Minggu, 25 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 060

PERADILAN DI TENGAH PERJAMUAN 

Besok paginya Ong Capsah datang membawanya pergi ke Hing-ci-koan. Sepanjang jalan kecuali orang-orang Kay-pang sendiri, tidak sedikit pula tokoh-tokoh Bu-lim yang mereka jumpai, baik laki-laki mau pun perempuan, tua atau muda, ada yang berperawakan gagah tegap, ada yang kurus kecil, akan tetapi semua orang jalannya cepat dan kuat, agaknya semuanya diundang untuk menghadiri apa yang disebut Eng-hiong-yan atau perjamuan kesatria.

Yo Ko sendiri tidak tahu apa itu Eng-hiong-yan dan Eng-hiong-hiap. Ia menduga meski pun ditanya tidak akan Ong Capsah mau menerangkan, maka dia pun tidak merecoki urusan itu, sepanjang jalan dia hanya pura-pura bodoh dan berlagak dungu saja. Petangnya Yo Ko dan Ong Capsah sampai di Hing-ci-koan. Meski kota Hing-ci-koan ini adalah tempat yang penting dalam arti kemiliteran, namun kotanya sendiri ternyata tak begitu ramai.

Ong Capsah membawa Yo Ko melalui kota itu dan berjalan lagi 7-8 li, akhirnya sampailah di sebuah perkampungan besar dengan gedung berderet-deret dilingkungi oleh beberapa ratus pohon waringin yang rindang. Ke dalam kampung inilah para kesatria itu masuk. Perkampungan itu begitu besar dengan gedung-gedungnya yang sambung menyambung dan berjajar-jajar, tampaknya kalau hanya tetamu beberapa ribu saja masih cukup luang.

Ong Capsah sangat rendah kedudukannya dalam Kay-pang. Ia tahu pada saat itu Pangcu mereka terlalu sibuk, sudah tentu ia tidak berani laporkan permintaan Yo Ko yang hendak ‘meminjam sangu’ segala. Maka setelah atur tempat tidurnya Yo Ko dan sediakan makan, kemudian ia sendiri pun pergilah mencari kawannya yang lain.

Setelah makan, Yo Ko melihat gedung yang begini megahnya dengan centeng yang tidak terhitung banyaknya hilir mudik melayani tetamu, ia merasa heran siapakah tuan rumahnya, dan kenapa begini besar pengaruhnya? Sementara itu dapat didengar di sampingnya ada orang sedang berkata:

“Suami isteri cengcu sendiri sedang menyambut tetamu, marilah kita juga pergi melihat gerangan siapa kesatria yang datang ini.”

Sementara itu di luar sana terdengar suara tambur berdentuman, lalu musik pun berbunyi, para centeng berbaris di kedua samping, upacara pembukaan ternyata sangat meriah dan khidmat. Tampak dari belakang pintu muncul satu laki-laki dan satu perempuan yang semuanya berusia antara 40 tahun, yang laki-laki tinggi kekar memakai jubah sulam, bibirnya sedikit berkumis, kereng berwibawa. Sedang yang perempuan berkulit putih bersih seperti wanita bangsawan.

“lni adalah Liok-cengcu dan itu Liok-hujin,” demikian Yo Ko dengar pembicaraan di antara tetamu yang hadir.

Di belakang kedua orang ini sepasang suami isteri, seketika hati Yo Ko terkesiap demi nampak suami isteri yang di belakang ini sehingga mukanya terasa panas. Mereka bukan lain Kwe Ceng dan Oey Yong adanya. Selama beberapa tahun tidak berjumpa tampaknya Kwe Ceng lebih sabar lagi, sedang Oey Yong bermuka terang dan tersenyum-senyum, tampaknya semakin montok dari pada dahulu waktu di Tho-hoa-to.

Kwe Ceng mengenakan pakaian terbuat dari kain kasar, sebaliknya Oey Yong memakai kain sutera merah jambon, namun sebagai Pangcu dari Kay-pang, menurut tradisi kaum pengemis, terpaksa ia berikan beberapa tambalan pada bajunya di tempat yang tak terlalu menyolok. Di belakang Kwe Ceng dan Oey Yong ikut Kwe Hu dan Bu-si Hengte. Tatkala itu ruangan besar itu terang benderang dengan api lilin, di bawah cahaya api lilin, gadis itu tampak lebih cantik molek dan pemudanya gagah ganteng.

“lni adalah Kwe-tayhiap dan itu Oey-pangcu!”

“Dan nona yang cantik itu siapa lagi?”

“Puteri Kwe-tayhiap dan Oey-pangcu!”

“Dan kedua pemuda itu apa puteranya?”

“Bukan, tapi muridnya!”

Begitulah percakapan di antara para tetamu sambil tunjuk sini dan tuding sana. Yo Ko tak ingin berjumpa dengan Kwe Ceng suami isteri di depan orang banyak, maka ia sengaja sembunyi di belakang seorang lelaki tinggi besar untuk mengintip. Sementara itu, di bawah iringan musik, dari luar tampak masuk empat orang Tojin atau imam. Melihat imam ini, seketika timbul semacam rasa aneh di dalam hati Yo Ko.

Kiranya yang paling depan adalah seorang imam yang sudah ubanan rambut alisnya, mukanya berwarna merah hangus, dia bukan lain Kong-ling-cu Hek Tay-thong, satu di antara Coan-cin-chit-cu, sedang di belakangnya adalah imam wanita tua ubanan juga, imam wanita ini belum pernah dikenal Yo Ko. Dan di belakang mereka ini ikut dua imam setengah umur dengan jalan berjajar, mereka adalah Thio Ci-keng dan In Ci-peng. Dengan cepat Liok-ceng-cu suami isteri menyambut imam wanita itu sambil menjura dan memanggilnya sebagai Suhu, menyusul serta Kwe Ceng suami isteri, Kwe Hu dan Bu-si Hengte juga maju memberi hormat.

Telinga Yo Ko cukup tajam, maka percakapan antara para tetamu itu dapat pula diikutinya dengan terang.

“lmam wanita tua ini adalah pendekar wanita Coan-cin-kau, dia she Sun bernama Put-ji,” demikian terdengar kata seorang tua.

“Aha, kiranya dialah Jin-ceng Sanjin yang namanya tersohor di daerah utara dan selatan sungai!” ujar tamu yang lain.

“Ya, dia adalah Suhu Liok-hujin, sedang ilmu silat Liok-ceng-cu sendiri bukan belajar dari dia,” kata si orang tua tadi.

Ternyata Liok-cengcu ini bernama Khoan-eng. Ayahnya bernama Liok Seng-hong adalah murid Oey Yok-su, ayah Oey Yong, maka bila diurut-urut, kedudukan Liok-cengcu masih lebih rendah satu tingkat dari pada Kwe Ceng dan Oey Yong. Sedangkan Liok-hujin, isteri Liok Khoan-eng, Thia Yao-keh, adalah muridnya Sun Put-ji. Dahulu Thia Yao-keh pernah mendapat pertolongan dari Kwe Ceng, Oey Yong dan orang-orang Kay-pang sewaktu ia mengalami mara bahaya. Oleh sebab itu ia merasa utang budi terhadap orang-orang Kay-pang.



Kini Kay-pang menyebarkan undangan kepada kestria di seluruh jagat dan mengadakan perjamuan besar menjelang rapat raksasa dari Kay-pang, untuk itu Liok Khoan-eng suami isteri telah memikul semua biaya itu dan mengadakan perjamuan di tempat kediamannya. Sekali pun perjamuan ini mungkin akan memakan setengah dari kekayaan mereka, namun Liok Khoan-eng adalah seorang gagah yang terbuka tangannya, dengan sendirinya hal demikian ini tak dipikir olehnya.

Begitulah, maka sesudah menjalankan penghormatan, lalu Kwe Ceng ikut Hek Tay-thong dan Sun Put-ji ke ruangan pendopo untuk diperkenalkan kepada para kesatria yang hadir.

“Khu, Ong dan Lauw para Suheng sudah menerima kartu undangan Oey-pangcu, mereka bilang seharusnya memenuhi undangan, cuma belakangan ini badan Lauw-suheng kurang sehat dan Ma-suheng harus bantu dia menjalankan tenaga penyembuhan, maka terpaksa tidak dapat melakukan perjalanan ke sini, harap Oey-pangcu suka memaafkan,” demikian terdengar Hek Tay-thong berkata sambil mengelus jenggotnya.

“Ahh, para cianpwe itu terlalu merendah,” sahut Oey Yong.

Harus diketahui meski usia Oey Yong masih muda, tetapi dia adalah pemimpin dari suatu organisasi besar Kay-pang, dengan sendirinya Hek Tay-thong dan lain-lain sangat hormat padanya. Kwe Ceng sendiri sudah sejak mudanya kenal dengan In Ci-peng, kini bisa berjumpa pula, sudah tentu mereka sangat girang dan mengobrol dengan asyiknya.

Lekas-lekas Liok-cengcu memerintahkan supaya perjamuan dimulai. Segera para tetamu mengambil tempat duduk masing-masing, maka suasana di ruangan pendopo itu menjadi ramai luar biasa. In Ci-peng sendiri lagi longak-longok kian kemari seperti sedang mencari seseorang di antara orang banyak.

“ln-sute, entah orang she Liong itu ikut hadir atau tldak?” mendadak Ci-keng berkata lirih sambil tersenyum dingin.

Berubah hebat air muka Ci-peng karena sindiran itu, namun ia tak menjawab.

“Kesatria she Liong yang mana? Apakah sahabat kalian berdua?” tanya Kwe Ceng, nyata tak diketahuinya bahwa orang yang mereka bicarakan ialah Siao-liong-li.

“Dia sahabat In-sute, aku sendiri mana berani bergaul dengan dia,” sahut Ci-keng.

Melihat sikap dua imam ini rada aneh, Kwe Ceng pun tahu di dalamnya tentu tersangkut urusan-urusan lain, maka ia pun tidak menanya lebih jauh. Tiba-tiba saja, di antara orang banyak itu Ci-peng dapat melihat Yo Ko, seketika tubuhnya bergetar seperti kena disambar petir. Kiranya disangkanya apa bila Yo Ko berada di situ, dengan sendirinya Siao-liong-li juga datang.

Ketika Kwe Ceng dan Ci-keng turut memandang ke arah yang menarik perhatian Ci-peng itu hingga kesamplok pandang dengan Yo Ko, seketika mereka pun tercengang. Dalam kejutnya Kwe Ceng merasa girang pula, maka ia lantas mendekati anak muda itu sambil menarik tangannya.

“He, Ko-ji, kiranya kau juga datang di sini?” demikian ia menyapa. “Tadinya aku kuatir kau terlantarkan pelajaranmu maka tak berani mengundang kau, kini gurumu sudah membawa kau ke sini, ini baik sekali.”

Kiranya karena tak lancarnya lalu lintas jaman dulu, maka urusan tentang Yo Ko berontak keluar dari Coan-cin-pay, Kwe Ceng yang tinggal jauh di pulau Tho-hoa-to sedikit pun tak mendapat kabar.

Kehadiran Ci-keng ke Eng-hiong-yan kali ini sebetulnya justru akan merundingkan urusan itu dengan Kwe Ceng, siapa duga di sini malah kepergok dengan Yo Ko. Semula ia kuatir Kwe Ceng percaya pada ocehan Yo Ko secara sepihak, tetapi demi mendengar apa yang dikatakan Kwe Ceng tadi dia pun tahulah bahwa mereka pun baru pertama kali bertemu. Maka dengan muka merah padam Ci-keng menengadah sambil berkata:

“Ada kepandaian apa dan kebajikan apa pada diriku? Mana berani aku menjadi guru Yo-ya?”

Kaget sekali Kwe Ceng oleh kata-kata ini. “Apa? Mengapa Thio-suheng berkata demikian? Apakah anak kecil itu tidak mau menutul ajaranmu?” tanyanya cepat.

Melihat ruangan pendopo ini penuh dengan tetamu, bila sampai urusan itu diceritakan hingga terjadi perdebatan dengan Yo Ko, rasanya hal ini bisa melenyapkan pamor Coan-cin-kau, maka Ci-keng tak mau menjawab melainkan tertawa dingin saja.

Di lain pihak, waktu Kwe Ceng memeriksa keadaan Yo Ko, ia lihat matanya bengkak dan mukanya babak belur, pakaiannya compang-camping dan kotor, terang sekali bocah ini kenyang merasakan penderitaan yang tidak ringan. Kwe Ceng amat pedih, sekali tarik ia rangkul kencang Yo Ko dalam pelukannya. Begitu ditarik Yo Ko segera kumpulkan seluruh tenaga dalamnya untuk melindungi tempat berbahaya di tubuhnya. Siapa tahu Kwe Ceng benar-benar sayang dan kasihan padanya dan tiada maksud hendak mencelakainya, malahan paman angkat ini berseru pada Oey Yong:

“Yong-ji, lihatlah siapa ini yang datang!”

Oey Yong tercengang juga demi nampak Yo Ko. Berlainan dengan Kwe Ceng yang amat kegirangan bisa berjumpa dengan Yo Ko, sebaliknya ia sambut orang dengan adem saja.

“Bagus, kiranya kau pun datang,” demikian sahutnya tawar.

Dengan perlahan Yo Ko melepaskan diri dari pelukan Kwe Ceng. “Tubuhku kotor, jangan sampai membikin kumal pakaianmu,” demikian katanya pada sang paman. Kata-kata ini diucapkan dengan dingin, bahkan bernada menyindir.

Namun hal itu tak terpikir oleh Kwe Ceng, ia hanya merasa terharu, waktu itu juga teringat olehnya: “Anak ini sebatang-kara dan yatim piatu, tentu sudah kenyang merasakan pahit getir.”

Karena itu ia tarik tangan Yo Ko dan mengajak agar pemuda ini duduk satu meja dengan dirinya. Yo Ko duduk di tempat yang terpencil, maka ia pun menolak.

“Biarlah aku duduk di sini saja, silakan Kwe-pepek pergi menemani tetamu,” sahut Yo Ko dingin.

Kwe Ceng merasa tak enak harus meninggalkan tetamu yang demikian banyak, maka ia tepuk perlahan pundak si Yo Ko, lalu pergilah dia ke tempat duduknya semula. Setelah tiga keliling para tamu mengeringkan isi cawan, sebagai ketua Oey Yong segera mulai angkat bicara:

“Besok adalah hari diadakannya Eng-hiong-yan, sekarang masih ada beberapa kawan dari berbagai penjuru yang belum datang, mungkin besok siang baru bisa tiba. Maka kini silakan para hadirin makan minum sepuasnya, besok baru kita bicarakan urusan pokok.”

Selesai pidato ini, seketika para tamu bersorak sorai kemudian perjamuan lantas dimulai. Sesudah perjamuan bubar, dengan sendirinya para tetamu itu ada penyambutnya sendiri-sendiri yang mengantarkan pergi mengaso. Maka kelihatanlah Ci-keng berbisik-bisik kepada Hek Tay-thong dan imam tua ini balas mengangguk-angguk, lalu Ci-keng berdiri dan membungkuk memberi hormat kepada Kwe Ceng.

“Kwe-tayhiap, Pinto merasa sudah mengecewakan dalam melaksanakan tugas berat yang pernah diberikan kepadaku. Sungguh hal ini sangat memalukan, maka hari ini sengaja datang buat menerima hukuman atas dosaku,” demikian kata Ci-keng.

“Ah, Thio-suheng terlampau merendah,” sahut Kwe Ceng segera sambil balas menghormat. “Marilah kita bicara di kamar baca saja, jika ada perbuatan anak kecil yang bikin Thio-suheng marah, pasti Siaute akan memberi hukuman yang setimpal kepadanya agar amarah Thio-suheng bisa padam.”

Beberapa kata Kwe Ceng ini diucapkan dengan suara lantang. Karena jarak Yo Ko tidak begitu jauh, maka semuanya dapat didengarnya dengan cukup terang. Diam-diam dalam hati pemuda ini pun sudah ambil suatu keputusan:

“Jika dia mendamperat sepatah kata saja padaku, segera aku bangkit dan angkat kaki dari sini dan untuk selanjutnya tak mau bertemu muka lagi dengan dia. Bila dia pukul aku, meski ilmu silatku bukan tandingannya, pasti aku akan adu jiwa juga dengan dia.”

Karena telah mengambil keputusan demikian, maka Yo Ko menjadi lebih tenang, tidak lagi ketakutan seperti waktu bertemu dengan Thio Ci-keng untuk pertama kalinya dahulu. Dan demi nampak Kwe Ceng menggapai padanya, maka ia pun ikut di belakang mereka. Tatkala itu Kwe Hu bersama Bu-si Hengte juga sedang makan di salah satu meja makan. Semula gadis ini tak kenal lagi pada Yo Ko. Belakangan setelah ayah-bundanya mengenali pemuda itu, barulah Kwe Hu ingat bahwa pemuda itu bukan lain adalah kawan bermainnya waktu kecil di Tho-hoa-to.

Dasar paras anak muda memang cepat berubah, apa lagi sudah sekian tahun berpisah, lagi pula Yo Ko sengaja menyamar dengan rupa yang sengsara dan bercampur di antara orang banyak, tentu saja Kwe Hu tak mengenalinya. Kini meihat Yo Ko telah kembali, tanpa terasa hatinya jadi terguncang, terkenang olehnya kejadian dahulu di Tho-hoa-to di mana karena urusan jangkrik sudah terjadi perkelahian, entah kejadian ini masih membuat dendam pemuda itu atau tidak? Tapi bila dilihat keadaan Yo Ko yang begitu rudin, lesu dan kotor, amat jauh bedanya dengan wajah Bu-si Hengte yang ganteng dan bersemangat, timbul juga perasaan kasihannya.

“Ayah sudah mengirim dia belajar silat pada Coan-cin-pay, entah bagaimana dengan hasil pelajarannya dibanding kita?” demikian ia bisiki Bu Tun-si.

“llmu silat Suhu tiada tandingannya di kolong langit, pula kepandaian Subo (ibu guru) diperoleh dari ajaran Engkong luarmu, mana bisa dia dibandingkan dengan kita?” tiba-tiba Bu Siu-bun menyambung pertanyaan si nona sebelum sang kakak menjawab.

“Ya, dasarnya memang juga tidak terpupuk baik, agaknya sukar juga ia hendak mendapat kemajuan,” kata Kwe Hu sambil meng-angguk. “Tapi kenapa keadaannya menjadi begitu mengenaskan.”

“Para imam itu melotot terus padanya seperti hendak menelannya mentah-mentah, dasar anak she Yo ini tabiatnya buruk, tentu dia telah melakukan suatu keonaran lagi di sana,” demikian kata Siu-bun.

Begitulah tiga orang ini berbicara sendiri. Waktu mendengar Kwe Ceng mengundang Hek Tay-thong dan lain-lain ke kamar baca buat bicara dan bilang Yo Ko akan diberi hukuman setimpal pula, Kwe Hu menjadi heran dan tertarik.

“Ayo, lekas kita mendahului sembunyi dulu di kamar baca itu supaya bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan,” segera gadis ini mengajak.

Tapi Bu Tun-si takut konangan sang Suhu dan didamperat, maka ia tak berani, sebaliknya Bu Siu-bun lantas berteriak akur, malahan ia mendahului bertindak pergi.

“Kau memang selalu tak turut perkataanku,” Kwe Hu mengomeli Tun-si.

Nampak si nona rada marah, namun malah menambah kecantikannya yang menggiurkan, seketika hati Tun-si memukul keras. Dia tidak berani membantah lagi, maka terpaksa ikut di belakang Kwe-hu. Dan baru saja ketiga orang itu sembunyi di belakang rak buku, Kwe Ceng dan Oey Yong sudah datang dengan membawa Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng dan In Ci-peng berempat, lalu mengambil tempat duduknya sendiri-sendiri.

“Ko-ji, kau pun duduk sana!” kata Kwe Ceng sesudah Yo Ko ikut masuk.

“Tidak, aku tidak usah,” sahut Yo Ko. Sekali pun nyalinya besar, tetapi menghadapi enam tokoh dunia persilatan ini, tidak urung hatinya berdebar-debar tak tenteram.

“Anak kecil kenapa kurang ajar? Berani kau bandel terhadap Suhu?” demikian Kwe Ceng lantas mendamperat sambil menarik muka, “Tidak lekas kau berlutut menjura minta maaf pada Susiokco (kakek guru), Suhu dan Susiok!”

Kwe Ceng berhati jujur, dia pandang Yo Ko seperti anaknya sendiri, pula terhadap Coan-cin-chit-cu biasanya dia sangat menaruh hormat, maka tanpa bertanya dia pikir tentu anak muda ini yang telah berbuat salah. Sebenarnya kalau menurut adat istiadat jaman itu, ikatan peraturan antara ayah dan anak atau guru dan murid luar biasa kerasnya. Jangan kata membantah, sekali pun ayah atau guru menghendaki kematian anak atau murid juga tidak boleh membangkang.

Kini Kwe Ceng hanya mendamperat Yo Ko secara begitu, sesungguhnya boleh dikatakan luar biasa ramahnya, apa bila orang lain, tentu sudah menggunakan kata-kata “binatang, anak haram” dan macam-macam lagi atau dibarengi dengan gebukan dan pukulan. Siapa duga, mendadak Ci-keng berdiri.

“Ah, Pinto mana berani menjadi guru Yo-ya? Kwe-tayhiap, hendaklah jangan kau sengaja menyindir,” demikian katanya dengan tertawa dingin. “Coan-cin-kau kami selama ini tidak pernah bersalah terhadap Kwe-tayhiap, kenapa engkau mengejek kami di hadapan orang banyak? Yo-toaya, biarlah imam tua ini menjura padamu dan minta maaf, anggaplah aku yang picik dan tak kenal kaum Enghiong dan orang gagah....”

Melihat wajah imam ini berubah begitu rupa, kata-katanya juga makin kasar menandakan betapa marahnya, Kwe Ceng dan Oey Yong menjadi heran bukan main. Mereka pikir kalau murid berbuat sesuatu kesalahan, sang guru mau damperat atau menghajar padanya juga lumrah, tapi kenapa harus berlaku secara begini kasar?

Oey Yong adalah seorang pintar luar biasa, dia tahu pasti Yo Ko sudah berbuat sesuatu kesalahan yang luar biasa besarnya. Sekarang nampak Kwe Ceng jadi bungkam karena serentetan kata-kata Ci-keng tadi, mau tak mau ia mewakili sang suami membuka suara.

“Thio-suheng hendaklah jangan marah dulu. Cara bagaimanakah bocah ini berbuat salah terhadap sang guru, silakan duduk dan terangkan secara jelas,” demikian katanya dengan tenang.

“Aku Thio Ci-keng hanya punya sedikit kepandaian, mana aku berani menjadi guru orang? Bukankah akan ditertawai semua orang gagah seluruh jagad hingga copot giginya?” teriak Ci-keng tiba-tiba.

Oey Yong berkerut kening melihat kekasaran orang, ia menjadi rada kurang senang. Hek Tay-kong dan Sun Put-ji mengetahui duduknya perkara, mereka merasa pantas jika Ci-keng marah-marah, tapi kalau ribut-ribut secara kasar, sesungguhnya juga bukan corak asli kaum imam yang beribadat.

“Ci-keng,” kata Sun Put-ji kemudian, “kau harus terangkan secara baik di hadapan Kwe-tayhiap dan Oey-pangcu, caramu marah-marah dan ribut-ribut ini, apa macam jadinya ini? Apakah itu menjadi kebiasaan orang beragama seperti kita ini?”

Meski Sun Put-ji adalah wanita, tetapi karena wataknya yang keras, maka angkatan muda sangat segan padanya. Karena itu Ci-keng jadi mengkeret, dia tidak berani muring-muring lagi. Sesudah mengia beberapa kali, lalu ia kembali duduk ke tempatnya tadi.

“Lihatlah Ko-ji, begitu hormat gurumu terhadap orang tua, kenapa kau tidak belajar contoh ini?” kata Kwe Ceng.

Sebenarnya Ci-keng hendak kontan menyelak lagi bahwa dirinya bukan guru orang, tetapi demi dipandangnya Sun Put-ji, kata-kata yang hendak diucapkan ia telan kembali. Tak terduga, mendadak Yo Ko berteriak

“Dia bukan guruku!”

Karena teriakan ini, bukan saja Kwe Ceng dan Oey Yong kaget, bahkan Kwe Hu dan Bu-si Hengte yang sembunyi di belakang rak buku juga terkejut sekali. Maklumlah, pada jaman itu, terutama di kalangan Bu-lim, persoalan guru dan murid diatur dengan tata adat yang sangat keras. Seorang guru dapat dipersamakan dengan seorang ayah yang harus diturut dan dihormati. Siapa tahu sekarang bukan saja Yo Ko tak mau mengaku guru, bahkan berani berteriak terang-terangan pula.

Keruan Kwe Ceng menjadi sangat marah, mendadak ia berdiri sambil menuding Yo Ko dan mendamperat:

“Apa... apa yang... yang kau katakan?”

Dasar Kwe Ceng memang tidak pandai bicara, juga tak biasa mendamperat orang, maka mukanya menjadi merah padam, amarahnya boleh dikatakan sudah memuncak. Jarang sekali Oey Yong melihat suaminya begitu marah, maka dengan suara halus ia coba menghiburnya:

“Ceng-koko, anak ini memang berjiwa buruk, perlu apa kau marah-marah karena dia?”

Mula-mula tadi sesungguhnya Yo Ko rada takut, tapi sekarang seorang Kwe-pepek yang sebenarnya sangat sayang padanya juga marah-marah mendamperat padanya. Tiba-tiba pemuda ini menjadi nekat, pikirnya: “Paling-paling mati, apa yang perlu aku takuti? Paling banyak juga boleh kau bunuh aku saja.”

Karena pikiran itu, dengan suara lantang segera ia menjawab “Ya, memang jiwaku buruk, namun tidak pernah aku minta belajar ilmu silat padamu. Kalian semua adalah tokoh-tokoh Bu-lim yang terkenal, kenapa harus gunakan tipu muslihat untuk menjebak seorang bocah yatim piatu?”

Waktu ia berkata sampai “yatim piatu”, saking sedih akan nasib sendiri seketika mata Yo Ko rada merah basah, tapi segera ia gigit bibir sekencang-kencangnya, ia pikir sekali pun hari ini harus mati tidak boleh aku alirkan setengah tetes air mata pun. Di lain pihak Kwe Ceng menjadi tambah marah.

“Apa kau bilang tadi?” demikian damperatnya pula. “lsteriku dan gurumu dengan sungguh-sungguh ajarkan ilmu silat padamu, semua ini karena mengingat persahabatanku dengan mendiang ayahmu, siapa yang bertipu muslihat? Dan... dan siapa yang menjebak kau?”

Memang Kwe Ceng tak pandai bicara, dalam keadaan marah, ia menjadi lebih gelagapan. Melihat orang tambah marah, sebaliknya Yo Ko tambah tenang dan perlahan bicaranya.

“Ya, engkau Kwe-pepek sudah tentu baik terhadapku, hal ini selamanya pasti tidak akan kulupakan!”

“Dan Kwe-pekbo dengan sendirinya tidak baik terhadapmu. Jika kau mau dendam untuk selamanya, hal ini pun terserah kepadamu,” sela Oey Yong tiba-tiba dengan sekata demi sekata.

Dalam keadaan demikian, Yo Ko tambah tak gentar lagi, sekali lagi dia berbicara lebih berani.

“Kwe-pekbo tidak baik padaku, tetapi juga tidak jelek terhadapku,” demikian katanya Iagi. “Tetapi kau bilang ajarkan ilmu silat kepadaku, sebenarnya hanya ajarkan aku membaca, sedangkan ilmu silat sedikit pun tidak diturunkan. Namun demikian, membaca juga baik, sedikitnya siautit (keponakan) bertambah kenal beberapa huruf. Tetapi... tetapi beberapa imam tua ini...” sampai di sini mendadak dia menuding Hek Tay-thong dan Thio Ci-keng, lalu dengan gemas dia sambung: “Pada suatu hari, pasti aku akan menuntut balas utang darah dan dendam sedalam lautan.”

“Apa... apa kau bilang?” tanya Kwe Ceng cepat dan terkejut.

“Imam she Thio ini katanya adalah guruku, tetapi sedikit pun tidak menurunkan ilmu silat kepadaku, hal ini pun tak menjadi soal, tetapi ia malah suruh imam-imam cilik menghajar diriku,” tutur Yo Ko. “Kwe-pekbo tidak mengajarkan kepandaian kepadaku, Coan-cin-pay juga tidak mengajarkan ilmu silat kepadaku, dengan sendirinya tidak bisa lain kecuali aku dihajar sekenyang mereka. Ada satu lagi, imam she Hek ini, dia lihat seorang nenek tua merasa sayang dan kasihan padaku, orang tua itu malah dia pukul hingga mati. Hai, imam busuk she Hek, katakanlah sekarang, semuanya ini benar atau tidak?”

Bila mana Yo Ko ingat matinya Sun-popoh tidak lain disebabkan karena membela dirinya, sungguh dia menjadi gemas dan mengertak gigi, ingin sekali dia menubruk maju mengadu jiwa dengan Hek Tay-thong.

Kong-ling-cu Hek Tay-thong tergolong imam paling beribadat di antara imam-imam Coan-cin-kau, baik agamanya mau pun ilmu silatnya sudah dilatihnya sampai tingkat yang amat tinggi, soalnya hanya karena salah tangan sehingga Sun-popoh tewas, selama beberapa tahun hal ini selalu membikin dia merasa tidak tenteram dan dianggapnya sebagai suatu perbuatan yang sangat disesalkan selama hidupnya. Kini mendadak Yo Ko meng-ungkit kejadian itu, keruan seketika mukanya menjadi pucat bagai mayat. Peristiwa ngeri dahulu, di mana Sun-popoh muntah darah kena pukulannya seolah-olah terbayang di depan matanya. Karena ia tak membawa senjata, maka tiba-tiba ia melolos pedang yang tergantung di pinggang Ci-keng.

Semua orang mengira pedang itu tentu akan ditusukkan pada Yo Ko, maka dengan cepat Kwe Ceng sudah melangkah maju hendak melindungi bocah itu. Siapa sangka mendadak Hek Tay-thong membalikkan pedangnya, dia sodorkan garan pedang pada Yo Ko sambil berkata:







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar