Kamis, 29 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 063

“Kau benar-benar hebat, Ibu! Segala apa tidak bisa membohongi kau!” demikian kata Kwe Hu sambil tertawa, dan berbareng itu, dengan gerakan ‘Ling-yan-tau-lim’ atau burung walet menerobos hutan, dengan enteng sekali ia meloncat ke hadapan sang ibu.

Menyusul Bu-si Hengte juga turut melompat turun, hanya Yo Ko saja yang merangkak turun dengan perlahan.

“Hm, dengan hanya sedikit kepandaianmu ini berani mengintip?” sahut Oey Yong sambil menjengek. “Kalau menghadapi kalian beberapa setan cilik saja tidak tahu, apa lagi kalau merantau di Kangouw. Bukankah tidak sampai setengah hari sudah terjebak musuh?”

Kwe Hu menjadi kikuk, tetapi ia tahu sang ibu biasanya sangat manjakan dirinya maka ia pun tidak takut didamperat, sebaliknya ia maju dan berkata lagi dengan tertawa:

“Ibu, sengaja aku mengajak mereka datang ke sini untuk melihat Pak-kau-pang-hoat yang disegani di seluruh jagat itu, siapa tahu apa yang dimainkan Loh-Lianglo itu sedikit pun tak menarik. Coba, jika permainanmu tentu sangat menarik.”

Oey Yong tertawa, betul juga segera ia ambil pentung bambu dari Loh Yu-ka. “Baik, lihatlah aku bikin anjing cilik terjungkal,” katanya sambil ulurkan pentung bambu ke arah Kwe Hu.

Segera Kwe Hu perhatikan bagian bawah, ia tunggu bila pentung menyambar, segera ia akan melompat ke atas supaya tidak kesandung. Sementara itu Oey Yong telah gerakkan pentung bambunya. Lekas Kwe Hu melompat, siapa tahu baru setengah kaki meninggalkan tanah, dengan tepat kena disabet pentung itu dan dengan enteng ia jatuh menggeletak.

“Tidak, tidak mau aku, itu kesalahanku sendiri,” teriak Kwe Hu aleman sambil melompat bangun.

“Baiklah. Coba, kau ingin cara bagaimana?” kata Oey Yong tertawa.

Segera si gadis pasang kuda-kuda dengan kuat, habis itu dia berseru pada Bu-si Hengte.

“Toa Bu-koko dan Siao Bu-koko, kalian berdua berdirilah di sampingku sini, juga pasang kuda-kuda yang kokoh.”

Bu-si Hengte menurut, mereka berdiri dengan kuda-kuda yang kuat. Kwe Hu pentangkan tangannya saling gantol dengan tangan dua pemuda itu. Dengan tenaga mereka bertiga, sungguh sangat kokoh tampaknya.

“Ibu, sekarang kami tidak takut lagi, kecuali ayah punya Hang-liong-sip-pat-ciang barulah bisa bikin kami bergerak,” kata Kvve Hu.

Oey Yong tak menjawab, ia hanya tersenyum. Kemudian mendadak pentungnya menyapu ke muka tiga orang itu dengan kencang. Karena kuatir muka mereka yang halus menjadi babak belur, cepat-cepat ketiga-tiganya mendoyong ke belakang buat berkelit, maka dengan demikian kuda-kuda mereka menjadi kendur. Tanpa ayal lagi pentung Oey Yong berputar kembali lantas menyeret kaki ketiga orang. Karena tak kuat lagi kuda-kudanya, mereka bertiga jatuh menubruk tanah semua. Ilmu silat mereka cukup hebat, maka baru jatuh segera mereka melompat bangun dengan gaya yang manis.

“Ibu, caramu ini hanya tipuan saja, aku tidak mau,” kata Kwe Hu lagi.

“Memang,” ujar Oey Yong, “apa yang aku ajarkan pada Loh-tianglo tadi, tipu manakah yang pakai tenaga sungguh-sungguh? Kau bilang gerakanku ini hanya tipuan? Memang tidak salah, dalam ilmu silat, 9 dari 10 bagian memang akal belaka, asal bisa merobohkan lawan, itu berarti telah menang. Hanya ilmu Hang-liong-sip-pat-ciang ayahmu itulah betul-betul silat sejati yang berani main keras lawan keras tanpa memakai akal-akalan. Tapi untuk melatih sampai tingkat itu, di jagat ini terdapat berapa orang?”

Kata-kata ini membikin Yo Ko diam-diam memanggut, sebaliknya Kwe Hu bertiga meski mengerti toh mereka belum paham di mana letak intisari penjelasan itu.

“Pak-kau-pang-hoat adalah ilmu silat paling aneh, ia tercipta secara tersendiri dan tiada hubungannya dengan silat-silat aliran lain,” kata Oey Yong lagi, “Kalau melulu belajar tipu gerakannya tanpa mengerti inti rahasianya, maka percumalah meski belajar selama hidup. Maka selanjutnya kalau aku lagi ajarkan ilmu silat lain, sebelum dapat ijinku jangan sekali-kali mengintip lagi, tahu?”

Berulang Kwe Hu mengiakan, tapi dengan tertawa segera ia bilang lagi: “Ah, buat apa aku mengintip kepandaian ibu, apa mungkin kelak engkau tidak mengajarkan padaku?”

Oey Yong terlalu sayang pada gadisnya ini, maka ia hanya tepuk perlahan bokong Kwe Hu.

“Hayo, pergi bermain lagi dengan Bu-keh Ko-ko,” katanya kemudian dengan tertawa. “Ko-ji, aku ingin bicara sedikit dengan kau. Loh-tianglo, kau ulangi saja sendiri, jika masih ada yang Iupa, kelak akan kuajarkan lagi.”

Maka Loh Yu-ka dan Kwe Hu berempat lantas mendahului kembali ke Liok-keh-ceng atau perkampungan keluarga Liok, hanya Yo Ko yang masih berdiri menjublek di tempatnya. Saat itu hatinya ber-debar, dia kuatir kalau-kalau Oey Yong akan mengambil jiwanya karena berani mencuri belajar Pak-kau-pang-hoat. Namun dugaannya ternyata meleset.

Waktu melihat wajah pemuda ini rada sangsi-sangsi, dengan lemah lembut Oey Yong menarik tangannya dan suruh duduk di sampingnya.

“Ko-ji,” Oey Yong mulai bertanya, “banyak sekali urusanmu yang kurasa tidak kumengerti. Tapi seandainya kutanya, tentu kau pun tak mau menjelaskan. Cuma hal ini aku pun tidak menyalahkan kau. Pada waktu kecil watakku pun sangat aneh dan menyendiri, semua itu berkat kau punya Kwe-pepek yang telah banyak mengalah padaku.”

Berkata sampai di sini, Oey Yong menghela napas perlahan, pada mulutnya tersungging senyuman, rupanya ia menjadi teringat masa kecilnya yang nakal, lalu ia sambung lagi.

“Jika aku tak mau turunkan ilmu silat padamu, itu tujuannya demi kebaikanmu, siapa tahu hal itu malah bikin kau menjadi banyak menderita, Ko-ji. Kau punya Kwe-pepek sayang dan cinta padaku, budi kebaikannya ini sudah tentu akan kubalas sebisanya. Ia menaruh suatu harapan atas dirimu, mengharap kelak kau bisa menjadi seorang lelaki sejati, untuk ini pasti aku akan membantu kau menuju ke jalan yang baik supaya cita-cita Kwe-pepek terlaksana. Dan kau, hendaklah kau pun jangan kecewakan harapannya, maukah kau berjanji?”



Belum pernah Yo Ko mendengar Oey Yong berbicara begitu halus dan sungguh-sungguh kepada dirinya. Ia lihat sorot mata orang penuh mengandung rasa kasih sayang, tanpa tertahan hatinya terguncang. Pada dasarnya Yo Ko berperasaan halus, maka terus saja ia menangis keras.

“Ko-ji,” sambil mengelus kepalanya, Oey Yong berkata lagi: “Rasanya tak perlu kubohongi kau. Dahulu aku tak suka pada ayahmu, juga tak senang pada ibumu, oleh sebab itu terus tidak suka padamu. Tetapi sejak kini pasti aku akan perlakukan kau baik-baik, nanti kalau kesehatanku sudah pulih, biarlah kuturunkan segala kepandaianku padamu.”

Yo Ko semakin terharu, tangisnya semakin keras. “Kwe-pekbo. ba... banyak hal-hal yang kubohongi kau, biar aku... aku katakan padamu,” katanya kemudian dengan masih terguguk-guguk.

“Hari ini aku sudah Ietih, boleh ceritakan kelak saja. Asalkan kau menjadi anak yang baik bagiku sudah senang,” sahut Oey Yong sambil membelai rambutnya. “Malam nanti akan ada rapat besar Kay-pang, kau pun boleh hadir menyaksikan keramaian itu.”

Yo Ko pikir wafatnya Ang Chit-kong memang termasuk sebuah berita besar, maka sudah seharusnya diucapkan di hadapan rapat. Oleh karena itu sembari mengusap air matanya dia memanggut.

Dengan percakapan mereka yang keluar dari lubuk hati, hingga segala rasa tak puas seketika buyar semua. Sampai akhirnya Yo Ko mulai bisa ketawa-tawa lagi. Semenjak perpisahannya dengan Siao-liong-li, agaknya untuk pertama kali inilah dia kembali merasakan perlakuan yang hangat. Di lain pihak, sesudah bicara panjang, Oey Yong merasakan perutnya rada sakit, maka perlahan-lahan ia berdiri.

“Kini marilah kita pulang,” ajaknya kemudian. Lalu ia gandeng tangan Yo Ko dan berjalan perlahan.

“Kwe-pekbo, ada sesuatu urusan penting yang ingin kuberi-tahukan padamu,” kata Yo Ko sambil berjalan. Dia pikir berita tentang kematian Ang Chit-kong pantasnya diberi-tahukan lebih dahulu kepada bibinya ini.

Akan tetapi Oey Yong merasakan perutnya makin lama semakin melilit, maka napasnya menjadi rada terganggu.

“Katakan saja besok, aku... aku rada kurang enak badan,” katanya sambil mengerutkan kening.

Melihat wajah orang putih lesi, Yo Ko menjadi kuatir. Ia merasa tangan orang rada dingin, maka diam-diam ia kumpulkan tenaga dalam, lalu ia salurkan semacam hawa hangat ke tangan orang. Dahulu waktu melatih Giok-li-sim-keng bersama Siao-liong-li di Cong-lam-san, kepandaian cara menyalurkan ilmu melalui telapak tangan sudah dilatihnya dengan apal sekali. Tetapi karena kuatir Iwekang yang Oey Yong pelajari ternyata bertentangan dengan apa yang diapalkannya, mula-mula dia hanya gunakan sedikit tenaga saja. Sesudah merasa tiada halangan barulah ia tambah tenaga dalamnya.


ENG-HIONG-YAN ( Perjamuan Kaum Kesatria )

Ketika tiba-tiba merasa tenaga dari tangan Yo Ko menyalurkan hawa hangat yang terus-menerus, sungguh heran sekali Oey Yong, tetapi akibat hawa hangat itu, segera pula rasa sakit dan napasnya menjadi teratur kembali. Dalam herannya dia hanya tersenyum kepada Yo Ko sebagai tanda terima kasih. Dan selagi ia hendak tanya orang dari mana mendapatkan ilmu itu, tiba-tiba dilihatnya Kwe Hu sedang berlari menghampiri.

“Ibu, Ibu, coba terka siapa yang datang?” demikian gadis itu berteriak-teriak sembari berlari.

“Hari ini tidak sedikit kesatria dari seluruh jagat yang hadir, dari mana aku tahu siapa dia yang datang,” sahut Oey Yong tertawa. Tetapi mendadak tergerak pikirannya, ia sambung lagi: “Ahh, tentu para Susiok dan Supek kedua saudara Bu. Hayo, lekas, sudah lama kita tak bertemu dengan mereka.”

“Baik. Kau sungguh hebat, sekali tebak lantas kena,” kata Kwe Hu.

“Apanya yang sukar?” sahut Oey Yong sambil tertawa, “Kedua saudara Bu itu selamanya tidak pernah meninggalkan kau, kini tiba-tiba tidak ada di sampingmu, tentunya ada sanak saudaranya yang datang.”

Selamanya Yo Ko menganggap dirinya sendiri sangat cerdik dan pintar, kini melihat Oey Yong dapat berpikir seperti dewa dan masih jauh di atas dirinya, sungguh ia menjadi amat kagum.

“Hu-ji, selamat kepadamu, kau bakal tambah semacam ilmu kepandaian yang hebat lagi,” tiba-tiba Oey Yong berkata.

“Ilmu kepandaian apa?” tanya Kwe Hu.

“lt-yang-ci!” mendadak Yo Ko menyela.

“Kau mengerti apa?” omel Kwe Hu, kata-kata Yo Ko tak digubrisnya: “Ibu, kau bilang ilmu apa?”

“Bukankah Yo-koko sudah bilang tadi?” sahut Oey Yong tertawa.

“Ha, kiranya ibu sudah bilang kepadamu,” ujar Kwe Hu pada Yo Ko.

Tetapi Yo Ko dan Oey Yong hanya tersenyum. Di dalam hati Oey Yong berpikir: “Ko-ji ini sungguh berpuluh kali lebih pintar dan cerdik dari pada Bu-si Hengte. Hu-ji juga goblok, lebih-lebih tak masuk hitungan.”

Akan tetapi Kwe Hu masih tetap heran sebab apa ibunya memberi-tahukan Yo Ko tentang hal itu. Kiranya It-teng Taysu yang berjuluk Lam-te atau raja dari selatan, yang namanya sejajar dengan Oey Yok-su, Ang Chit-kong dan Auwyang Hong, seluruhnya ia mempunyai empat murid yang disebut ‘Hi-Jiau-Keng-Thok’ atau nelayan, tukang kayu, petani dan sastrawan. Ayah Bu-si Hengte, Bu Sam-thong adalah si petani dari urut-urutan nomor tiga.

Sejak ia terluka waktu menempur Li Bok-chiu, sampai sekarang bayangannya tak pernah kelihatan lagi hingga mati-hidupnya tak diketahui. Sekali ini yang datang menghadiri Eng-hiong-yan adalah Hi-jin dan Su-seng atau si nelayan dan si sastrawan berdua. Setiap kali si sastrawan itu bertemu dengan Oey Yong, segera ingin adu mulut dan ukur kepandaian. Kini berjumpa pula setelah berpisah selama hampir dua puluh tahun, sudah tentu mereka ingin unjuk kepandaian masing-masing dan berdebat. Sedang si nelayan itu betul saja lantas mencari satu kamar kemudian menurunkan ilmu lt-yang-ci kepada Bu-si Hengte.

Sehabis makan siang, kawanan pengemis anggota Kay-pang beramai-ramai berkumpul di depan Liok-keh-ceng. Sekali ini dilakukan timbang-terima jabatan Pangcu baru dan lama, dan hal ini merupakan upacara yang paling tinggi dalam kalangan Kay-pang, maka kecuali semua anak murid dari seluruh penjuru diundang hadir, ada pula jago-jago dari aliran lain dan perkumpulan lain yang diundang sebagai ‘peninjau’.

Selama belasan tahun ini Loh Yu-ka selalu mewakili Oey Yong mengatur segala urusan Kay-pang dan berlaku sangat adil, berani bertindak berani bertanggung jawab, maka dua golongan dalam Kay-pang, yakni yang disebut Ut-ih-pay dan Ceng-ih-pay, golongan baju kotor dan golongan baju bersih, semuanya tunduk dan percaya penuh padanya. Sebab itu upacara penyerahan jabatan yang dilakukan hari ini sesungguhnya hanya upacara resmi saja.

Kemudian menurut peraturan, Oey Yong lantas umumkan penyerahan jabatan itu, lalu ia serahkan Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing, yakni bambu hijau yang merupakan pusaka Pangcu turun temurun itu kepada Loh Yu-ka, disusul segera semua anak murid meludahi Yoh Yu-ka masing-masing satu kali, hingga seluruh muka dan kepala pengemis tua ini penuh air lendir, dengan begitu selesailah upacara timbang-terima jabatan Pangcu lama kepada yang baru.

Melihat cara penggantian Pangcu yang sangat aneh ini, diam-diam Yo Ko terheran-heran. Dan selagi dia hendak tampil ke muka untuk mengumumkan berita tentang wafatnya Ang Chit-kong, tiba-tiba dilihatnya seorang pengemis tua melompat ke atas sebuah batu besar, tangan kirinya menyunggih tinggi-tinggi sebuah Hiolo besar yang berwarna coklat.

Saat melihat benda ini, seketika hati Yo Ko tergetar. Dapat dikenalnya Hiolo ini bukan lain adalah benda pengisi araknya Ang Chit-kong. Waktu bertemu di atas Hoa-san, dengan jelas ia melihat barang ini selalu menggemblok di punggung pengemis tua itu. Belakangan waktu dia pendam mayat pengemis tua itu, dia pun tanam Hiolo itu di samping tubuhnya, tapi mengapa kini mendadak bisa muncul lagi di sini? Apa mungkin ada sebuah Hiolo lain yang secorak dan serupa? Sementara itu didengarnya sorak-sorai gegap gempita para pengemis demi nampak Hiolo simboI Pangcu tua mereka itu.

Selagi Yo Ko ragu-ragu. terdengar si pengemis tua itu sudah membuka suara lagi dengan keras:

“Ada perintah dari Ang-lopangcu, dan aku disuruh menyampaikannya kepada para hadirin!”

Mendengar itu, sorak-surai para pengemis menjadi lebih hebat lagi. Memang sudah belasan tahun mereka tak pernah menerima kabar berita pangcu tua mereka, dan kini mendadak dengar ada perintahnya, sudah tentu semuanya terbangun semangatnya.

“Pujikan Ang-lopangcu selalu selamat dan panjang umur!” segera terdengar seruan salah seorang pengemis di antara orang banyak itu.

Seketika itu pula suara sorak gemuruh berkumandang lagi hingga mengguncangkan bumi. Maklumlah, Ang Chit-kong adalah seorang kesatria, seorang gagah perkasa di jaman itu, dari aliran apa dan lapisan apa pun tiada seorang pun yang tidak kagum padanya, lebih-lebih anggota Kay-pang, cinta mereka padanya boleh dikatakan melebihi terhadap orang tua sekandung sendiri.

Setelah sorak-sorai seminuman teh, suara gemuruh itu perlahan-lahan mereda. Melihat setiap anggota Kay-pang itu sangat bersemangat dan terharu, bahkan ada yang sampai mengalirkan air mata, diam-diam Yo Ko berpikir sendiri:

“Seorang laki-laki kalau bisa begini barulah tidak percuma hidup di dunia. Semua orang riang gembira, mana aku tega memberi-tahukan mereka tentang wafatnya Ang-lo-cianpwe?”

Sementara itu dia dengar si pengemis tua tadi sudah berkata lagi: “Tiga hari yang lalu, di Liong-ki-ce aku telah bertemu dengan Ang-lopangcu...”

Luar biasa terkejutnya Yo Ko oleh kata-kata orang. “Ang-lopangcu sudah lama meninggal cara bagaimana ia bisa bertemu dengan beliau tiga hari yang lalu?” demikian Yo Ko tidak habis mengerti.

Sementara itu pengemis tua telah meneruskan pula: “Waktu beliau tahu Oey-pangcu hendak menyerahkan jabatannya kepada Loh-pangcu, ia bilang keputusan ini sangat baik dan sangat cocok dengan maksudnya...”

Sampai di sini tiba-tiba saja Loh Yu-ka berlutut ke hadapan pengemis itu sambil berkata dengan suara gemetar:

“Tecu pasti akan lakukan sepenuh tenaga untuk membalas budi kebaikan Lopangcu, asal pekerjaan itu berfaedah bagi perkumpulan kita, sekali pun mati tecu tak gentar.”

Tentu saja pengemis tua itu tingkatannya lebih rendah dari pada Loh Yu-ka, Pangcu yang baru ini. Tetapi ia membawa Hiolo milik Ang Chit-kong, maka Loh Yu-ka berlutut terhadap Hiolo yang menjadi simbol Chit-kong dan bukan berlutut kepada pengemis itu.

“Ang-lopangcu bilang,” demikian pengemis tua itu melanjutkan lagi, “dalam keadaan negara kacau balau ini, perlahan namun pasti bangsa Mongol mulai menjajah ke selatan hendak mencaplok negeri Song-raya, maka diharap semua anggota perkumpulan hendaklah berhati setia dan bernyali berani, harus bersumpah akan membunuh musuh dan melawan penjajah dari luar.”

Serentak anggota Kay-pang itu berteriak lagi menyatakan akur, semangat mereka tinggi sekali dan sikap mereka sungguh berani.

“Pemerintah dalam keadaan kacau, pembesar dorna berkuasa, kalau kita percaya bahwa para pembesar busuk itu akan melindungi rakyat, hal itu sekali-kali tak akan terlaksana,” demikian pengemis tua itu bicara lagi, “Kini negara dalam bahaya, setiap orang hendaklah berjiwa patriot, sedia berkorban bagi nusa dan bangsa. Sayang Lopangcu lagi ada suatu keperluan ke daerah Utara sehingga tak bisa datang ke pertemuan ini, maka aku disuruh menganjurkan kalian hendaklah ingat baik-baik dua huruf, yakni Tiong Gi.”

Seketika para pengemis bergemuruh menyambut anjuran itu, beramai-ramai mereka lalu berteriak:

“Kami bersumpah menerima petunjuk Ang-lopangcu!”

Sejak kecil Yo Ko tidak mendapat pendidikan, maka ia tidak tahu apa arti ‘Tiong Gi’ atau setia dan berbakti itu betapa besar hubungannya dengan negara, tetapi begitu dilihatnya anggota Kay-pang itu bersikap gagah berani, tanpa terasa ia pun merasakan sesuatu, ia menjadi menyesal tempo hari telah mempermainkan beberapa anak murid Kay-pang.

Mengenai kematian Ang Chit-kong, dengan mata kepala sendiri dia saksikan benar-benar terjadi, malahan dia sendiri yang mengubur jenazah orang, kenapa pengemis tua ini bisa bilang tiga hari yang lalu pernah bertemu dengan dia? Jika perintah itu palsu, tapi perintah ini justru mengenai tugas yang mulia! Demikianlah Yo Ko menjadi curiga dan tidak mengerti. Ia pikir hal ini terpaksa dibicarakan dengan Oey Yong nanti.

Sehabis itu, lantas diteruskan dengan urusan-urusan Kay-pang tentang kenaikan pangkat dan lain-lain bagi para anggota, dan karena tidak ada sangkut pautnya dengan orang luar, para tetamu lantas pada mengundurkan diri.

Malamnya, di luar mau pun di dalam Liok-keh-ceng sudah dihias dengan lampu lampion yang indah seperti orang punya hajat saja, meja-meja perjamuan memenuhi seluruh ruangan gedung dari depan sampai belakang, seluruhnya lebih dari 200 meja, semua kesatria dan orang gagah dari seluruh jagat tampaknya ada separoh yang hadir.

Agar diketahui bahwa Eng-hiong-yan atau perjamuan kaum kesatria ini dalam beberapa puluh tahun sulit diketemukan barang sekali saja, jika bukan tuan rumahnya luas bergaul, tidak akan bisa mengundang tetamu yang begini banyak. Sampai saatnya, Kwe Ceng dan Oey Yong keluar mengawani tetamu utama mereka yang berada di ruangan tengah.

Tempat Yo Ko sudah diatur oleh Oey Yong dan duduk di samping mejanya, sebaliknya Kwe Hu dan Bu-si Hengte malah sangat jauh tempat duduknya. Semula Kwe Hu rada heran, ia pikir orang toh tak bisa ilmu silat, untuk apa dia hadiri Eng-hiong-yan ini? Tetapi bila terpikir lagi olehnya, seketika hatinya terkesiap.

“Haya, celaka, bukankah ayah bilang mau menjodohkan aku padanya, jangan-jangan ibu sudah setuju dengan maksud ayah?” demikian ia membatin.

Maka makin dipikir Kwe Hu semakin takut, apa lagi teringat olehnya betapa hangatnya hubungan mereka ketika ibunya menggandeng tangan Yo Ko. Selamanya ayah-bundanya saling hormat menghormati dan harga-menghargai, maka kalau ayahnya berkeras dengan maksudnya, pasti ibunya tidak bisa mengelak. Karena itu berulang kali ia melirik si Yo Ko dengan sorot mata yang penuh marah.

Kebetulan waktu itu Bu Siu-bun bertanya padanya: “Hu-moay, lihat itu bocah she Yo juga duduk di situ, ia terhitung Enghiong dari mana sih?”

“Entah,” sahut Kwe Hu mendongkol. “Jika kau mampu, boleh kau mengusirnya!”

Tadinya Bu-si Hengte hanya memandang rendah pada Yo Ko, tetapi sesudah mendengar Kwe Ceng bilang hendak menjodohkan puterinya kepada Yo Ko, tanpa terasa dalam hati mereka timbul rasa permusuhan. Hal ini memang biasa terjadi di antara sesama saingan dalam berebut pacar, maka tak bisa menyalahkan mereka.

Kini mendengar kata-kata Kwe Hu tadi, segera Siu-bun berpikir: “Mengapa aku tidak bikin malu dia di hadapan orang banyak? Subo adalah seorang yang suka keunggulan, jika bocah she Yo terjungkal di bawah tanganku, pasti Subo tak akan mau terima dia sebagai menantunya.”

Setelah mengambil keputusan itu, dengan It-yang-ci yang baru saja ia pelajari dari paman gurunya itu kebetulan bisa menggunakan Yo Ko sebagai kelinci percobaan. Maka segera berkatalah Siu-bun:

“Dia mengaku Enghiong, rasanya susah untuk mengusir dia, adalah lebih baik menaikkan dia sekalian supaya dia bisa dikenal orang banyak.”

Habis berkata ia menuangkan dua cawan arak dan segera didekatinya Yo Ko. “Yo-toako, marilah kusuguh kau secawan,” demikian ia berkata.

Kecerdasan Yo Ko jauh sekali di atas Bu-si Hengte. Waktu dilihatnya orang mendekati dirinya dengan mata memandang Kwe Hu, sedangkan air mukanya mengunjukkan rasa senang yang aneh, ia menduga orang pasti akan pakai akal licik. Ia pikir: “Tentu dia tidak bermaksud baik dengan menyuguhkan arak padaku, tapi untuk menaruh racun dalam arak rasanya ia pun tidak berani.”

Maka suguhan orang tak ditolaknya, ia berdiri dan menerima pemberian itu terus diminum. Siapa duga pada saat itu juga tiba-tiba saja Siu-bun mengulurkan jarinya dan menotok ke pinggangnya. Siu-bun sengaja menutupi pandangan orang lain dengan tubuhnya, dia pikir asal sekali totok kena ‘Jiau-yao-hiat’, tentu Yo Ko akan berteriak-teriak dan tertawa-tawa tak keruan di hadapan orang banyak.

Tetapi waktu ia mendekati, lebih dulu Yo Ko telah memperhatikan gerak-geriknya. Jangan kata Yo Ko sudah berjaga-jaga, sekali pun mendadak musuh membokong, dalam tingkat kepandaian Yo Ko sekarang sukar hendak merobohkannya. Apa bila menuruti watak Yo Ko yang tidak mau kalah sedikit pun dengan orang lain, pasti kontan dia batas menghantam orang, bila tidak bikin Siu-bun tersungkur, tentu pula ‘Jiau-yao-hiat’ ia totok balik.

Cuma sesudah percakapannya dengan Oey Yong, hatinya sedang gembira, maka dia merasa tidak enak kalau merobohkan orang di hadapan orang banyak, ia pikir jeIek-jelek Bu-si Hengte ini adalah anak murid paman dan bibinya. Sebab itu, diam-diam ia hanya jalankan darahnya secara terbalik menurut ilmu ajaran Auwyang Hong.

Betul saja, ketika jari Siu-bun ditotokkan, meski Hiat-to yang diarah sangat jitu, tetapi Yo Ko anggap seperti tak terjadi apa-apa saja. Sekali kena, bukannya Yo Ko roboh atau ter-tawa seperti yang diharapkan, bahkan pemuda ini hanya tersenyum terus duduk kembali ke tempatnya tadi. Keruan saja Bu Siu-bun terheran-heran dan terpaksa dia pun kembali ke mejanya.

“Koko, mengapa ilmu ajaran Supek tidak manjur?” demikian dia tanya saudaranya dengan suara tertahan.

“Apa? Tak manjur?” sahut Bu Tun-si bingung. Lalu Siu-bun menceritakan pengalamannya tadi.

“Ahh, tentu jarimu tidak benar atau Hiat-to yang kau arah agak menceng,” ujar Tun-si.

“Menceng? Mana bisa, lihat nih,” bantah Siu-bun.

Berbareng ia segera angkat jarinya terus bergaya menotok ke pinggang sang kakak, baik gayanya mau pun tenaganya, semuanya tepat dan jitu, sedikit pun tidak salah seperti apa yang diajarkan Supek mereka.

“Ha, tadinya aku kira It-yang-ci tentu permainan yang amat lihay, huh agaknya juga tidak berguna,” terdengar Kwe Hu mencemooh dengan mulut menjengkit.

Karena sindiran ini, Tun-si merasa penasaran. Mendadak dia berdiri lantas menuang dua cawan arak, setelah itu dia pun mendekati Yo Ko.

“Yo-toako, telah lama kita tak bertemu. Kini bersua kembali, sungguh harus dibuat girang, maka siaute juga ingin menyuguh kau secawan arak,” demikian ia berkata.

Diam-diam Yo Ko tertawa geli. Adiknya sudah kebentur batu, apa sang kakak juga ingin ketumbuk tembok? Maka dia pun tidak menolak. Dengan sumpit dia jepit dahulu sepotong daging dan dengan tangan yang lain dia sambut arak suguhan orang sambil ucapkan terima kasih.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar