Jumat, 23 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 058

Tapi Ang Chit-kong dan Auwyang Hong sedang bertempur dengan napsunya, mana bisa mereka berhenti begitu saja? Kemudian Yo Ko mendapat akal. Dia ingat kegemaran Ang Chit-kong satu-satunya, yaitu makan. Ia pikir kalau pengemis tua ini dipancing dengan makanan enak tentu orang akan mengiler dan boleh jadi untuk sementara bisa diadakan ‘gencatan senjata’.

Maka dengan cepat ia pergi mencari sesuatu di alas belukar pegunungan itu. Ia dapatkan beberapa potong ubi dan singkong, maka segera ia menyalakan api dan dibakar hingga menguarkan bau sedap. Benar saja, demi bau sedap itu, segera Ang Chit-kong berteriak:

“Ha-mo busuk, tak mau lagi berkelahi dengan kau, makan dulu paling perlu!”

Sesudah itu dia pun mendekati Yo Ko terus sambar dua potong ubi bakar, lantas digeragoti meski mulutnya sakit kebakar oleh panasnya ubi, sambil tiada hentinya ia memuji Yo Ko yang pintar mencari barang santapan.

Di sebelah sana Auwyang Hong tidak mau berhenti begitu saja. Dia susul Ang Chit-kong terus mengemplang kepala orang dengan tongkatnya. Namun Ang Chit-kong tak berkelit sama sekali, sebaliknya ia sambar sepotong singkong bakar terus dilemparkan ke arah Auwyang Hong sambil berseru:

“Nih, makanlah!”

Sebelum tongkatnya diayunkan, Auwyang Hong malah tertegun. Secara otomatis sebelah tangannya cepat-cepat menangkap singkong yang dilemparkan padanya terus dimakan, seketika ia pun lupa pada pertarungan sengit tadi.

Malam itu mereka bertiga tidur dalam sebuah goa. Yo Ko berusaha agar Auwyang Hong bisa ingat kembali pada kejadian-kejadian masa lalu, maka beberapa kali ia sengaja memancingnya, namun Auwyang Hong selalu ter-menung saja tanpa menjawab. Kadang-kadang orang tua ini ketok batok kepalanya sendiri dengan kepalan, tampaknya sebisanya hendak mengingat, namun percuma saja karena otaknya seakan-akan sudah pantul. Dia menjadi sangat masgul.

Karena kuatir orang makin berpikir semakin gila, lekas-lekas Yo Ko menghibur Auwyang Hong buat tidur saja, sebaliknya ia sendiri hanya guIang-guling tidak bisa pulas. Ia sedang memikirkan ilmu pukulan kedua jago tua yang dilihatnya siang tadi, makin mengingatnya semakin bersemangat, sampai akhirnya diam-diam dia bangun sendiri lantas menjalankan gerak-gerik pukulan itu menurut apa yang dilihatnya. Dia dapat merasakan kebagusan ilmu silat yang tiada taranya itu. Sampai tengah malam, sesudah sangat letih, barulah Yo Ko pergi tidur.

Besoknya pagi-pagi sekali, waktu Yo Ko masih layap-layap dalam tidurnya, tiba-tiba saja didengarnya di luar goa ada suara sambaran angin yang menderu-deru diselingi dengan suara bentakan dan lompatan. Lekas Yo Ko meloncat bangun, di depan goa terlihat Ang Chit-kong dan Auwyang Hong kembali sedang saling labrak dengan ramainya.

Melihat kebandelan kedua orang tua itu, Yo Ko menghela napas tanpa berdaya. Dengan kesal dia duduk menunggu di samping, diam-diam dia pun mengingat baik-baik gerak tipu permainan tongkat kedua orang itu. Dia merasa setiap gerakan Ang Chit-kong semuanya dapat dibedakan dengan jelas, sebaliknya gerak-gerik Auwyang Hong sangat sulit diduga. Sering kali kalau Ang Chit-kong berada di atas angin, tahu-tahu Auwyang Hong keluarkan tipu gerakan aneh dengan cepat, lalu kedudukan mereka pun berubah sama kuat Iagi.

Begitulah cara pertandingan mereka yang berlarut-larut ini, tiap siang berkelahi dan saban malam tidur, terus-menerus berlangsung selama enam hari. Begitu payah keadaan kedua orang tua ini hingga semangat lesu dan tenaga habis, namun masih tak ada satu pun yang mau mengalah.

“Kalau pertarungan secara demikian berlangsung lagi, dua harimau bertengkar, akhirnya tentu ada satu yang celaka,” demikian Yo Ko membatin.

Karena itu, malamnya ia tunggu sesudah Auwyang Hong tidur, diam-diam ia berkata pada Ang Chit-kong:

“Marilah Locianpwe keluar, ingin aku bicara sedikit.”

Ang Chit-kong tidak menolak, ia ikut Yo Ko keluar goa. Mendadak pemuda ini berlutut di hadapannya sambil menjura tiada hentinya, akan tetapi sepatah kata pun tak dikatakannya. Ang Chit-kong adalah orang pintar, segera ia pun tahu maksud hati orang, ia tahu pemuda ini memohon agar kasihan pada Auwyang Hong yang menderita sakit ingatan itu dan suka mengaku kalah saja padanya.

“Baiklah, aku turuti permintaanmu,” demikian katanya kemudian sambil ketawa terbahak-bahak. Sesudah itu, dengan menyeret pentungnya ia pun bertindak pergi turun ke bawah gunung.

Tak tahunya, baru beberapa langkah saja ia bertindak, sekonyong-konyong dari belakang ada angin menyambar. Ternyata Auwyang Hong sudah melompat keluar dari goa terus menyabet dengan tongkatnya.

“Bangsat tua, kau mau lari ya?!” bentak Auwyang Hong dengan gusar.

Ang Chit-kong hindarkan tiga serangan orang berulang-ulang, ia bermaksud mencari jalan buat pergi, tetapi siapa tahu selalu dicegat dan kena dikurung oleh tongkat Auwyang Hong sehingga tak sempat meloloskan diri. Pertandingan silat di antara jago kelas tinggi sesungguhnya sedikit pun tidak boleh saling mengalah. Kini karena Chit-kong bermaksud mengalah, keruan saja dia menjadi tercecar, beberapa kali dia malah hampir dicelakai oleh tongkat lawannya.

Pada suatu ketika, dia lihat Auwyang Hong menyodok cepat dengan tongkatnya ke arah perutnya. Chit-kong tahu di belakang serangan ini masih disusul serangan yang lebih lihay dan sekali-kali tak boleh dihindari begitu saja, maka terpaksa ia angkat tongkatnya sendiri buat menangkis. Tanpa terduga tiba-tiba terasa olehnya pada tongkat Auwyang Hong membawa semacam tenaga dalam yang maha kuat dan lihay, sungguh tak kepalang kejut Ang Chit-kong.

“He, kau hendak adu lwekang dengan aku?” demikian sekilas pikiran ini terlintas olehnya.

Dan betul saja, baru tergerak pikirannya, tahu-tahu tenaga dalam musuh telah mendesak. Dalam keadaan demikian memang tiada jalan lain Iagi kecuali melawannya dengan tenaga dalam juga. Maka ia pun segera kumpulkan Iwekang-nya melawan serangan tenaga dalam Auwyang Hong.

Dengan ilmu silat setinggi Ang Chit-kong dan Auwyang Hong, kalau hanya terluka oleh sekali pukulan atau pentungan belum tentu membahayakan jiwa mereka, namun kini dengan adu tenaga dalam, keadaan sudah meningkat sampai detik yang tidak bisa saling mengalah Iagi. Hanya ada dua pilihan untuk mereka: ‘hidup atau mati’, lain tidak. Dulu pernah juga mereka saling bertanding, akan tetapi karena sama-sama jeri terhadap kelihayan pihak lain, kalau tidak yakin bakal menang, tidak ada yang berani sembarangan melakukan tindakan yang berbahaya ini. Siapa tahu dalam keadaan sinting, karena sudah beberapa hari bertanding masih belum bisa menang, tiba-tiba Auwyang Hong menyerang dengan Iwekang asli.

Belasan tahun yang lalu, kebencian Ang Chit-kong terhadap Se-tok Auwyang Hong boleh dikatakan meresap sampai ke tulang, tapi sekarang usianya sudah lanjut, tabiat kerasnya sudah jauh berkurang, pula melihat musuh kawakan itu tak waras otaknya, sedang Yo Ko berulang kali mohon kasihan baginya, sesungguhnya tak ada maksud lagi Ang Chit-kong untuk membunuhnya. Oleh karena itu ia hanya pusatkan tenaga dalamnya di perut, ia hanya bertahan dan tidak menyerang, ia hendak tunggu sampai Auwyang Hong sendiri yang kepayahan kehabisan tenaga dalam.

Tak terduga, tenaga Auwyang Hong bukannya berkurang sebaliknya malah seperti ombak samudera saja yang bergelombang tiada henti-hentinya, satu gelombang didorong dengan gelombang yang lain, makin lama semakin keras. Tiba-tiba Ang Chit-kong teringat pada sesuatu, tak tertahan lagi ia terkejut sekali. Kiranya teringat olehnya pertarungan siang tadi waktu adu tenaga dengan Auwyang Hong dengan Ngo-kui di tengah sebagai alat mengukur, tatkala itu berulang Auwyang Hong memancal tiga kali dengan kakinya dan tenaga yang dikeluarkan itu pun yang satu lebih besar dari yang sebelumnya.



Sekarang tampaknya sama seperti tadi itu. Belum reda tenaga serangan yang pertama, gelombang serangan kedua sudah menyusul tiba dan begitu seterusnya, tenaga serangan kedua masih terasa kuat, segera tenaga gelombang ketiga datang lagi. Teringat akan hal itu, Ang Chit-kong tidak berani ayal, segera ia pun memusatkan tenaga dalamnya melakukan serangan balasan, dan karena keras lawan keras, tubuh kedua orang sama-sama terguncang.

Melihat air muka kedua orang tua itu sangat tegang, terang mereka sedang adu tenaga dalam yang maha hebat secara mati-matian, diam-diam Yo Ko sangat kuatir. Apa bila dia mau membela Auwyang Hong sebagai ayah angkatnya, asal dia serang Ang Chit-kong dari belakang dengan jarinya saja, pasti jago tua itu akan luka parah. Tetapi dilihatnya Ang Chit-kong berjiwa jantan sejati, ia menjadi ragu-ragu dan tidak tega turun tangan.

Lewat tidak lama kemudian mendadak Auwyang Hong menggertak sekali, terus menjungkir tegak dengan kepala di bawah, sepatu dan kaos kaki ia buang juga, dengan sepasang kakinya yang telanjang inilah ia meng-geyol-geyol dan mengayun-ayun cepat di udara hingga menerbitkan angin. Sebaliknya Ang Chit-kong kelihatan tenang saja, tanpa bergerak sedikit pun bagai patung.

Sesudah saling ngotot lagi beberapa saat lamanya, akhirnya telapak kaki Auwyang Hong menguap seperti digodok, nyata ia telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya melakukan serangan total. Begitu juga Ang Chit-kong, dia pun melawan dengan sepenuh kekuatan yang ada padanya. Dalam keadaan demikian ia tidak bisa lagi memikirkan bakal mencelakai jiwa lawan atau tidak, yang dia harap asal dirinya sendiri tidak terluka, sudah sangat beruntung baginya.

Cara begitulah mereka bertanding dari fajar menyingsing sampai lewat lohor, lambat laun Ang Chit-kong merasa tenaga dalamnya mulai ‘kering’, sebaliknya daya tekanan lawan masih terus menerus membanjir seperti gelombang ombak yang tiada habis-habisnya.

“Celaka, Si Racun tua ini makin gila ternyata justru semakin lihay, hari ini jiwa Lokiauhoa (pengemis tua) bisa melayang di sini,” diam-diam Chit-kong mengeluh.

Nyata ia sudah menduga dalam pertarungan ini bakal kalah, sayangnya tiada jalan buat melepaskan diri, terpaksa ia bertahan sekuatnya, Tak ia sangka, keadaan Auwyang Hong pun sudah bagaikan pelita yang kehabisan minyak, tinggal menanti sirapnya saja. Kedua orang menjadi sama-sama mengeluh dan sukar dipisahkan lagi kecuali diakhiri dengan ‘mati atau hidup’. Sesudah dua jam lagi, hari mulai sore, seluruh tenaga yang ada pada Ang Ching-kong sudah dikeluarkan semua tanpa ketinggalan ‘satu tetes’ pun. Begitu juga Auwyang Hong sudah napas lemah dan tenaga habis.

Melihat wajah kedua jago tua itu kini berubah hebat, Yo Ko menaksir sebentar lagi kedua orang itu pasti akan gugur bersama, tetapi kalau maju buat memisahkan mereka, rasanya ilmu silat sendiri masih terlalu jauh selisihnya, kalau sampai dibentur kembali oleh tenaga dalam mereka, mungkin ia sendiri bisa terluka parah kalau tidak mampus. Karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Tapi bila menyaksikan air muka Auwyang Hong yang tampak sangat menderita, napas Ang Chit-kong juga memburu senin-kemis, betapa pun Yo Ko tidak tega. Ia ambil keputusan: “Sekali pun harus mati, biarlah kutolong mereka.”

Segera dia sambar sebatang kayu, dia mendekati tengah kedua orang tua itu lalu duduk bersila, dia turuti inti pelajaran Iwekang yang pernah diperolehnya dari Siao-liong-li sambil kumpulkan tenaga untuk melindungi seluruh tubuhnya sendiri. Setelah itu, sambil kuatkan hatinya mendadak dia ulur kayu tadi terus mencungkit ke tengah-tengah kedua pentung orang. Sungguh tak pernah diduganya bahwa mencungkitnya ini sedikit pun ternyata tak makan tenaga, ketika tenaga dalam kedua jago tua itu kontak melalui batang kayunya dan kena ditangkis Iwekang yang sudah dia kumpulkan, segera dapat dipatahkan dengan gampang.

Kiranya itu disebabkan sisa tenaga kedua orang tua itu sudah lapuk dan tiada artinya lagi. Meski pun ilmu silat Se-tok dan Pak-kay (Si Racun dari Barat dan Si pengemis dari Utara) setinggi langit, tapi setelah dikuras selama beberapa hari dalam pertandingan mati-matian ini, maka sisa tenaga mereka jika hanya buat menyerang seorang biasa saja sudah sukar melukainya, apa lagi melawan si Yo Ko! Maka tampaklah kedua orang tua itu mendeprok ke tanah dengan lemas, muka mereka pucat seperti mayat dan tak bisa berkutik lagi.

“Hai, Ang-locianpwe, Ayah, baik-baikkah kalian?” teriak Yo Ko kuatir.

Akan tetapi bernapas saja kedua orang tua itu merasa sulit, apa lagi menjawabnya? Yo Ko hendak mengangkat mereka ke dalam goa, tetapi Ang Chit-kong goyangkan kepalanya perlahan. Yo Ko tahu luka kedua orang itu terlalu berat, maka tidak berani lagi menggeser mereka. Malam itu dia pun tidur di tengah-tengah kedua orang. Dia kuatir tengah malam jangan-jangan keduanya bangun saling labrak lagi. Padahal hendak menyembuhkan luka dengan menjalankan lwekang saja susah, mana mungkin mereka sanggup bertempur lagi?

Besok paginya, sesudah Yo Ko bangun, dia lihat napas kedua orang tua itu empas-empis, keadaan mereka lebih buruk dari pada kemarin, keruan saja pemuda ini sangat kuatir, lekas-lekas ia panggang beberapa singkong lagi dan melayani mereka makan. Setelah dilolohi sedikit makanan, sampai hari ketiga, semangat kedua jago tua itu barulah mulai rada baik. Berturut-turut Yo Ko pindahkan mereka ke dalam goa, ia taruh yang satu di sebelah timur dan yang lainnya sebelah barat, ia sendiri tidur di tengah-tengah sebagai ‘garis pemisah’.

Cara begitulah mereka beristirahat beberapa hari. Karena Ang Chit-kong memang doyan makan, maka pulihnya pun lebih cepat. Sebaliknya sepanjang hari Auwyang Hong hanya bungkam saja dengan muka muram, Yo Ko ajak bicara padanya, ia pun tak menjawab. Hari itu, ketika kedua orang itu rebah berhadapan, mendadak Ang Ching-kong berteriak kepada Auwyang Hong:

“Hai, Ha-mo busuk, kau menyerah padaku belum?”

“Menyerah apa?” sahut Auwyang Hong. “Masih banyak ilmu kepandaianku yang belum kukeluarkan. Kalau sempat kumainkan semua, pasti aku akan hajar kau hingga minta ampun.”

“Ha-ha-ha, sungguh kebetulan, aku pun masih banyak ilmu silat yang belum dikeluarkan,” kata Ang Chit-kong dengan tertawa lebar. “Pernah tidak kau mendengar Pak-kau-pang-hoat?”

Auwyang Hong terkesiap oleh pertanyaan itu, pikirnya: “Ya, menurut cerita, pangcu dari Kay-pang memiliki sejurus Pak-kau-pang-hoat yang bukan main lihaynya bila dimainkan. Tapi dalam pertarungan sengit dengan aku tadi, belum pernah dikeluarkan, agaknya dia hanya omong kosong belaka, atau kalau tidak, hakekatnya dia tidak bisa memainkan ilmu tongkat itu.” Karena pikiran itu, segera ia menjengek:

“Hm, Pak-kau-pang-hoat apa gunanya?”

Di lain pihak Ang Chit-kong menjadi menyesal juga mengapa dia tidak mengeluarkan ilmu permainan tongkatnya yang sakti itu pada waktu bertarung sengit kemarin. Kalau sampai Pak-kau-pang-hoat dikeluarkan, pasti Se-tok sudah dia robohkan. Cuma sayang karena terlalu percaya pada kemampuan sendiri, bahwa tidak usah dengan ilmu pusaka Kay-pang itu juga bisa menang atas lawannya, siapa tahu akibatnya berakhir dengan ke-duanya sama-sama luka parah. Kini hendak dikeluarkan namun tenaga sudah habis, sedang orang telah menjengek padanya, tentu saja ia penasaran. Tiba-tiba tergerak kecerdasannya, ia menggapai Yo Ko ke dekatnya, lantas dengan bisik-bisik ia tanya pemuda ini:

“Aku adalah penjabat ketua Kay-pang yang lalu, apa kau tahu?”

Yo Ko manggut tanda tahu. Memang dari imam-imam Coan-cin-kau di Tiong-yang-kiong dahulu dia pernah mendengar bahwa pejabat Pangcu dari Kay-pang yang dulu, Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong si pengemis sakti berjari sembilan, ilmu silatnya tiada tara, jiwanya jujur berani, seorang gagah kesatria.

“Sekarang juga ada sejurus ilmu silat akan kuajarkan padamu,” demikian kata Ang Chit-kong pula, “Cuma ilmu silat ini selamanya hanya diturunkan kepada Pangcu perkumpulan pengemis dan tidak diajarkan kepada orang luar. Tetapi lantaran ayah angkatmu itu berani pandang rendah, aku justru ingin kau unjukkan ilmu silat ajaranku ini kepadanya.”

“Jika ilmu silat Lociapwe ini tak boleh diturunkan kepada orang luar, biar Tecu tak pelajari saja,” sahut Yo Ko. “Pikiran ayah angkatku belum jernih, harap Locianpwe jangan memiliki pandangan yang sama dengan dia.”

“Tidak, meski pun kau telah mempelajari gerak-gerik tipu silat ini, tapi kalau belum paham rahasia menggunakan tenaganya, di saat menghadapi musuh akan tiada gunanya juga,” kata Ang Chit-kong lagi sambil goyang kepala, “Kini aku pun tidak suruh kau gunakan ilmu ini buat memukul ayah angkatmu, cukup asal kau goyangi tangan dan geraki kaki menurut gaya yang kukatakan, tentu dia akan paham. Oleh sebab itu tak bisa dikatakan kuajarkan kepandaian ini padamu.”

Namun Yo Ko masih merasa ragu, pikirnya: “Kalau ilmu silat ini adalah pusaka Kay-pang, belum pasti ayah angkatku akan sanggup menangkisnya, lalu kenapa aku bantu kau buat mengalahkan ayah angkat sendiri?”

Oleh sebab itu dia tetap menolak dengan alasan tidak ingin mempelajari ilmu pusaka Kay-pang yang dibanggakan itu. Rupanya Ang Chit-kong dapat meraba apa yang dipikirkan Yo Ko, maka kepada Auwyang Hong ia berteriak:

“Hai, katak busuk, anak angkatmu tahu kalau kau tidak dapat melawan aku punya Pak-kau-pang-hoat, maka ia tak berani pertunjukkan cara-caranya padamu.”

Auwyang Hong menjadi marah oleh pancingan ini. “Jangan kuatir, Nak, aku masih punya banyak ilmu sakti yang belum digunakan. Lekas kau unjukkan menurut ajarannya padaku, kenapa harus takut?” demikian teriaknya.

Karena didesak sini dan dipaksa sana, Yo Ko menjadi serba salah, terpaksa ia mendekati Ang Chit-kong menantikan pelajaran apa yang hendak diturunkan padanya. Ang Chit-kong suruh Yo Ko jemput sebatang kayu, lalu dia jelaskan caranya sebuah tipu lihay dari Pak-kau-pang-hoat yang disebut ‘pang-tah-siang-kau’ atau sekali pentung dua anjing.

Dasar Yo Ko memang cerdas, sekali belajar lantas bisa, segera pula dia tunjukkan gerak tipu itu menurut cara-cara yang diajarkan Ang Chit-kong. Melihat gerak tipu serangan pentung pemukuI anjing ini sangat aneh dan nyata memang lihay, seketika Auwyang Hong menjadi susah mendapatkan jalan untuk mematahkannya. Setelah berpikir sejenak, kemudian baru dia katakan suatu gerak tipu juga pada Yo Ko. Yo Ko menurut, ia pertunjukkan menurut apa yang dikatakan Auwyang Hong.

“Bagus,” dengan tersenyum Ang Chit-kong memuji, “dan sekarang satu tipu lagi.”

Lalu ia pun ajarkan sebuah tipu pula pada Yo-Ko dari Pak-kau-pang-hoat. Dan begitulah seterusnya, kedua jago tua itu bertanding secara tidak langsung, mereka hanya menggunakan mulut saja dengan Yo Ko sebagai ‘penyambung lidah’. Karena sama lihaynya, sampai hari telah petang baru belasan jurus saja berlangsung, walau pun begitu, bagi Yo Ko sudah terlalu payah hingga keringatnya gemerobyos. Maka untuk sementara pertandingan ditunda.


SETERU SEPANJANG HIDUP, KAWAN MENJELANG AJAL

Besok paginya pertandingan dilanjutkan lagi. Belum sampai lohor, 36 jurus ilmu pentung pemukuI anjing sudah selesai dikeluarkan Ang Chit-kong. Biar pun ilmu pentung itu hanya 36 jurus saja, tetapi perubahan selanjutnya tiap tipu gerakannya ternyata amat hebat dan tiada habis-habisnya. Sampai akhirnya, waktu yang dipakai berpikir Auwyang Hong untuk menangkis gerak serangan itu semakin panjang, bila mana pertandingan dilangsungkan sungguh-sungguh dan tipu serangan datangnya susul menyusul secara cepat, mana dia bisa menggunakan otaknya begitu bebas?

Sungguh pun demikian, harus diakui bahwa meski pun lama berpikir, tapi setiap kali tipu-tipu tangkisannya juga selalu luar biasa bagusnya, baik untuk menjaga diri mau pun buat balas menyerang, hal ini pun bikin Ang Chit-kong sangat kagum.

Begitulah pertandingan lain dari yang lain itu terus berlangsung selama tiga hari, sampai petang hari ke empat, Ang Chit-kong sudah katakan pada Yo Ko tipu perubahan terakhir dari 36 jurus ilmu pentung pemukul anjing yang disebut ‘boat-jau-keng-coa’ atau menyontek rumput mengejutkan ular. Ini adalah tipu ikutan terakhir dari Pat-kau-pang-hoat yang paling lihay, menurut teori ilmu silat sudah pasti tiada jalan buat mematahkannya, dengan sendirinya Auwyang Hong pun sukar hendak menangkisnya.

Malamnya ia guIang-guling tak bisa pulas, semalam suntuk ia peras otak memikirkan cara menangkis tipu terakhir Ang Chit-kong yang lihay itu. Besok paginya, sebelum Yo Ko bangun tiba-tiba terdengar Auwyang Hong telah berteriak-teriak:

“Ha, bisa, bisa, begini caranya! Nak, kau boleh gunakan tipu ini untuk mematahkan serangannya!”

Suaranya terdengar begitu bersemangat, tetapi juga tersengal-sengal. Mendengar suaranya rada aneh, waktu Yo Ko pandang muka orang, sungguh terkejutnya bukan buatan. Kiranya karena usia Auwyang Hong sudah lanjut, tapi karena Iwekang-nya terlatih dalam sekali, maka rambut berikut kumisnya hanya sedikit putih kelabu saja. Siapa tahu karena terlampau memeras otak semalam saja, tahu-tahu seluruh alis, kumis dan rambutnya kini menjadi putih semua, seketika orangnya seperti bertambah tua berpuluh tahun.

Berduka sekali hati Yo Ko melihat keadaan ini. Dia bermaksud memohon Ang Chit-kong agar jangan meneruskan pertandingan, tapi sebaliknya terus-menerus Auwyang Hong mendesak lagi, mau tak mau terpaksa dia pertunjukkan pula tipu ciptaan baru dalam semalam oleh Auwyang Hong ini. Demi nampak tipu baru ini, seketika muka Ang Chit-kong menjadi pucat bagaikan mayat. Memang ia sudah menggeletak di tanah dan sukar berkutik, kini entah mengapa dan dari mana datangnya tenaga, sekonyong-konyong dia melompat bangun terus menubruk ke arah Auwyang Hong sambil berteriak:

“Ha-ha-ha, Si Racun tua, Auwyang Hong, Lokiauhoa hari ini betul-betul takluk padamu!”

Dan begitu saling bergumul, Ang Chit-kong merangkul erat-erat tubuh Auwyang Hong. Terkejut sekali Yo Ko oleh kejadian itu. Dia sangka orang berniat hendak mencelakai ayah angkatnya, lekas ia tarik-tarik punggung pengemis tua itu, siapa tahu rangkulannya malah semakin kencang hingga tak dapat ditarik lepas sedikit pun.

“Ha-ha-ha, Auwyang Hong, si Racun tua, tak nyana kau bisa mendapatkan tipu serangan lihay yang baru ini, hari ini Lokiauhoa menyerah. Bagus, Auwyang Hong, bagus!” demikianlah Ang Chit-kong masih terus berteriak-teriak sambil terbahak-bahak.

Memang umur Auwyang Hong sudah tua sekali, ditambah lagi pertarungan sengit selama beberapa hari dan semalam suntuk memeras otak, hal ini sudah membikin semangatnya lemah dan tenaga habis. Sekarang tiba-tiba mendengar Ang Chit-kong berseru namanya “Auwyang Hong” sampai beberapa kali, mendadak seperti cahaya refleksi yang membalik, otaknya yang miring seketika menjadi waras kembali, kejadian selama berpuluh tahun tiba-tiba seperti sebuah cermin yang menerangi alam pikirannya dan seakan-akan terpentas di depan matanya.

“Ha-ha! Ya, ya! Aku adalah Auwyang Hong, aku Auwyang Hong! Ha-ha-haaa...!” demikian kemudian ia pun ketawa terbahak-bahak, suaranya lantang bagai bunyi genta dan sangat menusuk telinga.

Tampaklah kedua kakek ubanan saling rangkul-merangkul sambil tertawa terbahak-bahak tiada hentinya.
Selang tidak lama kemudian, suara tertawa mereka makin lama makin rendah dan makin lemah, hingga akhirnya mendadak berhenti, lalu kedua orang tua itu tak bergerak lagi. Luar biasa kejut Yo Ko melihat keadaan ini.

“Ayah, ayah! Locianpwe, Lociapwe!” demikian ia berteriak-teriak, tetapi tiada seorang pun yang menyahut.

Waktu ia tarik lengan Ang Chit-kong, mendadak tubuh orang tua ini dengan gampang saja dapat ditariknya terus ambruk, nyata orangnya sudah tak bernyawa lagi. Ketika ia periksa Auwyang Hong, serupa saja, orang tua ini pun sudah berhenti bernapas. Meski pun suara tertawa kedua orang tadi sudah berhenti, tapi pada wajah mereka masih terlukiskan senyuman, di antara lembah gunung sayup-sayup masih terdengar juga suara tawa mereka yang berkumandang membalik.

Begitulah lelakon dua jago tua, Pak-kay dan Se-tok atau Si Pengemis dari Utara dan Si Racun dari Barat, satunya baik dan yang lain jahat, selama puluhan tahun mereka saling berkelahi dan tidak pernah ada yang terkalahkan, siapa duga kini bisa tewas bersama di puncak teratas Hoa-san. Selama hidup kedua orang itu saling membenci dan bermusuhan, tapi menjelang ajal sebaliknya saling rangkul sambil ketawa ter-bahak, rupanya benci dan dendam selama puluhan tahun itu telah tamat terbawa oleh suara tawa mereka yang terakhir!

Yo Ko malah menjadi bingung, teringat olehnya betapa Ang Chit-kong pernah tidur selama tiga hari tiga malam, sekarang kedua orang tua ini jangan-jangan juga mati buatan? Tetapi kalau melihat keadaannya, agaknya bukanlah mati palsu.

“Ahh, lebih baik anggap dia pura-pura, dari pada menyangkanya sungguh-sungguh,” demikian akhirnya Yo Ko mengambil keputusan.

Lalu ia pindahkan mayat kedua jago tua itu ke dalam goa, sedangkan ia sendiri menjaga di situ selama 7 hari 7 malam, sampai akhirnya wajah dua mayat itu sudah mulai berubah barulah pemuda ini mau percaya bahwa orang sudah mati sungguh-sungguh. Dia menangis tergerung-gerung, kemudian dia gali dua liang dalam goa itu dan mengubur kedua jago kosen dunia persilatan itu. Waktu keluar goa ia melihat bekas-bekas tapak kaki di atas salju di mana Ang Chit-kong menempur Auwyang Hong kini sudah membeku menjadi es. Bekas tapak kakinya masih, namun orangnya sudah masuk liang kubur.

Menghadapi bekas tapak kaki ini, Yo Ko jadi terbayang pada pertarungan kedua jago tua itu tempo hari, tanpa terasa ia berduka. Ia masuk goa lagi, di depan kuburan kedua jago tua itu ia berlutut dan menjura masing-masing empat kali.

“Ayah angkat meski hebat, tapi betapa pun juga memang masih selisih setingkat dengan Ang-locian-pwe. Pada saat Pak-kau-pang-hoatnya menyerang, ayah harus memeras otak berpikir sejenak baru bisa mematahkan tipu pukulannya, jika pertarungan itu berlangsung sungguh-sungguh, sudah tentu ia tak diberi kesempatan untuk berpikir semaunya!” demikian Yo Ko membatin. Sesudah menghela napas terharu, kemudian ia mulai mencari jalan buat turun ke bawah gunung.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar