Selasa, 27 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 061

“Ya, memang benar, aku sudah salah membunuh orang, bolehlah kau balaskan dendam Sun-popoh dengan pedang ini, aku tidak akan menangkisnya.”

Nampak kelakuan Hek Tay-thong ini, semua orang terperanjat luar biasa. Karena kuatir betul-betul Yo Ko menerima pedang itu dan melukai orang, lekas-lekas Kwe Ceng berseru:

“Ko-ji, jangan kurang ajar.”

Akan tetapi betapa cerdiknya Yo Ko. Dia tahu di hadapan Kwe Ceng dan Oey Yong, soal membalas dendam ini tak akan terlaksana, maka dengan dingin ia lantas menjawab:

“Hm, sudah terang kau tahu Kwe-pepek pasti tak perkenankan aku turun tangan, sekarang kau sengaja berlagak gagah?”

Hek Tay-thong adalah Bu-lim-cianpwe atau angkatan tua dari kalangan persilatan, namun kini kena didebat oleh kata-kata yang begitu menusuk, ia pun menjadi bungkam tak dapat menjawab, pedang yang dia sodorkan menjadi serba salah, diangsurkan terus orang tak terima, ditarik kembali rasanya malu. Mendadak dia salurkan tenaga dalamnya, maka terdengarlah suara “peletak” yang keras, tahu-tahu pedang itu patah menjadi dua.

“Sudahlah, sudahlah!” katanya sambil menghela napas, ia pun lempar pedang patah itu ke tanah, kemudian dengan langkah lebar ia bertindak pergi.

Kwe Ceng masih bermaksud menahannya, namun orang sudah pergi tanpa menoleh lagi. Tentu saja Kwe Ceng mulai ragu-ragu, ia pandang Yo Ko lalu pandang lagi Sun Put-ji bertiga, dia pikir apa yang dikatakan Yo Ko agaknya bukan bikinan belaka.

“Kenapa para guru dari Coan-cin-kau tak mengajarkan kepandaian padamu? Lalu selama beberapa tahun ini apa yang kau kerjakan?” ia tanya setelah lewat sejenak, lagu suaranya sekarang sudah berubah lunak.

“Waktu Kwe-pepek membawa aku ke Cong-lam-san, beberapa ratus Tosu di sana sudah kau pukul pontang-panting tanpa mampu membalas. Umpamanya Ma, Khu, Ong dan lain-lain Cinjin tidak pikirkan peristiwa ini, apakah imam-imam yang lain juga tidak dendam?” demikian sahut Yo Ko. “Sudah tentu mereka tidak berani padamu Kwe-pepek, lalu apakah mereka tidak bisa melampiaskan dongkol mereka atas diriku? Malahan mereka bisa-bisa ingin mampuskan aku baru merasa puas. Karena itu mana mereka mau mengajarkan ilmu silat lagi kepadaku? Kalau selama ini penghidupan yg kulewatkan adalah gelap tak pernah melihat cahaya dan kini masih bisa berjumpa dengan Kwe-pepek, hal ini boleh dikatakan terlalu beruntung sekali.”

Begitulah, meski pun usia Yo Ko masih muda, tapi cara bicaranya masih lebih pintar dari pada Thio Ci-keng. Dengan hanya beberapa patah kata itu saja, secara enteng dia sudah limpahkan semua sebab musabab memberontak keluar dari Coan-cin-kau itu kepada diri Kwe Ceng.


KAWAN MASA KECIL

Dan apa yang dibilang ‘gelap tak pernah melihat sinar’ sesungguhnya juga tidak bohong. Selama itu ia tinggal di dalam kuburan kuno, maka dengan sendirinya sinar matahari sulit dilihatnya. Tetapi dalam pendengaran Kwe Ceng, rasa kasihannya kepada anak muda ini menjadi ber-limpah. Dilain pihak Ci-keng melihat Kwe Ceng sembilan bagian sudah mau percaya terhadap penuturan Yo Ko, ia menjadi gugup.

“Kau... kau ngaco belo... Hm, Coan-cin-kau kami adalah golongan kesatria sejati, mana... mana bisa...” demikian ia coba membela diri dengan suara tak lancar.

Kwe Ceng terlalu lurus orangnya, dia anggap apa yang dikatakan Yo Ko itu tentu benar-benar terjadi. Sebaliknya Oey Yong yang kecerdasannya masih jauh di atas Yo Ko, hanya melihat air muka pemuda ini saja segera Oey Yong tahu kata-kata Yo Ko itu ada udang di balik batu. Dia pikir bocah ini sangat licin, tentu di dalamnya masih ada sesuatu yang tidak benar. Maka segera ia pun menyela:

“Jika begitu, jadi sedikit ilmu silat pun kau tak bisa? Lalu selama beberapa tahun di Coan-cin-kau tentunya terbuang percuma, bukan?” demikian sambil berkata, perlahan-lahan dia pun berdiri, mendadak sebelah tangannya menjulur terus menggablok ke atas kepala Yo Ko.

Pukulan ini dilontarkan dengan jari tangan tepat mengarah ‘pek-hwe-hiat’ pada ubun-ubun kepala, sedang telapak tangan menepok ‘siang-seng-hiat’ pada batok kepala. Kedua Hiat-to ini adalah tempat yang mematikan, asal kena digablok tangan Oey Yong, maka tanpa perlu disangsikan lagi pasti nyawa Yo Ko akan melayang tanpa tertolong. Tentu saja Kwe Ceng terperanjat. Ia menjerit:

“Yong-ji!”

Akan tetapi cepat luar biasa Oey Yong mengayun tangannya. Tipu pukulan ini adalah satu di antara ‘lok-eng-cio-hoat’ ajaran ayahnya, sebelum dilakukan sedikit pun tidak memberi tanda-tanda lebih dahulu, begitu bergerak, begitu pula telapak tangannya sudah sampai di tempat sasarannya, Kwe Ceng ingin menolong pun tak keburu lagi.

Namun Yo Ko tidak biarkan dirinya dihantam begitu saja, dengan segera tubuhnya sedikit mendoyong ke belakang bermaksud menghindarkan diri. Tetapi betapa hebat kepandaian Oey Yong, sekali ia turun tangan, tidak akan sasarannya dapat mengelakkan diri, maka dengan segera telapak tangannya sudah berada di atas ubun-ubun Yo Ko.



Sungguh bukan buatan kejut Yo Ko. Cepat hendak ditangkisnya pukulan itu, tapi tiba-tiba pikirannya tergerak, tangan yang sudah sedikit diangkat mendadak dia luruskan ke bawah lagi.

Hendaklah diketahui bahwa Kwe Ceng berilmu silat maha tinggi, tapi pembawaan otaknya tumpul. Bila dia menjadi Yo Ko, tentu sebelum mengerti apa yang harus diperbuatnya lebih dulu tangannya pasti diangkat buat menangkis. Tetapi lain dengan Yo Ko. Pemuda ini cerdik luar biasa, otaknya pun bisa bekerja cepat, begitu tangannya hendak menangkis, segera terkilas dalam pikirannya: “Ah, kiranya Kwe-pekbo bermaksud menjajal ilmu silatku, kalau aku menangkis pukulannya, ini berarti aku mengakui kata-kataku tadi bohong belaka.”

Meski pun begitu, pukulan yang dilontarkan Oey Yong ini adalah tipu mematikan yang amat lihay, kalau orang bukan bermaksud menjajal kepandaiannya dan dirinya tidak menangkis. apakah ini bukan bergurau dengan jiwanya sendiri. Begitulah dalam sekejapan itu bagaikan tarikan api cepatnya, pikiran Yo Ko sudah bolak-balik berubah beberapa kali, tetapi akhirnya dia tak hiraukan jiwanya lagi dan pukulan itu tidak ditangkisnya.

Harus diketahui bahwa dengan kepandaian Yo Ko sekarang ini, biar pun masih belum bisa memadai Oey Yong, kalau menangkis pukulan itu saja rasanya tidak sulit. Tetapi ternyata pemuda ini berani mengambil resiko itu, ia luruskan tangan tak bergerak dan menantikan pukulan orang. Kalau bukan watak Yo Ko memang keras kepala serta suka turuti maksud hatinya, sungguh tak akan dilakukannya.

Dan ternyata memang benar pukulan Oey Yong ini hanya percobaan saja untuk menjajal ilmu silat Yo Ko. Pada waktu telapak tangannya sudah hampir menempel di kepala orang, tiba-tiba ia hentikan dan tahan pukulannya. Ia lihat wajah Yo Ko rada mengunjuk takut dan bingung, sama sekali tidak angkat tangan buat menangkis, juga tidak mengumpulkan Iwekang untuk melindungi tempat-tempat yang berbahaya, nyata memang sikap seorang yang tak paham ilmu silat sedikit pun.

“Ya, memang aku tak ajarkan ilmu silat kepadamu, itu disebabkan aku ingin kau menjadi orang baik,” demikian kata Oey Yong sambil tersenyum, sambil tarik kembali tangannya. “Dan para Toya dari Coan-cin-pay rupanya juga berpikir sama dengan aku.” Habis ini dia balik kembali ke tempat duduknya tadi, dengan suara perlahan dia bisiki Kwe Ceng pula: “Memang betul dia tidak mendapat ajaran ilmu silat dari Coan-cin-pay.”

Akan tetapi Oey Yong adalah wanita secerdik kancil, baru selesai dia berkata, mendadak dalam hatinya menjerit:

“Ahh, celaka, salah! Salah! Hampir saja aku kena dikelabui setan cilik ini.”

Kiranya ia menjadi ingat masa lalu ketika Yo Ko tinggal di Tho-hoa-to, di mana bocah itu pernah tewaskan seorang pengemis anak murid Kay-pang dengan Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak. Ilmu silatnya pada waktu itu sudah mempunyai dasar yang kuat, sekali pun selama beberapa tahun ini tidak mendapat sesuatu kemajuan, namun dengan pukulannya tadi yang mengarah ubun-ubun di atas kepala, betapa pun juga bocah ini harusnya pasti akan menangkisnya.

Katanya di dalam hati: “Ha, kau benar-benar setan cerdik yang luar biasa, kalau tadi kau tangkis pukulanku dengan lagak kelabakan, mungkin aku kena kau kelabui, tetapi kini kau pura-pura tak paham sama sekali, hal ini malah berbalik mencurigakan aku.”

Betapa pun juga memang Oey Yong masih satu tingkat lebih pintar, untuk bisa menimpali kecerdasannya maka Yo Ko harus hidup belasan tahun lagi dan sesudah pengalamannya bertambah. Begitulah Oey Yong juga tidak mau membongkar rahasia Yo Ko. Dia pikir biarlah aku lihat sandiwara apa yang hendak kau mainkan. Oleh karena itu ia hanya pandang Ci-keng, lalu pandang lagi Yo Ko, ia tersenyum, tetapi tak berkata.

Ci-keng menjadi murka. Dia lihat Oey Yong sudah menjajal dengan pukulannya dan sama sekali tak ditangkis Yo Ko, ia menyangka Oey Yong telah kena diingusi pemuda itu, hal ini berarti lebih menunjukkan pihaknya yang bersalah. Maka ia tidak tahan lagi, dengan suara keras ia berteriak-teriak.

“Anak haram ini banyak tipu muslihatnya. Tadi kau tak berhasil menjajalnya, Oey-pangcu, maka biarlah aku yang mencobanya,” demikian teriaknya sengit. Lalu ia mendekati Yo Ko, ia tuding hidung pemuda ini sambil memaki: “Anak haram, apa benar-benar kau tak bisa ilmu silat? Nah, baiklah, jika kau tak sambut pukulanku ini, maka Toya pun tidak bermurah hati, mau mati atau ingin hidup tergantung kau sendiri.”

Ci-keng tahu bahwa tingkat ilmu silat Yo Ko kini sudah di atas dirinya. Ia pikir asal dirinya mendadak menyerang dengan tipu yang mematikan, dalam keadaan demikian mau tidak mau pasti Yo Ko akan unjuk kepandaian aslinya, tetapi kalau masih berlagak pikun, maka sekali pukul biar lenyapkan saja jiwanya, paling banter nantinya ribut dengan Kwe Ceng suami isteri dan didamperat oleh Suhu dan Kaucu (ketua agama).

Demikianlah jalan pikiran Ci-keng pada waktu itu. Nyata saking gemasnya pada si Yo Ko mengakibatkan timbulnya pikiran jahat, ia pikir pula: “Memang kau sudah menduga Oey-pangcu tidak akan mencelakai jiwamu, maka kau berani pura-pura bodoh, tetapi kini jatuh di tanganku, coba kau masih berani main pura-pura tidak?”

Segera ia hendak turun tangan. “Nanti dulu,” tiba-tiba Kwe Ceng mencegah.

Rupanya Kwe Ceng merasa kuatir jiwa Yo Ko bisa melayang. Selagi ia hendak mencegah lebih jauh, mendadak Oey Yong menarik tangannya.

“Jangau kau urus dia,” dengan suara perlahan Oey Yong membisikinya.

Nyata Oey Yong menduga pukulan Thio Ci-keng yang sedang murka itu tentu dilontarkan dengan cara tak kenal ampun, sekali-kali Yo Ko takkan berani ambil risiko untuk bergurau dengan jiwanya sendiri dan tentu terpaksa akan balas menyerang, tatkala itu, bagaimana duduknya perkara tentu pula akan menjadi terang.

Dengan sendirinya Kwe Ceng tidak bisa menyelami hal-hal ber-Iiku itu. Ia masih merasa tidak tenteram, tetapi biasanya sang isteri dapat mengatur tepat, apa yang dikatakannya pasti takkan meleset, maka ia pun tidak buka suara lagi. Ia berdiri di samping sambil was-was, ia tunggu bila mana keadaan betul-betul berbahaya barulah akan turun tangan menoIongnya.

Sementara itu sebelum Ci-keng bertindak lebih dulu ia sudah berkata pada Sun Put-ji dan In Ci-peng:

“Sun-susiok, In-sute, anak haram ini berlagak tak bisa ilmu silat, aku terpaksa menjajal kepandaiannya, bila mana dia tetap kepala batu sampai titik terakhir, maka sekali hantam akan kubinasakan dia, hendaklah nanti di hadapan Suhu, Khu-supek dan Kaucu sukalah kalian berdua menjadi saksi.”

Tentang memberontaknya Yo Ko dari Coan-cin-kau, dengan sendirinya Sun Put-ji sudah mengetahui seluruhnya. Dan kini melihat kelicinan Yo Ko yang keterlaluan hingga Ci-keng terdesak tak berdaya, hingga Coan-cin-kau kelihatan di pihak salah, maka ia pun berharap Ci-keng berhasil memaksa bocah itu memperlihatkan corak asIinya. Maka dengan tertawa dingin ia menjawab:

“Ya, binasakan saja murid murtad yang durhaka ini!”

Dengan kedudukan Sun Put-ji sebagai satu imam yang beribadat, mana mungkin ia suruh orang membunun begitu saja? Beberapa kata-katanya itu tujuannya tidak lain hanya untuk me-nakuti Yo Ko agar pemuda ini tak berani lagi pura-pura.

Di lain pihak, karena mendapat dukungan paman gurunya, nyali Ci-keng menjadi besar. Begitu kaki kanan diangkat, tanpa sungkan-sungkan lagi segera dia tendang perut Yo Ko dengan tipu gerakan ‘Thian-san-hui-toh’ (Terbang Melintasi Thian-san). Tendangan yang membawa tenaga keras dan tenaga tersembunyi ini sesungguhnya lihay luar biasa.

Tipu tendangan ini adalah pelajaran pertama bagi orang yang belajar ilmu silat Coan-cin-pay, meski cara menyerangnya biasa saja tiada yang aneh, asal sedikit paham silat saja pasti dapat mematahkannya, tapi lihaynya suatu aliran ilmu silat letaknya justru pada tipu serangan dasar pertama yang dipelajarinya mula-mula, dari sinilah baru kemudian diikuti dengan perubahan lainnya untuk menangkan musuh. Dengan tipu serangannya ini, terutama Ci-keng sengaja pertunjukkan kepada Kwe Ceng dan Oey Yong supaya kedua orang ini tahu bahwa: Sekali pun aku tidak ajarkan ilmu silat yang tinggi padanya, masakah pelajaran dasar pertama saja tak kuajarkan padanya?

Sebaliknya demi nampak tendangan orang ini, Yo Ko tidak mengelakkan diri dengan gaya ‘twe-ma-se’ atau kuda-kuda yang bergaya mundur, satu gerakan yang sangat tepat untuk menghindarkan tendangan ‘Thian-san-hui-toh’, malahan mendadak ia berteriak:

“Aduh!”

Berbareng itu tangan kirinya diulur lurus ke bawah menahan di depan perut yang hendak ditendang orang. Melihat Yo Ko begitu berani tanpa menghindarkan diri juga tidak berkelit, maka Ci-keng juga tidak sungkan-sungkan lagi, segera tendangannya diayun ke depan. Pada saat ujung kakinya tinggal beberapa senti dari perut Yo Ko, di bawah sinar pelita tiba-tiba dilihatnya pemuda ini sedikit acungkan jari jempol tangan kiri ke atas yang dengan tepat mengincar ‘Thay-kok-hiat’ pada tungkak kakinya.

Jika tendangan ini dengan kuat diteruskan, maka sebelum kakinya mengenai sasaran niscaya dia sendiri sudah kena ditotok lebih dulu, dengan demikian bukannya pemuda itu menotok Hiat-tonya melainkan ia sendiri yang sodorkan Hiat-tonya untuk ditotok. Ci-keng adalah jago utama dari anak murid Coan-cin-pay angkatan ketiga. Dalam keadaan berbahaya itu segera dia mengubah serangannya, dia membelokkan arah kakinya hingga tendangannya menyerempet lewat di samping Yo Ko, dengan demikian boleh dikatakan ia telah hindarkan totokan yang berbahaya, tapi tubuhnya toh menjadi sempoyongan hingga mukanya merah jengah.

Kwe Ceng dan Oey Yong berdiri di belakang Yo Ko, maka mereka tak melihat jari jempol yang diacungkan bocah ini. Mereka menyangka Ci-keng sengaja berlaku murah hati dan tidak menggunakan tipu lihay, sebaliknya Sun Put-ji dan in Ci-peng bisa menyaksikannya dengan terang.

Ci-peng bungkam saja tak bersuara, sedangkan Sun Put-ji langsung berjingkrak. “Bagus kau!” demikian teriaknya.

Dalam pada itu Ci-keng pun tidak berhenti begitu saja, tangan kirinya lalu diayun, dengan cepat dia potong ke pelipis kiri Yo Ko, sekali ini dia menyerang dengan cara teliti, telapak tangan sampai tengah jalan baru mendadak ia ganti arah, tampaknya ia hantam pelipis kiri orang, tetapi telapak tangannya mendadak memotong ke leher sebelah kanan.

Tidak dia duga bahwa Yo Ko sudah sangat matang mengapalkan Giok-li-sim-keng di luar kepala. Sim-keng atau kitab suci itu justru diciptakan sebagai anti ilmu silat Coan-cin-pay. Dahulu setiap tipu serangan lihay dari Ong Tiong-yang tiada satu pun yang dilewatkan Lim Tiao-eng untuk menciptakan sesuatu tipu gerakan buat mematahkannya. Melihat tangan kiri orang mengayun, dengan segera Yo Ko merangkul kepalanya sendiri seperti orang yang ketakutan setengah mampus, sedangkan jari telunjuk kiri diam-diam ia sembunyikan di bawah lehernya sebelah kanan, sedangkan tangan yang lain dia gunakan untuk menutup supaya tak diketahui Ci-keng.

Ketika telapak tangan Iawan hampir tiba, mendadak Yo Ko kesampingkan sedikit tangan kanannya, maka dengan tepat sekali jari telunjuk kiri yang sudah disiapkan itu kena menotok ‘ho-khe-hiat’ tangan Ci-keng. Kejadian ini pun bukannya Yo Ko yang menyerang, namun lagi-lagi Ci-keng sendiri yang mengantarkan tangannya untuk ditotok. Yo Ko hanya men-duga sebelumnya ke mana serangan orang hendak ditujukan maka jarinya ia taruh dulu di tempat yang jitu.

Dan karena Hiat-to tangannya tertotok, seketika Ci-keng merasa lengannya pegal linu. Ia insaf terkena akal licik orang. Dalam marahnya ia pun tak pikir panjang lagi, dengan cepat ia ayunkan kaki kiri terus menyerampang.

“Haya, celaka!” teriak Yo Ko pura-pura.

Tiba-tiba ia sedikit menekuk lengan kirinya, ia papak sikunya ke bawah pinggangnya. Dan begitu tendangan Ci-keng sampai, tahu-tahu ‘Ciau-hay-hiat’ serta ‘Tha-ke-hiat’ di tungkak kakinya persis mengenai ujung siku Yo Ko. Tendangan ini dilakukan Ci-keng dengan hati marah, dengan sendirinya kekuatannya amat keras, dan karena itu juga totokan Hiat-tonya menjadi sangat keras pula. Maka seketika kakinya menjadi kaku dan tanpa kuasa mencegah orangnya terus berlutut.

Melihat sang Sutit (murid keponakan) membikin malu di depan orang banyak, lekas-lekas Sun Put-ji menjambret dan menariknya berdiri, kemudian ia tepuk punggung Ci-keng buat melepaskan totokannya tadi. Melihat sebat dan jitu sekali tindakan hitam wanita ini, terang kepandaiannya berpuluh kali lebih tinggi dari Ci-keng, Yo Ko menjadi jeri dan cepat mundur ke samping.

Sungguh pun usia Sun Put-ji sudah lanjut, tapi wataknya ternyata sangat keras dan kaku. Ia melihat kepandaian Yo Ko aneh luar biasa, sekali pun ia sendiri ikut turun tangan juga belum tentu bisa menang, maka segera ia berseru:

“Hayo, pergi!”

Habis itu, tanpa permisi lagi ia kebas lengan jubahnya, sekali lompat, seperti burung saja ia melayang keluar melalui jendela terus naik ke wuwungan rumah. In Ci-peng seperti orang kehilangan semangat. Dia hendak memberi penjelasan kepada Kwe Ceng, namun Ci-keng sudah tak sabar.

“Mau bicara apa lagi?!” bentaknya marah, berbareng ini ia tarik sang Sute terus melompat keluar melalui jendela menyusul Sun Put-ji.

Sebenarnya mata Kwe Ceng dan Oey Yong cukup jeli, dengan sendirinya mereka tahu Ci-keng tadi telah kena ditotok Hiat-tonya, Cuma mereka tidak melihat Yo Ko menggerakkan tangannya. Apa mungkin ada orang kosen yang membantunya dari samping?

Segera Kwe Ceng melongok keluar jendela, tetapi tidak ada seorang pun yang dilihatnya. Waktu Oey Yong membalik, tiba-tiba dilihatnya di bawah rak buku menonjol keluar ujung sepatu hijau yang dipakai Kwe Hu.

“Hayo, keluar Hu-ji, apa yang kau lakukan di situ?” serunya segera.

Dengan nakal Kwe Hu melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil ketawa ngikik. “Aku dan Bu-keh Koko sedang mencari buku bacaan di sini,” demikian ia coba beralasan.

Tapi Oey Yong tidak gampang dibohongi, ia tahu tentu mereka sengaja mencuri dengar. Di lain pihak Kwe Ceng yang berjiwa lurus jujur selalu mengukur orang lain berdasarkan jiwanya sendiri yang kesatria sejati. Ia sangka tadi Ci-keng mendadak tidak tega gunakan pukulan yang mematikan dan pura-pura terkena totokan untuk meninggalkan tempat ini.

Sebaliknya Oey Yong sudah bisa menebak, pasti Yo Ko telah pakai tipu muslihat. Cuma berdirinya tadi di belakang Yo Ko sehingga tak dapat melihat cara bagaimana pemuda itu gerakkan tangannya, pula dia tidak tahu bahwa di jagat ini ternyata masih ada ilmu silat dari Giok-li-sim-keng yang bisa menduga segala tipu apa yang hendak dilontarkan musuh hingga ilmu silat kaum Coan-cin-pay sedikit pun tak bisa berkutik. Maka seketika pun dia tak habis mengerti oleh kejadian tadi.

Begitulah, selagi ia termenung-menung, mendadak ada anak murid Kay-pang melaporkan kedatangan tamu jauh. Setelah Oey Yong memandang Yo Ko sekejap, lalu bersama Kwe Ceng mereka pergi menyambut tetamu.

“Yo-koko adalah teman bermain kalian waktu kecil, kalian harus melayaninya baik-baik,” pesan Kwe Ceng pada Bu-si Hengte sebelum pergi.

Tetapi karena dahulu sudah tak akur dengan Yo Ko, sekarang melihat macam orang yang menjijikkan, Bu-si Hengte semakin pandang hina pemuda ini. Ia panggil seorang centeng lalu menyuruhnya mengatur tempat tidurnya Yo Ko, sedang mereka asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu. Sebaliknya Kwe Hu ternyata sangat aneh, ia tertarik oleh datangnya Yo Ko.

“Yo-toako,” demikian ia tanya, “sebab apakah gurumu tak mau menerima dirimu?”

“Sebabnya terlampau banyak,” sahut Yo Ko, “Pertama, aku memang goblok dan malas, kepandaian yang Suhu ajarkan kepadaku selalu tak bisa apal, pula aku tak bisa pura-pura rendah, tak bisa menjilat dan membaiki anaknya Suhu...”

Mendengar kata-kata Yo Ko rada menusuk, pertama-tama Bu Siu-bun yang tak tahan. “Apa kau bilang?!” bentaknya segera.

“Aku bilang diriku sendiri tak becus, maka tidak disukai Suhu,” sahut Yo Ko.

“Gurumu adalah Tosu dan tidak kawin, masakah dia punya anak?” ujar Kwe Hu sembari tertawa genit.

Melihat tawa si gadis laksana sekuntum bunga mawar yang mendadak mekar berubah merah sedikit, lekas-lekas ia berpaling ke jurusan lain.

“Yo-toako, baiklah kau pergi mengaso saja, besok barulah kita bicara lagi,” kata Kwe Hu kemudian dengan suara lembut.

Yo Ko mengiakan. Dia ikut centeng yang melayaninya itu untuk pergi tidur. Dari belakang lapat-lapat terdengar suara Kwe Hu yang tengah mengomel:

“Aku suka bicara padanya, kalian peduli apa? Ilmu silatnya baik atau tidak, biar kelak aku akan minta ayah ajarkan padanya.”

Nyata si nona sedang omeli Bu-si Hengte, agaknya kedua saudara Bu merasa cemburu karena si gadis mengajak bicara Yo Ko. Besok paginya, setelah Yo Ko sarapan, ia lihat Kwe Hu menyapa padanya di pekarangan depan, sementara Bu-si Hengte tampak longak-longok di samping sana. Diam-diam Yo Ko tertawa geli, ia pun mendekati Kwe Hu dan bertanya:

“Kau mencari aku?”

“Ya,” sahut Kwe Hu tersenyum manis, “marilah kita jalan-jalan keluar, aku ingin tanya apa yang kau lakukan selama beberapa tahun ini.”

Yo Ko menjadi berduka mendengar orang menyinggung pengalamannya selama ini. Dia pikir pengalamannya selama ini sungguh terlalu banyak untuk diceritakan. Lagi pula apa yang terjadi itu mana bisa diceritakan padamu? Begitulah, Yo Ko dan Kwe Hu berjalan keluar. Waktu Yo Ko melirik, ia lihat Bu-si Hengte terus mengikuti dari jauh. Kwe Hu tahu, akan tetapi kedua anak muda itu tak digubrisnya, sebaliknya ia mencerocos menanyai Yo Ko. Dasar Yo Ko memang pintar bicara. Ia sengaja obrolkan segala apa yang tidak penting, ia bumbui pula hingga Kwe Hu dibikin senang dan ketawa ter-kikih.

Dengan perlahan akhirnya mereka berdua sampai di bawah pohon Liu, lalu tiba-tiba terdengar meringkiknya kuda, seekor kuda buduk kurus kering mendekati Yo Ko sambil menggosok-gosok moncongnya pada tubuh pemuda ini, tampaknya kasih sayang sekali antara mereka. Melihat kuda sejelek ini, tiba-tiba Bu-si Hengte tertawa terbahak-bahak sambil mendekati Kwe Hu dan Yo Ko.

“Yo-heng,” demikian Siu-bun berkata lebih dulu, “kuda mestikamu ini sungguh hebat amat, beruntung kau dapat memperolehnya. Bilakah kau pun mencarikan seekor untuk aku.”

“Kuda ini datang dari negeri Langka, mana mampu kau membelinya?” Bu Tun-si menyela dengan lagak sungguh-sungguh.

Mendengar orang menyebut kuda, tanpa terasa Kwe Hu memandang Yo Ko, lalu pandang lagi kuda jelek itu, ia lihat ke-duanya sama-sama kotor dan dekil, ia tertawa geli juga. Namun Yo Ko tidak marah, sebaliknya ia malah bergelak ketawa.

“Ha-ha, kudaku jelek, orangnya pun jelek, sesungguhnya memang jodoh yang setimpal,” demikian katanya, “Dan binatang tunggangan Bu-heng berdua tentunya bagus luar biasa.”

“Kuda kami sebenarnya tidak banyak lebih bagus dari kudamu yang buduk ini,” sahut Siu-bun. “Tetapi kuda merah Hu-moay (adik Hu) itulah baru kuda mestika sungguh-sungguh. Dahulu kau pernah tinggal di Tho-hoa-to, tentu kau sudah melihatnya.”

“Oh, kiranya Kwe-pepek sudah memberikan kuda merahnya kepada gadisnya,” sahut Yo Ko.

Sembari bicara mereka berempat terus berjalan. “He, lihat, ibu hendak pergi memberi pelajaran Pang-hoat (ilmu permainan pentung) lagi,” tiba-tiba Kwe Hu berkata sembari menunjuk ke arah barat.

Waktu Yo Ko menoleh, ia melihat Oey Yong bersama seorang pengemis tua sedang jalan berendeng menuju ke lembah gunung, tangan mereka sama-sama membawa sebatang pentung.

“Loh-tianglo sungguh terlalu goblok, sudah sekian lamanya dia belajar Pak-kau-pang-hoat masih juga belum bisa,” ujar Bu Siu-bun.

Mendengar kata-kata ‘Pak-kau-pang-hoat’, seketika hati Yo Ko terkesiap, cuma lahirnya sedikit pun ia tidak mengunjuk sesuatu tanda, ia malah berpaling ke jurusan lain pura-pura sedang menikmati pemandangan alam yang indah.

“Pak-kau-pang-hoat adalah pusaka Kay-pang yang hebat sekali,” demikian ia dengar Kwe Hu berkata lagi. “Kata ibu Pang-hoat ini luar biasa bagusnya, merupakan permainan yang paling lihay dalam hal senjata di seluruh jagat, dengan sendirinya kepandaian sehebat ini tak bisa dipelajari dalam sepuluh hari atau setengah bulan saja, Kau bilang dia goblok, memangnya kau sendiri pintar?”

Siu-bun menjadi bungkam dan menyengir. “Sayangnya, kecuali kepada Pangcu dari Kay-pang, Pang-hoat ini tidak boleh diturunkan kepada orang lain,” ujar Bu Tun-si.

“Kelak bila mana kau menjadi Pangcu dari Kay-pang, dengan sendirinya Loh-tianglo akan mengajarkan padamu,” sahut Kwe Hu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar