Rabu, 21 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 056

Gaya ini adalah ajaran Auwyang Hong di waktu melatih ilmu secara berjungkir itu. Karena sudah biasa melatihnya, cara membungkuk dan memandang ke belakang tadi dilakukan dengan kecepatan luar biasa, maka sekilas dapat dilihat oleh Yo Ko ada satu bayangan orang melesat ke dalam jurang.

“Haya, celaka, sekali ini bisa tewas dia,” teriak Yo Ko dalam hati saking kagetnya.

Ketika dia melongok ke dalam jurang, tiba-tiba dilihatnya ada satu orang dengan sebuah jari tangan saja menggantol di tepian batu dengan tubuhnya tergantung. Kiranya beberapa kali orang itu menggoda dan selalu dengan cara demikianlah orang ini menyembunyikan diri.

Melihat orang sanggup menggunakan satu jari saja untuk menahan bobot tubuhnya dan tergantung di udara yang beralaskan jurang, sebenarnya kepandaian orang sudah sampai taraf yang tidak dapat diukur. Oleh karenanya, dengan laku sangat hormat Yo Ko segera membungkukkan tubuh dan berkata:

“Silakan naiklah, Locianpwe!”

Se-konyong2 orang itu tertawa terbahak-bahak, begitu keras hingga lembah pegunungan seakan-akan bergemuruh. Ketika jari tangannya menarik, orangnya bagaikan burung saja lantas meloncat naik dari tebing jurang itu.

“Apa kau adalah begundalnya Ngo-kui dari Tibet? Kenapa tengah malam buta berkeliaran di sini?!” mendadak ketawa orang itu berubah membentak.

Karena bentakan orang yang tanpa sebab tiada alasan ini, seketika itu pula perasaan Yo Ko tersinggung lagi sehingga mendadak dia menangis tergerung-gerung, terkenang oleh nasibnya yang malang hingga selalu dihina orang.

Seorang Siao-liong-li yang dihormati dan dicintai itu tanpa sebab pula telah mendamperat padanya dan selanjutnya tidak dapat bersua lagi, saking dukanya hingga tangisnya makin men-jadi2 seakan-akan seluruh kesedihan dari dulu hingga sekarang hendak dilampiaskan dalam tangisnya ini.

Melihat Yo Ko mendadak menggerung-gerung mula-mula orang itu rada tercengang. Tapi demi mendengar tangis orang semakin lama semakin duka, ia merasa heran pula. Melihat tangis Yo Ko men-jadi2 dan tiada habis-habisnya, mendadak ia tertawa panjang sekeras-kerasnya, paduan suara tertawa dan menangis ini menjadi begitu hebatnya hingga saling berkumandang di antara Iembah2 pegunungan itu, sampai gumpalan2 salju sama longsor oleh karena geloranya.

“Dan kau menangisi apa?” orang itu balas bertanya sambil tetap tertawa.

Sebenarnya Yo Ko masih hendak memaki orang dengan kata-kata kasar, syukur segera teringat olehnya ilmu silat orang yang tingginya tidak terukur itu. Seketika api amarahnya ditahan, malahan dengan hormat sekali dia menjura.

“Siaujin (aku yang rendah) Yo Ko memberi hormat pada Locianpwe,” demikian sapanya.

Tangan orang itu memegang sebatang tongkat bambu. Tiba-tiba dia mencungkit perlahan lengan Yo Ko, dan tanpa terasa tahu2 Yo Ko sudah terbanting ke belakang meski tenaga tongkat orang tidak seberapa besar.

Menurut daya bantingan itu, seharusnya Yo Ko akan terbanting hingga tak mampu berdiri lagi, tapi pemuda ini sudah biasa dilatih Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak dengan tubuh menjungkir, maka di tengah udara ia masih bisa berjumpalitan, lalu dengan tegak ia berdiri kembali. Kejadian ini sama-sama di luar dugaan kedua orang.

Dengan tingkat ilmu silat Yo Ko sekarang ini, kalau sekali serang hendak bikin pemuda ini terjungkal, biar pun tokoh seperti Li Bok-chiu atau segolongan Khu Ju-ki, rasanya juga tak nanti bisa. Melihat usia Yo Ko semuda ini sudah melatih silat sampai tingkat begini tinggi, dalam hati orang itu menjadi sangat kagum.

“Apa yang kau tangisi tadi?” demikian orang itu bertanya lagi.

Yo Ko mengamat-amati orang. Ia lihat orang adalah kakek2 yang rambut jenggotnya telah putih semua, pakaiannya compang-camping seperti seorang pengemis, walau pun malam gelap, tetapi di bawah pantulan sinar salju yang memutih, lapat-lapat tertampak mukanya yang merah bercahaya, semangat pun masih menyala-nyala, tanpa terasa Yo Ko sangat menaruh hormat padanya.

“Aku adalah seorang yang bernasib malang, hidup di jagat ini sebenarnya tiada gunanya, lebih baik mati saja beres,” sahutnya kemudian.

“Siapakah yang bikin susah kau, coba katakan pada Kongkong (kakek),” kata pengemis tua itu.

“Ayahku dibunuh orang, tetapi aku tidak tahu siapa pembunuhnya. Ibuku pun mati digigit ular, di dunia ini tiada orang lagi yang sayang dan cinta padaku,” sahut Yo Ko.

“Hmm, sebatang kara, benar-benar harus dikasihani,” ujar si pengemis tua, “Dan siapakah gurumu yang mengajarkan ilmu silat padamu?”

Mendengar kakek ini menanyakan Suhu-nya, pikir Yo Ko: “Resminya Kwe-pekbo adalah guruku, tetapi sedikit pun ia tak ajarkan ilmu silat padaku. Para imam busuk Coan-cin-kau bahkan lebih menggemaskan lagi, Auwyang Hong adalah ayah angkat dan bukan guruku, sedang Kokoh yang sudah ajarkan ilmu silat padaku, kini telah berakhir dengan demikian ini, mana bisa kuceritakan hal ini pada orang luar? Ong Tiong-yang Siansu (guru marhum) dan Lim-popoh menurunkan ilmu padaku melalui ukiran-ukiran di kamar kuburan itu, tetapi rasanya juga belum dapat dikatakan sebagai Suhu-ku. Meski pun guruku begitu banyak, tetapi satu pun ternyata tak bisa disebutkan.”

Demikianlah pertanyaan pengemis tua itu jadi menusuk perasaannya lagi hingga tiba-tiba ia me-nangis2 tergerung-gerung pula, “Aku tidak punya Suhu, aku tidak punya Suhu!” dia berteriak-teriak.

“Baiklah, baiklah! Kau tak mau mengaku juga tak mengapalah!” ujar pengemis tua.

“Bukan aku tak mau katakan, tetapi aku tak punya,” sahut Yo Ko terguguk-guguk.

“Tidak punya ya sudah, perlu apa menangis lagi?” kata si pengemis tua itu. “Melihat kau berjalan seorang diri di malam gelap, tadinya kusangka kau adalah begundalnya Ngo-kui dari Tibet, namun ternyata bukan. Biarlah Lo-kiau-hoa (pengemis tua) terima kau sebagai murid saja.”

Ternyata orang ini bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, Si pengemis sakti berjari sembilan, namanya sejajar dengan Tang-sia, Se-tok, Lam-te dan Ong Tiong-yang.

Dahulu setelah kedudukan Pangcu (ketua persatuan pengemis) dia turunkan kepada Oey Yong, lalu seorang diri ia merantau ke timur dan ke barat untuk mencari makanan2 yang paling aneh dan enak di seluruh jagat.



Memang ciri satu-satunya Ang Chit-kong ialah suka makan, dan untuk mencari makanan enak, dia tak segan-segan memasuki keraton raja untuk mencuri masakan yang ingin dia cicipi itu. Jadi sebelum raja makan, setiap masakan tentu dia cicipi dahulu.

Bahkan untuk penganan enak dia tidak sungkan untuk berebut tanpa pikirkan akibatnya. Saking rakusnya terhadap penganan, suatu kali dalam gemasnya ia sampai menghukum dirinya sendiri dengan memotong sebuah jari telunjuk, oleh karena inilah ia disebut ‘Kiu-ci-sin-kay’ atau Si Pengemis sakti berjari sembilan, sungguh pun demikian, toh cirinya yang rakus itu masih belum bisa hilang.

Begitulah, karena daerah Kwitang terkenal nyaman dan paling banyak terdapat makanan yang aneh-aneh, maka akhirnya Ang Chit-kong sampai di propinsi ini. Ia menjadi kerasan sehingga sudah belasan tahun tidak pernah kembali ke daerah utara lagi.

Karena usianya sudah lanjut, orang-orang Bu-lim mengira mungkin Ang Chit-kong sudah lama wafat, siapa tahu ia justru hidup sehat di Kwitang merasai segala macam penganan dimulai dari sebangsa semut, tikus sampai ular-ular berbisa dan lain sebagainya semua dimakannya, rejeki mulutnya sungguh tidak sedikit.

Tahun itu dua ‘Kui’ dari Cong-pian-ngo-kui atau lima momok dari Tibet sudah melakukan pembunuhan se-wenang2 di Kwitang. Dasar Ang Chit-kong benci pada kejahatan seperti musuhnya, sebenarnya kedua Kui atau kedua momok itu sekaligus hendak dibunuhnya, tapi karena ingin juga sekalian bisa bereskan yang lain-lain, maka sengaja ia kuntit orang, ia tunggu bila kelima momok itu sudah berkumpul semua baru sekaligus akan dibasminya semua. Siapa tahu karena menguntitnya itu akhirnya dia sampai di atas Hoa-san.

Pada waktu itu empat momok dari Tibet itu sudah berkumpuI, hanya Toa Kui, si momok pertama, yang belum datang. Siapa tahu di tengah malam Yo Ko yang dia ketemukan di tanah salju itu. Sekarang mendengar pemuda ini begitu sedih menangis, tiba-tiba hatinya tertarik dan hendak menerima Yo Ko sebagai murid.

Selama hidup Ang Chit-kong, murid yang diterimanya secara resmi hanya Kwe Ceng dan Oey Yong berdua. Kini entah kenapa, tiba-tiba ia mengatakan sendiri ingin terima Yo Ko. Ia pikir bocah ini pasti girang luar biasa dan menghaturkan terima kasih.

Siapa tahu sedikit pun Yo Ko tidak pernah melupakan Siao-liong-li, dia sudah mengambil keputusan tak mau lagi mengangkat guru yang kedua. Sebab itulah ia telah geleng-geleng kepala dan menjawab: “Terima kasih atas maksud baikmu, tetapi aku tak mau angkat kau sebagai guru.”

Jawaban Yo Ko ini amat mengherankan Ang Chit-kong. Dasar pengemis tua ini wataknya sangat berkeras pada kata-katanya sendiri, maka ia bilang lagi: “Kau tak mau angkat guru padaku, tetapi aku justru ingin kau menjadi muridku.”

“Kau mau pukul mati aku, boleh silakan memukul saja, tetapi ingin aku angkat guru, itulah tidak bisa,” sahut Yo Ko tetap.

Nampak tabiat orang sama kerasnya dan kukuh pada pendiriannya sendiri, Ang Chit-kong justru bertambah suka padanya.

“Sudahlah, kita jangan bicara urusan ini dulu, agaknya kau pun sudah lapar, marilah kita makan dulu baru berunding lagi,” katanya.

Habis itu ia berjongkok di tanah salju dan menggaruk-garuk untuk mendapatkan beberapa kayu kering, dengan inilah lalu dinyalakan api.

“Hendak makan masakan apakah kita?” tanya Yo Ko sambil bantu orang mengumpulkan kayu.

“Kelabang!” sahut Chit-kong singkat.

“Kelabang? Ahh, mana mungkin!” demikian Yo Ko pikir, dia sangka orang cuma berguyon saja, maka dia hanya tersenyum dan tidak bertanya Iagi.

“Dengan susah payah aku kintil Cong-pian Ngo-kui dari Linglam (nama lain dari Kwitang) sampai di Hoa-san sini, kalau tidak mencari beberapa macam makanan enak yang aneh-aneh, rasanya tidak enak terhadap kawanku ini!” kata Chit-kong sambil tepuk-tepuk perut sendiri.

Yo Ko lihat perawakan pengemis tua ini kekar kuat, hanya perutnya yang rada gendut.

“Hoa-san adalah tempat yang paling teduh, tempat yang paling dingin di kolong langit ini, produksi kelabangnya adalah paling gemuk dan halus pula. Hawa di Kwitang sebaliknya panas bukan main, segala makhluk hidup di sana lebih cepat tumbuh besar, maka daging kelabangnya pun rada kasar,” demikian Ang Chit-kong mencerocos pula dengan teori ilmu makannya.

Mau tidak mau Yo Ko rada heran mendengar orang berkata secara sungguh-sungguh dan kelihatan bukan bergurau belaka.

Sembari berkata Ang Chit-kong tambahi kayu pada api unggunnya, kemudian ia keluarkan sebuah wajan kecil dari buntalannya lantas ditaruh di atas api, ia mengepal dua gelondong salju dan dimasukkan ke dalam wajan.

“Mari ikut pergi mengambil kelabang,” katanya. Selesai berkata, sekali melesat, tahu-tahu orangnya sudah melompat ke atas tebing gunung setinggi lebih dua tombak.

Melihat tebing gunung itu begitu terjal, seketika Yo Ko ragu-ragu tak berani ikut manjat ke atas.

“Anak tak berguna, lekas naik sini!” seru Ang Chit-kong.

Yo Ko paiing benci kalau ada orang memandang hina padanya, kini dikatai tidak berguna oleh Ang Chit-kong, tiba-tiba ia kertak gigi terus ikut merangkak ke atas.

“Hm, memangnya aku sudah tak pikirkan mati atau hidup lagi, biarkan mati tergelincir juga tak apalah,” diam-diam ia berpikir.

Karena marahnya itu, nyalinya menjadi besar, Ginkang yang dia keluarkan bisa digunakan lebih hebat, maka dengan kencang dia ikut di belakang Ang Chit-kong, meski pun tempat-tempat yang paling curam dan berbahaya, akhirnya dapat dipanjatnya juga.

Hanya sebentar saja mereka berdua telah memanjat sampai di atas puncak gunung yang tak pernah diinjak manusia.

Melihat Yo Ko mempunyai Ginkang yang bagus dan hatinya begitu tabah, Ang Chit-kong menjadi tambah suka padanya.

“Anak bagus, tak bisa tidak aku harus terima kau sebagai murid,” demikian ia memuji.

“Terima kasih, Locianpwe. Kalau locianpwe ada perintah apa-apa, tak nanti siaujin bantah, tetapi tentang soal angkat guru, harap jangan disebut puIa,” sahut Yo Ko.

Ang Chit-kong tahu, pasti ada ganjalan di hati orang yang sukar diucapkan. Sebenarnya ia hendak menanyakan, tetapi teringat akan makanan enak yang harus diberi ‘prioritas’ lebih dulu, maka cepat ia mendekati sebuah batu padas, ia gali tanah di bawah batu itu, maka tertampaklah seekor ayam jago yang sudah mati.

Luar biasa herannya Yo Ko.

“Ehh, mengapa ada bangkai ayam jago di situ?” katanya heran. Akan tetapi ia pun segera mengerti: “Ahh, engkau sendirilah yang memendamnya.”

Ang Ching-kong tak menjawab, ia hanya tersenyum dan angkat bangkai ayam jago itu.

Mata Yo Ko sudah terlatih memandang pada waktu malam, apa lagi kini di bawah sorotan sinar salju yang membalik itu, maka tertampaklah olehnya di bawah perut bangkai jago itu penuh lengket beratus ekor kelabang yang panjangnya rata2 belasan senti dengan warna merah-hitam yang belang-bonteng.

Semenjak kecil Yo Ko sudah berkawan dengan ular, sebenarnya dia tidak takut terhadap binatang berbisa. Tapi demi mendadak nampak kelabang sebanyak ini, saking seramnya tidak urung ia mengkirik juga.


ADU TENAGA DUA JAGO TUA

“Ha-ha-ha,” sebaliknya Ang Chit-kong lantas tertawa riang, “Kelabang ini memang musuh kawakan ayam jago. Kemarin sengaja kupendam seekor bangkai jago di sini, benar saja, keIabang ini kena dipancing datang semua.”

Habis ini dia pun mengeluarkan kain pembungkus. Bangkai ayam jago berikut kelabang yang masih melekat itu ia buntal seluruhnya, lalu dengan riang gembira ia merosot turun dari puncak gunung itu.

“Apa benar-benar akan makan kelabang? Kalau melihat sikapnya, tampaknya bukannya sengaja buat menakuti aku,” pikir Yo Ko diam-diam sambil ikut di belakang orang.

Sementara itu air salju yang digodok dengan wajan Ang Chit-kong tadi sudah mendidih, Ang Chit-kong buka buntalannya, dia tarik ekor tiap-tiap kelabang lalu dicemplungkan ke dalam wajan. Kelabang-kelabang itu semula kerupukan dalam air mendidih, tetapi sekejap saja lantas kaku dan tak berkutik.

“Sebelum mati, kelabang-kelabang ini sudah muntahkan semua racun. Oleh sebab itu, racun dalam air salju di wajan ini luar biasa jahatnya,” ujar Chit-kong.

Kemudian dia gali sebuah lobang di tanah salju itu, dia tuang air berbisa itu ke dalamnya. Saking dingin suhu di atas gunung ini, maka sebentar saja air beracun itu telah membeku menjadi es. Setelah itu Ang Chit-kong mengeluarkan sebilah pisau kecil. Ia potong kepala dan buntut tiap-tiap kelabang, lalu dipelocoti satu demi satu, dengan gampang saja kulit kelabang-kelabang itu mengelotok hingga daging kelabang kelihatan putih bersih seperti daging udang.

“Dengan caranya rnengolah ini, boleh jadi memang dapat dimakan?” demikian pikir Yo Ko, akhirnya ia jadi ketarik.

Ia melihat Ang Chit-kong menggodok lagi dua wajan air salju, daging kelabang itu dia cuci bersih tanpa ketinggalan setetes pun air racun, habis itu ia keluarkan lagi beberapa kaleng kecil dari buntalannya. Kaleng-kaleng kecil ini ternyata berisi bumbu masak sebangsa minyak, garam, kecap, cuka dan lain-lain. Lebih dahulu wajan dibikin panas dengan minyak mendidih, kemudian daging kelabang itu dituangkan ke dalamnya untuk digoreng. Begitu daging kelabang itu masuk wajan, maka terciumlah bau sedap yang bikin orang mengilar.

Melihat macamnya Ang Chit-kong yang berulang kali menelan air liur, biji lehernya tampak naik turun, sifat rakusnya nyata-nyata kelihatan, mau tak mau Yo Ko terheran-heran dan merasa geli.

Setelah kelabang-kelabang itu digoreng sampai berwarna kuning, Ang Chit-kong tambah bumbunya, tanpa tunggu lagi ia comot seekor terus dimasukkan ke mulutnya. Dengan perlahan-lahan ia mengunyah, matanya meram-melek, begitu nikmatnya sampai ia menghela napas, rasanya tak ada sesuatu lagi di dunia ini yang lebih nikmat dari pada saat ini.

Sekaligus berturut-turut ia pindahkan belasan kelabang ke perutnya, setelah itu barulah ia katakan pada Yo Ko:

“Hayo, makan! Sungkan-sungkan apa lagi?”

Akan tetapi Yo Ko menggelengkan kepala, “Tidak, aku tidak doyan,” sahutnya.

Ang Chit-kong tertegun sejenak, tapi segera ia tertawa terbahak-bahak. “Ya, ya, betul, tidak sedikit orang gagah perkasa yang pernah kujumpai sekali pun mereka dipenggal kepala dan alirkan darah tidak akan mereka mengkerut kening, tapi kalau bicara soal makan kelabang, tiada seorang pun yang berani meniru aku Ang Chit-kong. Ha, kau bocah ini hanya bermulut besar saja, sebenarnya kau juga setan cilik yang bernyali kecil,” demikian katanya.

Dikatai bernyali kecil, Yo Ko menjadi sangat dongkol, pikirnya: “Biar aku pejamkan mata lantas tanpa mengunyah terus telan saja beberapa ekor kelabang itu agar tidak dipandang rendah olehnya.”

Maka dengan menggunakan dua tangkai batang lidi sebagai sumpit, cepat ia jepit seekor kelabang goreng itu. Siapa tahu, sebelum kelabang itu masuk ke mulutnya, rupanya Ang Chit-kong sudah bisa menerka apa yang dia pikirkan tadi.

“Tanpa mengunyah sedikit pun sambil tutup mata kau telan sekaligus belasan kelabang, ini namanya akal bulus dan bukan cara gagah kesatria,” kata pengemis tua itu.

“Masakah makan kelabang saja ada urusan gagah kesatria segala?” sahut Yo Ko tertawa dingin.

“Ya, di jagat ini tidak sedikit orang yang tanpa malu-malu mengaku dirinya gagah kesatria, tetapi yang berani makan kelabang rasanya tiada seberapa orang,” kata Chit-kong.

Yo Ko menjadi nekat karena dipandang rendah. Dia pikir paling banyak hanya mati, kenapa harus takut. Maka kelabang yang dia sumpit tadi segera dimasukkan ke dalam mulut terus dikunyah. Jika tak dikunyah masih tak mengapa, tetapi karena jadi dikunyahnya ini, seketika terasa daging kelabang itu sedemikian gurihnya, begitu wangi dan begitu enak, sungguh selama hidupnya belum pernah mengenyam makanan yang begitu lezat rasanya. Keruan ia tidak mau sudah, cepat ia telan daging kelabang itu, lalu sumpitnya menyambar lagi kelabang yang kedua.

“Hmm, hebat, sungguh hebat rasanya!” demikian berulang kali ia memuji.

Nampak bocah ini sudah kenal rasa dan menjadi tuman, Ang Chit-kong girang sekali, dia pun segera berebut duluan dengan Yo Ko, hanya sekejap saja ratusan kelabang itu sudah mereka sapu bersih.

Bagi Ang Chit-kong kelabang sebanyak itu rasanya masih belum cukup, lidahnya menjilat bibir, sungguh kalau bisa ia pingin mengisi perutnya dengan 100 ekor kelabang lagi.

“Biar aku pendam bangkai jago ini buat pancing kelabang yang Iain,” kata Yo Ko tiba-tiba. Dia betul-betul sudah tuman oleh rasa gurihnya kelabang goreng tadi.

“Tak bisa jadi lagi,” sahut Chit-kong, “bangkai jago itu sudah hilang daya penariknya, pula di sekitar sini kelabang yang gemuk sudah tidak tersisa lagi.” Habis berkata, mendadak ia menguap sambil mengulet ngantuk, tahu-tahu ia pun merebahkan diri di tanah salju.

“Sudah ada 7 hari 7 malam aku tidak tidur,” demikian ia kata, “setelah makan enak besar-besaran ini, biarlah aku tidur sepuas-puasnya selama tiga hari, seandainya langit bakal ambruk juga jangan kau bangunkan aku.” Sembari berkata suara menggeros pun mulai terdengar, ternyata lantas pulas begitu saja.

“Cianpwe ini benar-benar orang yang sangat aneh,” batin Yo Ko. “Baiklah. Aku pun tiada tempat tujuan, ia bilang mau tidur tiga hari, biar aku pun tunggu tiga hari padanya.”

Sementara itu bunga salju terus turun tiada hentinya, seluruh tubuh Ang Chit-kong sudah penuh tertutup salju yang putih seperti kapas. Tubuh manusia bersuhu panas, bunga salju tentu akan cair, tetapi mengapa bisa tertimbun di atas muka dan tubuhnya, hal ini mula-mula bikin Yo Ko tidak mengerti, tetapi setelah ia pikir, segera ia pun tahu.

“Ya, ya, tentu waktu tidur dia telah keluarkan tenaga sakti untuk menghimpun suhu panas ke dalam badannya. Seorang yang masih hidup segar ternyata bisa kaku seperti mayat waktu tidur, lwekang semacam ini sesungguhnya sangat hebat, mungkin mendiang Suhu Ong Tiong-yang hidup kembali juga tidak selihay dia ini,” demikianlah pikirnya.

Sementara itu hari sudah hampir pagi, tubuh Ang Chit-kong telah terkubur di dalam salju, di atas tanah hanya kelihatan sedikit tonjolan, bekas badannya sudah tak kelihatan lagi. Yo Ko sendiri tidak merasa letih. Waktu ia mendongak, ia lihat keadaan gelap gulita dan sunyi senyap.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara gemerisik seperti orang berjalan di jurusan timur, Waktu ia tegasi, dari jauh terlihat mendatangi lima bayangan orang dengan kecepatan luar biasa, terang sekali semuanya berilmu silat amat tinggi.

“Ahh, tentu inilah Ngo-kui dari daerah Tibet yang dikatakan Locianpwe ini tadi,” pikiran Yo Ko tergerak tiba-tiba. Karena itu, lekas-lekas ia sembunyi di belakang batu padas.

Tidak lama kelima orang itu sudah sampai di depan batu padas tempat sembunyi Yo Ko, seorang di antaranya terdengar bersuara heran.

“Heii, wajan pengemis tua itu ada di sini, pasti dia berada di sekitar sini saja,” kata orang itu.

Rupanya kelima orang itu merasa heran dan jeri, lalu mereka berkumpul untuk berunding dengan bisik-bisik. Kemudian, mendadak mereka berpencar memeriksa keadaan sekitarnya. Karena tempat di atas puncak gunung memang sempit, maka tidak seberapa langkah mereka mencari, seorang di antaranya kena injak badan Ang Chit-ong yang tertutup salju. Karena kakinya tiba-tiba menginjak tempat Iunak, dalam kagetnya ia menjerit.

Dengan serta merta keempat saudaranya merubung dan menggali timbunan salju, maka tampaklah Ang Chit-kong yang kaku seperti mati. Tentu saja kelima orang itu amat girang. Mereka coba memeriksa pernapasan Ang Chit-kong, terasa berhenti dan tubuh pun dingin membeku.

“Pengemis tua ini terus menerus menguntit aku sepanjang jalan hingga aku menjadi sebal digodanya, tak tahunya kini sudah mampus di sini,” kata seorang di antaranya.

“Orang ini sangat hebat ilmu silatnya, tanpa sebab kenapa mati?” ujar yang lain ragu-ragu.

“Ilmu silat bagus apa tidak bisa mati?” debat yang lain pula, “Pikir saja, sekarang umurnya sudah berapa?”

Karena kata-kata terakhir ini, empat orang yang lain menyatakan benar, kata mereka: “Ya, beruntung ia telah dipanggil raja akherat, kalau tidak, sesungguhnya sukar dilawan.”

“Hayo, kita masing-masing bacok tua bangka ini buat lampiaskan mendongkol kita! Biar pun dia gagah perkasa, sesudah mati mayatnya pun tak bisa utuh,” ajak orang yang pertama.

Saat itu sebenarnya Yo Ko sudah menyiapkan segenggam Giok-hong-ciam. Ia pikir untuk melawan lima orang agak sukar, tiada jalan lain kecuali mencari kesempatan menyerang dulu dengan Am-gi. Kalau dua-tiga orang sudah dirobohkan, sisanya tentu akan menjadi gampang dibereskan.

Tetapi dasar usia Yo Ko masih muda dan kurang sabar. Ketika didengar orang bilang hendak bacok tubuh Ang Chit-kong, ia kuatir orang benar-benar mencelakai pengemis tua itu, maka belum lagi Am-gi sempat dihamburkan satu pun, dengan sekali gertak ia sudah melompat keluar dari tempat sembunyinya. Karena tidak bersenjata, terpaksa Yo Ko sambar sekenanya dua tangkai kayu kemudian digunakan sebagai Boan-koan-pit. Begitu kedua tangannya bergerak, beruntun-runtun dia menyerang lima kali, tiap-tiap serangannya mengincar Hiat-to kelima orang itu.

Lima serangannya ini boleh dikatakan dilakukan secepat kilat, cuma sayangnya dia telah membentak dahulu hingga Ngo-kui keburu berjaga-jaga, kalau tidak, sedikitnya satu-dua orang di antara mereka pasti ada yang dirobohkan. Sekali pun begitu, tak urung Ngo-kui kaget hingga berkeringat dingin, lekas-lekas mereka melompat.

Ngo-kui semuanya memakai senjata golok tebal, ilmu silat mereka didapat dari satu guru, meski kepandaian masing-masing beda antara tinggi dan rendah, tetapi cara-caranya adalah sama. Ketika mereka berpaling dan melihat Yo Ko hanya pemuda ‘ingusan’ yang bajunya rombeng, senjata yang digunakan hanya dua kayu bakar, sikapnya kikuk-kikuk, wajahnya biasa, seketika rasa kaget mereka pun hilang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar