Sabtu, 24 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 059

Turunnya ke bawah gunung sekarang ini dilakukan Yo Ko dengan seenaknya saja. Ia pun tidak bedakan timur atau barat, utara atau selatan, yang terpikir olehnya hanyalah bumi seluas ini aku sendirilah yang sebatang-kara, biar aku terlunta-lunta ke mana saja, kalau sudah tiba ajalnya, biarlah di mana aku rebah, di situlah aku mati.

Meski tinggal di atas Hoa-san tidak lebih dari setengah bulan, namun bagi Yo Ko rasanya sudah lewat beberapa tahun. Pada waktu naik gunung ia merasa dirinya selalu dipandang hina orang dengan penuh rasa penyesalan, namun kini sewaktu turun gunung ia merasa segala keduniawian ini sama saja seperti awan yang terapung di udara, biarlah orang mau pandang berharga atau pandang hina, ada sangkut paut apa dengan aku? Begitulah dalam usianya yang semuda itu ternyata telah timbul semacam rasa benci pada sesamanya dan menganggap sepi mati-hidupnya sendiri.

Beberapa hari kemudian tibalah di hutan yang sepi di daerah Siamsay. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara gemuruh larinya binatang dengan debu mengepul tinggi. Tidak berapa lama, beberapa ratus kuda liar kelihatan berlari lewat di hadapannya dengan cepat. Kuda-kuda liar yang senang hidup bebas tanpa kekangan apa pun ini membikin Yo Ko jadi kagum dan tertarik. Selagi ia ikut gembira oleh kelincahan kuda-kuda liar itu, tiba-tiba saja di belakangnya ada suara meringkik kuda lain yang lemah.

Waktu Yo Ko berpaling, ia melihat seekor kuda kurus menyeret sebuah kereta bermuatan kayu sedang mendatangi dengan perlahan-lahan melalui jalan raya. Agaknya kuda kurus ini tertarik oleh sebangsanya yang hidup merdeka itu, sedang dirinya sendiri harus susah menderita hidupnya, maka tadi meringkik sedih. Kuda ini sudah kurus lagi tinggi, tulang-tulang iganya terlihat nyata berderet-deret, bulu badan pun tak rata penuh borok, semua ini menjadikan rupanya jelek sekali.

Di atas kereta itu duduk seorang lelaki kasar. Mungkin jalan kuda kurus itu dianggapnya terlalu lambat, maka tiada hentinya ia mengayun cambuknya memecut terus. Selama hidup Yo Ko sendiri telah kenyang dihina dan dihajar orang. Sekarang mendadak melihat penderitaan kuda ini, aneh sekali, tanpa terasa timbul rasa simpatiknya, ia merasa ‘solider’ melihat kuda itu dipecut terus, saking terharu matanya merah basah.

“Hai, kau! Kenapa kau memecut kuda ini terus?” bentaknya gusar sambil menghadang di tengah jalan ketika kereta itu sudah dekat.

Melihat yang merintangi adalah pemuda dengan pakaian compang-camping dekil serupa orang minta-minta, lelaki kasar itu anggap sepi saja atas teguran itu.

“Lekas minggir, apa kau cari mampus?!” balasnya membentak. Lalu cambuknya diangkat, kuda kurus itu dihujani pecutan lagi.

Keruan Yo Ko tambah marah. “Jika kau pecut kuda ini lagi, segera kubunuh kau!” teriaknya sengit.

“Ha-ha-ha!” lelaki itu malah tertawa, berbareng pecutnya lantas menyabet ke atas kepala Yo Ko.

Tentu saja pecut yang tiada artinya ini tak mungkin bisa mengenai Yo Ko. Sekali pemuda ini mengulur tangannya, segera cambuk orang direbutnya, bahkan ia putar kembali pecut itu. Dengan menerbitkan suara “tarrr”, tiba-tiba leher lelaki tadi kena terlibat oleh pecutnya sendiri lalu kena diseret ke atas tanah, menyusul Yo Ko lantas menghujani orang dengan cambukan. Meski rupanya jelek, tapi kuda kurus itu sepertinya sangat cerdik. Melihat lelaki itu dihajar Yo Ko, binatang ini berjingkrak meringkik riang, malah ia gosok-gosokkan kepalanya pada Yo Ko sebagai tanda terima kasihnya.

“Pergilah kau ke sana hidup di alam bebas!” kata Yo Ko kemudian sesudah memutuskan tali penarik kereta sambil tepuk-tepuk punggung binatang itu dan menuding ke arah debu yang beterbangan karena lari gerombolan kuda liar tadi.

Tiba-tiba kuda kurus ini meringkik dan berdiri tegak, terus berlari cepat ke depan. Tapi mungkin saking lama menderita lapar, dan sekarang mendadak berlari keras hingga tenaga tak cukup, maka baru belasan meter berlari, tiba-tiba kaki belakangnya terasa lemas, lalu jatuh terbanting.

Yo Ko merasa kasihan, ia mendekati binatang itu dan mengangkatnya berdiri. Nampak si Yo Ko begitu perkasa, lelaki tadi ketakutan setengah mati. Begitu merangkak bangun, kereta dan kayunya tak dipikirkan lagi, segera ia lari terbirit-birit sambil berteriak-teriak minta tolong. Yo Ko merasa geli oleh kelakuan orang. Ia mencabut beberapa comot rumput segar dan memberi makan kuda kurus ini.

“Oh, kuda yang harus dikasihani, selanjutnya kau ikut padaku saja,” demikian kata Yo Ko sambil mengelus-elus punggung binatang ini.

Nyata karena penderitaan kuda itu, tanpa terasa sudah timbul simpatiknya yang senasib. Kemudian perlahan-lahan dia tuntun kuda itu menuju ke satu kota, dia beli sedikit bahan makanan kuda agar binatang ini bisa makan enak dan kenyang. Besok paginya kuda ini sudah kelihatan sehat kuat dan bersemangat, baru Yo Ko menungganginya dengan jalan perlahan-lahan.

Kuda buduk ini tadinya tak bisa lari. Bila tidak kesandung kakinya, tentu kepeleset jatuh. Siapa tahu semakin jauh berjalan semakin baik, sampai 7-8 hari kemudian, setelah diberi makan cukup hingga tenaganya penuh, mulai kelihatanlah kepandaiannya berlari secepat terbang. Tentu saja Yo Ko girang bukan main, dia menjadi tambah sayang dan memberi perawatan yang lebih baik.



Hari itu Yo Ko berhenti di kedai arak untuk tangsal perut dan menyuruh pelayan menyediakan semangkok arak. Mendadak kudanya mendekati mejanya sambil meringkik dan memandangi mangkok araknya seperti ingin minum. Yo Ko menjadi tertarik. Dia coba berikan araknya sambil mengelus leher binatang itu. Benar saja, kuda itu telah pentang mulut lebar-lebar, tanpa sungkan-sungkan sekejap saja semangkok arak sudah dilahapnya kering, kemudian ekornya men-jengkit-jengkit dan kakinya mengetok-ngetok, tampaknya binatang ini senang sekali.

Yo Ko menjadi makin tertarik. Dia suruh pelayan mengambil arak lagi, dan beruntun kuda itu menghabiskan belasan mangkok arak dan masih belum mau sudah. Karena pakaiannya compang-camping, rupanya pelayan kedai itu meragukan kemampuan Yo Ko membayar, maka waktu disuruh tambah arak lagi ia menolak.

Waktu perjalanan dilanjutkan, mungkin karena pengaruh arak, kuda itu berlari cepat seperti keranjingan setan, begitu cepat hingga pepohonan di pinggir jalan berkelebat lewat seperti terbang saja. Malah binatang ini seperti punya watak yang aneh, yakni tidak peduli apa saja, asal dilihatnya ada sesuatu binatang di depannya, pasti ia segera pentang kaki dan secepatnya mendahului ke depan.

Agaknya wataknya yang suka menang itu tidak mustahil disebabkan karena selama ini ia selalu dipandang rendah dan cukup menderita segala hinaan, maka kini begitu mendapat kesempatan ia justru ingin unjuk ketangkasannya yang tak mau kalah dengan kuda yang lain. Tabiat dogol demikian ini rupanya amat cocok dengan watak Yo Ko, maka satu orang dan satu kuda ini menjadi kawan yang sangat baik.

Tadinya Yo Ko merasa sangat masgul dan kosong, tetapi setelah mendapat kawan kuda yang membikin hatinya riang, betapa pun juga memang hati anak muda, tidak berapa hari kemudian ia sudah kembali gembira seperti sedia kala. Tanpa terasa sudah jalan beberapa hari. Akhirnya ia ambil jalan lama melalui Liong-kik-ce terus menuju ke Hing-ci-koan. Sepanjang jalan bila Yo Ko ingat waktu menggoda Liok Bu-siang dan permainkan Li Bok-chiu, ia tertawa geli sendiri di atas kudanya.

Suatu hari waktu lohor, sepanjang jalan selalu Yo Ko ketemu kawanan pengemis yang berjalan secara ber-kelompok. Melihat sikap mereka itu jelas banyak di antaranya adalah golongan jago silat yang tinggi. Tiba-tiba Yo Ko terkesiap, pikirnya: “Jangan-jangan percekcokan antara Liok Bu-siang dan kawanan pengemis ini masih belum selesai? Atau boleh jadi Li Bok-chiu hendak tentukan mati-hidupnya dengan kawanan pengemis yang lagi himpun kekuatan ini? Ha, keramaian ini tidak boleh kulewatkan!”

Teringat olehnya bahwa Ang Chit-kong adalah Pangcu kaum pengemis yang dulu, meski tidak tertarik dengan kawanan pengemis itu, tetapi teringat akan kesatriaan Ang Chit-kong yang pernah dia lihat, tanpa terasa timbul juga perasaan persaudaraannya dengan Kay-pang. Ia pikir bila ada kesempatan seharusnya aku beri-tahukan mereka tentang wafatnya Ang Chit-kong di atas Hoa-san. Setelah berjalan tak lama lagi, dia lihat kawanan pengemis itu makin lama makin banyak. Kalau di antara pengemis itu ada yang menggendong kantong kain, pengemis-pengemis lain pada umumnya lantas sangat hormat padanya.

Sebaliknya para pengemis itu rada-rada heran melihat macamnya Yo Ko. Apa bila melihat dandanan Yo Ko, memang tiada ubahnya seperti pengemis, tetapi di antara anggota Kay-pang itu sekali-kali tiada orang yang naik kuda. Namun Yo Ko tak mempedulikan mereka, ia tetap melarikan kudanya dengan perlahan. Tiba-tiba saja terdengar suara mencicitnya burung, dua ekor rajawali kelihatan menukik ke depan sana.

“Ah, Oey-pangcu sudah datang, malam ini besar kemungkinan akan ada rapat,” terdengar satu pengemis di samping Yo Ko berkata.

“Entah Kwe-tayhiap ikut datang tidak?” sela seorang pengemis lain.

“Tentu datang,” ujar pengemis yang pertama tadi. “Hubungan suami-isteri mereka adalah seperti timbangan dengan anak batunya, yang satu tidak bisa kehilangan yang lain.”

Selagi hendak meneruskan perkataannya, dilihatnya Yo Ko menahan kuda sedang mengawasi mereka, maka pengemis itu melotot sekejap pada Yo Ko, lalu tutup mulut tak jadi menyambung. Kiranya begitu mendengar nama Kwe Ceng dan Oey Yong, seketika hati Yo Ko menjadi terperanjat, cuma wataknya sekarang sudah jauh berbeda dari dulu, maka diam-diam dia tertawa dingin: “Hmm, dahulu aku makan menganggur di rumahmu hingga kenyang dihina dan dipermainkan kalian. Tatkala itu aku masih kecil dan belum punya kepandaian, maka tidak sedikit pahit getir yang kurasakan. Tetapi kini aku anggap jagat ini sebagai rumahku, tak perlu lagi aku mengandalkan kau!”

Tiba-tiba terpikir lagi olehnya: “Ahh, lebih baik aku berpura-pura jatuh sengsara dan pergi minta pertolongan mereka, ingin kulihat cara bagaimana mereka melayani aku.”

Lalu dicarinya tempat yang sepi, dia bikin rambutnya menjadi kusut semrawut, dia jotos mukanya sendiri satu kali sehingga ujung mata kirinya matang biru, ia cakar lagi mukanya sendiri hingga babak belur. Memang pakaiannya sudah tidak necis, sekarang sengaja dirobeknya pula, bahkan ia bergulingan beberapa kali di tanah hingga tambah kotor. Dengan macamnya ini ditambah berjodoh dengan kuda buduk yang jelek, maka tampak menjadi benar-benar seorang rudin yang sengsara dan tinggal mampus saja.

Selesai menyamar, dengan berjalan pincang dan bikinan Yo Ko kembali ke jalan besar, ia tidak tunggangi kudanya lagi melainkan jalan bersama kawanan pengemis. Kadang-kadang ada pengemis yang menegur apakah ikut pergi ke rapat besar. Yo Ko tidak dapat menjawab, ia hanya melongo saja. Tetapi ia tetap campurkan dirinya di antara kawanan pengemis dan meneruskan perjalanan bersama mereka.

Ketika hari telah magrib, sampailah rombongan di depan sebuah kelenteng besar yang bobrok. Dua ekor rajawali terlihat hinggap di atas pohon besar, sedangkan Bu-si Hengte sibuk memberi makan, yang satu membawa nampan dan yang lain melemparkan potongan daging. Tempo hari waktu dua kakak-beradik she Bu itu menempur Li Bok-chiu bersama Kwe Hu, pernah juga Yo Ko menonton dari samping, cuma waktu itu hanya Kwe Hu seorang yang dia perhatikan maka terhadap kedua pemuda ini tak begitu diurusnya.

Kini ketika berhadapan lagi, Yo Ko melihat gerak-gerik Bu Tun-si cukup tangkas dengan semangat penuh, sebaliknya Bu Siu-bun enteng dan gesit, lincah tak pernah diam. Tun-si mengenakan baju satin berwarna ungu tua, sedangkan Siu-bun berbaju satin warna biru safir, pinggang mereka pakai ikat kain sutera bersulam, maka tampaknya menjadi gagah dan cakap.

Yo Ko coba mendekati mereka. “Ke... kedua Bu-heng, ter... terimalah hormatku, apa... apa selama ini... baik-baik saja?” demikian ia menyapa dahulu dengan suara tak lancar.

Tatkala itu baik di dalam mau pun di luar kelenteng rusak itu telah penuh berjubel dengan kawanan pengemis yang semuanya berpakaian penuh tambal sulam. Dengan dandanan Yo Ko yang sudah disiapkannya itu, maka tidaklah menyolok ia bercampur di antara orang banyak. Dan karena sapaan Yo Ko tadi, Bu Tun-si balas menghormat dengan sikap sopan. Ia tak kenal siapakah orang yang menegur dirinya ini, maka dengan sinar mata yang tajam ia coba mengamat-amati.

“Siapakah saudara yang terhormat ini, maafkan aku tidak ingat Iagi,” demikian sahutnya kemudian.

“Ahh, namaku yang rendah ini tiada harganya buat disebut, Siaute... Siaute hanya mohon bertemu dengan Oey-pangcu,” sahut Yo Ko merendah.

Mendengar suara orang seperti sudah pernah dikenalnya dan selagi Tun-si hendak tanya lebih jauh, tiba-tiba saja didengarnya dari dalam kelenteng itu ada suara orang memanggil.

“Toa-Bu-koko (engkoh Bu yang tua), ikal kucirmu tak diikat dengan baik, coba lihat, sudah kusut lagi,” demikian kata suara nyaring itu.

Karena mendengar suara ini, lekas-lekas Bu Tun-si meninggalkan Yo Ko terus memapak ke sana. Waktu Yo Ko berpaling, ia melihat seorang gadis jelita berbaju hijau muda dengan langkah lebar sedang keluar dari dalam kelenteng, Kedua alis gadis ini panjang lentik, hidungnya yang mancung sedikit menjengat, mukanya putih, pipinya merah laksana pauh dilayang, siapa lagi dia kalau bukan puterinya Kwe Ceng, Kwe Hu adanya.

Dandanan Kwe Hu sebenarnya tidak seberapa mewah, hanya serenceng kalung mutiara yang dipakai pada lehernya yang mengeluarkan sinar mengkilap hingga wajah si gadis tampak lebih molek. Hanya sekejap Yo Ko memandang si gadis, segera ia merasa dirinya terlampau kotor dan jelek, maka tak berani ia memandang terus.

Sementara itu Bu-si Hengte sudah papak datangnya Kwe Hu, mereka menyanjung-nyanjung sebisanya. Apa bila tindak tanduk Bu Tun-si sedikit membawa sifat angkuh dan rada pegang derajat, sebaliknya Bu Siu-bun suka me-rendah menjilat asal dapat pujian si gadis. Sesudah berjalan pergi beberapa langkah, tiba-tiba Tun-si teringat lagi pada diri Yo Ko. Ia menoleh dan bertanya:

“Apakah kau datang untuk menghadiri ‘Eng-hiong-yan’ (perjamuan kaum kesatria)?”

Sebenarnya Yo Ko tidak paham apa ‘Eng-hiong-yan’ yang dikatakan orang itu, akan tetapi dengan sekenanya ia mengiakan saja. Karena itu Tun-si memanggil seorang pengemis kemudian berpesan padanya:

“Sobat ini hendaklah dilayani baik-baik, besok ajak dia pergi ke Hing-ci-koan sekalian.” Habis ini, dia asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu dan tidak urus Yo Ko Iagi.

Karena pesan itu, lekas pengemis itu datang menyapa Yo Ko dan menanya nama orang. Oleh Yo Ko dijawab dengan terus terang. Di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, Yo Ko adalah orang yang tak dikenal namanya, dengan sendirinya pengemis itu pun tidak pernah mendengar namanya, maka anak muda ini tidak diperhatikan.

Pengemis itu mengaku bernama Ong Capsah atau Ong nomor 13, karena urut-urutannya dalam keluarga nomor 13, dan she Ong, maka dipanggil Ong Capsah. Di Kay-pang ia tergolong anak murid berkantong dua. Karena ilmu silat Ong Capsah tidak tinggi, tingkatannya pun rendah, hanya pintar bicara dan bisa bekerja cepat, maka anak murid Kay-pang tingkatan tinggi menugaskan dia sebagai penyambut tamu.

“Dari manakah asalnya Yo-toako?” demikian Ong Capsah bertanya lagi.

“Baru saja datang dari barat-laut,” sahut Yo Ko.

“Ehh, apakah Yo-toako anak murid Coan-cin-pay?” tanya Ong Capsah.

“Bukan,” sahut Yo Ko tanpa pikir sambil menggelengkan kepala.

Ya, pemuda ini sudah terlalu benci pada Coan-cin-kau, bila mendengar nama itu saja dia sudah kepala pusing, apa lagi disuruh mengaku sebagai anak muridnya.

“Dan apakah Yo-toako membawa Eng-hiong-tiap (kartu undangan kesatria)?” tanya Ong Cap-sah pula.

Yo Ko jadi tercengang, ia tak mengerti apa ‘Eng-hiong-tiap’ itu? “Siaute biasanya hanya luntang-Iantung merantau di Kangouw, mana bisa disebut sebagai Enghiong?” demikian sahutnya kemudian, “Cuma dahulu pernah satu kali bertemu muka dengan Oey-pangcu, maka kini sengaja datang menemuinya lagi untuk meminjam sedikit sangu buat pulang kampung.”

Ong Capsah mengerutkan kening mendengar keterangan itu. “Oey-pangcu sedang sibuk menerima para kesatria dari segenap penjuru, mungkin tiada waktu buat menerima kau,” sahutnya kemudian sesudah berpikir sejenak.

Kedatangan Yo Ko kali ini memang sengaja pura-pura rudin, semakin orang memandang rendah padanya, semakin senang hatinya. Oleh karena itu ia justru sengaja mohon belas kasihannya Ong Capsah agar suka membantu.

Salah satu sikap yang dijunjung tinggi orang-orang Kay-pang adalah baik budi dan setia kawan, apa lagi anggota Kay-pang itu semuanya berasal dari kaum tak punya, selamanya mereka suka membantu yang lemah dan menolong yang susah, sekali-kali tidak boleh memandang hina pada orang miskin. Oleh karena itulah, demi nampak Yo Ko memohon dengan sangat, mau tak mau Ong Capsah menyanggupinya.

“Baiklah, Yo-hengte, sekarang kau makan yang kenyang dulu, besok pagi kita berangkat bersama ke Hing-ci-koan,” katanya kemudian “Di sana nanti aku melapor kepada Pangcu dan terserah bagaimana keputusan beliau. Baik tidak kalau begini?”

Tadinya Ong Capsah menyebut Yo Ko sebagai “Toako” atau saudara tua, tetapi sesudah mendengar pemuda ini bukan orang yang diundang menghadiri Eng-hiong-yan, pula umur dirinya lebih tua, maka ia ganti memanggil orang sebagai Yo-hengte atau adik Yo.

Di lain pihak karena orang telah mau membantunya, berulang-ulang Yo Ko menghaturkan terima kasihnya. Kemudian Ong Capsah mengajak Yo Ko masuk ke dalam kelenteng dan membawakan daharan seperlunya. Menurut peraturan Kay-pang, sekali pun waktu pesta pora, cara makan para anggotanya tetap harus bikin kocar-kacir segala macam daharan, baik ayam, daging, ikan dan lain-lain dan baru dimakan kalau sudah berwujud seperti barang restan orang.

Cara ini adalah tanda bahwa ‘kacang tak pernah lupa pada lanjarannya’, artinya tak boleh lupa pada sumbernya, yaitu sekali pengemis tetap pengemis, baik hidupnya mau pun cara makannya. Namun terhadap tetamu, makanan yang mereka suguhkan adalah biasa dan lengkap.

Begitulah, selagi Yo Ko makan seorang diri, tiba-tiba matanya terbeliak, dia melihat Kwe Hu masuk lagi dari luar dengan muka berseri-seri. Waktu gadis itu melihat Yo Ko sedang makan nasi di tepi patung Budha, tanpa melirik lagi ia ajak bicara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.

“Baiklah, kita berjalan malam dan berangkat ke Hing-ci-koan,” demikian terdengar Siu-bun berkata. “Aku pergi mengeluarkan kuda merahmu.”

Ketiga orang itu sembari bicara bertindak ke belakang. Tidak berapa lama, sesudah membawa bekal dan senjata, mereka keluar lagi dari kelenteng itu, lantas terdengar suara derap kuda yang riuh, nyata ketiga orang itu sudah berangkat.

Dengan ter-mangu Yo Ko mengikuti derap kuda yang sayup-sayup mulai menjauh itu, akan tetapi sepasang sumpitnya masih tertancap di dalam mangkok sayur, dia tidak tahu perasaannya waktu itu suka atau duka, apa sedih atau marah?

**** 059 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar