Senin, 19 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 055

Melihat gerak tangan orang demikian jitu dan lihay, sebagai seorang tokoh segera Li Bok-chiu tahu bahwa dia sudah bertemu dengan lawan tangguh, bahwa orang mengaku anak murid Coan-cin-pay memang bukanlah palsu. Oleh karena itu lekas-lekas ia menggeser kembali, kebutnya menyabet secepat kilat, hanya sekejap saja segala penjuru seakan-akan penuh dengan bayangan kebutnya yang menyambar kian ke mari. Asal lawannya sedikit kesenggol ujung kebutnya, jika tidak mati sedikitnya akan terluka parah juga.

Biar pun ilmu silatnya tinggi, tetapi pengalaman Yalu Ce masih cetek. Kini untuk pertama kalinya menghadapi lawan kuat, ia kumpulkan seluruh semangat untuk menempur orang. Maka sebentar saja mereka sudah saling gebrak lebih 40 jurus, makin merangsek Li Bok-chiu semakin maju, sebaliknya lingkaran pertahanan Yalu Ce semakin ciut, namun secara gigih ia masih bertahan. Tampaknya kekalahannya sudah pasti, tapi Li Bok-chiu hendak merobohkan dia juga belum bisa.

“Ilmu silat bocah ini memang dari Coan-cin-pay yang murni, meski belum setingkat Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, tetapi dibanding Sun Put-ji dan Hek Tay-thong terang tidak kalah. Sungguh anak murid Coan-cin angkatan muda banyak yang pandai,” demikian Li Bok-chiu terheran-heran.

Setelah saling labrak beberapa jurus lagi, sengaja Li Bok-chiu memberi suatu kesempatan dan membiarkan orang menyerang maju. Yalu Ce tak tahu orang sengaja memancing, tanpa pikir pedangnya terus menusuk. Siapa sangka mendadak kaki Li Bok-chiu lantas melayang hingga pergelangan tangannya kena ditendang, saking sakitnya Yalu Ce tak kuasa memegang kencang senjatanya.

Sungguh pun begitu, namun Yalu Ce tak menjadi bingung. Tiba-tiba telapak tangan kirinya memotong dari samping, ada pun tangan kanan dengan ilmu menangkap dan menawan segera digunakan untuk merebut kebut Li Bok-chiu.

“Hah, ilmu silat yang bagus!” Li Bok-chiu tertawa memuji.

Tatkala itu Yo Ko sudah tak merasa puyeng lagi, segera ia memaki: “Perempuan bangsat, selama hidupku ini tidak sudi aku mengaku kau sebagai Supek lagi!” Habis itu, dia jinjing kerangka pedang rampasan dari Ang Llng-po tadi terus maju mengerubut.

“Ya, ya, kau adalah laki gurumu, boleh juga kau panggil aku Suci saja,” dengan tertawa Li Bok-chiu menyindir.

Dalam pada itu pedang Yalu Ce telah menyambar datang, lekas-lekas Li Bok-chiu angkat kebutnya, dengan ujung kebut tahu-tahu batang pedang telah kena direbut, bahkan terus dia tarik dan ditimpukkan ke arah Yo Ko. Namun Yo Ko tidak menjadi gugup. Ia incar baik-baik datangnya pedang itu, mendadak ia angkat kerangka sarung pedangnya terus memapaknya.

Tanpa terasa Liok Bu-siang dan Wanyen Peng menjerit kuatir, tapi segera terdengar suara “sret”, ternyata dengan tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarung yang disodorkan ke depan oleh Yo Ko. Dengan kerangka sarung untuk menyambut pedang, sebenarnya perbuatan ini terlampau berbahaya. Asal pedang itu sedikit meleset saja, ditambah Iagi tenaga timpukan Li Bok-chiu, maka dapat dipastikan dada Yo Ko akan tertembus.

Harus diketahui sewaktu tinggal di kuburan kuno dahulu, dengan giat Yo Ko telah melatih ilmu menggunakan Am-gi, maka soal ketajaman mata, ketepatan waktu yang digunakan dan kejituan menaksir tempat yang diarah, semuanya sudah terlatih begitu rupa sehingga boleh dikatakan bisa dipergunakan sesuka hatinya, sekarang ia berani unjuk ketangkasan di depan Li Bok-chiu.

Dan begitulah, segera Yo Ko melolos pedang yang ditancapkan tadi dan tangan yang lain tetap memegang sarung pedang, lalu ia merangsak maju lagi bersama Yalu Ce. Restoran itu menjadi kacau balau, meja dan kursi jungkir balik tak keruan, para tamu lain sudah semenjak tadi lari menyelamatkan diri, hanya tinggal Ang Ling-po saja yang masih ikut menonton gurunya bertempur. Selama Ling-po ikut gurunya merantau, belum pernah dia saksikan gurunya dikalahkan orang. Oleh sebab itu, meski gurunya kini dikeroyok dua musuh, namun sedikit pun Ling-po tak kuatir, ia menonton dengan tenang di pinggir.

Sementara itu pertarungan ketiga orang bertambah seru, kemudian tipu serangan Li Bok-chiu berubah lagi, dengan angin pukulannya ia desak kedua lawannya hingga sulit berdiri. Sekejap saja Yalu Ce dan Yo Ko berulang kali menghadapi serangan bahaya.

“Celaka,” seru Yalu Yen dan Wanyen Peng, berbareng mereka pun melompat maju membantu kedua kawannya.

Akan tetapi bertambahnya tenaga baru ini susah juga mengubah kedudukan yang sudah kalah itu. Mendadak kaki Yalu Yen sendiri malah terserempet oleh ujung kebut Li Bok-chiu, saking sakitnya sebelah kaki gadis ini berlutut dan hampir terjungkal. Pikiran Yalu Ce menjadi kacau melihat adiknya terpukul, ia kena dicecar beberapa kali oleh Li Bok-chiu sehingga terpaksa ia mundur terus. Tampak keadaan sangat genting, dengan cepat si gadis baju hijau tadi melompat maju memayang mundur Yalu Yen.

Meski dalam pertarungan sengit, tetapi mata telinga Li Bok-chiu betul-betul dapat bekerja dengan tajam. Begitu melihat gadis baju hijau melompat secara gesit dan enteng, dia segera tahu orang adalah anak murid guru pandai, kontan saja kebutnya menyabet muka si gadis.

“She apakah nona ini? Siapakah gurumu?” demikian ia bertanya.

Jarak di antara mereka ada setombak lebih, namun menyambarnya kebut ternyata cepat luar biasa, sekejap saja ujung kebut itu sudah sampai di depan muka gadis itu. Agaknya gadis baju hijau terkejut, secepat kilat tangannya bergerak, tahu-tahu ia lolos sebatang senjata sehingga kebut musuh dapat ditangkisnya.

Melihat senjata orang yang aneh sepanjang kira-kira tiga kaki dan mengkilap laksana sebatang seruling, diam-diam Li Bok-chiu berpikir: “Dari aliran mana senjata macam ini?”

Karena curiga, segera ia tambahi serangan kilat dengan maksud memaksa gadis itu mengeluarkan kepandaian aslinya. Dan karena gadis itu kewalahan, lekas-lekas Yo Ko dan Yalu Ce menubruk maju buat menolong. Tapi sebenarnya mereka memang tidak bisa menandingi Li Bok-chiu, hanya sekejap saja kembali kedua pemuda ini sudah terdesak.

“Dalam keadaan begini, asalkan salah satu di antara kami berdua ini sedikit meleng, pasti semua orang yang berada di sini akan melayang jiwanya,” demikan pikir Yo Ko. Karena itu segera ia berteriak-teriak:



“Bini cilik, adikku sayang, Enci yang baik, Yalu-sumoay, lekas-lekaslah kalian melarikan diri, perempuan keparat ini terlalu lihay.”

Mendengar Yo Ko berteriak-teriak serabutan, keempat gadis itu ada yang senang dan ada pula yang mengkal, tapi melihat keadaan memang amat berbahaya, tanpa diperintah lagi Liok Bu-siang yang pertama-tama turun loteng restoran itu, kemudian si gadis baju hijau dengan memayang Yalu Yen juga ikut lari.

Sementara itu kedua pengemis tadi menyaksikan kedua pemuda gagah perkasa ini telah melabrak Li Bok-chiu karena membela mereka, terpikir oleh kedua pengemis ini hendak maju membantu, cuma sayang lengan mereka telah patah dan tak dapat berkutik. Namun demikian, kedua pengemis ini cukup setia kawan. meski Li Bok-chiu tiada waktu buat urus mereka lagi, tetapi mereka masih terus berdiri di tempatnya dan tak mau kabur mendahului Yo Ko.

Begitulah dengan gigih Yo Ko bertempur berjajar dengan Yalu Ce, sekuat tenaga mereka menahan serangan Li Bok-chiu yang makin lama semakin lihay hingga akhirnya Wanyen Peng pun sudah undurkan diri dari restoran itu. Meski Li Bok-chiu merangsek terus dan berada di pihak yang unggul, namun dalam hati ia pun gusar luar biasa.

“Kurang ajar dua bocah ini. Selama hidupku siapa pun tak berani merintangi kehendakku, kalau sampai Liok Bu-siang lolos, sungguh gelar Jik-lian-sian-cu bakal lenyap tersapu bersih,” demikian ia pikir dengan gemas.

Begitulah mereka terus bertempur mati-matian, dari loteng restoran berpindah ke tengah jalan dan dari tengah jalan sampai di ladang.

“Bini cilik, adikku sayang, lekaslah pergi, makin jauh makin baik! Yalu-sumoay, nona baju hijau, kalian pun lekas melarikan diri, kami berdua lelaki tak akan mati,” begitulah si Yo Ko masih terus berteriak.

Sebaliknya Yalu Ce sama sekali tak buka suara sepatah kata pun. Usianya hanya setahun dua lebih tua dari pada Yo Ko, namun yang satu bersikap kereng dan sungguh-sungguh, sedangkan yang lain gagah dan lincah, watak kedua pemuda ini ternyata berbeda sama sekali.

Di lain pihak karena Siao-liong-li masih tidak muncul, Li Bok-chiu menjadi lebih berani lagi, senjata kebutnya diputar semakin kencang menurut keinginannya. Betapa pun juga Yo Ko dan Yalu Ce memang masih selisih jauh dibandingkan Li Bok-chiu. Biar pun kedua pemuda itu bisa mengeluarkan serangan yang aneh untuk mengacaukan perhatian Li Bok-chiu, namun kini mereka berdua juga mulai payah.

Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, pikirnya: “Tidak sampai setengah jam lagi pasti jiwa kedua orang ini akan kubereskan semua.”

Sementara itu, mendadak didengarnya beberapa kali suara burung, tahu-tahu dua ekor rajawali menyambar ke atas kepalanya. Kedua rajawali itu ternyata sangat tangkas dan lihay. Waktu menubruk turun, debu pasir ikut bertebaran sehingga keadaan sangat mengejutkan.

Yo Ko mengenal kedua ekor rajawali itu adalah binatang piaraan Kwe Ceng suami-isteri. Dahulu waktu dirinya masih kecil dan tinggal di Tho-hoa-to, pernah juga bermain bersama kedua rajawali ini. Dia pikir jika sekarang rajawali-rajawali ini datang, tentu pula Kwe Ceng suami-isteri berada juga di sekitar sini. Karena dirinya telah berontak keluar dari Coan-cin-kau, dan sesungguhnya tidak ingin bertemu lagi dengan mereka, maka lekas-lekas Yo Ko melompat mundur. Dia keluarkan topeng kulitnya dan segera dipakai.

Tatkala itu kedua ekor rajawali sudah menyerang dari kanan-kiri dan terbang naik-turun dengan sengitnya menempur Li Bok-chiu. Ternyata ingatan kedua rajawali itu amat baik, mereka masih dendam terhadap timpukkan ‘Peng-pok-sin-ciam’ yang mengenai kaki mereka dahulu. Kini memergoki Li Bok-chiu di tengah jalan, segera juga mereka menubruk dengan sengit, cuma karena kuatir merasakan lagi jarum orang yang berbisa, maka apa bila Li Bok-chiu mengayun tangannya, segera kedua binatang itu pentang sayap menjulang ke angkasa.

Diam-diam Yalu Ce menjadi heran oleh datangnya kedua rajawali itu. Melihat binatang itu susah mendapat kemenangan, segera ia berseru:

“Yo-heng, mari kita maju lagi bersama, kita keroyok dia dari atas dan bawah bersama rajawali-rajawali itu, coba bagaimana dia akan melawan kita?”

Dan selagi ia hendak merangsek maju, se-konyong-konyong dari arah timur terdengar ramai suara derap kuda, seorang penunggangnya mendatangi secepat terbang. Nyata itulah seekor kuda merah yang berkaki panjang dan tinggi, larinya cepat tak ada bandingannya, baru terdengar suara menderapnya tahu-tahu kudanya sudah sampai di depan. Semua orang menjadi heran. Kenapa kuda ini bisa begini cepat larinya?

Sementara tampak penunggangnya adalah seorang nona berbaju merah, kuda beserta penunggangnya bagaikan sesosok arang yang membara, hanya muka si nona yang putih halus.

Begitu gadis itu menarik tali kendalinya, seketika kuda merah itu berhenti dengan cepat. Kuda ini bisa mendadak berhenti pada waktu berlari kencang, tanpa meringkik juga tidak berjingkrak, kelakuannya tenang dan biasa saja, benar-benar binatang bagus yang jarang diketemukan.

Sejak kecil Yalu Ce dibesarkan di daerah Mongol. Tidak sedikit kuda pilihan yang sudah dilihatnya, tapi binatang sebagus ini sungguh belum pernah disaksikannya, keruan ia pun luar biasa terkejutnya.

Hendaklah diketahui bahwa kuda merah ini adalah seekor ‘Han-hiat-po-ma” (kuda mestika berkeringat merah darah) yang didapatkan Kwe Ceng secara kebetulan di gurun pasir di waktu mudanya. Tatkala itu kuda merah ini pun masih kecil, kini boleh dikatakan sudah menginjak usia tua, akan tetapi binatang bagus memang tak bisa disamakan dengan kuda biasa, sungguh pun usianya sudah tua, namun larinya masih sangat cepat dan kuat tidak kalah dengan masa mudanya. Dan dengan sendirinya nona penunggangnya ini bukan lain adalah Kwe Hu, puteri tunggal Kwe Ceng dan Oey Yong dari Tho-hoa-to!


KIU-CI-SIN-KAY (Pengemis Sakti Berjari Sembilan)

Sudah beberapa tahun Yo Ko berpisah dengan Kwe Hu. Apa bila dia ingat si gadis, selalu Yo Ko masih mengira bahwa Kwe Hu adalah anak perempuan yang nakal dan sombong, siapa tahu kini berupa satu nona yang cantik jelita.

Di lain pihak, setelah menahan kudanya Kwe Hu sejenak menyaksikan kedua burungnya menempur Li Bok-chiu, lalu ia melirik ke arah Yalu Ce. Pada waktu sinar matanya sampai di muka Yo Ko, dilihatnya Yo Ko memakai baju orang Mongol, mukanya sangat jelek dan aneh karena memakai kedok, tanpa terasa si gadis berkerut kening, wajahnya mengunjuk rasa hina pada Yo Ko.

Sejak kecil Yo Ko memang tidak cocok dengan Kwe Hu, kini setelah bertemu kembali dan melihat si gadis masih tetap benci padanya, maka semakin hebatlah rasa rendah dirinya Yo Ko dan berduka pula. Katanya dalam hati:

“Kau memandang hina padaku, memangnya aku minta-minta kasihanmu? Ilmu silat ayahmu tiada bandingannya di seluruh jagad, ibumu juga pendekar wanita pada jaman ini, Gwakong-mu adalah maha guru ilmu silat, semua orang dari segala aliran di kolong langit ini siapa yang tidak menaruh hormat pada keluargamu? Akan tetapi bagaimana ayah bundaku? Ibuku hanya wanita penangkap ular pedusunan saja, ayahku pun tak diketahui siapa, bahkan matinya pun tidak terang apa sebabnya. Hm, sudah tentu aku tidak bisa dibandingkan dengan kau. Memang aku dilahirkan dengan nasib malang dan harus selalu dihina orang. Kini kau menghina aku lagi, rasanya pun tidak menjadi soal!”

Begitulah Yo Ko berdiri terpaku dan berduka hati, ia merasa di dunia ini tiada seorang pun yang menghargai dirinya, meski hidup rasanya pun tidak berguna. Hanya Suhu Siao-llong-li saja seorang yang bersungguh hati terhadap dirinya, tetapi saat ini entah berada di mana sang guru? Sisa hidup ini entah masih dapat bertemu tidak dengan beliau?

Selagi Yo Ko bersedih hati, mendadak terdengar lagi suara derap kuda yang lebih riuh, kembali ada dua penunggang datang. Kedua ekor kuda ini satu kelabu dan yang lain coklat, meski tergolong kuda bagus juga, tapi kalau dibandingkan kuda merah tunggangan Kwe Hu, terang selisihnya terlampau jauh. Tiap-tiap kuda itu ternyata ditunggangi seorang pemuda dan semuanya mengenakan baju kuning.

“Bu-keh-koko (engkoh keluarga Bu), kembali kita bertemu lagi dengan perempuan jahat ini,” segera Kwe Hu berseru pada kedua pemuda itu.

Kiranya pemuda-pemuda penunggang kuda ini adalah Bu Tun-si dan Bu Siu-bun kakak beradik. Dan begitu melihat Li Bok-chiu, kedua saudara Bu itu menjadi terkejut sekali.

Li Bok-chiu adalah musuh mereka, dialah pembunuh ibu mereka. Selama beberapa tahun ini siang malam boleh dikatakan tidak pernah mereka melupakan dendam itu, siapa tahu sekarang mendadak bisa kepergok di sini. Keruan saja mereka menjadi murka, serentak mereka melompat turun dari kuda, lalu meloloskan pedang dan segera memapak maju tanpa bicara lagi.

“Aku akan bantu kalian,” teriak Kwe Hu. Ia pun lolos pedangnya dan melompat turun buat membantu kawan-kawannya.

Melihat makin lama musuh bertambah banyak, apa lagi kedua pemuda yang datang terus merangsek maju dengan muka merah dan mata melotot seperti hendak mengadu nyawa, bahkan Kiam-hoat yang dimainkan sangat bagus, terang mereka adalah anak murid dari guru ternama.

Apa lagi gadis cantik tadi malah ikut-ikut menyerbu juga, pedang yang dipakai gemilapan menyilaukan mata, nyata itu adalah sebatang Pokiam atau pedang pusaka, demikian pula Kiam-hoat yang dilontarkan lihay luar biasa. Tentu saja Li Bok-chiu menjadi terkesiap oleh semua ini.

“He, kau adalah nona keluarga Kwe dari Tho-hoa-to, bukan?” tanyanya segera.

“Kau kenal juga padaku!” sahut Kwe Hu tertawa sambil melompat ke atas terus menusuk cepat.

“Hm, sungguh sombong kau bocah perempuan,” jengek Li Bok-chiu dalam hati, sambil kebutnya menangkis. “Dengan sedikit kepandaianmu, kalau bukan keder terhadap orang tuamu, jangan kata kau hanya satu orang, meski sepuluh orang pun sekaligus aku mampuskan semua.”

Selagi ujung kebutnya diayun hendak melilit pedang orang, sekonyong-konyong ada angin tajam menyambar lagi dari samping.

Harus diketahui bahwa ilmu silat kedua saudara Bu dan Kwe Hu adalah sama-sama dari ajaran Kwe Ceng sendiri. Ketiga muda-mudi ini tinggal setempat di Tho-hoa-to, Kiam-hoat yang mereka pelajari serupa, oleh karena itu setiap gerak serangan mereka dapat bekerja sama dengan rapat sekali. Ditambah lagi ada dua rajawali yang turut mengerubut hingga Li Bok-chiu rada kerepotan. Sebenarnya jika lewat sedikit lama lagi pasti salah satu di antara mereka bisa dirobohkan Li Bok-chiu dan tinggal dua yang lain tentu sukar buat menyelamatkan diri.

Tapi Li Bok-chiu berhadapan dengan orang banyak. Ia kuatir kalau lawannya mengerubut maju semua, susah baginya untuk melayani. Apa lagi kalau Kwe Ceng suami-isteri menyusul datang pula, lebih celaka baginya. Karena pikiran itulah, begitu kebutnya menyabet lagi, dengan tertawa ia berkata:

“Lihatlah, sekarang biar nonamu unjuk permainan joget monyet!”

Menyusul kebutnya langsung menyambar berturut-turut enam kali, setiap serangannya selalu mengincar tempat-tempat yang berbahaya, maka Kwe Hu dan Bu-si Hengte segera terdesak hingga kelabakan dan tiada hentinya melompat-lompat menghindari, tampaknya menjadi seperti monyet. Kemudian Li Bok-chiu menyabet lagi satu kali dengan keras, lalu dia putar tubuh sambil berseru:

“Ling-po, marilah pergi!” Kemudian, guru dan murid ini kabur ke arah barat laut.

“Ha-ha-ha, Bu-si-koko, dia ketakutan pada kita. Hayo, lekas kejar!” teriak Kwe Hu. Selesai berkata, dengan pedang terhunus ia pun cepat mengudak. Dengan ilmu entengkan tubuh segera Bu-si Hengte menyusul.

Namun larinya Li Bok-chiu dan Ang Ling-po ternyata cepat luar biasa. Tampaknya mereka berlenggang kangkung seenaknya, tetapi sedikit pun tiada debu yang mengepul di bawah kaki mereka, meski Kwe Hu dan Bu-si Hengte telah ‘tancap gas’ sekencang-kencangnya, namun jarak di antara mereka dengan Li Bok-chiu berdua makin lama semakin jauh. Hanya kedua ekor rajawali itulah yang masih mampu menyandak, kadang-kadang kedua binatang itu masih menubruk ke bawah buat memagut.

Agaknya Bu Tun-si lebih bisa berpikir. Dia tahu harapan membalas dendam hari ini tidak mungkin bisa terlaksana, maka dia bersuit panjang memanggil kembali kedua rajawali itu.

Karena kuatir ketiga orang itu terjadi sesuatu, maka Yalu Ce dan lainnya ikut menyusul. Demi nampak Kwe Hu dan Bu-si Hengte sudah balik kembali, segera mereka saling memberi hormat. Karena mereka sama-sama berwatak muda, maka begitu bicara mereka pun sangat cocok satu sama lain.

“He, di manakah Yo-heng?” seru Yalu Ce tiba-tiba teringat pada Yo Ko.

“Seorang diri dia sudah pergi,” kata Wanyen Peng, “Aku tanya dia hendak ke mana, tetapi dia tidak gubris lagi padaku.” Habis berkata, Wanyen Peng menunduk kesal.

Waktu Yalu Ce berlari ke atas tanah tinggi buat memandang, ia lihat si gadis baju hijau sedang berjalan berendeng dengan Liok Bu-siang dan sudah agak jauh. Karena mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya, maka tak enak Yalu Ce hendak memanggilnya, sebaliknya bayangan Yo Ko sama sekali tak kelihatan.

Saat itu perasaan Yalu Ce seolah-olah kehilangan sesuatu. Biar pun baru pertama kali ini dia bertemu Yo Ko, tetapi melihat ilmu silatnya tinggi dan wataknya jujur terus terang, sekali bertemu saja rasanya sangat cocok. Biar pun tadi didengarnya Li Bok-chiu menista orang berbuat sesuatu yang tak senonoh dengan gurunya, tetapi betapa pun juga rasa persahabatannya dengan Yo Ko lebih menang dari pandangan hina karena kata-kata Li Bok-chiu. Ia pikir:

“Seorang muda gagah perkasa seperti dia (Yo Ko) ini sesungguhnya susah diketemukan. Seumpama betul-betul ada sesuatu perbuatannya yang kurang baik, kalau aku menasihati dia dan asal dia mau perbaiki diri, rasanya masih belum kecewa sebagai seorang laki-laki sejati.” Dan kini mendadak Yo Ko pergi tanpa pamit, Yalu Ce menjadi seperti kehilangan seorang sahabat lama.

Ternyata tadi waktu Yo Ko melihat Bu-si Hengte menyusul datang dan bersama Kwe Hu mengeroyok Li Bok-chiu, kelakuan tiga muda-mudi itu sepertinya rapat dan rukun sekali, Kiam-hoat mereka pun bagus luar biasa hingga dalam beberapa gebrak saja sudah bikin Li Bok-chiu melarikan diri.

Ia tidak tahu larinya Li Bok-chiu sebab takut pada Kwe Ceng dan Oey Yong, sebaliknya ia menyangka Kiam-hoat ketiga orang itu yang membikin Li Bok-chiu dipaksa kabur. Pikiran ini disebabkan dahulu waktu Yo Ko diantar ke Cong-lam-san oleh Kwe Ceng, di sana Kwe Ceng telah unjuk ketangkasannya dan mengalahkan tidak sedikit imam dari Coan-cin-kau. Ilmu silat yang sangat tinggi itu terlalu berkesan dalam hati kecil Yo Ko, oleh sebab itu ia pikir murid ajaran Kwe Ceng sudah tentu kepandaiannya berpuluh kali lebih hebat dari pada dirinya.

Begitulah makin dipikir ia makin mendongkol. Teringat lagi oleh Yo Ko dahulu di Tho-hoa-to telah dihajar Bu-si Hengte sampai babak belur dan terpaksa bersembunyi dalam goa semalam sehari. Pula terpikir olehnya Oey Yong sengaja tidak mau mengajarkan ilmu silat padanya, sebaliknya Kwe Ceng malah mengirim dirinya ke Tiong-yang-kiong untuk disiksa oleh kawanan imam jahat itu.

Semuanya ini membikin perasaannya bergejolak, ditambah lagi dilihatnya Wanyen Peng, Liok Bu-siang, si gadis baju hijau dan Yalu Ce sedang memandang kepada dirinya dengan muka yang sangsi-sangsi hingga Yo Ko sendiri berpikir pula. “Hm, tentu kalian mengejek dan memandang hina padaku!”

Begitulah timbul rasa benci pada diri Yo Ko, mendadak dia angkat kaki lalu lari seperti keranjingan setan, ia pun tidak menuruti jalanan umum, melainkan alas pegunungan yang diterobosnya tanpa tujuan. Dalam keadaan kehilangan pribadinya itu, Yo Ko anggap di seluruh kolong langit semua orang memusuhinya. Padahal mukanya memakai kedok kulit, meski wajahnya berubah, Wanyen Peng dan lain-lainnya mana dapat mengetahuinya? Mengapa tanpa sebab orang mengejek dan menghina padanya?

Sesungguhnya Yo Ko dari utara hendak menuju ke selatan, tetapi kini karena ingin meninggalkan orang-orang itu sejauh mungkin, maka dia malah balik menuju ke jurusan utara.

Dalam kusutnya pikiran dan benci kepada sesamanya, Yo Ko tanggalkan kedok yang dia pakai terus gentayangan seorang diri di antara pegunungan yang sepi. Bila perutnya lapar, ia petik buah-buah-an untuk mengisi perut. Semakin jalan semakin jauh dan makin lama makin menanjak tinggi. Tiada sebulan, kondisi badan Yo Ko sudah berubah hebat, kini tubuhnya mulai kurus kering, pakaiannya compang-camping tak terurus. Dan akhirnya ia pun berada di sebuah gunung besar yang tinggi.

Ia tidak tahu bahwa waktu itu dirinya berada di atas Hoa-san (gunung Hoa), satu di antara lima gunung terbesar di kolong langit. Ia lihat keadaan gunung sangat curam dan terjal, tetapi dengan perasaan beku, ia justru makin menanjak ke atas ke bagian yang tertinggi.

Walau pun Ginkang Yo Ko amat tinggi, tetapi Hoa-san adalah pegunungan yang terkenal terjalnya di kolong langit ini, kalau hendak ditanjaki begitu saja oleh Yo Ko rasanya tidak dapat dilakukannya dengan mudah. Baru saja dia sampai di tengah gunung, tiba2 cuaca menjadi gelap, awan mendung menutup tebal, menyusul mana turunlah hujan salju yang berhamburan.

Tetapi dalam keadaan masgul itu Yo Ko justru semakin menyiksa diri sebisa-bisanya. Dia bukan dia mencari tempat meneduh, tetapi semakin besar turunnya salju, dia melanjutkan perjalanan semakin nekad ke tempat yang paling curam dan berbahaya. Ketika hari telah gelap, turunnya salju bertambah lebat hingga jalanan sangat licin dan susah dikenali lagi.

Dalam keadaan begitu, kalau sedikit saja salah melangkah, dapat dipastikan Yo Ko akan tergelincir ke dalam jurang dan badan tentu hancur lebur. Namun demikian, sama sekali hal mana tidak dipikirkan oleh Yo Ko, ia pandang jiwanya waktu itu seperti tiada harganya dan masih terus menanjak ke atas dengan nekat.

Tak lama pula, mendadak Yo Ko dengar di belakangnya ada suara gemerisik yang sangat perlahan sekali seperti ada sesuatu binatang yang berjalan di tanah salju itu. Waktu Yo Ko menoleh, tiada sesuatu yang dilihatnya, tetapi di tanah salju itu tertampak ada serentetan bekas tapak kaki di samping bekas tapak kaki dirinya sendiri.

Yo Ko terperanjat melihat bekas tapak kaki itu, terang ada orang yang sedang menguntit dirinya, tetapi waktu ia menoleh kenapa tak sebuah pun bayangan yang dilihatnya? Kalau dibilang setan seharusnya tak sampai meninggalkan bekas kaki, sebaliknya bila manusia, kenapa gerak tubuhnya bisa begitu cepat dan mendadak menghilang?

Sesudah merandek sejenak, kemudian Yo Ko berjalan kembali. Tapi baru belasan tindak, suara gemerisik di belakangnya berbunyi pula, nyata sekali itu adalah suara orang yang berjalan di atas salju.

Tiba-tiba Yo Ko menoleh lagi. Dengan tindakan yang cepat dan di luar dugaan ini, ia pikir sekali ini pasti bisa mengetahui siapakah gerangan orang itu. Siapa duga, tetap yang dia lihat hanya dua baris bekas kaki saja di tanah salju, sedang ujung baju orang sedikit pun tak tertampak olehnya.

Kalau orang lain, menghadapi keadaan begitu, sungguh pun ilmu silatnya tinggi, tentu juga akan merasa takut dan mengkirik. Tetapi Yo Ko sudah tak sayangkan jiwanya lagi, malah dia sangat tertarik oleh kejadian itu, ia justru ingin cari tahu sampai ke-akar2nya.

Dia pikir di sekitarnya tiada tumbuh pepohonan dan tempat-tempat lain yang dapat dibuat bersembunyi. Di sebelah sana adalah dinding gunung tinggi dan di sebelah lainnya adalah jurang, apa mungkin orang itu dapat terbang ke atas? Sekali pun bisa terbang pasti akan kelihatan juga!

Begitulah sambil jalan sembari Yo Ko memikir, sementara itu suara gemerisik di belakang terdengar berjangkit lagi.

“Orang ini pasti berilmu silat sangat tinggi, begitu melihat pundakku bergerak, segera dia tahu aku akan berpaling terus mendahului sembunyi,” demikian Yo Ko membatin, “Sekali ini biar pundakku tak bergerak, coba dia bisa lari ke mana lagi?”

Lalu dengan tabah ia merangkak ke atas pula. Satu saat, mendadak ia membungkuk ke depan dan memandang ke belakang melalui sela-sela selangkangan.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar