Minggu, 18 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 054

Ketika nampak Wanyen Peng juga berada di situ, kedua orang itu rada terperanjat, tetapi sesudah memanggut, lalu mereka mengambil tempat duduknya sendiri.

Secara diam-diam Li Bok-chiu amat kagum terhadap sepasang muda-mudi yang ganteng dan cantik itu, ia menyangka suami isteri, tak tahunya hanya saudara saja.

Kiranya setelah peristiwa Wanyen Peng mencari balas pada ayahnya, Yalu Ce menduga si gadis tak berani datang lagi, maka bersama adik perempuannya, Yalu Yen, mereka pesiar keluar untuk menikmati keindahan alam daerah Kanglam ini, di sini pula bertemu dengan Wanyen Peng, tentu saja mereka bertambah lega meninggalkan ayah mereka.

Sementara itu, karena ‘Ngo-tok-pit-toan’ atau ‘Kitab Panca-bisa’ yang tercuri itu disangka telah jatuh ke tangan orang Kay-pang, Li Bok-chiu sedang masgul, dalam beberapa hari ini boleh dikatakan tak doyan makan dan tak nyenyak tidur. Oleh karena itu, baru makan setengah mangkok bakmi, dia lantas meletakkan sumpitnya kemudian memandang iseng keluar restoran.

Tiba-tiba saja tampak olehnya di simpang jalan sana berdiri dua pengemis, punggung mereka masing-masing menggendong tujuh buah kantong kain, nyata mereka adalah ‘Chit-te-tecu’ atau anak murid berkantong tujuh dari Kay-pang.

Muncul lagi seorang pengemis yang lain, dengan tergesa-gesa pengemis yang belakangan ini mendekati kedua kawannya dan bisik-bisik sejenak, kemudian dengan langkah cepat lantas pergi lagi.

Tergerak pikiran Li Bok-chiu. Tiba-tiba dia memanggil kedua pengemis itu melalui jendela loteng:

“Kedua Enghiong dari Kay-pang, silakan naik ke atas, ada sesuatu yang ingin kuminta tolong agar kalian sampaikan pada pangcu perkumpulanmu.”

Li Bok-chiu tahu kalau memanggil orang begitu saja pasti kedua pengemis itu tidak akan mau gubris padanya, tapi kalau bilang ada pesan untuk pangcu mereka, sekali pun harus menghadapi bahaya seberapa pun besarnya, pasti anak murid Kay-pang akan datang kepadanya.

Karena mendengar gurunya memanggil orang dari Kay-pang yang diduga tentu hendak ditanyai kemana dibawanya kitab ‘panca-bisa’ itu, tanpa tertahan lagi muka Liok Bu-siang menjadi pucat. Dia insaf sekali ini kebohongannya pasti akan terbongkar.

Di sebelah sana Yalu Ce juga merasa heran oleh kelakuan Li Bok-chiu. Dia kenal nama Kay-pang yang pengaruhnya sangat besar di daerah utara. Akan tetapi satu To-koh setengah umur yang biasa seperti ini ternyata bilang bahwa ada sesuatu pesan hendak disampaikan kepada Pangcu mereka, dia menjadi tertarik untuk mengetahui macam apakah diri si To-koh ini. Maka ia berhenti minum arak, ia melirik dan memperhatikan gerak-gerik orang.

Selang tak lama kemudian naiklah kedua pengemis yang dipanggil tadi, mereka memberi hormat kepada Li Bok-chiu dan bertanya:

“Ada pesan apakah Sian-koh, tentu akan kami sampaikan.”

Setelah berdiri tegak, salah satu pengemis itu melihat Liok Bu-siang juga berada bersama dengan imam wanita itu, keruan saja air mukanya seketika berubah. Ternyata pengemis ini pernah ikut mencegat Bu-siang di tengah jalan bersama beberapa kawannya berkantong tujuh. Karena itu cepat ia menarik pengemis satunya, keduanya lantas melompat dekat tangga, dengan sebelah telapak tangan berlindung di depan dada, mereka siap melayani musuh.

Li Bok-chiu tersenyum melihat kelakuan kedua pengemis itu. “Coba kalian berdua melihat punggung tanganmu,” dengan suara halus ia berkata.

Berbareng kedua pengemis itu memandang balik tangan mereka, maka terlihatlah setiap telapak tangan mereka masing-masing sudah tercetak sebuah cap tangan yang berwarna merah darah. Nyata, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu Li Bok-chiu telah unjukkan pukulan saktinya, Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti panca bisa. Cara turun tangan Li Bok-chiu bukan saja di luar tahu kedua pengemis itu, bahkan Yo Ko dan Yalu Ce juga tidak melihatnya dengan jelas.

“Kau... kau adalah Jik-Iian-sian-cu?” teriak kedua pengemis itu berbareng setelah terkejut sejenak.

Li Bok-chiu tak menjawab melainkan dengan perlahan ia tuang setengah cawan araknya, lalu ia angkat cawannya. Ketika jarinya menyentil, mendadak cawan arak itu terbang ke atas, isi cawan terus mancur turun lurus ke bawah. Ketika Bok-chiu menengadah, setengah cawan arak itu masuk semua ke mulutnya tanpa menciprat keluar setetes pun. Yang lebih aneh, cawan arak yang terbang disentil itu tahu-tahu menyambar balik lagi ke tangannya sesudah berputar di udara.

Ternyata tenaga menyentil yang dipakai Li Bok-chiu begitu tepat. Inilah ilmu kepandaian tertinggi dari cara menimpuk senjata rahasia, meski termasuk ilmu dari Ko-bong-pay pula, tetapi Yo Ko harus malu diri karena belum bisa memadai sang Supek dan masih jauh dari pada sanggup ‘menyentil cawan dan menenggak arak’ itu.

“Nah, bilanglah kepada pangcu kalian,” kata Li Bok-chiu kemudian setelah unjukkan ilmu saktinya tadi, “bahwa Kay-pang kalian dengan aku orang she Li selamanya ‘air sungai tak menggenangi air sumur’, selamanya aku pun mengagumi kawan-kawan Kay-pang yang gagah perkasa, cuma sayangnya tak ada kesempatan untuk bertemu dan minta petunjuk. Sungguh hal ini harus dibuat menyesal...”

“Enak saja kata-katanya itu, tetapi kenapa tanpa sebab tiada alasan kau turun tangan keji terhadap kami?” demikian pikir kedua pengemis itu sambil saling pandang.

“Kalian berdua sudah kena pukulanku Ngo-tok-sin-ciang, tapi hal ini tak perlu dibuat kuatir. Asal kitab dikembalikan, tentu akan kusembuhkan kalian berdua,” kata Li Bok-chiu lagi setelah berhenti sejenak.

“Kitab apa?” tanya salah satu pengemis.

“Kalau diceritakan kitab itu pun tak laku beberapa duit. Jika perkumpulan kalian berkeras tidak mau mengembalikan, sebenarnya tidak menjadi soal,” demikian sahut Bok-chiu dengan tertawa, “Cuma sebagai gantinya, terpaksa aku minta bayaran dengan seribu jiwa pengemis goIonganmu.”

Walau pun kedua pengemis itu belum merasakan tangan mereka ada tanda-tanda aneh, namun setiap kali Li Bok-chiu berkata, tanpa tertahan mereka pun memandang ke tangan yang terpukul itu. Saking jerinya terhadap Jik-lian-sin-ciang yang maha tersohor karena kejinya, dalam bayangan kedua pengemis itu seakan-akan merasakan tanda merah di telapak tangan mereka per-Iahan sedang meluas. Apa lagi kini mendengar Li Bok-chiu bilang hendak minta ganti seribu jiwa kawan mereka, mereka pikir tiada jalan lain kecuali lekas-lekas kembali melapor kepada Pangcu. Maka setelah saling memberi tanda, segera mereka berlari turun ke bawah.

Nampak orang melarikan diri, Li Bok-chiu pikir: “Kalian sudah terkena pukulan maut, di jagat ini kecuali It-ting Taysu tidak ada lagi yang mampu mengobati, jika Pangcu kalian inginkan jiwa kalian tentu dia akan menurut dan serahkan Ngo-tok-pit-toan padaku. Tapi... wah, celaka, kalau mereka menyalin kitab itu dan kitab aslinya baru dikembalikan kepadaku, bukankah aku kena ditipu mentah-mentah?”

Segera ia berpikir lagi: “Memang celaka, padahal segala macam cara memunahkan racun pukulan dan senjata rahasia, semuanya telah kutulis dalam kitab itu dengan jelas. Jika mereka bisa memiliki kitab itu, buat apa mereka datang memohon pertolonganku?”

Teringat akan itu, tanpa terasa mukanya menjadi pucat. Begitu tubuhnya melesat, tahu-tahu dia mencelat lantas menghadang di tengah tangga di depan kedua pengemis yang sedang melarikan diri itu. Begitu dua tangannya bekerja, susul menyusul dua kali pukulan telah memaksa kedua pengemis itu balik lagi ke atas loteng.

Tindakan Li Bok-chiu ternyata cepat bukan main, hanya terlihat bayangannya berkelebat tahu-tahu sebelah lengan salah satu pengemis telah dia pegang terus ditekuk sekuatnya. Maka terdengarlah suara gemelutuk, tulang lengan orang sudah patah hingga tangannya melambai ke bawah dengan lemas.



MENGEROYOK LI BOK-CHIU

Tentu saja pengemis yang lain sangat kaget, namun di sinilah terbukti betapa setia kawan antara kaum pengemis. Dia bukannya melarikan diri, sebaliknya malah menubruk maju untuk melindungi kawannya yang terluka. Ketika melihat Li Bok-chiu merangsek maju lagi, kontan dia pun mendahului memukul.

Tanpa terduga, kembali tangan Li Bok-chiu bergerak perlahan, kepalan si pengemis yang memukul ini kena ditangkapnya dan sekalian pula ditekuk, maka tulang lengannya segera senasib dengan kawannya, kena dipatahkan lagi.

Hanya sekali gebrak saja kedua pengemis itu sudah dihajar Li Bok-chiu hingga luka parah, maka insyaflah mereka bahwa hari ini mereka tentu celaka. Namun demikian mereka tak menyerah mentah-mentah, dengan punggung menempel punggung mereka berdempetan satu sama lain dan dengan sebelah tangan masing-masing yang masih sehat mereka siap menempur musuh.

“Sebaiknya kalian berdua tinggal di sini dahulu, tunggu Pangcu kalian datang sendiri sambil membawa kitabku,” terdengar Li Bok-chiu berkata dengan lembut.

Melihat orang habis berkata terus kembali ke mejanya buat minum arak, malah duduknya mungkur ke arah mereka, maka kedua pengemis itu menggeser perlahan ke tepi tangga dengan maksud bila ada kesempatan terus hendak kabur. Tak terduga mendadak Li Bok-chu berpaling.

“Tampaknya tulang kaki kalian berdua harus dipatahkan juga, dengan begitu baru kalian kerasan tinggal di sini,” katanya dengan tersenyum, sembari berkata ia pun berdiri.

“Suhu, biarlah aku yang menjaga mereka, tak akan bisa kabur,” tukas Ang Ling-po. Rupanya ia tak tega juga melihat kekejian sang guru.

“Hm, bajik juga hatimu,” jengek Li Bok-chiu, namun dengan perlahan-lahan ia masih terus mendekati kedua pengemis itu.

Saking murkanya mata kedua pengemis itu merah berapi. Mereka sudah ambil keputusan tiada jalan lain dari pada adu jiwa dengan musuh.

Sejak tadi Yalu Ce kakak beradik hanya menonton dengan tenang, watak mereka berdua sebenarnya sangat keras, kini tak tahan lagi, serentak mereka berdiri.

“Sam-moay, lekas kau pergi, perempuan ini terlalu lihay,” dengan suara perlahan Yalu Ce berpesan kepada adiknya.

“Dan kau sendiri?” tanya Yalu Yen.

“Sesudah menolong kedua pengemis ini, segera aku melarikan diri,” sahut Yalu Ce.

Biasanya Yalu Yen menjunjung sang kakak ini bagai malaikat dewata, tapi kini mendengar orang pun nanti akan menyelamatkan diri, dalam hati si gadis menjadi ragu-ragu. Pada saat itulah dengan keras mendadak Yo Ko menggebrak meja, lalu didekatinya Yalu Ce.

“Yalu-heng (saudara Yalu), mari kita berdua turun tangan bersama untuk menolong orang, bagaimana?” ajak Yo Ko.

Melihat Yo Ko mengenakan pakaian Mongol dan mukanya sangat jelek, Yalu Ce merasa belum pernah kenal orang macam ini. Dia pikir bila mana orang berada bersama Wanyen Peng, tentu saja kenal siapakah dirinya. Namun dia tadi sudah menyaksikan ilmu silat Li Bok-chiu, dia yakin tidak bisa menandinginya, kalau sembarangan turun tangan, berarti mengantar jiwa belaka. Oleh karena itu, seketika ia ragu-ragu tak menjawab ajakan Yo Ko tadi.

Di lain pihak, begitu mendengar Yo Ko membuka suara, segera Li Bok-chiu mengamat-amati si pemuda dari kepala sampai ke kaki dan sebaliknya. Ia merasa lagu suara orang sudah dikenalnya entah di mana. Tetapi muka orang begitu rupa, jika pernah dikenalnya, tidak mungkin bisa melupakannya, maka dapat dipastikan memang belum pernah kenal.

“Aku tak bersenjata, terpaksa harus pinjam dulu,” sementara Yo Ko berkata lagi.

Kemudian, mendadak tubuhnya melesat cepat, ia menyerempet lewat samping Ang Ling-po. Waktu tangannya menguIur, tahu-tahu kerangka pedang yang tergantung di pinggang orang sudah dia ambil, malahan pipi Ang Ling-po dia kecup pula satu kali.

“Ehm, wanginya!” demikian seru Yo Ko sengaja.

Keruan Ang Ling-po amat murka, tangannya membalik terus menggablok. Namun sedikit menunduk Yo Ko sudah berhasil menghindarkan serangan itu dan menerobos pergi untuk kemudian berdiri di antara kedua pengemis itu dan Li Bok-chiu. Tindakan dan perbuatan Yo Ko itu dilakukan secara cepat luar biasa, keruan dalam hati Li Bok-chiu diam-diam terperanjat, sebaliknya Yalu Ce menjadi girang.

“Siapakah she dan nama saudara yang mulia ini?” segera ia berseru menanya.

“Siaute she Yo,” sahut Yo Ko sembari gerakkan tangannya, dia angkat kerangka pedang sambaran dari pinggang Ang Ling-po dan menyambung:

“Aku tahu isi di dalamnya adalah pedang buntung!”

Dan waktu pedang dia IoIoskan, betul saja pedangnya memang kutungan. Mendadak Ang Ling-po sadar.

“Anak keparat!” serunya cepat. “Suhu, dia inilah yang kita cari.”

Karena orang sudah mengenali dirinya, Yo Ko tak perlu main sandiwara lagi, topeng kulit yang dia pakai segera ditanggalkan.

“Supek, Suci, Tecu Yo Ko memberi hormat,” katanya kepada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po.

Mendengar Yo Ko memanggil Supek dan Suci, bukan hanya Yalu Ce saja yang menjadi bingung, begitu pula Liok Bu-siang pun luar biasa kagetnya.

“He, kenapa si Tolol ini memanggil mereka Supek dan Suci?” demikian Bu-siang tak habis mengerti.

Sementara itu dengan tersenyum dingin Li Bok-chiu menjawab: “Hm, gurumu baik-baikkah?”

Mendengar Siao-liong-li ditanyakan, seketika itu hati Yo Ko berduka hingga matanya pun basah.

“Gurumu sungguh pintar mengajar murid,” demikian kata Li Bok-chiu sambil tertawa.

Kiranya kemarin setelah saling gebrak tiga jurus, dengan tipu gerakan yang aneh Yo Ko telah patahkan tiga kali serangan ‘Sam-bu-sam-put-jiu’, dia telah berpikir dan tetap tidak dapat meraba dari aliran manakah tipu-tipu Yo Ko. Oleh sebab itu dia menjadi ragu-ragu apakah imam kecil yang bertarung dengan dirinya itu Yo Ko adanya? Ia pikir bila benar murid sang Sumoay, lalu dari mana bisa memiliki ilmu silat yang begitu tinggi dan aneh?

Kini sesudah mendengar si Yo Ko memanggil “Supek” dan “Suci”, maka percayalah dia memang betul si pemuda yang beberapa tahun yang lalu dilihatnya di kuburan kuno itu. Keruan saja diam-diam ia terperanjat, pikirnya: “Sekarang saja bocah ini sudah begini lihay, apa Iagi Sumoay sendiri, betapa hebat kepandaiannya.” Biar pun berpikir begitu, tetapi mukanya sedikit pun tidak mengunjukkan perasaan hatinya.

Namun Yo Ko amat cerdik, ia dapat menerka apa yang orang sedang pikir, maka kembali ia memberi hormat dan berkata lagi:

“Suhu suruh aku menyampaikan salam pada Supek!”

“O, di manakah dia?” tanya Li Bok-chio, “Kami berdua sudah lama tak berjumpa.”

“Suhu berada di sekitar sini saja, tak lama lagi tentu beliau akan datang menemui Supek,” sahut Yo Ko.

Nyata pemuda ini tahu bahwa dirinya bukan tandingan Li Bok-chiu, sekali pun masih ditambah dengan Yalu Ce tetapi sukar memperoleh kemenangan, maka ia sengaja pakai akal ‘gertak sambel’, ia coba tonjolkan gurunya, Siao-liong-li, untuk menakuti orang.

“Aku lagi berurusan dengan murid sendiri, sangkut paut apa dengan gurumu?” demikian kata Li Bok-chiu. Dari lagu suaranya ini nyata ia rada jeri terhadap Siao-Iiong-li.

“Tetapi Suhu ingin minta kemurahan hati Supek agar suka ampuni Sumoay (maksudnya Liok Bu-siang) saja,” kata Yo Ko.

“Huhh! Kau sudah main gila dan melakukan perbuatan terkutuk seperti binatang dengan gurumu sendiri, sekarang kau masih menyebut dia Suhu terus menerus di hadapan orang banyak, sungguh tidak tahu malu!” ejek Li Bok-chiu tiba-tiba dengan tertawa.

Alangkah murkanya Yo Ko mendengar nista itu, mukanya seketika pucat lesi. Dalam hati dia menjunjung Siao-Iiong-li bagai malaikat dewata, kini orang berani menista gurunya, seketika darah seakan-akan mendidih, tanpa pikir lagi kerangka pedang rampasannya tadi segera dipakai sebagai pedang terus ditusukkannya pada Li Bok-chiu.

“Ha-ha, perbuatanmu yang kotor itu memangnya takut dibongkar orang, ya?” Li Bok-chiu tertawa mengolok-olok lagi.

Namun dengan Kiam-hoat dari Coan-cin-pay, Yo Ko melontarkan serangan yang gencar dan lihay luar biasa. Itu adalah ilmu silat warisan mendiang Ong Tiong-yang khusus untuk mengalahkan ilmu pedang ‘Giok-li-kiam-hoat’ ciptaan Ong Tiao-eng, tiap-tiap serangannya selalu diarahkan tempat yang berbahaya di tubuh Li Bok-chiu.

Sedikit pun Li Bok-chiu tidak berani ayal, ia memutar kebutnya dengan sama cepatnya, ia tangkis setiap serangan dan menyambut pertempuran itu dengan seluruh perhatiannya.

Setelah lewat beberapa jurus, Li Bok-chiu merasakan Kiam-hoat lawannya ternyata hebat luar biasa, daya tekanannya pun semakin berat dan setiap gerak-gerik dirinya seolah-olah sudah dapat diketahui sebelumnya oleh lawan sehingga selalu kena didahului orang. Jika bukan dirinya memang lebih ulet, mungkin sejak tadi sudah terkalahkan.

“Suhu betul-betul pilih kasih, Kiam-hoat sebagus ini hanya diajarkan pada Sumoay saja,” demikian pikir Li Bok-chiu dengan gemas. Dia menyangka itu adalah Kiam-hoat golongan mereka sendiri.

Mendadak permainan silatnya berubah, tiba-tiba ia melompat ke atas meja, seketika kaki kanan menendang ke samping, kaki kiri lantas berdiri di atas sebuah cawan arak. Cara menginjaknya di atas cawan arak itu demikian tepat dan keseimbangan badannya begitu bagus, maka cawan itu sama sekali tidak tumpah atau miring barang sedikit pun.

“Ha-ha-ha, gendakmu itu pernah mengajarkan kepandaian seperti ini tidak?” dengan gelak tertawa Li Bok-chiu menyindir.

Yo Ko tercengang bingung sejenak, tetapi segera dia menjadi gusar. “Gendak apa maksudmu?!” damperatnya kemudian.

“Ha, pura-pura bodoh,” sahut Bok-chiu, “Sumoay-ku pernah bersumpah tidak akan turun gunung kalau Siu-kiong-seh belum lenyap dari lengannya. Kini dia telah turun gunung ikut kau, siapa lagi dia itu kalau bukan gendakmu?”
Tidak kepalang murka Yo Ko oleh tambahan nista orang yang keji itu, tanpa berkata lagi, kerangka pedang dia putar, begitu enjot tubuhnya segera ia pun melompat ke atas meja. Cuma Ginkang-nya masih belum memadai orang, maka Yo Ko tidak berani berdiri di atas cawan arak melainkan di atas sebuah mangkok, kerangka pedang lantas dia angkat menyerang dengan kalap.

“Ehm, tidak jelek juga Ginkang-mu ini!” dengan tertawa Li Bok-chiu mengejek sambil menangkis serangan orang. “Nyata gendakmu itu baik sekali terhadapmu, sudah cinta lagi berbudi, semuanya telah diajarkan padamu.”

Mendengar orang menistanya makin lama makin menjadi-jadi, rasa murka Yo Ko sungguh tak tertahankan.

“Orang she Li, kau ini manusia ataukah binatang? Kau mau bicara secara manusia tidak?” teriaknya murka, sembari memaki ia pun menyerang lebih nekad.

“Hm, kalau ingin orang lain tidak tahu kecuali kalau diri sendiri tak berbuat,” jengek Li Bok-chiu. “Ko-bong-pay bisa timbul dua manusia sampah seperti kalian ini, boleh dikata telah mencoreng muka habis-habisan.”

Begitulah, seraya menyambut setiap serangan Yo Ko, sambil tiada hentinya Li Bok-chiu menyindir dan mengolok-olok. Karena tak tahu hal ikhwalnya, Yalu Ce kakak beradik dan Liok Bu-siang hanya bisa saling pandang, kemudian karena Yo Ko tak sanggup membantah lagi sepatah kata pun, mereka berpikir tentu apa yang dikatakan Li Bok-chiu itu adalah kejadian sebenamya, maka tanpa terasa timbul rasa hina terhadap Yo Ko.

Harus diketahui meski ilmu silat Yo Ko sudah jauh maju, tapi sama sekali Li Bok-chiu tak gentar terhadapnya, yang dia kuatirkan adalah kalau Siao-Iiong-li sembunyi di sekitar situ kemudian mendadak muncul, berarti sukar baginya untuk melawan. Oleh sebab itu ia sengaja menista mereka dengan kata-kata yang sekotornya dengan tujuan agar Siao-liong-Ii menjadi malu sehingga tidak berani menampakkan diri.

Dasar sifat Yo Ko memang mudah tersinggung dan wataknya amat keras. Karena dinista secara kotor, perasaannya menjadi terpukuI sekali, kaki tangannya menjadi lemas dan gemetar, tiba-tiba kepala pun terasa puyeng, kemudian pandangannya menjadi gelap. Dia menjerit sekali, kerangka pedang terlepas dari cekalannya, orangnya pun lantas roboh ke bawah. Melihat ada kesempatan, Li Bok-chiu menjengek satu kali, kebutnya bekerja cepat, sekali pukul kepala Yo Ko segera disabetnya.

Tahu keadaan amat berbahaya, lekas Yalu Ce menyambar dua cawan arak dari meja terus ditimpukkan ke punggung Li Bok-chiu. Kedua cawan itu menghantam ‘Ci-yang-hiat’ dan ‘Yang-koen-hiat’ yang merupakan urat nadi penting di tubuh manusia.

Namun Iwekang Li Bok-chiu cukup tinggi. Mendengar dari belakang ada sambaran angin Am-gi atau senjata rahasia, cepat-cepat dia menarik napas dalam-dalam untuk menahan semua jalan darahnya. Dia pikir sekali pukul mampuskan Yo Ko dahulu, sekali pun Am-gi pembokong itu mengenai punggungnya juga takkan melukainya. Tak tahunya, belum tiba cawannya, arak di dalam cawan itu sudah muncrat datang lebih dulu sehingga kedua urat nadi tadi terasa rada kesemutan.

“Celaka! Kiranya Sumoay telah datang, Araknya saja demikian lihay, apa lagi cawannya?” begitulah keluhnya dalam hati.

Maka lekas-lekas ia memutar tubuh dan mengayun kebutnya ke belakang, dengan tepat kedua cawan arak itu kena disampuknya, tetapi terasa juga lengannya terguncang hebat. Keruan hatinya bertambah kuatir, ia heran mengapa tenaga sang Sumoay kini bisa begitu kuat? Tapi sesudah dia mengawasi, dia lihat orang yang menimpukkan cawan arak itu ternyata bukan Siao-liong-li melainkan si pemuda ganteng yang berdandan bangsa Mongol. Hal ini tentu saja semakin menambah terperanjatnya.

“Mengapa dari angkatan muda bisa muncul begini banyak jago-jago lihay?” demikian dia membatin.

Sementara itu ia melihat pemuda Mongol itu sudah meloloskan pedang dan dengan suara nyaring membuka suara:

“Cara turun tangan Sian-koh sebenarnya terlampau keji, maka cayhe ingin minta pengajaran beberapa jurus.”

Ia lihat si pemuda perlahan-lahan mendekati dirinya, langkahnya tampak mantap, melihat umurnya baru antara dua puluhan, tetapi gerak-geriknya cara menimpuk cawan arak tadi ternyata sudah memiliki keuletan latihan beberapa puluh tahun.

“Siapakah kau? Siapakah gurumu?” tanya Li Bok-chiu dengan sorot mata yang tajam.

“Cayhe Yalu Ce, anak murid Coan-cin-pay,” ujar Yalu Ce dengan sedikit membungkukkan tubuh.

Saat itu Yo Ko sudah siuman kembali. Dia lihat Wanyen Peng lagi memandang padanya sambil berjongkok, matanya tampak basah dan mukanya muram durja. Ketika mendadak mendengar Yalu Ce mengaku sebagai anak murid Coan-cin-pay, keruan Yo Ko terperanjat.

“Apa gurumu Ma Giok atau Khu Ju-ki?” tanya Li Bok-chiu.

“Bukan semua,” jawab Yalu Ce.

“Kalau begitu, tentunya Ong Ju-it bukan?” tanya Li Bok-chiu.

“Bukan!” sahut Yalu Ce tetap.

Tiba-tiba saja Li Bok-chiu tertawa terkekeh. “Dia sendiri mengaku murid Ong Tiong-yang, jika begitu kalian berdua ini tentunya Su-heng-te (saudara seperguruan),” katanya sambil menunjuk Yo Ko.

“Mana bisa?” sahut Yalu Ce terkejut. “Sudah lama Ong-cinjin wafat, mana bisa saudara ini adalah muridnya?”

“Huh, anak murid Coan-cin-pay memang tidak ada seorang pun yang baik. Awas senjata!” ejek Li Bok-chiu, berbareng kebutnya lantas memukul.

Dengan cepat Yalu Ce melangkah ke samping, tangan kirinya yang bergaya pedang cepat menusuk dengan tipu ‘ting-yang-ciam’ yang merupakan serangan asli dari Coan-cin-tiam-hoat.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar