Rabu, 28 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 062

“Pang-hoat ini ayahku saja tidak bisa, jadi rasanya kau pun tak perlu menyesal.”

“Dengan macamku ini mana bisa menjadi Pangcu Kay-pang?” kata Tun-si. “Hu-moay, coba katakan, mengapa Subo bisa pilih Loh-tianglo sebagai calon penggantinya?”

“Selama beberapa tahun ini, hakikatnya ibuku hanya namanya saja Pangcu, tetapi segala urusan Kay-pang baik besar atau kecil seluruhnya diserahkan kepada Loh-tianglo,” sahut Kwe Hu. “Begitu banyak urusan Kay-pang yang tetek bengek, asal mendengar saja ibuku sudah merasa pusing, maka dia bilang lebih baik suruh Loh-tianglo yang menjadi Pangcu saja sekalian. Ia tunggu nanti kalau Loh-tianglo sudah paham mempelajari Pak-kau-pang-hoat, lalu jabatan Pangcu akan diserahkannya secara resmi.”

“Hu-moay,” kata Siu-bun lagi, “bagaimanakah macamnya Pak-kau-pang-hoat sebenarnya, kau pernah melihat belum?”

“Belum pernah,” sahut Kwe Hu. Tetapi segera ia bilang lagi: “Ehh, pernah.”

Kemudian ia jemput sebatang kayu, ia pukul perlahan ke pundak Siau-bun dan menyambung lagi dengan tertawa:

“Nah, begini!”

Keruan saja Siau-bun berjingkrak, “Bagus, kau anggap aku sebagai anjing, ya?” teriaknya, berbareng ia pura-pura hendak jamberet si gadis.

Dengan tertawa Kwe Hu lari menyingkir terus diudak oleh Siu-bun. Dan sesudah berputar, kedua orang lalu kembali lagi ke tempat semula.

“Siao Bu-koko, jangan kau ribut lagi, sekarang aku mempunyai sebuah gagasan,” dengan tertawa Kwe Hu mengatakan.

“Coba katakan,” ujar Siu-bun.

“Kita pergi mengintip, Pak-kau-pang-hoat sebenarnya apa macamnya,” Kwe Hu menerangkan.

Seketika Siu-bun menyatakan akur, sebaliknya Tun-si menggeleng-geleng kepala dan Yo Ko tidak memberi suara.

“Jangan, jika sampai konangan Subo, tentu akan didamperat habis-habisan,” kata Tun-si.

“Kau memang penakut, kita hanya melihat saja, toh tidak mencuri belajar,” debat Kwe Hu, “Lagi pula, ilmu silat yang begitu hebat dan tinggi apa hanya mengintip begitu saja lantas bisa?”

Karena diolok-olok, Tun-si hanya menyengir saja dan tak bisa menjawab.

“Kemarin bukankah kita juga mengintip di kamar baca? Apakah ibuku mendamperat kau?” Kwe Hu menambahi, “Memang nyalimu terlalu kecil seperti tikus, Siao Bu-koko, mari kita berdua pergi.”

“Baik, baik, kau yang benar, aku ikut,” seru Tun-si.

“Memangnya ilmu silat kelas satu dari jagat ini kau tak ingin melihatnya?” dengan tertawa Kwe Hu mengomel lagi.

Mereka bertiga memang sudah lama mengagumi Pak-kau-pang-hoat yang lihay, cuma macamnya apa, selamanya belum pernah lihat. Pernah Kwe Ceng ceritakan pada mereka tentang kejadian dulu di mana Oey Yong dengan Pak-kau-pang-hoat menaklukkan para kesatria dari Kay-pang hingga berhasil merebut kedudukan Pangcu, cerita ini bikin ketiga muda-mudi ini sangat terpesona.

Kini Kwe Hu mengusulkan pergi mengintip, meski pun di mulut Tun-si tak setuju, padahal dalam hatinya seribu kali kepingin. Cuma pemuda ini rada licin, sebelumnya ia sengaja menumpahkan tanggung jawab atas diri orang, supaya bila konangan Oey Yong tak akan menyalahkan dia.

“Yo-toako, marilah kau pun ikut bersama kami,” demikian Kwe Hu berkata lagi.

Tetapi Yo Ko pura-pura memandang jauh seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, apa yang dikatakan si gadis seperti tak didengarnya. Waktu Kwe Hu mengulangi bertanya lagi barulah Yo Ko menoIeh.

“Apa... apa? Ikut? Ke mana?” demikian ia tanya pura-pura tak mengerti.

“Tak usah kau tanya, asal ikut saja,” sahut Kwe Hu.

“Hu-moay, buat apa dia ikut?” tiba-tiba Tun-si mendadak. “Toh dia tak akan mengerti, dia ketolol-tololan begini, bila menerbitkan suara, bukankah akan konangan Subo nanti?”

“Jangan kau kuatir, biar aku menjaga dia,” ujar Kwe Hu. “Kalian berdua boleh jalan dulu, segera aku dan Yo-toako akan menyusul. Kalau empat orang bersama tentu lebih mudah menerbitkan suara.”

Tentu saja Bu-si Hengte tak rela disuruh jalan dahulu, tapi mereka cukup kenal watak Kwe Hu yang tak bisa dibantah, jika sedikit bikin marah dia, tanggung selama belasan hari kau takkan digubrisnya apa bila tidak me-mohon dan me-minta hingga si gadis tertawa senang. Karena itu terpaksa Bu-si Hengte berjalan dahulu dengan kurang senang.

“Kita putar ke belakang pohon besar di tepi jalan itu, untuk sementara ibu tentu tak akan mengetahui,” demikian Kwe Hu teriaki mereka.

Dari jauh Bu-si Hengte menyahut, lalu mereka bertindak cepat ke depan. Maka kini tinggal Kwe Hu dan Yo Ko saja yang jalan berendeng. Melihat baju pemuda ini compang-camping tak keruan, Kwe Hu pun berkata:

“Nanti kuminta ibu membikinkan kau beberapa baju baru. Sesudah kau berdandan, tentu kau tak akan begini jelek lagi.”



“Tidak, memang aku dilahirkan jelek, berdandan pun tak akan ada gunanya,” sahut Yo Ko sambil menggeleng kepala.

Tiba-tiba Kwe Hu menghela napas perlahan.

“Sebab apa kau berkeluh-kesah?” tanya Yo Ko.

“Hatiku sangat masgul, apa kau tidak tahu?” sahut si gadis.

Melihat pipi si gadis bersemu merah, alisnya lentik lembut, betul-betul nona yang ayu luar biasa, jika melulu soal muka saja, dibanding Liok Bu-siang, Wanyen Peng dan Yalu Yen, boleh dikatakan Kwe Hu lebih cantik, tanpa tertahan hati si Yo Ko rada terguncang.


RAHASIAH YANG TERKUAK

“Aku tahu sebab apa hatimu kesal,” katanya kemudian.

“Aneh, dari mana kau tahu? Ahh, kau membual belaka!” sahut Kwe Hu tertawa.

“Baiklah, bila aku jitu menerkanya, jangan kau mungkir ya?” ujar Yo Ko.

“Baik, coba kau terka,” kata Kwe Hu lagi sambil tersenyum manis.

“Kenapa susah menebak,” kata Yo Ko kemudian, “Kedua saudara Bu itu semuanya suka padamu, semuanya suka cari muka padamu, oleh karena itulah kau menjadi serba susah memilihnya.”

Hati Kwe Hu berdebar-debar karena isi hatinya dengan tepat kena dikatai. Nyata memang soal yang menjadikan kesal hatinya adalah kedua saudara Bu itu. Urusan ini ia sendiri tahu, ayah-bundanya pun tahu, Bu-si Hengte tahu, sampai kakek guru mereka Kwa Tin-ok juga tahu, cuma semua merasa sukar mengucapkan urusan ini maka semuanya hanya berpikir di dalam hati, selamanya tak pernah menyinggung urusan ini barang sekecap. Kini tiba-tiba saja kena dikatai Yo Ko, tanpa terasa muka Kwe Hu menjadi merah jengah, tetapi terasa senang pula dan macam-macam perasaan lain.

“Ya, memang sukar dipilih,” demikian sambung Yo Ko lagi. “Yang satu pendiam, yang lain lincah, yang satu pandai main cinta, yang lain pintar mencari muka, yang satu dapat kau percaya selama hidup, yang lain bisa menghilangkan kesalmu. Kedua-duanya sama-sama cakap, ilmu silat tinggi, sungguh masing-masing memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Cuma sayang, kau seorang diri, mana bisa menikah dengan dua lelaki?”

Sebenarnya Kwe Hu sedang mendengarkan dengan ternganga, ketika mendengar ucapan yang terakhir itu, tiba-tiba ia mengomelinya:

“Ahh, mulutmu selalu usil, aku tak mau gubris kau lagi.”

Melihat air muka orang, sejak tadi Yo Ko sudah yakin terkaannya pasti kena seluruhnya, maka ia menembang perlahan mengulangi kata-katanya tadi yang terakhir. Sungguh pun begitu, meski ia telah mengulangi beberapa kali, si gadis seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri dan tak mendengarkan.

“Yo-toako,” katanya kemudian lewat sejenak, “menurut kau, Toa Bu-koko lebih baik atau Siao Bu-koko yang baik?”

“Ha-ha-ha, kalau menurut aku, ke-duanya tidak baik semua,” sahut Yo Ko tiba-tiba.

“Sebab apa?” Kwe Hu tercengang.

“Sebab kalau mereka baik, lalu aku Yo Ko apa ada harapan?” ujar Yo Ko sambil tertawa.

Nyata karena si Yo Ko sudah biasa menggoda Liok Bu-siang di sepanjang jalan, padahal dalam hatinya sedikit pun tidak punya pikiran serong, sekarang dalam keadaan berkelakar dengan Kwe Hu, tanpa terasa ia terlanjur omong, kelepasan mulut.

Keruan seketika Kwe Hu tertegun. Ia adalah gadis aleman yang biasanya amat dimanja, siapa pun tidak ada yang berani berkata sesuatu yang bersifat kotor kepadanya, maka ia pun tidak tahu harus marah atau tidak oleh apa yang dikatakan Yo Ko tadi, tetapi ia lantas menarik muka dan menyahut:

“Jika kau tak mau bilang, boleh kau tutup mulut, siapa ingin bergurau dengan kau? Hayo, lekas kita ke sana!”

Sembari berkata ia lantas keluarkan ilmu enteng tubuh dan berlari ke lereng gunung sana melalui jalan kecil. Karena telah ‘kebentur batu’, Yo Ko menjadi serba kikuk, ia pikir: “Buat apa aku menyelip di antara mereka bertiga? Lebih baik aku pergi ke tempat lain saja!”

Maka ia putar tubuh dan berjalan perlahan ke arah lain, dalam hati ia berpikir pula: “Bu-si Hengte boleh dikatakan memandang nona Kwe seolah-olah bidadari saja dan kuatir kalau si gadis tidak mau jadi isterinya. Padahal kalau betul-betul sudah menikah dan sepanjang hari harus menemani seorang perempuan yang begini bandel dan manja, akhirnya pasti akan lebih banyak susah dari pada senangnya. Ha! Mereka sungguh orang tolol, benar-benar menggelikan.”

BegituIah diam-diam Yo Ko tertawai orang, padahal ia tidak tahu bahwa siapa saja kalau sudah jatuh ke dalam jaring asmara, maka sukar sekali untuk menarik diri, sekali pun dia orang pandai atau nabi juga sukar memecahkan godaan demikian.

Sementara itu Kwe Hu sudah berlari pergi. Ia menyangka Yo Ko tentu akan menyusul dan minta maaf padanya, siapa duga sesudah ditunggu dan tunggu lagi masih belum kelihatan bayangan si Yo Ko. Mendadak ia berpikir lain: “Ahh, orang ini tidak bisa Ginkang, dengan sendirinya ia tak dapat menyandak aku.”

Segera ia putar balik ke jalan tadi, tapi tiba-tiba dilihatnya Yo Ko malah berjalan ke arah sana, keruan saja ia merasa heran.

“He, kenapa kau tak susul aku?” tanyanya sambil berlari ke depan Yo Ko.

“Kwe-kohnio, harap kau sampaikan ayah-bundamu, katakan aku sudah pergi,” sahut Yo Ko.

“Tanpa sebab kenapa kau hendak pergi?” tanya Kwe Hu terkejut.

“Tak apa-apa, memangnya aku datang tidak untuk apa-apa, maka perginya juga tidak ada apa-apa.” sahut Yo Ko adem.

Sebenarnya Kwe Hu suka ramai. Meski di dalam hati tidak pandang hormat pada Yo Ko, cuma ia merasa pemuda ini pandai berkelakar, dibandingkan Bu-si Hengte terasa ada hal baru yang menarik, maka sesungguhnya ia tidak ingin orang pergi begitu saja.

Maka ia berkata: “Sudah sekian lamanya kita tak berjumpa, masih banyak yang ingin aku tanyakan. Lagi pula malam ini akan diadakan Eng-hiong-yan, dari segenap penjuru tidak sedikit Enghiong-Hohan (orang gagah dan para kesatria) yang datang berkumpul, masa kau tak ingin menambah pengalaman?”

“Aku bukan Enghiong, kalau ikut hadir, apa tidak akan menjadi buah tertawaan para Enghiong yang sungguhan?” sahut Yo Ko tertawa.

“ltu pun betul,” kata Kwe Hu. Dan setelah merenung sebentar, kemudian ia sambung lagi: “Ya, baiknya di rumah Liok-pepek masih banyak orang tak bisa silat, kau boleh ikut empek Kasir dan para pengurus rumah makan minum bersama, bukankah sangat baik?”

Marah sekali Yo Ko mendengarnya. “Bagus, kau anggap aku ini sebangsa orang yang rendahan saja!” demikian pikirnya dongkol.

Sebenarnya ia sudah pikir hendak pergi, tetapi kini ia malah berbalik pikiran, ia justru ingin melakukan sesuatu untuk bikin malu si gadis yang menyinggung perasaannya. Padahal sejak kecil Kwe Hu sangat dimanjakan, sama sekali tidak kenal akan pergaulan, beberapa kata-katanya itu pun tidak sengaja hendak melukai hatinya, siapa tahu watak Yo Ko memang perasa, tanpa sengaja telah membikin marah. Sebaliknya melihat Yo Ko sudah berubah pikiran, Kwe Hu menjadi senang.

“Marilah lekas, jangan terlambat. Jika ibu sudah datang lebih dulu, tentu tak gampang lagi mengintip,” katanya kemudian dengan tertawa.

Segera dia pun mendahului lari lagi, sedangkan Yo Ko mengikuti dari belakang dengan pura-pura bernapas empas-empis, langkahnya berat hingga kelihatannya sangat goblok. Dengan susah payah akhirnya mereka sampai juga di tempat yang biasanya Oey Yong mengajarkan Pang-hoat pada Loh-tianglo yang bernama Loh Yu-ka, sementara itu Bu-si Hengte kelihatan sedang Iongak-Iongok di atas pohon sana.

Sekali lompat Kwe Hu mendahului memanjat ke atas pohon, lalu mengulurkan tangannya menarik Yo Ko. Waktu tangan menyentuh tangan, Yo Ko merasakan tangan si gadis begitu halus empuk seakan-akan tak bertulang, tanpa terasa hatinya terguncang keras. Tetapi segera dia pikir pula: “Ahh, sekali pun kau lebih cantik lagi juga tak dapat mencapai separoh Kokoh-ku (maksudnya Siao-Iiong-li).”

Tatkala itu ilmu silat Kwe Hu sudah ada dasarnya yang kuat, maka dengan enteng Yo Ko dapat ditariknya ke atas pohon.

“Apa ibuku belum datang?” dengan suara tertahan ia tanya.

“Sudah,” sahut Siu-bun menunjuk ke arah barat. “Loh-tianglo sedang mainkan pentung di sana, sedang Suhu dan Subo berada di sana sedang bercakap-cakap.”

Selamanya Kwe Hu paling takut pada ayahnya, kini mendengar Kwe Ceng juga datang, ia menjadi kebat-kebit tak enak, sementara ia lihat Loh Yu-ka seorang diri dengan sebatang pentung bambu sedang main sendiri, ia menutul ke timur dan menjojoh ke barat dengan pentung bambunya, tipu-tipu gerakannya tiada sesuatu yang mengejutkan orang.

“Apakah ini yang disebut Pak-kau-pang-hoat?” dengan suara perlahan Kwe Hu menanya.

“Kemungkinan besar betul,” sahut Bu Tun-si. “Tadi Subo sedang memberi petunjuk pada Loh-tianglo, lalu Suhu datang, ada sesuatu hendak berunding dengan Subo dan mengajak Subo menyingkir, maka Loh-tianglo seorang diri lantas berlatih seperti itu.”

Setelah Kwe Hu memandang lagi beberapa gerakan pengemis tua itu dan merasa semua geraknya biasa saja tiada sesuatu yang menarik, segera ia pun berkata: “Ah, Loh-tianglo belum pandai main, rasanya tiada yang bisa dilihat lagi, marilah kita pergi saja.”

Tetapi lain halnya dengan pikiran Yo Ko. Ia lihat Pang-hoat yang dimainkan Loh-tianglo itu sedikit pun tidak berbeda seperti apa yang pernah didapatnya dari Ang Chit-kong tempo hari di Hoa-san. Ia cukup kenal betapa hebat ilmu silat ini, karena itu secara diam-diam ia mentertawakan si gadis yang tak tahu apa-apa, tetapi berani bermulut besar.

Di lain pihak Bu-si Hengte yang selamanya selalu menurut apa yang dikatakan Kwe Hu, waktu mendengar si gadis bilang mau pergi, segera mereka pun bergegas-gegas hendak melompat turun, namun tiba-tiba mereka mendengar di bawah pohon ada suara tindakan orang, lalu terdengar suara Kwe Ceng berkata:

“Urusan jodoh Hu-ji sudah tentu tak bisa diputuskan secara terburu-buru. Usia Ko-ji masih kecil, jadi kau pun tidak dapat menyalahkan sedikit kekeliruannya kemudian memastikan keburukannya.”

Lalu terdengar Oey Yong menjawab: “Kau pikirkan hubungan turun temurun keluarga Kwe dan Yo, hal ini memang sudah sepantasnya, Tetapi Yo Ko si bocah ini, semakin kulihat, rasaku semakin mirip ayahnya, mana aku rela menjodohkan Hu-ji padanya?”

Baik Kwe Hu, Bu-si Hengte mau pun Yo Ko terkejut sekali mendengar percakapan suami isteri ini. Sama sekali mereka tidak tahu ada hubungan apa antara keluarga Kwe dan Yo, lebih-lebih tidak menduga bahwa Kwe Ceng ada maksud menjodohkan puterinya pada Yo Ko. Karena percakapan mereka itu ada hubungan erat sekali dengan masing-masing, maka empat muda-mudi itu tidak jadi pergi melainkan berdiam di atas pohon.

“Ya, Yo Khong-hengte betul-betul tak beruntung harus terjeblos ke istana pangeran negeri Kim sehingga salah bergaul dengan orang jahat, maka akibatnya terjadilah drama yang mengenaskan dengan mayat tak utuh dan menjadi isi perut gagak. Kalau sejak kecil ia dipelihara oleh paman Yo Tiat-sim sendiri, rasanya pasti takkan terjadi peristiwa seperti itu,” demikian terdengar Kwe Ceng berkata lagi.

“ltu pun benar,” sahut Oey Yong rendah sambil menghela napas, agaknya dia terbayang pada kejadian ngeri dahulu dengan matinya Yo Khong, ayah Yo Ko.

Yo Ko sendiri selamanya tak mengetahui bagaimana asal-usul keluarganya, ia hanya tahu ayahnya meninggal terlalu cepat, sedang cara bagaimana matinya dan siapa musuhnya, hal itu sekali pun ibu kandungnya juga tidak mau bilang terus terang. Sekarang mendengar Kwe Ceng menyinggung ayahnya “terjeblos ke istana pangeran negeri Kim dan bergaul dengan orang jahat”, lalu bilang lagi “mayatnya tak utuh hingga menjadi isi perut burung gagak” dan sebagainya, seketika pemuda ini merasa bagaikan disambar petir, seluruh tubuhnya gemetar, mukanya pun pucat pasi.

Waktu itu Kwe Hu kebetulan melirik Yo Ko. Demi melihat wajah pemuda ini sedemikian rupa, Kwe Hu sangat ketakutan, ia kuatir pemuda ini mendadak terbanting jatuh ke bawah terus mati.

Sementara itu Kwe Ceng dan Oey Yong sudah duduk berendeng di atas sebuah batu dan membelakangi pohon yang dibuat bersembunyi oleh empat muda-mudi itu. Sambil meraba tangan sang isteri terdengar Kwe Ceng berkata pula:

“Sejak kau mengandung anak kedua ini kesehatanmu sudah jauh mundur dari pada dulu, lekas kau serahkan segala urusan Kay-pang kepada Loh Yun-ka, supaya kau dapat merawat diri sebaik-baiknya.”

“He, kiranya ibu akan punya anak lagi, ehm, senang sekali kalau aku tambah adik,” kata Kwe Hu dalam hati. Ia menjadi girang sekali.

Dalam pada itu Oey Yong sudah menjawab: “Sebetulnya urusan Kay-pang tidak banyak kuperhatikan, sebaliknya urusan perjodohan Hu-ji yang bikin aku tak tenteram.”

“Jika Coan-cin-kau tidak menerima Ko-ji, biarlah aku sendiri yang mengajar dia,” kata Kwe Ceng. “Tampaknya pemuda ini sangat pintar, kelak aku turunkan seluruh kepandaianku padanya, dengan begitu tak percumalah aku angkat saudara dengan ayahnya.”

Sekarang barulah Yo Ko tahu bahwa Kwe Ceng ternyata adalah saudara angkat ayahnya sendiri. Kalau begitu, ‘Kwe-pepek’ ini sesungguhnya mengandung arti yang besar sekali. Dan demi mendengar Kwe Ceng begitu baik hati dan berbudi kepada dirinya, hati Yo Ko sangat terharu, hampir ia meneteskan air mata.

“Tapi aku justru kuatir dia akan tersesat oleh karena pintarnya,” ujar Oey Yong menghela napas, “sebab itu juga aku hanya ajarkan membaca padanya dan tidak turunkan ilmu silat dengan harapan kelak dia akan menjadi seorang yang bijaksana dan pandai membeda-bedakan yang salah dan yang benar, supaya menjadi seorang lelaki sejati, dengan begitu sekali pun tak bisa ilmu silat aku akan lega dan puas menjodohkan Hu-ji padanya.”

“Ya, segala apa kau memang lebih pintar dari aku, Yong-ji,” sahut Kwe Ceng. “Apa yang kau pikirkan selalu berpandangan jauh, tapi Hu-ji kita sedemikian wataknya, ilmu silatnya juga begitu, jika dia diharuskan mendampingi seorang anak sekolahan yang lemah, coba pikir apa dia tak penasaran? Apakah kelak dia bisa menghormati Ko-ji? Menurut hematku, suami isteri demikian ini pasti susah akurnya.”

“Huh, tak malu,” kata Oey Yong tertawa, “Memangnya kita berdua bisa akur karena ilmu silatmu lebih unggul dari aku? Hayo, Kwe-tayhiap, marilah kita coba-coba!”

“Bagus, Oey-pangcu, katakanlah apa yang kau kehendaki,” sahut Kwe Ceng tertawa.

Lalu terdengar suara “plok” sekali, mungkin Oey Yong telah tepok sekali tubuh Kwe Ceng. Selang tak lama, lalu Oey Yong berkata lagi.

“Aih, sebenarnya urusan ini sukar diputuskan. Seandainya tanpa Ko-ji pun, urusan kedua saudara Bu saja juga sulit diselesaikan. Coba kau katakan, Toa Bu lebih baik atau Siao Bu lebih baik?”

Seketika hati Kwe Hu dan Bu-si Hengte berdebar-debar. Meski urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan Yo Ko, tetapi ia pun ingin tahu bagaimana pendapat Kwe Ceng terhadap kedua saudara Bu itu. Tetapi Kwe Ceng hanya menyahut lirih sekali, selang sekian Iama masih tidak terdengar jawabannya.

“Kalau berdasarkan urusan kecil belum bisa kelihatan,” demikian kemudian terdengar dia menyahut, “harus tunggu sampai menghadapi urusan besar, baik atau busuk, barulah bisa diketahui.” Habis ini perkataannya berubah menjadi lemah lembut dan menyambung lagi: “Baiklah, usia Hu-ji masih kecil, lewat beberapa tahun lagi masih belum terlambat, boleh jadi pada waktu itu dapat diputuskan dengan cara yang lebih baik dan kita yang menjadi orang tua tak perlu ribut-ribut lagi. Kau mengajar Loh-tianglo dan tentu banyak keluarkan tenaga, beberapa hari ini aku selalu melihat napasmu tidak lancar, aku sampai kuatirkan kesehatanmu. Sekarang biarlah aku pergi mencari Ko-ji buat ajak bicara sedikit padanya.” Habis berkata ia pun bertindak pergi.

Sesudah Oey Yong atur pernapasannya sejenak, kemudian ia panggil Loh-tianglo lagi dan memberi petunjuk Pak-kau-pang-hoat. Pada saat itu Loh Yu-ka sudah selesai memainkan 36 gerakan Pak-kau-pang-hoat, cuma di mana dan cara bagaimana mempergunakan inti kebagusan ilmu silat itulah yang belum dipahaminya. Maka dengan sabar dan telaten Oey Yong memberi penjelasan kepadanya sejurus demi sejurus. Tipu serangan Pak-kau-pang-hoat ini memang sangat bagus, Iebih-lebih kunci yang diuraikan Oey Yong ini terlebih hebat luar biasa, kalau tidak, hanya sebatang pentung bambu hijau yang kecil mana bisa menjadi pusaka Kay-pang?

Sudah hampir sebulan Oey Yong turunkan tipu gerakan ilmu pentung pemukul anjing itu pada Loh Yu-ka, kini ia menerangkan pula kun-nya dan perubahannya sampai berulang kali dan suruh mengingatnya baik-baik.

Kwe Hu dan Bu-si Hengte tak paham Pang-hoat, karena itu mereka merasa tidak tertarik. Mereka tidak tahu tentang perubahan ilmu silat yang hebat itu, maka beberapa kali mereka sudah ingin merosot turun pohon, namun kuatir ketahuan Oey Yong, maka mereka mengharap-harap agar Oey Yong lekas selesai dan lekas pergi bersama Loh Yu-ka.

Siapa tahu Oey Yong bermaksud malam ini juga menyerahkan jabatan Pangcu pada Loh Yu-ka dalam perjamuan ‘Eng-hiong-yan’, maka dia ingin turunkan seluruhnya baik istilah mau pun permainannya kepada Loh Yu-ka, sekali pun masih belum paham, kelak masih bisa diberi petunjuk lagi. Cuma menurut peraturan Kay-pang turun-temurun, Pangcu baru waktu menerima jabatan harus sudah bisa memainkan Pak-kau-pang-hoat, oleh sebab itu sedapat mungkin Oey Yong ingin turunkan sesuai mestinya, maka sudah lebih satu jam masih belum juga selesai menguraikannya.

Dasar Loh Yu-ka ini juga bakatnya kurang ditambah usianya telah lanjut, daya ingatannya sudah mundur, seketika dapat mengingat begitu banyak ajaran yang diberikan? Meski Oey Yong sudah bolak-balik mengulangi, masih belum juga diingatnya semua. Baiknya Oey Yong telah lama berdampingan dengan seorang suami yang bakatnya tidak tinggi, ia sudah biasa dengan orang yang kurang tajam otaknya, maka kebebalan Loh Yu-ka tidak membangkitkan amarahnya.

Celakanya dia dibatasi oleh peraturan perkumpulan yang mengharuskan inti Pang-hoat diturunkan secara lisan dan sekali-kali tidak boleh secara tertulis. Kalau saja boleh, sesungguhnya ia bisa menulisnya untuk dibaca sendiri oleh Loh Yu-ka sampai apal, hal ini pasti akan menghemat tidak sedikit tenaganya.

Sementara itu yang paling beruntung rasanya adalah Yo Ko. Seperti diketahui, tempo hari waktu Ang Chit kong bertanding dengan Auwyang Hong di Hoa-san, pada saat terakhir pernah mengajarkan setiap tipu berikut perubahannya pada Yo Ko lalu disuruh menunjukkannya pada Auwyang Hong, hanya kunci waktu menghadapi musuh saja yang belum dijelaskan. Siapa tahu secara kebetulan sekali disini Yo Ko justru bisa mendengar kekurangan itu dari mulut Oey Yong yang lagi mengajarkannya pada Loh Yu-ka.

Sudah tentu bakat Yo Ko beratus kali lebih tinggi dari pada Loh Yu-ka. Hanya tiga kali ia dengar, satu kata saja tidak dapat dilupakan lagi oleh pemuda ini, sebaliknya Loh Yu-ka masih bolak-balik mengulangi dan masih tetap salah. Sesudah hamil untuk kedua kalinya, mungkin karena terlalu sibuk menurunkan Pak-kau-pang-hoat pada Loh Yu-ka, akhirnya Oey Yong merasa letih juga. Ia coba bersandar pada batu sambil pejamkan mata untuk mengumpulkan semangat.

“Hu-ji, Si-ji, Bun-ji, Ko-ji, semuanya turun ke sini!” mendadak ia berseru.

Tentu saja Kwe Hu berempat amat kaget. Mereka heran mengapa orang diam-diam saja, tetapi sebenarnya sudah tahu mereka bersembunyi di atas pohon.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar