negara)

Karena kerasnya suara, seluruh hadirin dengan jelas dapat mendengarnya hingga semua orang merasa heran dan saling pandang. Kata mereka di dalam hati: “Tadi baru saja kita berunding untuk melawan penjajahan Mongol ke selatan, kenapa mendadak lantas datang seorang Koksu (iman negara) dari Mongol?”

Kwe Ceng sendiri karena memang kurang cerdas, maka seketika ia menjadi bingung cara bagaimana harus melayani tetamu yang tak diundang ini, tiada jalan lain dia hanya dapat menuang arak kemudian mengajak minum kepada mereka seorang demi seorang sambil mengucapkan selamat datang dan kata-kata kagum.

Setelah tiga keliling menyuguh arak, Pangeran Hotu berdiri. Waktu kipas lempitnya dia pentang, tampaklah pada kipasnya terlukiskan setangkai bunga Bo-tan yang indah sekali.


PEREBUTAN GELAR BU-LIM BENG-CU

“Kedatangan kami guru dan murid hari ini untuk menghadiri Eng-hiong-yan walau pun harus dilakukan dengan muka tebal karena tidak diundang, tapi mengingat bisa berkumpul dengan para kesatria begini banyak, terpaksa kami pun tak pikirkan lagi malu atau tidak,” demikian ia bicara.

“Perjamuan seperti ini memang susah diadakan, waktunya pun sulit dicari, kini kebetulan kesatria dari seluruh jagat berkumpul di sini, menurut pendapatku harus diangkat seorang Beng-cu (ketua serikat) dari para kesatria untuk memimpin Bu-Iim dan menjadi kepala para orang gagah di bumi ini, entah bagaimana pikiran kalian dengan pendapatku?”

“Usulmu memang tepat sekali,” seru si cebol, “Tadi baru saja kami mengangkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu dan kini sedang memilih wakil ketuanya, bagaimana pendapat saudara tentang soal ini?”

“Ang Chit-kong telah lama mati, kini kau memilih setan sebagai Beng-cu, apa kau anggap kami ini setan juga?” sela Darba tiba-tiba sambil berdiri.

Karena kata-katanya ini, seketika para kesatria menjadi gempar, lebih-lebih para anggota Kay-pang yang menjadi marah luar biasa, mereka pada berteriak-teriak.

“Baikiah, jika Ang Chit-kong belum mati, sekarang juga silakan dia tampil ke muka untuk bertemu,” kata Darba lagi.

Loh Yu-ka tak bisa menguasai dirinya lagi, sambil angkat tinggi-tinggi tongkat bambu ‘Pak-kau-pang’, segera ia berdiri.

“Selamanya Ang-pangcu berkelana tanpa tentu kediamannya, sekarang kau bilang mau bertemu dengan dia, apa kau anggap gampang permintaanmu ini?” demikian debatnya.

“Hm,” tiba-tiba saja Darba menjengek. “Jangankan mati-hidupnya Ang Chit-kong sekarang sukar diketahui, sekali pun sekarang dia berada di sini juga dengan ilmu silatnya mau pun namanya, apa bisa dia memadai Suhu-ku Kim-Iun Hoat-ong? Para kesatria yang hadir ini hendaklah mengetahui, Beng-cu pilihan Eng-hiong-yan hari ini, kecuali Kim-lun Hoat-ong tiada orang lain lagi yang bisa menjabatnya.”

Sampai di sini para kesatria tahulah maksud tujuan kedatangan orang-orang ini, terang mereka mendapat tahu bahwa Eng-hiong-yan ini bakal mengambil keputusan yang tidak menguntungkan pihak Mongol, sebab itu mereka sengaja datang mengacau dan ikut berebut kedudukan Beng-cu. Jika dengan ilmu silatnya Kim-lun Hoat-ong berhasil merebut kedudukan Beng-cu, meski pun para orang gagah perkasa dari Tionggoan tak takluk pada perintahnya, akan tetapi sedikitnya sudah bisa melemahkan kekuatan bangsa Han dalam perlawanannya terhadap Mongol.

Dalam keadaan demikian, seketika mereka memandang Oey Yong. Mereka kenal kepandaian Oey Yong yang banyak tipu akalnya, mereka pikir walau pun tetamu berpuluh orang ini setinggi langit ilmu silatnya, tetapi menghadapi lawan ribuan orang yang hadir ini, tidak peduli satu lawan satu atau pun dengan cara keroyokan, pasti pihak kita tidak akan terkalahkan, maka biarlah dengar saja perintah Oey-pangcu serta menurut petunjuknya.

Melihat gelagatnya, Oey Yong sendiri telah tahu bahwa urusan ini sulit diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan, maka segera ia pun mulai bicara.

“Para kesatria yang hadir di sini memang sudah angkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu, sebaliknya Taysu (maksudnya Darba) ini mendukung Kim-lun Hoat-ong sebagai calonnya. Jika Ang-lopangcu ada di sini, sebenarnya kita bisa menyaksikan beliau mengukur tenaga dengan Kim-lun Hoat-ong! Tapi beliau justru pergi-datang tiada ketentuan tempatnya, pula tak menyangka bahwa hari ini bakal kedatangan tamu agung hingga tak bisa menunggu di sini sebelumnya, kelak apa bila beliau tahu akan kejadian ini, pasti dia akan menyesal tak terhingga. Untunglah di antara Ang-lopangcu mau pun Kim-lun Hoat-ong masing-masing sudah menurunkan anak murid. Nah, sekarang biarlah murid kedua belah pihak saja yang mewakili guru mereka untuk bertanding!”

Sebagian besar para kesatria dari Tionggoan ini cukup kenal kepandaian Kwe Ceng yang maha tinggi, pula umurnya sedang kuat-kuatnya, jago-jago tertinggi pada jaman ini agaknya tiada lagi yang sanggup menangkan dia, sekali pun Ang Chit-kong sendiri yang datang juga belum pasti bisa lebih kuat dari pada Kwe Ceng, kini kalau bertanding dengan murid Kim-lun Hoat-ong, maka kemenangan sudah pasti dalam genggaman sendiri, tidak akan bakal kalah. Karena itu seketika mereka sama berseru akur hingga genteng rumah tergetar oleh suara sorak gemuruh mereka.

Ketika mendapat kabar itu, tetamu yang duduk di ruangan belakang langsung ber-duyun membanjir keluar hingga seluruh ruangan pendopo sampai keluar pintu penuh orang. Karena pihaknya kalah suara, maka Kim-lun Hoat-ong menjadi terdesak oleh suasana itu. Pangeran Hotu sendiri sudah pernah saling gebrak dengan Kwe Ceng di Tiong-yang-kiong dahulu, ia insaf kepandaiannya masih di bawah orang.

Begitu pula silat Suheng-nya, Darba, juga setingkat dengan dirinya, tidak peduli siapa di antara mereka yang maju pasti akan dikalahkan. Tetapi bila menolak usul Oey Yong itu, kedudukan Beng-cu terang tidak bisa lagi direbut. Oleh karena itu ia menjadi bingung tak berdaya.

“Baik, Hotu, kau boleh maju coba bertanding dengan murid Ang Chit-kong,” tiba-tiba Kim-Iun Hoat-ong berkata.

Ternyata paderi yang jauh tinggal di Tibet ini menyangka muridnya, Pangeran Hotu pasti jarang ada tandingannya, paling banyak hanya kalah terhadap Tang-sia, Se-tok dan lain jago angkatan tua saja, sama sekali tidak diketahuinya bahwa muridnya itu justru pernah terjungkal di tangan Kwe Ceng. Karena perintah sang guru itu, mau tidak mau pangeran Hotu mengiakan, namun ia toh belum berdiri.

“Suhu,” demikian ia berbisik, “murid Ang Chit-kong itu terlalu hebat, Tecu mungkin sukar mengalahkan dia, jangan-jangan akan bikin malu nama baik Suhu saja.”

Karena penuturan ini, Kim-lun Hoat-ong rada kurang senang. “Hm, masakah kau tidak bisa mengalahkan murid orang itu?” demikian jengeknya, “Lekas maju sana!”

Hotu betul-betul serba salah, ia jadi menyesal juga tadinya tidak bilang terus terang pada sang guru tentang pengalamannya dulu. Ia menyangka dengan kepandaian gurunya yang tak ada tandingannya di kolong langit, dengan menghadiri perjamuan Eng-hiong-yan maka kedudukan Beng-cu pasti akan direbutnya dengan mudah saja, siapa tahu ia sendiri justru disuruh maju melawan Kwe Ceng.

Begitulah, sedang dia ragu-ragu, tiba-tiba seorang laki-laki gemuk dengan pakaian bangsa Mongol telah mendekatinya dan bisik-bisik beberapa kata di telinganya. Karena kisikan ini, seketika Hotu menjadi girang, tiba-tiba ia berdiri, ia pentang kipasnya dan mengipas-ngipas.

“Selama ini kudengar Kay-pang memiliki semacam kepandaian pusaka yang disebut Pak-kau-pang-hoat, bahwa ilmu itu adalah kepandaian paling lihay yang menjadi kebanggaan Ang-Iopangcu,” demikian ia berkata dengan lantang. “Sekarang Siau-ong (pangeran yang rendah) yang tak becus ini ingin menggunakan sebuah kipas untuk mematahkannya. Jika aku bisa mematahkan ilmu pusakanya, suatu tanda kemahiran Ang Chit-kong tak lebih hanya sebegitu saja!”

Waktu orang itu kisiki Hotu, mula-mula Oey Yong tidak memperhatikan. Tetapi mendadak orang menyinggung tentang Pak-kau-pang-hoat dan dengan hanya beberapa patah kata saja, Kwe Ceng yang ilmu silatnya paling kuat di pihak sendiri segera dikesampingkan, ia menjadi heran siapa yang kemukakan tipu-daya itu.

Waktu ia menegas, maka tahulah dia. Kiranya laki-laki gemuk itu bukan lain adalah Peng-tianglo, satu di antara empat Tianglo atau tetua dalam Kay-pang. Sekarang Peng-tianglo memihak Mongol hingga telah bertukar dandanan bangsa Mongol, hanya dia ini saja yang tahu bahwa Pak-kau-pang-hoat tidak pernah diturunkan kepada orang Iain kecuali Pangcu dari Kay-pang sendiri, sedangkan Kwe Ceng biar pun tinggi kepandaiannya, Pak-kau-pang-hoat ini ia tak paham.

Kini Hotu singgung soal Pak-kau-pang-hoat, terang ia menantang terhadap dirinya yang menjadi pangcu lama dan Loh Yu-ka yang menjadi Pangcu baru. Loh Yu-ka masih belum lengkap mempelajari ilmu permainan pentung itu sehingga belum bisa dipergunakan menghadapi musuh, dengan sendirinya ia yang harus maju.

Kwe Ceng cukup tahu bahwa Pak-kau-pang-hoat sang isteri tiada tandingannya di kolong langit ini, ia menduga dan yakin isterinya pasti dapat mengalahkan Hotu. Cuma beberapa bulan paling akhir ini semangat sang isteri selalu lesu dan tenaga kurang, kandungannya baru tumbuh, sekali-kali tidak boleh bergebrak dengan orang. Oleh karena itu segera dia melangkah maju ke tengah.

“Pak-kau-pang-hoat Ang-lopangcu selamanya tak sembarangan dipergunakan, karena itu baiknya kau belajar kenal saja dengan Hang-liong-sip-pat-ciang ajaran beliau,” segera ia menantang.

Melihat langkah Kwe Ceng kuat bertenaga, diam-diam Kim-Iun Hoat-ong terkejut, meski matanya kelihatan meram tidak melek tidak.

“Orang ini memang nyata bukan lawan lemah,” demikian ia membatin.

Sementara itu Hotu bergelak ketawa. “Ha-ha-ha, di Cong-lam-san dahulu Siau-ong sudah pernah berjumpa sekali denganmu, tatkala itu kau mengaku anak murid Ma Giok dan Khu Ju-It, kenapa sekarang memalsukan diri sebagai muridnya Ang Chit-kong lagi?” tegurnya pada Kwe Ceng.

Dan sebelum orang dapat menjawab, Hotu mendahului menyambung lagi: “Ya, satu orang mengangkat beberapa guru juga lumrah saja. Tapi hari ini adalah gilran Kim-lun Hoat-ong bertanding dengan Ang Chit-kong. Meski tinggi ilmu silatmu, tapi kau dapat dari beberapa perguruan, jadi rasanya sukar memperlihatkan ilmu kepandaian sejati dari Ang-lopangcu.” Demikian debatnya panjang lebar dan beralasan juga.

Dasar Kwe Ceng memang tak pandai bicara. Ia menjadi tergagap dan tidak mampu menjawab, sebaliknya para kesatria lain seketika menjadi ramai sambil berteriak-teriak.

“Kalau berani, hayo, bertanding saja dengan Kwe-tayhiap! Kalau tidak berani boleh lekas kempit ekor dan enyah dari sini!”

“Kwe-tayhiap adalah anak murid langsung Ang-lopangcu, apa bila dia tidak bisa mewakili gurunya, siapa lagi yang cocok mewakili?”

“Kau boleh coba rasakan enak tidaknya Hang-liong-sip-pat-ciang, habis itu baru kau cicipi lagi Pak-kau-pang-hoat juga belum terlambat!”

Begitulah teriakan mereka yang simpang-siur. Namun pangeran Mongol itu mendadak tertawa mengadah, waktu ia tertawa diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya hingga suara “hahaha” yang keras lantang bikin genting rumah seakan-akan tergetar dan suara ribut para kesatria itu tenggelam.

Tentu saja semua orang terkejut bukan main. Sungguh mereka tidak nyana dengan umur semuda orang dan berdandan sebagai bangsawan, ternyata mempunyai Iwekang begini lihay. Karena itu seketika mereka bungkam dan tenang kembali.

“Suhu, agaknya kita telah dikecewakan orang.” kata Hotu tiba-tiba kepada Kim-lun Hoat-ong. “Tadinya kita menyangka hari ini benar-benar diadakan Eng-hiong-yan, maka tanpa kenal capek datang dari jauh untuk ikut serta, siapa tahu yang ada di sini tidak lebih hanya manusia-manusia yang tamak hidup dan takut mati. Lebih baik kita lekas pergi saja. Kalau sial sampai menjadi Beng-cu manusia ini, lalu kelak diketahui oleh orang-orang gagah di seluruh jagad dan mentertawai kau karena sudi menjadi pemimpin kawanan ‘kantong nasi’, bukankah cuma bikin noda nama baik engkau saja?”

Semua orang tahu Hotu sengaja memancing agar Oey Yong mau tampil ke muka sendiri, cuma kata-katanya yang terlampau menghina itu membikin semua orang sangat marah. Tanpa pikir lagi, sekali menggerakkan pentungnya, segera Loh Yu-ka melangkah maju.

“Cayhe adalah Pangcu baru dari Kay-pang, Loh Yu-ka,” demikian ia memperkenalkan diri. “Pak-kau-pang-hoat belum ada 1/10 bagian yang kupahami, maka sesungguhnya belum mampu untuk dipergunakan. Tapi kau berkeras ingin mencicipi rasanya pentung. Baiklah, biar kupentung kau beberapa kali.”

Sesungguhnya ilmu silat Loh Yu-ka sangat bagus, lagi pula Pak-kau-pang-hoat atau ilmu pentung pemukul anjing biar pun belum lengkap dipelajarinya, namun setidaknya sudah menambah tidak sedikit kekuatannya. Kini dilihatnya umur Hotu baru 30-an tahun. Dia menduga sekali pun orang mendapatkan ajaran dari guru kosen, belum tentu latihannya sudah cukup, ditambah dia pun tahu kesehatan Oey Yong sedang terganggu, tidak peduli kalah atau menang, tidak akan Oey Yong boleh disuruh maju untuk menghadapi bahaya itu.

Di lain pihak Hotu hanya berharap supaya tidak bergebrak dengan Kwe Ceng, orang lain boleh dikatakan tiada yang dia takuti. Karena itu segera ia sambut baik majunya Loh Yu-ka.

“Selamat, selamat, Loh-pangcu,” demikian ia pun memberi hormat.

Sementara itu centeng Liok-keh-ceng sudah menyingkirkan meja-meja hingga merupakan sebuah kalangan pertandingan di tengah, mereka menambahi lilin pula sehingga keadaan terang benderang bagai siang hari.

“Silakanlah!” seru Hotu segera.

Tiba-tiba kipasnya mengebas, seketika angin kipasnya menyambar ke muka Loh Yu-ka, di antara angin kipasnya ternyata membawa bau wangi. Kuatir kalau angin itu membawa hawa beracun, lekas-lekas Loh Yu-ka mengegos.

Akan tetapi Hotu cepat luar biasa, mendadak kipasnya dilempit kembali hingga berwujud sebatang potlot peranti Tiam-hiat yang panjangnya 7-8 dim, terus ditotokannya ke bagian iga lawan. Tetapi totokan ini ternyata tidak dihiraukan oleh Loh Yu-ka, sebaliknya ia angkat pentung bambunya terus menyabet kaki orang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar