Rabu, 14 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 052

Wanyen Peng menjadi kagum melihat orang sama sekali tak hiraukan serangannya. “Apakah dia seorang dogol?” pikirnya. Menyusul goloknya bergerak lagi, sekali ini dia membabat dari samping dengan sungguh-sungguh.

Tak terduga, secepat kilat mendadak Yo Ko sedikit berjongkok hingga golok menyambar lewat di atas kepalanya, jaraknya cuma berselisih satu-dua senti saja. Sekarang Wanyen Peng tidak sungkan lagi, dia kumpulkan semangat, goloknya diangkat terus membacok lagi.

“Dalam bacokanmu boleh diselingi pula dengan Thi-cio (pukulan telapak besi),” kata Yo Ko sembari hindarkan golok.

Luar biasa kaget Wanyen Peng oleh kata-kata Yo Ko itu, dengan golok terhunus ia cepat melompat ke pinggir.

“Da... dari mana kau bisa tahu?” tanyanya cepat dengan suara tak lancar.

“Kau punya Ginkang dari golongan Thi-cio-cui-siang-biau, maka aku hanya coba menerkanya saja,” sahut Yo Ko.

“Baik,” kata Wanyen Peng kemudian. Berbareng itu goloknya telah membacok lagi diikuti dengan tangan kiri lantas memotong, betul-betul di antara goloknya ia selingi dengan Thi-cio.

Namun dengan gampang saja Yo Ko mengegos lagi. “Boleh lebih cepat sedikit,” katanya malah.

Wanyen Peng menjadi makin heran. Ilmu goloknya dikeluarkan seluruhnya, makin menyerang makin cepat. Nyata dia memang anak murid kaum ahli yang tersohor, gerak serangannya tidak boleh dipandang enteng.

Sungguh pun begitu namun kedua tangan Yo Ko masih terselubung dalam lengan baju, hanya tubuhnya saja yang berkelit kian kemari di antara sambaran golok dan hantaman orang. Jangan kata hendak melukainya, bahkan ujung bajunya saja Wanyen Peng tidak mampu menyenggolnya.

Sesudah sebagian besar ilmu golok si nona dilontarkan, tiba-tiba Yo Ko berkata: “Awas, dalam tiga jurus ini, golokmu akan kurebut!”

Kini Wanyen Peng kagum luar biasa terhadap Yo Ko, tetapi kalau bilang dalam tiga jurus saja goloknya hendak direbut, ia masih belum percaya, maka senjatanya ia genggam lebih kencang.

“Coba saja rebut!” sahutnya, berbareng itu dia memotong dari samping dengan kuat, tipu serangan ini adalah ‘Ling-hing-cin-nia’ (dengan gesit melintasi bukit Cin).

Siapa tahu, dengan hanya sedikit menunduk Yo Ko malah menerobos di bawah goloknya, menyusul kepalanya sedikit melengos ke atas, dengan batok kepalanya ia bentur siku Wanyen Peng. Tempat yang dibentur itu adalah ‘kiok-ti-hiat’, keruan lengan Wanyen Peng menjadi lemas tak bertenaga.

Ketika Yo Ko mendongak dan mulutnya mangap, dengan jitu sekali punggung golok kena digigitnya, maka secara gampang saja senjata itu pun kena direbutnya, bahkan menyusul kepalanya melengos kembali, dengan gagang golok dia tumbuk iga Wanyen Peng, maka tertotoklah Hiat-to si gadis.

Dengan tersenyum Yo Ko segera melompat pergi. Waktu kepalanya bergerak, tiba-tiba ia mengayun ke atas hingga golok yang dia gigit tadi terbang ke udara. Tujuan melemparkan golok ini adalah agar dia bisa bicara dengan mulutnya.

“Bagaimana, menyerah tidak?” begitu dia tanya. Habis berkata, golok itu pun sudah turun ke bawah. Yo Ko buka mulut dan dapat menggigitnya kembali.

Wanyen Peng terkejut dan girang sekali, dia mengangguk-angguk. Melihat kerlingan mata si gadis sungguh mirip sekali dengan Siao-liong-li, tak tertahan Yo Ko ingin sekali bisa memeluk orang dan menciumnya, cuma perbuatan ini terlalu kurang ajar, maka sambil menggigit golok, mukanya menjadi merah jengah.

Sudah tentu Wanyen Peng tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Yo Ko, hanya melihat sikap orang yang aneh itu, dalam hati dia terheran-heran, namun seluruh badan sendiri terasa kaku, kedua kaki lemas seakan-akan hendak jatuh.

Yo Ko melangkah maju dan melamun, tiba-tiba teringat olehnya: “Ah, jangan, dia pernah berterima kasih kepada Yalu Ce karena sopan santunnya, memangnya aku lebih rendah dari pada Yalu Ce? Hm, aku justru hendak melebihi dia dalam hal apa pun juga.”

Begitulah tabiat Yo Ko yang gampang tersinggung, sejak kecil tidak pernah memperoleh didikan orang tua, tentang sopan santun dan tata krama sama sekali tak diketahui, setiap tindak tanduknya hanya bergantung pada pendapatnya apakah itu baik atau buruk. Waktu itu kalau bukan pikirannya ingin melebihi Yalu Ce, boleh jadi dia sudah memeluk Wanyen Peng dan menciumnya. Kemudian dengan gagang golok dia tumbuk lagi satu kali pinggang Wanyen Peng untuk melepaskan Hiat-to yang ditotok tadi, lalu golok itu dia angsurkan kembali padanya. Siapa tahu, bukannya Wanyen Peng terima kembali goloknya, sebaliknya ia terus berlutut di hadapan Yo Ko.

“Mohon Suhu terima aku sebagai murid. Kalau aku dapat membalas sakit hati orang tua, budi ini pasti tak akan kulupakan,” katanya tiba-tiba.



Yo Ko menjadi kelabakan oleh kelakuan orang, lekas-lekas ia bangunkan Wanyen Peng. “Mana bisa aku menjadi gurumu?” sahutnya, “tetapi dapatlah kuajarkan padamu satu akal untuk membunuh Yalu-kongcu.”

Girang sekali Wanyen Peng oleh keterangan itu. “Bagus sekali, asal bisa membunuh Yalu-kongcu, abang serta adiknya bukanlah tandinganku semua, dengan sendirinya aku dapat membunuh ayahnya pula...” berkata sampai di sini, terpikir lagi olehnya: “Ahh, kalau sampai aku memiliki kepandaian untuk membunuh dia, apa mungkin Yalu tua masih hidup di dunia ini? Bagaimana pun juga, sakit hati ayah-bundaku tidak dapat kubalas.”

“Tetapi rasanya tinggal sehari ini saja Yalu tua itu masih dapat hidup,” kata Yo Ko dengan tertawa.

“Apa maksudmu?” tanya Wanyen Peng.

“Untuk membunuh Yalu Ce, apa susahnya?” sahut Yo Ko. “Sekarang juga aku ajarkan tiga tipu padamu dan malam ini juga kau dapat membunuhnya.”

Sudah tiga kali Wanyen Peng berusaha membunuh Yalu Cu-cay, tapi ketiga-tiganya selalu dikalahkan Yalu Ce secara mudah saja, maka ia cukup kenal ilmu kepandaian orang yang berpuluh kali lebih tinggi dari dirinya. Ia pikir, sungguh pun ilmu silat Yo Ko tinggi, namun belum tentu melebihi Yalu Ce. Sekali pun bisa menangkan dia, tidak nanti juga hanya tiga tipu saja lantas dapat digunakan untuk membunuh orang, apa lagi malam ini juga katanya bisa membunuhnya, ini lebih-lebih tidak mungkin.

Begitulah dia menjadi sangsi, tetapi karena kuatir Yo Ko marah, maka tak berani Wanyen Peng mendebatnya, hanya kepalanya menggeleng sedikit, sedangkan kerlingan matanya yang menggilakan Yo Ko tadi tampak semakin menggiurkan. Betapa pintarnya Yo Ko, segera ia pun tahu apa yang dipikirkan si gadis.

“Ya, memang ilmu silatku belum pasti bisa di atasnya,” demikian katanya, “apa bila saling gebrak, boleh jadi aku malah banyak kalahnya dari pada menangnya, akan tetapi untuk mengajarkan tiga tipu padamu dan buat membunuhnya malam ini juga, hal ini sebaliknya tidak perlu buang tenaga. Masalahnya hanya tergantung padamu yang pernah mendapat pengampunan tiga kali dari dia. Aku kuatir kau tidak tega membunuhnya.”

Hati Wanyen Peng tergerak, segera dia keraskan hatinya dan menyahut: “Meski dia ada budi padaku, namun sakit hati orang tua tidak bisa tak dibalas.”

“Baik, kalau begitu tiga jurus tipu ini segera kuajarkan padamu,” kata Yo Ko. “Tetapi kalau kau mestinya bisa membunuh dia dan tidak kau lakukan, lalu bagaimana nanti?”

“Bila terjadi begitu, terserah padamu untuk berbuat sesukamu. Toh kepandaianmu begini tinggi, kau mau pukul atau mau bunuh aku, apa aku dapat melarikan diri?” sahut Wanyen Peng tegas.

“Mana aku tega memukul, apa lagi membunuh kau?” demikian pikir Yo Ko dalam hati. Maka sambil tersenyum ia menjawab:

“Sebenarnya tiga jurus tipu ini pun tidak ada yang mengherankan. Nih, kau lihat yang jelas!”

Kemudian golok orang lantas diambilnya kembali, dengan perlahan ia membabat dari kiri ke kanan.

“Tipu pertama ialah ‘hun-hing-cin-nia’,” kata Yo Ko.

Melihat tipu serangan ini, diam-diam Wanyen Peng berpikir: “Tipu serangan ini aku sudah bisa, perlu apa kau mengajarkan?” Maka dengan mengegos ia hindarkan serangan itu.

“Dan ini tipu kedua,” kata Yo Ko sambil mendadak ulurkan tangan kiri buat pegang tangan kanan si gadis, “ini adalah tipu ‘ko-tin-jiau-jiu’ (akar rotan melingkar pohon) yang termasuk ilmu pukulanmu Thi-cio-kang.”

“Aneh, tipu ini pun satu di antara 18 gerakan Kim-na-jiu dari Thi-cio-kang, buat apa kau mengajarkan lagi?” kembali Wanyen Peng berpikir. “Tetapi aneh juga, dari mana dia mempelajari ilmu pukulan golongan Thi-cio-bun?”

Ilmu kepandaian golongan Thi-cio-bun, yang utama adalah Ginkang atau ilmu entengkan tubuh. Yang kedua adalah Cio-hoat atau ilmu pukulan tangan kosong, lebih-lebih 18 jurus Kim-na-jiu (ilmu cara mencekal dan memegang) juga sangat lihay. Karena Kiu-im-cin-keng adalah himpunan dari inti-inti ilmu silat seluruh jagat, asal satu dipelajari maka semuanya paham dengan sendirinya.

Yo Ko sudah berhasil melatih Kiu-im-cin-keng, maka ia pun kenal Kim-na-jiu-hoat dari Thi-cio-bun itu, hanya cara yang lebih mendalam belum diketahuinya. Begitulah, maka Wanyen Peng menjadi heran karena tangannya dipegang tadi ia merasa Kim-na-jiu-hoat yang ditunjukkan Yo Ko ini sebenarnya tidak lebih lihay dari apa yang dia pernah pelajari, karena itu dengan mata terbuka lebar ia menantikan tipu serangan ketiga yang akan diajarkan padanya.

Belum lagi Yo Ko perlihatkan tipu ketiganya, Wanyen Peng sudah membatin: “Jurus seranganmu yang pertama dan kedua semuanya adalah ilmu kepandaian Thi-cio-bun, tiada yang luar biasa, apakah mungkin melulu andalkan tipu serangan ketiga ini lantas bisa membunuh Yalu-kongcu?”

“Nah, sekarang lihatlah yang jelas!” begitulah terdengar Yo Ko berseru padanya, goloknya diangkat terus menggorok tenggorokan sendiri.

Keruan saja tak kepalang kagetnya Wanyen Peng, “Hai, apa yang kau lakukan?” jeritnya cepat, dan karena tangan kanannya masih dipegang kencang oleh Yo Ko, maka dengan tangan kiri ia merebut senjata yang hendak dibuat bunuh diri oleh Yo Ko.

Biar pun dalam keadaan gugup, tetapi gerakan tangan Wanyen Peng tetap sangat cepat, sekali cekal saja pergelangan tangan si Yo Ko sudah dipegangnya terus ditekuk, dengan demikian mata golok itu tak dapat dipakai membunuh diri lagi.

Yo Ko lantas kendurkan kedua tangannya kemudian melompat mundur. “Nah, sekarang kau sudah tahu bukan?” dengan tertawa ia bertanya.

Hati Wanyen Peng sendiri masih berdebar-debar akibat kagetnya tadi, sebab itu ia belum paham apa maksud kata-katanya.

“Pertama kau gunakan tipu ‘hun-hing-cin-nia’ untuk membabat, kemudian dengan tipu ‘oh-tu-jiau-jiu’ kau cekal tangan kanannya dengan kencang, dan tipu ketiga angkat golok buat bunuh diri. Dalam keadaan begitu, pasti dia akan gunakan tangan kiri menolong kau. Dia pernah bersumpah padamu bahwa asal kau bisa memaksa dia mempergunakan tangan kiri maka dia akan serahkan jiwanya padamu, itu namanya mati tanpa menyesal, dan bukankah urusan menjadi selesai?” demikian Yo Ko menjelaskan.

Betul juga, pikir Wanyen Peng, tetapi dengan termangu-mangu dia memandang Yo Ko, dalam hati dia berpikir: “Usiamu masih semuda ini, mengapa dapat kau pikirkan cara-cara yang begini aneh dan nakal?”

Sementara itu Yo Ko telah berkata lagi: “Ketiga tipu tadi tanggung berhasil dengan baik, kalau gagal, nanti aku menyembah padamu!”

“Tidak,” tiba-tiba Wanyen Peng menyahut sambil goyangkan kepala, “sekali dia bilang tak akan pakai tangan kiri, tentu tak akan digunakannya, lalu bagaimana?”

“Lalu bagaimana? Kalau kau tidak bisa membalas dendam, bukankah lebih baik mati saja, beres.” kata Yo Ko.

“Kau betul,” sahut Wanyen Peng dengan suara pilu, “Terima kasih atas petunjukmu. Tapi sebenarnya kau ini siapakah?”

“Dia bernama si Tolol, jangan kau turut ocehannya,” belum sampai Yo Ko menjawab, tiba-tiba suara perempuan menyela di luar jendela.

Yo Ko dapat mengenalinya, maka dia hanya tersenyum dan tidak menggubris. Sementara itu Wanyen Peng cepat melompat ke pinggir jendela, sekilas masih bisa melihat berkelebatnya bayangan orang yang melompat keluar pagar. Sebenarnya hendak dikejar oleh Wanyen Peng, namun Yo Ko telah mencegahnya.

“Tak perlu kau uber dia,” kata Yo Ko dengan tertawa. “Dia adalah kawanku. Dia memang selalu ingin mengacau.”

“Tak apalah kalau kau tidak mau menerangkan,” ujar Wanyen Peng sesudah termenung sejenak sambil memandangi Yo Ko. “Tetapi aku yakin kau tidak mempunyai maksud jahat padaku.”

Memang watak Yo Ko suka menyerah pada kelunakan dan sekali-kali takkan sudi tunduk pada kekerasan. Kalau ada orang menghina dia, memaksa dia, sekali pun mati tak akan dia menyerah, tapi kini oleh karena kerlingan mata Wanyen Peng dengan wajahnya yang sayu mengharukan, tanpa terasa timbul rasa kasih sayang di dalam hati Yo Ko. Maka sesudah menarik tangan si gadis, dengan berendeng mereka duduk di dipan, lalu dengan suara halus ia menerangkan:

“Aku she Yo dan bernama Ko, ayah-bundaku sudah meninggal semua, serupa saja dengan hidupmu...”

Mendengar sampai di sini hati Wanyen Peng terguncang, tanpa tertahan lagi air matanya mengucur. Dasar perasaan Yo Ko juga gampang terguncang, mendadak dia pun menangis hingga menggerung. Wanyen Peng keluarkan sapu tangan lalu disodorkan pada Yo Ko. Waktu mengusap air mata dengan sapu tangan orang, Yo Ko mencium bau harum yang sedap, tapi ketika ingat pada kisah hidupnya sendiri, air matanya semakin lama semakin mengucur.

“Yo-ya (tuan Yo), kau pun ikut-ikut menangis gara-gara urusanku,” kata Wanyen Peng.

“Jangan panggil aku Yo-ya,” sahut Yo Ko. “Berapa umurmu tahun ini?”

“Delapan belas,” kata si gadis. “Dan kau?”

“Aku pun delapan belas tahun,” sahut Yo Ko, dalam hati ia berpikir: “Kalau bulan lahirku lebih muda dari dia sehingga aku dipanggil adik olehnya, rasanya kurang nikmat.” Karena inilah, lantas di sambungnya lagi: “Aku terlahir di bulan pertama, maka untuk selanjutnya kau panggil aku Toako saja. Aku pun tidak akan sungkan lagi dan panggil kau sebagai adik perempuan.”

Muka Wanyen Peng menjadi merah. Dia merasa si Yo Ko ini segalanya selalu terang-terangan, sungguh sangat aneh, tetapi memang nyata tidak punya maksud jahat. Maka kemudian ia pun mengangguk setuju.

Mendapatkan seorang adik baru, rasa senang hati Yo Ko sungguh tak terkatakan. Beginilah watak Yo Ko. Jika Liok Bu-siang suka mendamperat dan marah-marah padanya, maka ia pun tiada henti-hentinya menggoda. Tapi kini wajah Wanyen Peng cantik molek, perawakannya kurus lencir, nasibnya pun malang, seolah dilahirkan agar dikasihani orang, dan yang paling penting lagi, kerlingan sepasang mata-bolanya begitu mirip seperti Siao-liong-li.

Dengan termangu-mangu Yo Ko memandangi mata Wanyen Peng, dalam khayalannya ia anggap gadis berbaju hitam di depannya ini seperti berbaju putih, wajah orang yang cantik kurus itu seakan-akan kelihatan seperti muka Siao-liong-li. Tanpa terasa terunjuklah perasaannya yang mengharap, perasaan rindu akan rasa kasih sayang yang halus. Karena guncangan perasaan itulah, maka air mukanya pun menjadi aneh luar biasa.

Akhirnya Wanyen Peng menjadi takut, perlahan dia lepaskan tangan dari cekalan orang dan menegur:

“Kenapakah kau?”

“Tak apa-apa,” sahut Yo Ko seperti tersadar dari mimpi, sambil menghela napas panjang. “Sekarang kau mau pergi membunuh dia tidak?”

“Segera aku pergi,” sahut Wanyen Peng cepat, “Yo-toako, kau ikut serta tidak?”

Sebenarnya Yo Ko hendak berkata: “sudah tentu ikut serta”, tetapi bila terpikir lagi kalau dirinya ikut, tentu hal ini akan membesarkan hati Wanyen Peng, dan lagaknya membunuh diri tentu menjadi tidak sungguhan, Yalu Ce juga tak bisa terjebak akalnya lagi. Sebab itu, maka dijawabnya: “Rasanya tak enak kalau aku ikut pergi.”

Karena jawaban ini, tiba-tiba sorot mata Wanyen Peng menjadi guram. Hati Yo Ko menjadi lemas, hampir-hampir ia menyanggupi ikut serta kalau si gadis tidak keburu berkata lagi:

“Baiklah, Yo-toako, cuma aku tak akan bersua lagi dengan kau.”

“Mana, ma... mana bisa begitu? ak… aku....” sahut Yo Ko cepat dan tak lancar.

Namun Wanyen Peng sudah keluarkan serenceng uang perak, ia lemparkan ke atas meja sebagai biaya menginap, Kemudian melompat keluar. Dengan ilmu entengkan tubuhnya yang hebat, dalam sekejap saja dia sudah berada lagi di tempat tinggalnya Yalu Ce.

**** 052 ***








OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar