Kamis, 22 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 057

“Hai, anak busuk, apa kau pengemis kecil dari Kay-pang?!” segera Tay-kui, si Kui (setan jelek) tertua membentak: “Cosuya-mu sudah melayang jiwanya, lekas kau berlutut dan minta ampun.”

“Ya, baik, biar aku menjura padamu,” sahut Yo Ko tiba-tiba.

Tadi waktu menyaksikan cara Ngo-kui berkelit Yo Ko sudah dapat meraba sampai di mana ilmu silat mereka. Ia menaksir kalau seorang lawan seorang, kelima orang ini tiada yang bisa menangkan dirinya, tetapi kalau main keroyok, ia sendiri pun tak ungkuIan. Tetapi Yo Ko memang anak cerdik. Ketika mendengar Tay-kui berteriak supaya menjura padanya, segera dia sambut baik lalu melangkah maju dan berlagak menjura. Tak terduga mendadak kedua tangannya menyabet ke samping secepat kilat dengan gerak tipu ‘tui-jong-bong-goat”’(mendorong jendela memandang rembulan).

Waktu itu yang berdiri di sisi kirinya adalah Go-kui dan sisi kanan Sam-kui. Tipu serangan ‘Tui-jong-bong-goat’ ini dilontarkan secara tak kenal ampun. Kepandaian Sam-kui lebih tinggi, ia sempat angkat goloknya buat menangkis, tetapi begitu punggung goloknya kena disabet tangkai kayu Yo Ko, ia merasa lengannya kesakitan hingga goloknya hampir tidak kuat digenggam Iagi.

Sebaliknya tulang kaki Go-kui telah kena disambar. Terdengar suara “keletak”, meski pun tulang kaki tak sampai patah, namun saking sakitnya Go-kui berjingkrak memegangi kakinya.

Empat saudaranya menjadi marah, senjata mereka menyambar menghujam Yo Ko dengan kalap. Tetapi dengan gesit Yo Ko dapat lompat kian kemari berkelit hingga seketika empat ‘Kui’ itu tak mampu berbuat apa pun. Tak lama kemudian dengan kaki pincang Go-kui ikut masuk kalangan. Ia adalah jagoan Bu-lim, tetapi kena dikibuli seorang anak kemarin sore, tentu saja marahnya bukan buatan.

Yo Ko telah mendapatkan pelajaran asli Giok-li-sim-keng, Ginkang-nya jauh di atas Ngo-kui dari Tibet ini, kalau ia berniat lari, sebenarnya tidak sukar baginya. Tetapi ia kuatir jika ditinggal pergi tentu Ang Chit-kong dicelakai Ngo-kui, karena itu ia tidak berani menyingkir jauh dan sebab itu pula ia tak bisa bertempur secara Ieluasa. Akhirnya ia sendiri berulang kali harus menghadapi serangan bahaya.

Tetapi kemudian terpikir lagi olehnya, tak ada jalan lain kecuali melarikan diri. Maka pada suatu kesempatan sekonyong-konyong dia sambar tubuh Ang Chit-kong, dia putar tangkai kayu terus menerjang pergi sekaligus dia berlari sampai beberapa tombak jauhnya.

Tentu saja Ngo-kui lantas mengudak, cuma kepandaian mereka ada yang tinggi dan ada yang rendah, maka sekejap saja yang tiga orang berada di depan sedangkan dua orang yang lainnya ketinggalan di belakang.

Merasakan tubuh Ang Chit-kong yang dia kempit itu sedingin es, mau tidak mau Yo Ko menjadi kuatir, ia pikir betapa pun nyenyak tidurnya seharusnya akan terbangun juga. Aku diudak musuh, kenapa ia diam saja tak mau menolong? Jangan-jangan pengemis tua ini memang benar-benar telah mati?

“Locianpwe, Locianpwe!” ia coba teriaki Ang Chit-kong.

Tetapi pengemis tua ini tetap tak bergerak sedikit pun seperti mayat saja, cuma tubuhnya tidak kaku. Dan karena sedikit merandeknya Yo Ko, di belakangnya Tay-kui sudah menyusul datang. Karena takut pada kepandaian Yo Ko yang lihay, seorang diri Tay-kui tidak berani terlalu dekat. Ketika ia tunggu datangnya kedua saudaranya yang lain, sebaliknya Yo Ko sudah lari lagi sejauh beberapa puluh tombak.

Melihat jalan yang diambil Yo Ko adalah memanjat terus ke puncak gunung, sedangkan puncak itu melulu hanya jalan kecil, maka Ngo-kui menjadi heran, apa bocah ini bisa terbang ke langit? Mereka pun tak perlu buru-buru mengejar, mereka menyusul dari belakang dengan perlahan saja.

Jalan pegunungan itu makin jauh semakin curam, sampai suatu tempat tikungan, tiba-tiba Yo Ko melihat di kedua samping adalah jurang yang beribu tombak dalamnya, di tengah hanya ada sebuah jembatan batu sempit yang hanya cukup dilalui satu orang saja.

“Aha, tempat ini bagus sekali, biarlah di sini saja aku menahan mereka selama tiga hari,” demikian pikir Yo Ko. “Tetapi kalau sampai hari ke-4 Locianpwe ini masih belum bangun, aku... aku...” Sampai disini ia tak berani berpikir lagi, sungguh ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya apa bila sampai saatnya Ang Chit-kong masih belum sadar.

Segera pula ia percepat larinya melintasi jembatan batu ciptaan alam itu, ia rebahkan Ang Chit-kong di bawah satu batu padas di ujung jembatan sana, lalu dengan cepat dia putar balik. Sementara itu Tay-kui sudah menyusul sampai di ujung jembatan.

“Siluman jelek, berani kau maju?!” bentak Yo Ko tiba-tiba sambil menerjang ke depan.

Karena takut ketumbuk dengan Yo Ko hingga ke-duanya tergelincir masuk jurang, lekas-lekas Tay-kui mundur ke belakang. Waktu itu fajar baru saja menyingsing, sang surya sudah menampakkan diri di ufuk timur dengan cahayanya yang kuning keemas-emasan. Salju telah berhenti turun, lapisan salju yang menutupi seluruh gunung di bawah sorotan sinar matahari, sungguh pemandangan indah yang tiada bandingannya. Dengan berdiri di tengah jembatan langit itu, tiba-tiba Yo Ko pasang kedok kulit manusia di mukanya.

“Hayo, siapa yang lebih jelek, kau atau aku?!” bentaknya.

Wajah Ngo-kui dari Tibet ini semuanya memang sangat jelek, tetapi lebih jelek lagi adalah sepak terjang mereka yang jahat. Kini mendadak melihat Yo Ko berubah wajah yang lain, pucat kuning, kaku tanpa perasaan, mirip seperti mayat hidup yang baru saja muncul dari kuburan, seketika Ngo-kui saling pandang dengan kaget.

Perlahan Yo Ko mundur ke tengah jembatan batu itu. Dengan gaya ‘Kim-ke-tok-lip’ atau ayam emas berdiri dengan kaki tunggal, ia berdiri dengan kaki kiri dan kaki kanan sengaja menendang perlahan ke atas sambil ber-gerak-gerak di antara hembusan angin pegunungan yang silir, tampaknya alangkah gembiranya pemuda ini.



“Bagaimana bisa dari Kay-pang mendadak muncul seorang kesatria muda ini?” demikian diam-diam Ngo-kui berpikir.

Karena tidak berani menerjang ke jembatan alam itu, kemudian mereka lantas berunding. Keputusan diambil, mereka akan berjaga secara bergilir untuk mencari bahan makanan ke bawah gunung, dengan demikian tak sampai dua hari mereka yakin pemuda itu pasti akan kewalahan karena kelaparan. Begitulah, lalu empat saudara mereka menjaga rapat di ujung jembatan alam itu dan Ji-kui yang diutus pergi mencari bahan makanan ke bawah gunung.

Dengan cara demikian kedua pihak saling bertahan sampai setengah harian. Yo Ko tidak berani menyeberang ke sana, sebaliknya Su-kui juga tidak berani menyeberang ke sini. Sampai lewat lohor, Yo Ko duduk bersemadi untuk mengumpulkan tenaga. Sampai besok paginya, Ji-kui datang kembali sambil membawa makanan, kelima saudara itu sengaja makan dengan bernapsu untuk meng-iming-imingi Yo Ko.

Memang Yo Ko sudah kelaparan, tentu saja dia mengiler menyaksikan orang makan begitu enaknya. Waktu ia berpaling memandang Ang Chit-kong, ia lihat pengemis tua ini masih tetap serupa saja seperti hari pertama. Pikirnya: Pikirnya: “Jika betul-betul tidur, adalah lazim bila akan membalik tubuh. Tapi ia justru tidak bergerak sedikit pun, jangan-jangan benar-benar sudah mati? Kalau aku bertahan lagi satu hari, bila lebih lapar dan tak bertenaga, tentu lebih susah lagi melawan lima musuh itu. Tidakkah lebih baik terjang pergi sekarang saja, mungkin masih bisa menyelamatkan diri.”

Perlahan-lahan Yo Ko berdiri, tapi lantas terpikir lagi olehnya: “la bilang akan tidur selama tiga hari, kini baru hari kedua, lebih baik jangan kutinggalkan pergi begitu saja.”

Maka dengan menahan perut yang keroncongan tiada hentinya, ia pejamkan mata melatih lwekang sendiri, tak dipandangnya lagi Ngo-kui yang sedang makan itu. Sampai hari ketiga Ang Chit-kong masih rebah saja seperti hari pertama, makin melihat Yo Ko menjadi semakin sangsi.

“Sudah terang ia telah mati, kalau aku berkeras tak mau pergi, sesungguhnya terlampau bodoh. Kalau sampai kelaparan setengah hari lagi, tanpa mereka turun tangan, mungkin aku sendiri akan mati kelaparan,” demikian Yo Ko membatin.

Namun ia tidak putus asa, ia telan dua kepal salju untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong, lalu terpikir lagi olehnya: “Terhadap negara aku belum bersetia, terhadap ayah-bunda aku pun tidak berbakti, pula aku tak punya sanak saudara sekedar menyampaikan rasa hatiku. Kini urusan ‘kepercayaan’ ini betapa pun juga jadinya aku harus menjaganya sampai saat terakhir, apa lagi aku Yo Ko selama hidup ini selalu dipandang hina, kalau aku tidak bisa menepati janji, lebih-lebih aku akan dibuat buah tertawaan mereka. Sekali pun aku harus mati, janji tiga hari ini harus kulaksanakan.”

Dan karena keputusannya ini, rasa menderitanya akibat lapar menjadi rada ringan. Sehari semalam ini dengan cepat dilalui lagi. Pagi hari keempat, segera Yo Ko mendekati tubuh Ang Chit-kong, ia raba tubuh pengemis tua itu dan terasa tetap dingin seperti es. Tanpa tertahan pemuda ini menghela napas.

“Locianpwe,” demikian ia memberi hormat kepada tubuh Ang Chit-kong, “janji tiga hari ini sudah kulakukan, cuma sayang cianpwe sudah terlanjur meninggal dunia. Tecu kuatir tak mampu menjaga keutuhan jenazahmu, maka terpaksa melemparkan kau ke dalam jurang supaya tidak dibuat hinaan orang-orang jahat itu.”

Habis ini, dengan cepat dia angkat tubuh Ang Chit-kong lalu berjalan ke jembatan alam, tubuh pengemis tua itu hendak dilemparkannya ke jurang. Pada saat itu juga, melihat Yo Ko tiba-tiba hendak tinggalkan jembatan alam itu, Ngo-kui menyangka pemuda ini tak tahan lapar, maka ingin melarikan diri. Dengan cepat mereka saling memberi tanda, segera mereka merubung maju memapaki Yo Ko.

Tatkala itu Yo Ko sudah menerjang ke tengah jembatan, sementara itu Tay-kui juga telah menghadang di tengah jembatan. Dengan sekali gertak tiba-tiba Yo Ko melemparkan Ang Ching-kong ke bawah jembatan, menyusul ini Tay-kui pun diterjangnya secara beringas.

Tak terduga mendadak angin santer berkesiur, tahu-tahu ada seseorang sudah melayang lewat melalui kepalanya terus tancapkan kaki di tengah-tengah antara Yo Ko dan Ngo-kui.

“Ha-ha-ha, tidurnya Lokiauhoa sekali ini sungguh nyenyak dan puas sekali!” kata orang itu sambil bergelak ketawa. Nyata ia bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong.

Kejadian ini sungguh membikin Yo Ko girang tidak kepalang, sebaliknya Ngo-kui terkejut dan ketakutan setengah mati. Kiranya pada waktu tubuh Ang Chit-kong dilemparkan ke bawah jembatan tadi, pada saat hampir terjerumus ke bawah, mendadak dia sadar dan dengan tepat lengannya yang panjang menahan di atas jembatan, berbareng orangnya melompat lewat di atas kepala Yo Ko.

Maka tampaklah Ang Chit-kong menggerakkan tangan kiri ke depan, menyusul tangan kanannya didorong maju, ini adalah satu di antara tipu serangan ‘Hang-liong-sip-pat-ciang’ atau delapan-belas tipu pukulan penakluk naga yang menjadi kebanggaan hidupnya, yakni yang disebut ‘kang-liong-yu-hwe’.

Tay-kui yang pertama berhadapan dengan Ang Chit-kong, hendak menghindarkan diri tidak keburu lagi. Meski insaf serangan pengemis tua ini tak sanggup disambutnya secara keras, namun tidak ada jalan lain kecuali berbuat sebisanya, maka terpaksa dia gunakan kedua telapak tangan tangkis pukulan Ang Chit-kong. Sungguh pun begitu Tay-kui merasakan kedua lengannya kaku kesemutan dan dada sakit.

Nampak gelagat jelek, kuatir kalau saudara tuanya dihantam terjungkal ke dalam jurang, lekas-lekas Ji-kui ulurkan tangannya mendorong punggung sang toako. Namun demikian, ketika Ang Chit-kong menambahi tenaga telapak tangannya, tiba-tiba Ji-kui kena didorong mendoyong ke belakang hingga hampir saja terbanting jatuh.

Si-kui yang berdiri di belakang Ji-kui, terpaksa maju pula mendukung kedua saudaranya. Dan akibat menempel tangannya ini, ia menjadi ikut kontak oleh tenaga pukulan Ang Chit-kong, menyusul Si-kui menular pada Sam-kui dan paling akhir Sam-kui menularkan juga kepada Go-kui.

Kelima orang ini hendak lari tak bisa lari, mau hindarkan diri tak dapat menghindar, maka sekejap saja bila Ang Chit-kong menambah tenaganya sedikit, sekaligus mereka pasti akan kena dipukul mati oleh tenaga pukulan raksasa si pengemis tua itu.

Menyaksikan betapa hebat daya pukulan itu, Yo Ko menjadi tercengang sambil ternganga kagum.....

"Kalian berlima setan jahat selamanya melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman, kini terpukul mati di tangan Lokiauhoa, agaknya mati pun tidak penasaran," kata Ang Chit-kong dengan tertawa.

Namun Ngo-kui tak menyerah mentah-mentah, mereka pasang kuda-kuda dengan kuat, dengan mata mendelik melawan telapak tangan Ang Chit-kong yang tunggal dengan gabungan tenaga mereka berlima. Siapa tahu daya tekanan Ang Chit-kong makin Iama makin berat hingga dada Ngo-kui terasa sesak, buat bernapas saja rasanya sukar.

Pada saat yang sangat genting itu, tiba-tiba dari jauh sana berkumandang suara "tok-tok-tok" yang keras, dari tikungan jalan sana tahu-tahu muncul seorang aneh yang berjalan dengan kepala, Siapa gerangan dia kalau bukan Auwyang Hong.

"Ayah!" seru Yo Ko tanpa pikir.

Akan tetapi Auwyang Hong seperti tak mendengar, mendadak ia melompat ke belakang Go-kui. Ia ulur kaki kanan terus menahan kepunggungnya, maka terasalah tiba-tiba satu kekuatan yang maha besar telah disalurkan melalui tubuh kelima orang itu. Melihat Auwyang Hong mendadak muncul di sini, Ang Chitkong menjadi kaget, apalagi Yo Ko memanggil "ayah", diam-diam pengemis tua ini pikir kiranya bocah ini anak Auwyang Hong, pantas memiliki ilmu silat tinggi.

Sementara itu tangannya sudah terasa berat, tenaga pukulan pihak lawan telah menembus datang melalui tubuh Ngo-kui, mau-tak-mau Ang Chit-kong tambah tenaga dan balas menghantam.

Sejak "Hoa-san-lun-kiam" kedua rampung, selama belasan tahun ini Ang Chit-kong dan Auwyang Hong belum pernah bertemu lagi Meski otak Auwyang Hong rada kurang waras, tetapi karena ia melatih Kiu-im-cin-keng secara terbalik hingga ilmu silatnya makin dilatih makin aneh dan kuat.

Sebaliknya Ang Chit-kong sendiri pernah mendengar sebagian isi kitab Kiu-im-cin-keng dari Kwe Cing serta Ui Yong yang ternyata banyak persamaannya dengan dasar ilmu silatnya sendiri, maka iapun sudah jauh lebih maju. Kini satu sama lain bertemu lagi, apapun juga yang baik selalu mengalahkan yang jahat, meski isi Kiu-im-cin-keng yang asli tak banyak di-pahami Ang Chit-kong, tapi tak kalah dengan Se-tok Auwyang Hong, si racun tua dari barat.

Beberapa puluh tahun yang lalu kedua orang ini sukar dibedakan siapa yang lebih unggul, sesudah masing-masing bertambah lebih hebat lagi kepandaiannya, kini untuk ketiga kalinya mereka bersua di Hoa-san, sesudah saling gebrak, keadaan masih tetap sama kuatnya.

Sudah tentu yang paling celaka adalah Ngo-kui yang tergencet di tengah, mereka menjadi terombang-ambing diantara kekuatan dua "raksasa" ini, tubuh mereka sebentar dingin, sebentar lagi panas, napas sebentar kencang sebentar kendur, sungguh penderitaan yang mereka rasakan beribu kali lebih hebat melebihi siksaan badan.

Beberapa kali Ang Chit-kong mengerahkan tenaganya, secara keras dan secara pelahan, tetapi setiap kali kena dipatahkan oleh tenaga kaki Auw-yang Hong yang memancal di sebelah sana, Ketika kakinya bertambah kuat memancalnya, namun sukar juga bikin Ang Chit-kong mundur sedikitpun. Sesudah saling adu kekuatan ini, kedua orang pun sama kagumnya, maka berbareng mereka melompat ke belakang sambil ketawa terbahak-bahak.

Dan karena "lepas tangan" kedua "raksasa" ini, daya tekanan pada Ngo-kui seketika hilang hingga tubuh kelima orang itu terhuyung-huyung kehilangan imbangan bagai orang mabuk saja. Sesudah badan kelima orang itu kena digencet ke sana ke mari oleh tenaga raksasa Ang Chit-kong dan Auwyang Hong, isi perut mereka sudah menderita luka parah, otot tulang mereka pun lemas dan menjadi orang cacat, sekalipun menghadapi seorang biasa merekapun tak sanggup melawan lagi.

"Bangsat, hitung-hitung ajalmu belum sampai, baik selanjutnya kalian tak bisa membikin celaka orang lagi, lekas enyah dari sini!" demikian Ang Chit-kong membentak.

Maka dengan Iesu dan tindakan sempoyongan, Ngo-kui bertindak pergi perlahan dengan saling dukung-mendukung.


PERTARUNGAN SAMBUNG LIDAH

Sementara itu, setelah Auwyang Hong berdiri tegak, ia lirik Ang Chit-kong dan lapat-lapat seperti pernah dikenalnya, maka segera dia menegurnya:

“Hai, bagus amat ilmu silatmu, siapakah namamu?”

Mendengar pertanyaan ini dan melihat air muka orang yang linglung, Ang Chit-kong tahu selama belasan tahun ini Auwyang Hong masih belum waras dari otaknya yang miring.

“Aku bernama Auwyang Hong, dan kau sendiri siapa?” demikian sengaja Ang Chit-kong menjawab.

Hati Auwyang Hong tergetar. Ia merasa nama ‘Auwyang Hong’ itu seperti telah dikenalnya betul, cuma dirinya sendiri bernama apa, ia tak bisa ingat lagi.

“Entah, aku lupa,” demikian sahutnya kemudian. “Eh, ya, siapakah namaku, ya?”

“Ha-ha-ha...!” Ang Chit-kong tertawa geli. “Kenapa tidak tahu namamu sendiri? Lekas kau pulang saja buat mengingat-ingatnya.”

Auwyang Hong menjadi amat marah ditertawai orang. “Tentu kau tahu, hayo beri-tahukan padaku,” bentaknya.

“Baiklah, aku kasih tahu, kau bernama Ha-mo katak busuk,” sahut Ang Chit-kong.

“Ha-mo, Ha-mo...” nama ini memang sangat dikenal Auwyang Hong, kedengarannya rada mirip namanya sendiri, tetapi bila dipikir lagi, rasanya pun bukan.

Seperti diketahui, ilmu mujijatnya Auwyang Hong yang sangat diunggulkan ialah ‘Ha-mo-kang’ atau ilmu weduk katak, bila digunakan harus berjongkok seperti lakunya katak. Oleh sebab itu Ang Chit-kong sengaja menggoda dan mengolok-olok.

Auwyang Hong dan Ang Chit-kong adalah musuh bebuyutan selama berpuluh tahun, rasa benci masing-masing telah tertanam dalam hati, maka meski dalam keadaan linglung, Auwyang Hong menjadi marah demi melihat macamnya Ang Chit-kong. Di lain pihak, demi nampak orang berdiri menjublek, habis itu matanya menyorotkan sinar bengis, diam-diam Ang Chit-kong telah berjaga-jaga.

Benar saja, sekejap kemudian mendadak terdengar Auwyang Hong menggeram satu kali, dengan kalapnya ia lalu menubruk maju. Ang Chit-kong tak berani ayal, sekali tangannya bergerak, segera ‘Hang-liong-sip-pat-ciang’ dikeluarkannya. Cara begitulah kedua jago tua ini memulai dengan pertarungan yang maha sengit di atas jembatan alam di puncak tertinggi gunung Hoa-san, di kedua sisi adalah jurang yang dalamnya ber-ribu tombak, asal sedikit ada yang bertindak meleng, tentu orangnya akan hancur lebur tergelincir ke dalam jurang.

Oleh karena resiko itulah, maka begitu saling gebrak, segera kedua orang mengeluarkan tipu serangan yang paling hebat untuk mengadu jiwa, bila dibanding dengan pertandingan Hoa-san-lun-kiam yang dilakukan secara halus, terang sekali ini keadaannya sudah lain.

Kedua jago tua ini sudah lanjut umurnya. Meski ilmu silat yang dilatih semakin sempurna, akan tetapi soal tenaga justru berkurang dari pada sebelumnya. Oleh karena itu pertarungan sekali ini terutama bukan ditentukan oleh besar-kecilnya tenaga masing-masing, namun semuanya ingin menang dengan tipu-tipu pukulannya sendiri yang paling bagus.

Dan karena inilah rasanya yang paling untung ialah si Yo Ko. Ia bisa menyaksikan segala kebagusan dari tiap-tiap ilmu pukulan kedua jago tua itu sehingga tak sedikit intisari yang dia petik. Apa lagi dasarnya Yo Ko memang pintar, pula sudah memahami inti Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng, ia menjadi lebih gampang menerima di mana letak inti ilmu silat kedua jago tua yang hebat itu.

Sewaktu kedua jago tua itu mulai bergebrak Yo Ko rada-rada kuatir Auwyang Hong akan terjerumus ke dalam jurang mengingat tempat pertempuran yang benar-benar berbahaya, tetapi setelah saling gebrak, kadang-kadang ia malah melihat Ang Chit-kong terdesak, tanpa terasa ia mengharap agar pengemis tua itu diberkahi selamat.

Harus diketahui bahwa Auwyang Hong adalah ayah angkat Yo Ko, perasaan kekeluargaan mereka begitu rapat dan melekat, tapi tindak tanduk Ang Chit-kong juga membawa semacam perbawa yang besar dan agung, hal ini mau tak mau membikin Yo Ko menjadi kagum dan menghormat.

Begitulah setelah beratus jurus kedua jago tua itu bergebrak, meski kedua orang berulang kali sama-sama menghadapi serangan lihay, selalu mereka sanggup menyelamatkan diri dengan baik, akhirnya Yo Ko tidak perlu kuatir lagi atas keselamatan kedua orang tua itu, ia justru memusatkan pikirannya untuk mengingat baik-baik tipu silat yang diunjuk mereka.

Sudah lama Yo Ko apalkan isi Kiu-im-cin-keng dengan baik, dan kini menyaksikan setiap gerak-gerik tipu yang dikeluarkan kedua jago tua itu ternyata cocok sekali dengan intisari pelajaran kitab sakti itu, sungguh bukan buatan rasa girang Yo Ko. Pikirnya: “Satu istilah saja dalam kitab yang disangka cuma biasa saja, tetapi siapa tahu ternyata mengandung perubahan yang begini luas dan banyak.”

Dan sesudah ribuan jurus pertandingan berlangsung, meski kepandaian kedua jago tua itu belum habis dikeluarkan, namun karena usia yang sudah lanjut, mau tidak mau napas mereka kini mulai memburu dan jantung memukul cepat, gerak-gerik mereka pun mulai kendur.

“Kalian berdua sudah setengah hari berkelahi, tentu perut sudah lapar sekali, marilah kita makan yang kenyang dulu, nanti bertanding lagi!” demikian Yo Ko teriaki mereka.

Bagi Auwyang Hong segala makanan itu tidak menarik, lain halnya dengan Ang Chit-kong, begitu mendengar kata-kata “makan”, segera ia melompat mundur sambil berseru:

“Bagus, bagus! Memang harus makan duIu!”

Tadi Yo Ko melihat bakul bambu berisi barang makanan yang dibawa Ngo-kui masih berada di situ, dengan cepat bakul itu disambarnya ke hadapan Ang Chit-kong. Waktu ia buka tutup bakul bambu itu, ternyata isinya banyak sekali, ayam-daging komplit dengan nasi dan arak segala. Soal makan selamanya Ang Chit-kong tak pernah sungkan-sungkan. Tanpa permisi lagi ia menyambar seekor ayam beku, baik daging berikut tulangnya terus dilalap semua hingga bersuara keletak-keletuk.

“Ayah, selama ini berada di manakah kau?” dengan suara lembut Yo Ko bertanya sambil menyodorkan sepotong daging beku pada Auwyang Hong.

“Aku mencari kau,” sahut Auwyang Hong dengan mata mendelong.

Yo Ko menjadi terharu. Dia pikir di dunia ini ternyata masih ada juga seorang yang begini cinta padaku dengan sesungguh hati. Maka sambil merangkul tangan orang, Yo Ko berkata lagi:

“Ayah, Ang-locianpwe ini orang baik, janganlah kau berkelahi lagi dengan dia.”

“Dia, dia Auwyang Hong, dan Auwyang Hong adalah manusia jahat,” kata Auwyang Hong sambil menuding Ang Chit-kong.

Melihat pikiran orang memang abnormal, sungguh pedih sekali hati Yo Ko.

“Ya, ya, memang benar! Auwyang Hong manusia busuk dan jahat, Auwyang Hong pantas mampus!” Ang Ching-kong terbahak-bahak geli.

Tentu saja Auwyang Hong semakin bingung. Ia pandang Ang Chit-kong, lalu pandang lagi pada Yo Ko, matanya menyorotkan sinar yang guram dan hampa, pikirannya pun menjadi kacau, sebisanya ia bermaksud meng-ingat sesuatu, tapi selalu tak bisa mengingatnya.

“Ang-locianpwe,” kata Yo Ko setelah melayani Auwyang Hong makan sedikit, “dia adalah ayah angkatku, harap engkau kasihan. Ia sedang menderita sakit ingatan, sukalah jangan bikin susah lagi padanya.”

Ang Chit-kong adalah orang berbudi. Demi mendengar permohonan Yo Ko, berulang kali ia mengangguk.

“Anak baik, anak baik,” demikian pujinya.

Siapa tahu Auwyang Hong yang abnormal itu mendadak melompat bangun lagi. “Hayo, Auwyang Hong, sekarang maju lagi!” demikian ia berteriak-teriak atas nama sendiri kepada Ang Chit-kong. “Dalam hal pukulan kita sama kuat, sekarang kita boleh coba-coba dengan senjata.”

“Tak usahlah. Sudah, anggaplah kau yang menang,” sahut Ang Chit-kong sambil geleng-geleng kepala.

“Menang apa segala? Aku justru ingin membunuh kau!” teriak Auwyang Hong tiba-tiba.

Kemudian dia sambar sepotong kayu yang digunakan sebagai pentung terus menghantam ke atas kepala Ang Chit-kong. Dulu, dengan senjata khasnya yang berupa tongkat ular, pernah Auwyang Hong malang melintang di dunia persilatan, ilmu permainan tongkatnya itu lihay bukan main. Kini meski tongkatnya tak berular pada ujungnya, tetapi hantamannya sekali ini ternyata amat keras, belum tiba pentungnya Yo Ko sudah merasakan sambaran angin yang menekan dada.

Lekas-lekas Yo Ko melompat ke pinggir. Waktu ia memandang Ang Chit-kong, dilihatnya pengemis tua ini sudah sambar pula sepotong kayu pendek dan dipakai sebagai senjata, lalu kedua jago tua itu pun saling labrak lagi dengan serunya.

‘Pak-kau-pang-hoat’, ilmu permainan pentung pemukul anjing yang dimiliki Ang Chit-kong ialah ilmu silat yang tiada bandingannya di kolong langit ini, cuma tak mau sembarangan dia keluarkan. Selain ini ia pun punya ilmu permainan pentung lain yang bagus dan lihay. Kini satu per satu ia keluarkan untuk melabrak Auwyang Hong, maka pertarungan sekali ini menjadi berbeda lagi dibandingkan gebrakan dengan tangan dan kaki tadi. Begitu hebat sambar-menyambarnya tongkat dan pentung sehingga Yo Ko yang menonton di samping ikut berdebar dan ternganga.

Pertarungan sengit ini terus berlangsung sampai magrib, tetapi masih tidak ada yang lebih unggul atau asor. Melihat keadaan tempat itu sungguh berbahaya, seluruh gunung hanya tanah salju belaka yang halus licin, dan kedua jago tua itu sudah lanjut usianya, kalau terjadi sedikit meleng mungkin akan menjadi penyesalan selama hidup, maka dengan suara keras Yo Ko lantas berteriak-teriak minta mereka berhenti.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar