Sabtu, 17 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 053

Tatkala itu Yalu Cu-cay dan lainnya sudah kembali ke kamarnya masing-masing. Yalu Ce baru saja hendak mengaso, tiba-tiba pintu kamarnya diketok orang.

“Wanyen Peng mohon bertemu dengan Yalu-kongcu,” demikian terdengar suara si gadis yang nyaring.

Segera ada empat pengawal datang merintangi Wanyen Peng, akan tetapi Yalu Ce sudah keburu membuka pintu kamarnya.

“Ada keperluan apa lagi, nona Wanyen?” tanyanya segera.

“Aku ingin belajar beberapa gebrak lagi dengan kau,” sahut Wanyen Peng.

Heran sekali Yalu Ce, ia pikir kenapa orang tidak tahu diri? Tetapi tak urung ia menyingkir ke samping sambil memberi tanda dengan tangan:

“Silakan masuk!”

Begitu masuk, tanpa bicara lagi Wanyen Peng lantas loloskan senjata terus mencecar tiga kali, di antara goloknya ia selingi pula dengan pukulan telapak tangan besinya.

Tetapi ilmu silat Yalu Ce memang jauh lebih tinggi. Dengan tangan kiri lurus ke bawah dia layani si gadis. Dengan tangan kanan melulu, dia balas memukul dan hendak menangkap senjata orang, dengan gampang saja semua serangan Wanyen Peng dapat dia patahkan. Dalam hati ia pun sedang pikirkan sesuatu daya-upaya agar bisa membikin Wanyen Peng kapok kemudian mundur teratur untuk selanjutnya tidak datang merecokinya lagi.

Lewat tak lama, selagi Wanyen Peng hendak mengeluarkan tiga tipu akal ajaran Yo Ko, mendadak di luar pintu terdengar suara seorang wanita berseru:

“Hmm, Yalu-kongcu, dia hendak menipu kau agar menggunakan tangan kiri.” Tidak salah lagi itulah suaranya Liok Bu-siang.

Untuk sesaat Yalu Ce tercengang, namun Wanyen Peng tidak memberikan kesempatan padanya untuk berpikir, segera dengan tipu ‘hun-hing-cin-nia’ ia membabat. Selagi Yalu Ce mengegos, sekonyong-konyong tangan kirinya diulur terus mencekal tangan kanan Yalu Ce dengan tipu ‘koh-tin-jiau-jiu’, menyusul goloknya diangkat terus menggorok lehernya sendiri!

Maka insaflah Yalu Ce oleh suara seruan di luar pintu tadi. Untuk sesaat pikirannya sudah bergantian beberapa kali: “Harus kutolong dia! Tetapi inilah tipunya untuk memancing aku menggunakan tangan kiri, jika aku menggerakkan tangan kiri, itu berarti aku menyerahkan jiwaku untuk diperbuat sesuka hatinya. Tapi biarlah, laki-laki sejati mati biarlah mati, mana boleh melihat orang mau bunuh diri tanpa menolongnya?”

Sesungguhnya Yo Ko sudah mentafsirkan jalan pikiran Yalu Ce. Asal mendadak tiga tipu serangan ajarannya dilontarkan, maka tidak bisa tidak pasti dia akan gunakan tangan kirinya buat menolong. Tapi siapa tahu Liok Bu-siang sengaja mengacau dan sebelumnya memperingatkan Yalu Ce.

Sungguh pun begitu, namun Yalu Ce memang manusia yang berbudi dan berhati mulia. Sudah terang diketahuinya, begitu ia keluarkan tangan kiri buat menolong Wanyen Peng maka jiwanya tak terjamin lagi, tapi pada saat yang berbahaya itu toh masih tetap tangan kirinya diulur untuk menangkis pergelangan tangan Wanyen Peng, menyusul tangannya membalik hingga Liu-yap-to itu dapat direbutnya.

Sesudah saling gebrak tiga jurus, kemudian masing-masing melompat mundur berbareng. Sambil menanti si gadis buka suara, Yalu Ce segera mendahului melemparkan golok rampasan padanya.

“Nyata kau dapat paksa aku menggunakan tangan kiri maka sekarang jiwaku kuserahkan padamu, cuma ada satu permohonanku padamu,” demikian katanya.

“Urusan apa?” tanya Wanyen Peng dengan muka pucat.

“Aku mohon kau jangan celakai ayahku lagi,” pinta Yalu Ce.

Wanyen Peng menjengek sekali, lalu dengan cepat ia melangkah maju, golok ia angkat, di bawah cahaya lampu ia melihat sikap Yalu Ce biasa saja tanpa jeri sedikit pun, bahkan penuh berwibawa. Wanyen Peng adalah gadis yang cantik dan halus budinya. Melihat seorang laki-laki sejati sedemikian ini, teringat olehnya sebab orang mempergunakan tangan kiri tak lain tak bukan adalah karena hendak menolong jiwanya, keruan goloknya itu tak tega dibacokkan. Tiba-tiba napsu membunuhnya yang membakar tadi menjadi ludes. Liu-yap-to yang sudah dia angkat itu mendadak dilemparkan ke lantai. Dengan menutup mukanya ia pun berlari pergi.


AKHIRNYA TERTAWAN JUGA

Dalam keadaan begitu Wanyen Peng menjadi seperti orang linglung, ia melangkah tanpa arah akhirnya sampai di tepi sebuah sungai. Sambil memandangi sinar bintang yang ber-kelip guram tercermin di air sungai, pikirannya kusut tidak keruan. Lewat lama dan lama sekali, Wanyen Peng menghela napas panjang. Tiba-tiba ia dengar di belakangnya ada orang menghela napas juga, di malam yang sunyi itu kedengarannya menjadi sangat seram. Dalam kagetnya segera Wanyen Peng berpaling. Maka terlihatlah satu orang berdiri di belakangnya, siapa lagi dia kalau bukan Yo Ko!

“Yo-toako,” ia menyapa sekali, lalu kepalanya menunduk dan tidak buka suara lagi.

“Moaycu (adik), urusan membalas dendam orang tua memang bukan perkara gampang, maka tidak perlu tergesa-gesa ingin lekas terlaksana,” kata Yo Ko sambil maju kemudian menggenggam tangan si gadis.

“Kau sudah menyaksikan semuanya?” tanya Wanyen Peng.

Yo Ko mengangguk.

“Manusia semacam aku ini, soal balas dendam sudah tentu bukan urusan gampang,” kata pula si gadis, “Tapi kalau aku bisa mempunyai setengah kepandaianmu rasanya tak mungkin aku bernasib begini.”

“Sekali pun aku bisa mempunyai ilmu silat seperti ini, tetapi apa guna?” ujar Yo Ko sambil menggandeng tangan orang lalu duduk berendeng di bawah satu pohon rindang, “Biar pun kau belum dapat membalas dendam, namun sedikitnya kau sudah tahu siapa musuhmu. Sebaliknya aku? Cara bagaimana ayahku tewas, hingga kini aku pun belum tahu, begitu pula siapa pembunuhnya juga tidak tahu, jangankan hendak menuntut balas, lebih-lebih tak perlu disebut lagi.”

“Ayah-bundamu juga dibunuh orang?” tanya Wanyen Peng dengan tercengang.

“Bukan, ibuku tewas digigit ular berbisa, sedangkan ayahku mati secara tak jelas, malah selamanya aku belum pernah melihat mukanya,” sahut Yo Ko sambil menghela napas.



“Kenapa bisa begitu?” tanya si gadis.

“Pada saat aku dilahirkan ayahku sudah keburu mati,” tutur Yo Ko. “Sering aku tanya ibu sebab apakah sebenarnya ayah mati dan siapa musuhnya, tapi setiap kali aku bertanya, selalu ibu mengucurkan air mata dan tidak menjawab, belakangan aku pun tak berani bertanya lagi. Aku pikir biarlah kelak kalau aku telah dewasa barulah bertanya lagi, tapi siapa tahu tiba-tiba ibu digigit ular. Sebelum ajalnya kembali aku bertanya mengenai kematian ayah. Kata ibuku: ‘Sepak terjang ayahmu memang tidak baik, maka kematiannya itu merupakan ganjaran. Orang yang membunuhnya memiliki kepandaian tinggi sekali, pula orang baik. Sudahlah, nak, seumur hidupmu ini jangan sekali-kali kau berpikir tentang balas dendam segala’, Ai, coba, cara bagaimana sebaiknya aku ini?”

Dengan penuturannya ini, maksud Yo Ko hendak menghibur Wanyen Peng, akan tetapi akhirnya ia sendiri menjadi berduka juga.

“Lalu siapakah yang membesarkan kau?” tanya Wanyen Peng.

“Siapa lagi? Sudah tentu kubesarkan diriku sendiri,” sahut Yo Ko. “Setelah wafatnya ibu, aku lantas terlunta-lunta di kalangan Kangouw, di sini aku mengemis sesuap nasi, di sana kulewatkan semalam, kadang-kadang saking tidak tahan lapar aku lantas mencuri sebuah semangka atau sepotong ubi sekedar tangsal perut, tetapi sering kali kena ditangkap oleh pemiliknya lantas dihajar babak belur. Lihat ini, di sini masih ada bekasnya, dan yang ini tulangnya... sampai menonjol, semua ini akibat dihajar orang waktu masih kecil.”

Sambil berkata lengan celananya digulung untuk menunjukkan tempat pada si gadis. Tetapi keadaan remang-remang, Wanyen Peng tidak jelas melihatnya, maka Yo Ko memegang tangannya lalu diletakkan pada belang bekas luka di betisnya.

Wanyen Peng berhati Iemah, dia memang dilahirkan sebagai seorang gadis perasa yang suka bersedih. Sambil meraba bekas luka betis orang, tanpa tertahan hatinya terasa pilu. Diam-diam ia pikir nasib dirinya meski pun negara hancur dan rumah runtuh, namun masih tidak sedikit terdapat sanak kadang serta tidak sedikit kekayaan yang ditinggalkan sang ayah. Kalau dibandingkan dengan nasib pemuda di hadapannya ini, sungguh dirinya masih boleh dikatakan jauh lebih beruntung.

Begitulah mereka saling diam sejenak, kemudian perlahan-lahan Wanyen Peng menarik tangannya dari betis orang, hanya masih membiarkan digenggam Yo Ko.

“Dan cara bagaimana lagi kau berhasil melatih ilmu silat seperti sekarang ini? Dan kenapa menjadi perwira Mongol?” tanyanya dengan lirih.

“Aku bukan perwira MongoI,” sahut Yo Ko. “Aku sengaja memakai baju bangsa Mongol, hendak menghindari pencarian seorang musuh.”

“Bagus kalau begitu!” kata Wanyen Peng tiba-tiba dengan girang.

“Kenapa bagus?” Yo Ko bingung.

Sedikit merah muka Wanyen Peng. “Bangsa Mongol adalah musuh besar negara kami, dengan sendirinya aku mengharap kau bukan perwira mereka,” sahutnya kemudian.

Hati Yo Ko terguncang sambil menggenggam tangan si gadis yang halus dan lunak itu. “Moaycu, jika aku adalah perwira Mongol, bagaimana perasaanmu terhadapku?” tanya Yo Ko tiba-tiba.

Sejak semula Wanyen Peng melihat tampang Yo Ko yang gagah dan ilmu silatnya tinggi, memang dia sudah suka. Belakangan mendengar lagi kisah hidupnya yang mengharukan, hal ini bahkan menambah rasa kasihannya, maka dia pun tidak menjadi marah meski mendengar kata-kata Yo Ko tadi rada blak-blakan.

“Kalau ayahku masih hidup, apa yang kau inginkan tentu akan menjadi mudah, tetapi kini ayah bundaku sudah tiada, apa lagi yang dapat kukatakan?” sahutnya kemudian dengan menghela napas.

Mendengar lagu suara orang yang lemah Iembut, Yo Ko seolah mendapat hati, ia berani ulurkan tangannya buat memegang pundak orang.

“Moaycu, bolehkah kumohon sesuatu,” rayunya dengan bisik-bisik.

Berdebar-debar hati si gadis. Apa yang dikehendaki Yo Ko sudah beberapa bagian dapat diduganya.

“Hal apa?” sahutnya rendah.

“Aku mohon diperkenankan mencium matamu! Ya, mata saja, yang lain-lain tak akan aku melanggarnya,” kata Yo Ko.

Mula-mula Wanyen Peng menyangka tentu si Yo Ko hendak meminang dirinya, malahan ia kuatir juga jangan-jangan pemuda ini menjadi lupa daratan kemudian main kasar terus melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh di tempat terbuka ini. Kalau sampai hal ini terjadi terang sekali dirinya tak bisa melawan.

Siapa tahu orang hanya mohon mencium matanya, maka terasa lega sedikit baginya, tapi entah mengapa, rasa dalam hati rada-rada kecewa dan sedikit heran, sungguh perasaan yang sangat ruwet dan aneh. Karena itu dengan tercengang ia pandang Yo Ko dengan kerlingan matanya yang basah-basah sayu dan sedikit rasa malu.

Begitu melihat kerlingan mata Wanyen Peng, tiba-tiba Yo Ko teringat pada saat sebelum perpisahannya yang terakhir dengan Siao-Iiong-li. Pada waktu itu Siao-liong-li pun pernah memandang dengan kerlingan mata yang maIu-malu dan mengandung arti yang dalam. Tak tertahan lagi ia menjerit, orangnya pun segara melompat bangun.

Tentu saja Wanyen Peng kaget oleh kelakuan si Yo Ko. Ingin dia tanya, namun terasa sukar membuka mulut.

Dalam pikirannya yang kacau itu, Yo Ko merasa kerlingan mata di hadapannya ini adalah kerlingan mata Siao-liong-li melulu. Dulu waktu pertama kali ia melihat kerlingan mata seperti ini, ia masih hijau pelonco dan sama sekali tak mengerti. Namun sejak ia turun gunung, berkumpul beberapa hari dengan Liok Bu-siang, ditambah hari ini bergaul dengan Wanyen Peng, maka mendadak jadi teringat olehnya maksud baik dan cinta halus dari Siao-liong-li, semua itu baru dia pahami sekarang.

Keruan dia menyesal tidak kepalang, bisa-bisa kepalanya hendak dia tumbukkan saja ke batang pohon di sampingnya biar mati sekalian.

“Begitu tulus cinta Kokoh padaku, ia sudah bilang hendak menjadi isteriku, tetapi aku mengecewakan maksud baiknya, sekarang ke mana harus kucari dia?” demikian terpikir olehnya.

Karena itu, mendadak dia menjerit sekali lagi, tiba-tiba Wanyen Peng ditubruknya lantas dipeluk kencang2, dengan bernapsu kelopak mata si gadis diciumnya.

Melihat orang bagaikan kalap dan seperti gila, Wanyen Peng terkejut bercampur girang, hendak meronta pun sukar karena didekap Yo Ko dengan kencang. Maka akhirnya ia pun pejamkan matanya dan membiarkan orang mencium sepuasnya. Terasa olehnya kelopak matanya kanan dan kiri diciumi Yo Ko. Ia pikir orang ini meski kasar dan seperti gila, namun apa yang sudah dikatakannya tadi ternyata dapat dipercaya juga. Sungguh aneh, mengapa mata saja yang terus diciuminya?

“Kokoh, Kokoh!” sekonyong-konyong didengarnya Yo Ko berteriak-teriak, suaranya penuh rasa hangat dan menggelora, tetapi terasa juga seperti sangat menderita.

Selagi Wanyen Peng hendak bertanya siapa yang dipanggilnya itu, mendadak terdengar suara seorang perempuan berkata di belakang mereka:

“Ma’af, kalian berdua!”

Yo Ko dan Wanyen Peng sama-sama kaget, segera tangan mereka yang saling genggam tadi terlepas dan lompat menjauh. Waktu mereka berpaling, tampaklah di bawah pohon berdiri seorang gadis baju hijau yang dikenali Yo Ko sebagai orang yang beberapa kali mengirim berita serta menolong Liok Bu-siang.

“Berulang kali mendapat bantuanmu, budi ini tak akan kulupakan,” cepat Yo Ko menyapa sambil memberi hormat.

Dengan laku sangat sopan gadis itu membalas hormat orang. “Rupanya Yo-ya sedang senang-senang karena ada kenalan baru, tetapi apa masih ingat pada kawan lama yang pernah mengalami mati-hidup bersama?” begitu katanya.

“Kau maksudkan...”

“Li Bok-chiu guru murid tadi telah menawannya pergi!” potong gadis itu sebelum Yo Ko selesai berkata.

Keruan Yo Ko sangat terkejut. “Apa betul?” ia menegas dengan suara gemetar. “Dia... dia ditawan ke mana?”

“Waktu kau sedang asyik-masyuk dengan nona ini, nona Liok ditawan Li Bok-chiu,” sahut gadis itu.

“Apa... apa tidak berhalangan atas dirinya?” tanya Yo Ko lagi.

“Untuk sementara ini rasanya tidak mengapa bagi keselamatannya,” kata si gadis, “Nona Liok tetap mengatakan kitab pusakanya itu telah direbut oleh Kay-pang, maka Jik-lian-mo-tau itu telah menggiring dia pergi pada kaum pengemis itu, jiwanya sementara tak menjadi soal tetapi siksaan badan rasanya sukar dihindarkan.”

Yo Ko adalah seorang yang gampang terguncang, maka segera dia mengajak: “Marilah, lekas kita pergi menolongnya.”

Siapa duga gadis itu hanya menggoyang kepala. “Meski ilmu silat Yo-ya sangat tinggi, tapi rasanya masih bukan tandingan iblis itu,” demikian sahutnya, “Barang kali jiwa kita hanya akan melayang percuma, sedang urusannya masih belum bisa ditolong,”

Walau dalam kegelapan, namun mata Yo Ko sangat tajam seperti memandang benda di siang hari saja, maka wajah si gadis baju hijau ini dapat dilihatnya sangat jelek dan aneh luar biasa. Otot daging di mukanya kaku tanpa bergerak sedikit pun seperti mayat hingga membikin seram orang yang memandangnya. Karena itu Yo Ko tidak berani memandang lebih lama.

“Orang ini amat baik terhadapku, tetapi aneh, kenapa terlahir dengan muka begini rupa?” demikian pikirnya. Maka kemudian ia pun bertanya:

“Dapatkah mengetahui she dan nama nona? Selamanya kita belum kenal, kenapa begitu mendapat perhatian nona?”

“Namaku tiada harganya buat disebut-sebut, kelak Yo-ya tentu akan tahu juga, kini yang paling penting lekas berdaya-upaya menolong orang,” sahut gadis itu.

Pada waktu berbicara air mukanya sedikit pun tidak tampak perubahannya, kalau bukan mendengar suara keluar dari mulutnya, sungguh orang bisa menyangka dia adalah mayat hidup. Namun aneh juga, suaranya nyaring merdu menarik.

“Kalau begitu, bagaimana menoIongnya, terserahlah pada keputusan nona, dengan hormat aku menurut petunjukmu saja,” kata Yo Ko kemudian.

“Hendaklah Yo-ya jangan sungkan-sungkan,” sahut gadis itu. “Ilmu silatmu berpuluh-puluh kali lipat di atasku, juga berpuluh kali lebih pintar, pula usiamu lebih tua, dan seorang laki-laki lagi, apa yang kau bilang baik tentunya baik, kedatanganku justru untuk menerima perintahmu.”

Mendengar kata-kata orang yang amat merendah dan menyenangkan ini, sungguh Yo Ko menjadi senang sekali.

“Jika begitu kita mengintilnya secara diam-diam saja, kita mencari kesempatan baik untuk turun tangan,” sahutnya kemudian sesudah berpikir.

“Memang itulah yang paling baik,” kata si gadis, “Tetapi entah bagaimana pendapat nona Wanyen?” Habis berkata, ia sendiri cepat-cepat menyingkir pergi dan membiarkan Yo Ko berunding dengan Wanyen Peng.

“Moaycu, sekarang aku hendak pergi menolong seorang kawan, kelak kita bertemu Iagi,” demikian kata Yo Ko.

“Tidak, Yo-toako, meski kepandaianku rendah, mungkin dapat juga aku memberi bantuan sekedarnya, biarlah aku ikut serta dengan kalian,” sahut Wanyen Peng.

Memang Yo Ko merasa berat kalau harus berpisah dengan dia, maka mendengar orang mau ikut, tentu saja ia amat girang.

“Bagus kalau begitu!” serunya senang.

Habis ini, dengan suara keras ia teriaki si gadis baju hijau tadi: “Nona, adik Wanyen Peng suka membantu kita dan ingin ikut pergi menolong orang!”

“Wanyen-kohnio, kau adalah puteri bangsawan, sebelum bertindak hendaklah kau pikirkan dulu,” dengan laku sangat hormat gadis baju hijau itu berkata pada Wanyen Peng. “Harus kau ketahui bahwa musuh yang akan kami hadapi ini kejamnya luar biasa, sampai orang Kangouw memanggil dia Jik-lian-sian-cu, mengumpamakan dia sekeji ular belang rantai, sungguh tidak mudah untuk menghadapinya.”

“Janganlah cici berkata begitu. Jangan kata Yo-toako ada budi padaku sehingga apa yang menjadi urusannya adalah urusanku juga, walau pun seorang kawan seperti cici saja, aku Wanyen Peng ingin kenal. Maka biarlah aku ikut pergi bersama cici, asal segalanya kita berlaku hati-hati,” demikian sahut Wanyen Peng.

“Hmm, baik sekali kalau begitu,” kata gadis itu dengan suara halus sambil menarik tangan Wanyen Peng, “Cici, umurmu lebih banyak dari padaku, kau boleh memanggilku Moaycu saja.”

Dalam keadaan gelap Wanyen Peng tidak bisa melihat wajah orang yang sangat jelek itu, tetapi mendengar suaranya yang begitu merdu, tangannya yang menggenggam terasa sangat halus dan lemas, maka dia menyangka tentu gadis yang cantik moIek, dalam hati ia pun sangat senang.

“Berapakah umurmu tahun ini?” ia tanya.

“Ahh, tidak perlu kita merecoki umur, sekarang paling perlu segera pergi menolong orang, bukankah begitu, Yo-ya?” sahut gadis itu bersenyum.

“Ya, silakan nona tunjukkan jalannya,” kata Yo Ko.

“Aku melihat mereka menuju ke arah tenggara, tentu pergi ke Heng-ci-koan,” ujar gadis itu.

Segera mereka keluarkan Ginkang dan dengan cepat memburu ke arah tenggara. Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay yang dipelajari Yo Ko terkenal karena Ginkang yang hebat dan boleh disebut nomor satu di kolong langit. Sedangkan Wanyen Peng adalah anak murid dari Thi-cio-pang. Dulu pangcu atau pemimpin Thi-cio-pang yang bernama Kiu Jian-yim berjuluk ‘Thi-cio-cui-siang-biau’ atau Telapak tangan besi melayang-layang di atas air. Kalau sampai disebut ‘melayang di atas air’, dengan sendirinya Ginkang-nya pasti terhitung kelas satu juga.

Siapa tahu si gadis baju hijau itu, senantiasa cepat tidak, lambat pun tidak, namun selalu mengintil di belakang Wanyen Peng. Kalau Wanyen Peng cepat, maka dia pun cepat, jika lambat, dia pun ikut lambat, jarak antara mereka selalu dipertahankan dua-tiga tindak.

Keruan Yo Ko amat terperanjat. “Anak murid dari aliran manakah nona ini? Kalau melihat Ginkang-nya, sudah berada di atas Wanyen Peng,” demikian ia heran. Dan karena tak mau main menang-menangan dengan kedua nona itu, maka ia sengaja tertinggal saja di belakang.

Sampai hari terang, gadis baju hijau keluarkan rangsum kering lantas dibagikan kepada kedua kawannya. Melihat baju orang meski pun terbikin dari kain biasa saja, tapi potongannya sangat serasi dengan perawakan pemakainya, pula perbekalannya seperti rangsum kering, botol air dan sebagainya diatur secara begitu baik, menunjukkan ketelitian seorang gadis yang rajin.

Di lain pihak, ketika Wanyen Peng melihat wajah orang begitu aneh, ia menjadi tak berani memandang lebih jauh. “Di dunia ini kenapa ada wanita bermuka sejelek ini?”

“Yo-ya, Li Bok-chiu itu kenal padamu, bukan?” kata gadis baju hijau itu setelah menunggu kedua orang selesai makan.

“Ya, beberapa kali ia pernah bertemu dengan aku,” sahut Yo Ko.

Gadis itu mengeluarkan sehelai benda tipis seperti kain sutera, lalu berkata pula pada Yo Ko:

“lni adalah topeng kulit manusia, sesudah kau pakai, tentu dia tak kenal lagi.”

Waktu Yo Ko periksa topeng itu, dia lihat di atasnya ada lubang tempat mata, mulut dan hidung, kalau dipakai maka topeng ini bagaikan karet saja mencetak muka si pemakainya persis seperti wajah asli. Tentu saja Yo Ko amat girang dan segera menghaturkan terima kasih.

Melihat wajah Yo Ko seketika berubah menjadi jelek luar biasa setelah memakai topeng itu, barulah kini Wanyen Peng sadar.

“Ah, Moaycu, kiranya kau pun memakai topeng seperti ini. Sungguh aku amat goblok, aku mengira wajahmu memang terlahir begitu aneh,” demikian katanya pada gadis baju hijau.

“Muka Yo-ya yang ganteng dan bagus ini, sebenarnya sayang dan merendahkan dirinya saja bila pakai topeng ini,” sahut gadis baju hijau, “Mengenai diriku, memang mukaku begini, pakai topeng atau tidak serupa saja.”

“Ahh, aku tidak percaya,” ujar Wanyen Peng. “Moaycu, maukah kau copot topengmu dan unjukkan muka aslimu?”

Dalam herannya Yo Ko pun ingin tahu wajah asli si gadis itu, tapi permintaan itu ternyata ditolak.

“Jangan, mukaku yang jelek ini mungkin akan membuat kalian kaget,” sahut gadis itu.

Melihat orang berkeras tak mau memperlihatkan mukanya, terpaksa Wanyen Peng sudahi permintaannya. Pada waktu lohor, mereka bertiga sudah sampai di kota Bukoan. Mereka masuk ke atas loteng sebuah restoran untuk mengisi perut. Melihat Yo Ko berdandan sebagai perwira Mongol, pengurus restoran tak berani ayal dan cepat memberi pelayanan.

Akan tetapi baru setengah jalan mereka bersantap, kerai pintu tersingkap, tiba-tiba saja masuk tiga wanita yang bukan lain dari pada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po yang menggiring Liok Bu-siang.

Yo Ko sangat cerdik. Ia tahu meski saat itu Li Bok-chiu tak kenali dirinya, namun mukanya yang aneh karena memakai topeng tentu akan menimbulkan rasa curiga orang, karena itu segera ia berpaling ke jurusan lain sambil terus menyumpit nasi. Ia hanya pasang kuping tajam untuk mendengarkan percakapan mereka. Siapa tahu sama sekali Bu-siang tidak buka suara, bahkan Li Bok-chiu berdua pun tidak bicara setelah memesan daharan seperlunya.

Nampak orang yang mereka cari sudah berada di hadapan mata, Wanyen Peng gunakan sumpitnya dan mencelup ujung sumpit pada air kuwah, lalu ia corat-coret beberapa huruf di atas meja dengan maksud: ‘turun tangan tidak?’

Diam-diam Yo Ko sedang berpikir: “Dengan kekuatan bertiga, ditambah lagi dengan ‘bini cilik’, rasanya masih susah melawan mereka guru dan murid berdua. Urusan ini hanya bisa dimenangkan dengan akal dan tak mungkin dengan kekerasan.” Oleh sebab itu, ia goyangi sumpitnya perlahan-lahan sebagai tanda ‘jangan’.

Li Bok-chiu juga orang cerdik. Setelah berada di loteng restoran, ia lihat sorot mata Bu-siang seperti bersinar harapan, tentu saja ia merasa heran hingga tiada hentinya Wanyen Peng bertiga diincar olehnya. Tapi Yo Ko duduk mungkur dan tidak bergerak sedikit pun, maka tiada sesuatu tanda yang menimbulkan curiga.

Begitulah sedang kedua belah pihak sama-sama menantikan kesempatan baik, tiba-tiba suara tangga loteng berbunyi, kembali orang masuk lagi ke situ. Ketika Wanyen Peng melirik, dia lihat yang datang adalah Yalu Ce dan Yalu Yen kakak beradik.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar