Selasa, 13 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 051

“Lekas kita pergi melihatnya,” ajaknya pada Bu-siang.

Dengan cepat mereka lantas menyusup ke sana, dari luar jendela mereka melihat Yalu Cin telah mengangkat sebuah bangku sebagai senjata untuk menempur wanita berbaju hitam itu. Ilmu permainan golok wanita baju hitam itu bagus sekali, golok Liu-yap-to yang dia pakai pun tajam luar biasa, hanya beberapa kali bacokan, empat kaki bangku itu sudah tertebas kutung.

“Lekas Iari, ayah!” teriak Yalu Cin yang insaf bahwa ia tak bisa menandingi orang. Kemudian ia berteriak. “Mana para pengawal? Maju lekas!”

Karena teriakan ini wanita itu kuatir kalau bala bantuan membanjir datang dan tentu tidak leluasa lagi bagi tujuannya. Maka sebelah kakinya mendadak menendang, gerak kakinya cepat sekali tanpa kelihatan. Karena tidak berjaga-jaga dengan tepat, Yalu Cin tertendang pinggangnya hingga roboh menggelongsor. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh wanita muda itu, begitu menyerobot maju, ia angkat goloknya terus membacok kepala Yalu Cu-cay.

“Celaka!” teriak Yo Ko dalam hati.

Segera ia siapkan segenggam Giok-hong-ciam atau jarum tawon putih dan selagi hendak disambitkan ke tangan si nona yang memegang senjata, tiba-tiba puteri Yalu Cu-cay, Yalu Yen yang berdiri di samping itu mendahului membentak:

“Jangan sembrono!”

Berbareng itu sebelah tangannya menghantam ke muka nona baju hitam itu dan tangan yang lain diulur merebut senjata orang. Gerak serangan ini sungguh tepat sekali, terpaksa nona itu harus mengegos menghindari hantaman, namun tak urung pergelangan tangan yang memegang senjata kena dipegang Yalu Yen. Walau pun demikian, secara sebat sekali kakinya melayang. Karena tendangan yang mengarah tempat berbahaya ini, Yalu Yen terpaksa melepaskan tangan dan melompat mundur, karena itu Liu-yap-to si gadis tidak sampai kena direbut.

Melihat gebrakan kedua nona itu sama sebat dan sama lihay, dalam hati Yo Ko menjadi heran sekali. Sementara itu sekejap saja dua gadis itu sudah saling gebrak belasan jurus bergantian. Waktu itu juga, dari luar telah membanjir masuk belasan orang pengawal karena teriakan Yalu Cin tadi. Demi melihat kedua nona itu sedang bertarung dengan sengitnya, mereka hendak maju membantu.

“Nanti dulu,” mendadak Yalu Ce mencegah mereka. “Sam-siocia (puteri ketiga) tidak perlu bantuan kalian.”

Di lain pihak, sesudah menyaksikan ilmu silat kedua nona itu, Yo Ko menoleh dan berkata kepada Liok Bu-siang:

“Bini cilik, kepandaian kedua orang itu lebih tinggi dari pada kau.”

Bu-siang menjadi marah karena lagi-lagi orang menyebut “bini” kepadanya. Begitu tangan diangkat, kontan ia hendak tempeleng orang.

“Ssstt, jangan ribut, lebih baik menonton perkelahian saja,” kata Yo Ko perlahan dengan tertawa sambil mengelakkan diri.

Sebenarnya ilmu silat kedua nona itu kalau dibilang lebih tinggi dari pada Liok Bu-siang juga belum tentu tepat. Cuma kedua nona itu memang mendapatkan didikan guru pandai, kalau dibandingkan Yalu Cin, terang jauh lebih tinggi. Begitulah maka Yalu Cu-cay dan Yalu Cin tidak kepalang terperanjat dan herannya, sebab sama sekali mereka belum pernah tahu Yalu Yen berlatih silat, siapa tahu si gadis memiliki ilmu silat yang begitu bagus, saking herannya mereka ternganga.

Tak Iama kemudian, karena Yalu Yen tak bersenjata, beberapa kali ia hendak rebut golok orang, tapi tak berhasil. Sebaliknya ia malah terdesak melompat sini dan berkelit ke sana tanpa bisa membalas.

“Sam-moay, biarkan aku yang mencobanya,” kata Yalu Ce. Berbareng ini mendadak ia menyela maju, dengan tangan kanan melulu be-runtun tiga kali memukul.

“Baik, coba kau bagaimana,” sahut Yalu Yen setelah mundur ke pinggir.

Tadi waktu Yalu Yen bergebrak dengan gadis baju hitam itu, Yo Ko hanya tersenyum dan menonton pertarungan dengan sikap dingin. Tetapi kini, begitu Yalu Ce turun tangan, hanya tiga kali serangan saja sudah membuat hatinya terkesiap. Ia lihat tangan kiri Yalu Ce bertolak pinggang, sama sekali tak ikut bergerak, hanya tangan kanan saja yang digunakan melawan nona baju hitam itu, kakinya pun tidak pernah menggeser barang satu langkah pun, secara tenang dan seenaknya mencari kesempatan merebut golok lawan, tipu gerakannya sangat aneh, bahkan tempat dan waktu yang digunakannya pun jitu sekali, sungguh satu ilmu kepandaian yang lain dari pada yang lain.

Tentu saja Yo Ko terheran-heran. “Mengapa orang ini begini lihay?” demikian pikirnya.

“Tolol, kepandaian orang ini jauh melebihi kau!” Bu-siang balas mengejek si Yo Ko.

Namun Yo Ko sedang tercengang, maka tak didengarnya apa yang dikatakan si nona.



“Sam-moay, lihatlah yang jelas,” terdengar Yalu Ce berkata pada adiknya sambil melayani si gadis baju hitam. “Apa bila aku tepuk dia punya ‘pi-su-hiat’, tentu dia akan menghindar mundur ke samping, menyusul aku lantas pegang dia punya ‘ki-kut-hiat’, mau tak mau dia harus angkat goloknya buat membacok. Pada saat itulah kita harus turun tangan secara cepat dan dapatlah merebut senjatanya.”

“Cis, belum tentu bisa begitu gampang,” damperat gadis baju hitam dengan gusar.

“Tetapi memang begitulah, lihatlah ini,” kata Yalu Ce.

Sambil berkata, benar juga ia hantam ‘pi-sui-hiat’ si gadis. Pukulan ini tampaknya seperti menceng dan miring, tetapi justru mengurung rapat segala jalan mundur lawannya, hanya pada ujung belakang kiri sedikit ke samping itulah ada peluang. Karena si gadis hendak hindarkan pukulan, terpaksa ia mundur miring ke samping sana. Yalu Ce angguk-angguk, suatu tanda pukulannya membawa hasil, menyusul ia ulurkan tangan hendak pegang ‘Ki-kut-hiat’ lawan.

Sebenarnya dalam hati si gadis sudah memperingatkan dirinya sendiri agar ‘sekali-kali jangan angkat golok balas membacok’ sesuai apa yang direncanakan Yalu Ce. Tetapi keadaan pada waktu itu sangat berbahaya, jalan lain memang tidak ada kecuali angkat goloknya balas membacok yang merupakan satu-satu-nya gerak tipu yang jitu. Karena itulah, tanpa bisa pikir banyak, segera goloknya mengayun, ia balas menyerang.

“Nah, begitu bukan?” dengan sungguh-sungguh Yalu Ce berkata.

Mendengar perkataan ini, semua orang menduga pasti Yalu Ce akan ulur tangan buat merebut senjata si gadis. Siapa tahu tangan kanannya malah dia tarik kembali kemudian dimasukkan ke dalam lengan baju. Maka luputlah bacokan dara baju hitam itu, sebaliknya ia lihat kedua tangan orang malah bersedakap seenaknya, keruan saja ia rada tertegun. Pada saat itu juga, sekonyong-konyong Yalu Ce mengulur tangan kanan lagi, lalu dengan dua jari ia menjepit punggung golok si gadis dan sedikit diangkat ke atas, gadis itu tak mampu memegang kencang senjatanya hingga kena direbut orang.

Menyaksikan pertunjukan ilmu sakti itu, seketika semua orang terkesima, menyusul suara sorak sorai memecah kesunyian memuji kepandaian Yalu Ce tadi.

“Nah, sekarang dia pun tak bersenjata,” kata Yalu Ce kepada adik perempuannya sambil melangkah mundur, “kau maju lagi menjajal dia, tetapi tabah sedikit dan hati-hati terhadap tendangan kilatnya.”

Karena goloknya direbut orang, wajah gadis baju hitam itu terlihat muram, untuk sejenak terpaku di tempat.

Semua orang menjadi heran oleh kelakuannya, mereka pikir: “Jika Ji-kongcu (tuan muda kedua) tidak menangkap dia sekaligus, terang maksudnya sengaja membebaskan dia lari, tapi dia justru tak mau kabur, lalu apa kehendaknya?”

Sementara itu, karena kata-kata abangnya tadi, Yalu Yen telah tampil lagi ke depan. “Wanyen Peng, berulang kali kami telah ampuni kau, tetapi kau selalu merecoki kami, apa sampai hari ini kau masih belum mau mengakhiri maksudmu itu?” begitulah kata Yalu Yen kepada gadis baju hitam itu.

Mendengar nama yang disebut Yalu Yen, diam-diam Yo Ko sangat heran oleh beberapa nama orang yang aneh itu. Nyata, karena masih muda dan pengalamannya masih cetek, Yo Ko tak tahu bahwa ‘Yalu’ adalah nama keluarga kerajaan negeri Liau, sedangkan ‘Wanyen’ adalah nama keluarga kerajaan negeri Kim. Beberapa orang yang berada di dalam kamar itu memang keturunan bangsawan kedua negeri itu.

Cuma ketika itu negeri Liau telah ditelan oleh kerajaan Kim, dan negeri Kim telah dicaplok oleh Mongol. Oleh sebab itu, baik Yalu mau pun Wanyen, semuanya adalah keluarga raja yang negerinya sudah musnah. Demikianlah Wanyen Peng ternyata tidak menjawab kata-kata Yalu Yen tadi, dia masih menunduk dan termenung-menung.

“Baiklah, jika kau memang ingin tentukan unggul dan asor dengan aku, marilah kita mulai lagi,” kata Yalu Yen kemudian. Berbareng itu dia melompat maju lantas menjotos susul-menyusul dua kaIi.

“Kembalikan golokku,” serunya tiba-tiba dengan nada suara memelas.

Yalu Yen tertegun karena permintaan itu, katanya dalam hati: “Kakakku sengaja merebut senjatamu agar kau bergebrak tangan kosong dengan aku, mengapa sekarang kau malah minta kembali senjatamu?” Walau pun begitu, karena wataknya memang berbudi, maka ia pun tidak menolak.

“Baiklah,” demikian sahutnya. Habis itu dari tangan abangnya ia ambil golok Liu-yap-to itu kemudian dilemparkan kepada Wanyen Peng.

“Sam-siocia, kau pun harus menggunakan senjata,” kata salah seorang pengawal sambil menyerahkan goloknya.

“Tak perlu,” sahut Yalu Yen. Tetapi setelah dipikir lagi, segera ia menambahkan: “Baiklah, dengan tangan kosong aku memang bukan tandinganmu, biarlah kita bertanding golok.”

Lalu golok pengawal tadi diterimanya. Meski beratnya sedikit terasa antap, namun boleh juga sekedar dipakai.

Di lain pihak, setelah terima kembali senjatanya sendiri, muka Wanyen Peng tampak putih pucat. Dengan tangan kiri memegang golok dan tangan kanan menuding Yalu Cu-cay, dia berkata:

“YaIu Cu-cay, kau telah membantu orang Mongol dan menewaskan ayah-ibuku, selama hidupku tak sanggup menuntut batas lagi padamu, biarlah nanti kita bikin perhitungan di akhirat saja!”

Begitu selesai bicara, mendadak golok di tangan itu terus menggorok ke lehernya sendiri. Waktu mendengar kata-kata si gadis tadi dengan sorot matanya yang guram, seketika itu pula hati Yo Ko memukul keras, dada pun terasa sesak, maka tanpa tertahan dia berseru:

“Kokoh!”

Pada saat ia berseru itulah Wanyen Peng telah angkat goloknya hendak membunuh diri. Tapi gerak tangan Yalu Ce cepat tiada bandingannya. Ketika tubuhnya sedikit mendoyong dan tangannya menjulur, dengan dua jari saja dia berhasil merebut golok si gadis, bahkan orangnya ditotok hingga tak bisa berkutik.

“Baik-baik saja begini, kenapa lantas berpikiran pendek?” demikian katanya.

Terjadinya beberapa peristiwa tadi, yakni Wanyen Peng hendak menggorok leher sendiri dan Yalu Ce merebut senjatanya dengan jepitan jarinya, semuanya terjadi dalam sekejap saja. Ketika semua orang bisa melihat jelas, sementara itu golok si gadis telah berpindah ke tangan Yalu Ce Iagi. Karena itulah seketika ramai suara jeritan kaget dari orang banyak hingga seruan “Kokoh” yang diucapkan Yo Ko tidak diperhatikan orang, sebaliknya Liok Bu-siang yang berada di sampingnya dapat mendengar dengan terang.

“Apa kau sebut dia? Dia adalah kokoh-mu?” tanyanya dengan suara tertahan.

“Bukan... bukan!” sahut Yo Ko cepat.

Kiranya tadi waktu Yo Ko melihat sorot mata Wanyen Peng yang menunjukkan perasaan penuh sunyi dan hampa, seperti sudah putus asa, hal ini mirip sekali dengan sorot mata Siao-liong-li dulu sewaktu hendak berpisah dengan dia. Dan karena melihat sorot mata orang itu tadi, tanpa terasa Yo Ko terkesima seperti orang ling-lung sehingga lupa dirinya berada di mana. Melihat keadaan Yo Ko yang aneh itu, Bu-siang tidak bertanya lebih lanjut, sebaliknya ia dengar di dalam sana Yalu Cu-cay sedang buka suara dengan perlahan.

“Nona Wanyen, sudah tiga kali kau hendak membunuh aku, akan tetapi setiap kali selalu gagal,” demikian kata orang tua itu. “Dalam persoalan ini, sebagai perdana menteri negara Mongol, akulah yang memusnahkan tanah airmu dan membunuh ayah-bundamu. Tetapi sebaliknya apa kau tahu siapa lagi yang telah membunuh leluhurku dan menghancurkan negeriku?”

“Aku tidak tahu,” sahut Wanyen Peng.

“Baiklah kuterangkan,” tutur Yalu Cu-cay, “Leluhurku adalah keluarga raja Liau dan negeri Liau dimusnahkan oleh negeri Kim bangsamu. Keturunan Yalu dari keluarga kami itu habis dibunuh oleh keluarga Wanyen hingga tidak seberapa gelintir orang yang ketinggalan. Karena itu, pada waktu muda aku pun bersumpah menuntut balas sakit hati ini, karenanya aku telah membantu raja Mongol menghancurkan negaramu Kim. Ai, cara balas-membalas ini entah akan berakhir kapan?”

Pada waktu mengucapkan kata yang terakhir itu, Yalu Cu-cay mendongak memandang keluar jendela. Terbayang olehnya beratus bahkan beribu jiwa yang telah melayang akibat saling bunuh-membunuh tanpa ada habisnya itu.

Sewaktu mendengarkan tadi, tiba-tiba Wanyen Peng menggigit bibirnya hingga beberapa giginya yang putih bersih bagai mutiara tampak jelas.

“Hm,” tiba-tiba ia menjengek terhadap Yalu Ce. “Tiga kali menuntut balas dan tidak pernah berhasil, kusesalkan kepandaianku sendiri yang tak becus. Tetapi aku hendak bunuh diri, kenapa kau ikut campur tangan?”

“Asal selanjutnya nona berjanji tidak akan merecoki kami lagi, segera aku bebaskan,” sahut Yalu Ce.

Wanyen Peng mendengar, namun dia tidak menjawab melainkan matanya yang mendelik marah. Kemudian Yalu Ce membalik Liu-yap-to rampasannya. Dengan gagang senjata dia ketok perlahan beberapa kali pinggang si gadis untuk membebaskan jalan darahnya.

Kiranya Yalu Ce memang lelaki sejati. Tadi dalam keadaan terpaksa, ia menotok dengan jari tangan, tetapi sekarang ia tak berani menyentuh tubuh si gadis lagi melainkan menggunakan gagang golok untuk membebaskan Hiat-to yang tertutup. Kemudian Yalu Ce angsurkan golok itu kepada pemiliknya.

Semula Wanyen Peng ragu-ragu, tetapi akhirnya diterimanya juga. “Yalu-kongcu, telah beberapa kali kau berlaku murah hati dan melayani aku secara sopan, hal ini aku cukup mengetahuinya,” demikian katanya kemudian. “Tetapi sakit hati antara keluarga Wanyen dengan keluarga Yalu sedalam lautan, betapa pun juga sakit hati orang tua tak bisa tidak dibalas.”

Yalu Ce pikir: “Nyata gadis ini masih akan membuat ribut tiada hentinya, ilmu silatnya pun tinggi, padahal aku tidak bisa selalu di samping ayah untuk melindungi selama hidupnya. Ah, kenapa aku tidak pancing dia agar dia menuntut kepadaku saja.”

“Nona Wanyen,” begitulah ia berkata, “kau hendak membalas dendam orang tua, cita-citamu itu benar-benar harus dipuji. Cuma persengketaan angkatan tua, hendaklah orang tua itu yang selesaikan sendiri dan kita angkatan muda, masing-masing pun ada budi dan dendamnya sendiri-sendiri. Maka bila kau akan menuntut balas, utang darah antara keluarga kita bolehlah kau cari saja aku tetapi jika ayahku yang kau recoki, kelak kalau kita bertemu lagi, tentu akan menjadi sulit.”

“Hm, enak saja kau bicara. Ilmu silatku jelas tidak bisa mengungkuli kau, mana bisa aku balas dendam padamu. Sudahlah, sudahlah!” sahut Wanyen Peng sambil tutup mukanya terus bertindak.

Yalu Ce mengerti dengan perginya si gadis tentu orang akan mencari jalan buat bunuh diri lagi. Karena bermaksud menolong nyawa orang, maka dengan tertawa dingin dia sengaja berkata lagi:

“Huh, wanita keluarga Wanyen kenapa tak punya ambekan!”

“Kenapa tak punya ambekan?” tanya Wanyen Peng tiba-tiba sembari berpaling.

“Soal ilmu silatku lebih tinggi dari kau, ya, memang benar, tapi apanya yang perlu dibuat heran? Hal ini karena aku pernah mendapat ajaran dari guru pandai, bukan karena aku mempunyai bakat yang melebihi orang lain,” kata Yalu Ce. “Kau masih semuda ini, asal kau mau mencari guru dengan penuh keyakinan, apa tak bisa kau mendapatkannya?”

Sebenarnya hati Wanyen Peng penuh dongkol dan gusar tidak kepalang, tapi mendengar beberapa kata itu, diam-diam ia memanggut juga.

“Setiap kali aku bergebrak dengan kau, selalu aku hanya gunakan tangan kanan saja, hal ini bukannya aku sengaja berlaku sombong,” kata Yalu Ce lagi. “Tetapi sebabnya karena tipu serangan tangan kiriku terlalu aneh, bila sampai bergebrak, tentu akan melukai orang. Oleh karenanya aku bersumpah kalau tidak dalam detik yang berbahaya, kali aku tidak sembarangan menggunakan tangan kiriku. Maka sebaiknya begini saja, biarlah kalau kau sudah belajar lagi dari guru yang pandai, setiap saat kau boleh datang mencari aku lagi, asal kau mampu memaksa aku menggunakan tangan kiri, seketika juga aku potong leherku sendiri tanpa menyesal.”

Dengan uraian ini Yalu Ce sungguh-sungguh ingin menolong jiwa orang. Dia tahu ilmu silat Wanyen Peng masih berselisih jauh dengan dirinya, sekali pun dapatkan guru pandai susah menangkan dirinya. Maka tujuannya hanya untuk mengulur waktu belaka agar sesudah lewat agak lama, rasa dendam Wanyen Peng bisa mereda hingga tak perlu membunuh diri lagi.


TIGA JURUS AKAL-AKALAN

Oleh karena itu Wanyen Peng berpikir: “Kau toh bukan dewa. Kalau aku berlatih dengan sungguh-sungguh, masa dengan kedua tanganku tidak sanggup menangkan sebelah tanganmu itu?”

Maka goloknya segera ia angkat ke atas dan berseru: “Baik! Laki-laki sejati sekali kata...”

“Kuda cepat sekali pecut!” sambung Yalu Ce tanpa ragu-ragu lagi. Dengan istilah ‘laki-laki sejati sekali kata, kuda cepat sekali pecut’, artinya apa yang telah diucapkan itu tak akan dipungkiri lagi.

Habis itu, dengan bersitegang lalu Wanyen Peng bertindak pergi, walau pun begitu, air mukanya tidak terhindar dari rasa pedih dan lesu.

Melihat tuan muda mereka membebaskan si gadis, sudah tentu para pengawal tak berani merintangi. Sesudah memberi hormat kepada Yalu Cu-cay, mereka pun keluar dari kamar.

Peristiwa tadi terjadi dengan ramainya, tetapi Yo Ko sama sekali tidak menampakkan diri. Diam-diam Yalu Cin menjadi heran sekali.

“Ji-ko, mengapa lagi-lagi kau bebaskan dia?” terdengar Yalu Yen bertanya kepada abangnya, dengan tertawa.

“Tidak bebaskan, apa harus bunuh dia?” sahut Yalu Ce.

“Tetapi salah besar kalau kau bebaskan dia,” kata Yalu Yen lagi.

“Sebab apa?” tanya Yalu Ce heran.

“Ji-ko, kalau kau kehendaki dia menjadi isteri seharusnya jangan kau lepaskan dia,” ujar Yalu Yen tertawa.

“Ngaco-belo!” omel Yalu Ce dengan sungguh-sungguh.

Meiihat abangnya bersungguh-sungguh, kuatir orang marah, maka tak berani lagi Yalu Yen bergurau.

Percakapan kedua orang itu semuanya didengar jelas oleh Yo Ko yang masih mengintip di luar jendela. Demi mendengar apa yang dikatakan Yalu Yen bahwa “kehendaki dia menjadi isteri”, aneh, dalam hatinya tanpa sebab timbul semacam rasa iri, rasa cemburu, ia menjadi begitu benci terhadap si Yalu Ce. Padahal ilmu silat Yalu Ce sangat tinggi, tingkah lakunya pun berbudi dan sesungguhnya dia adalah laki-laki sejati, sebenarnya Yo Ko diam-diam kagum. Tetapi kini demi terpikir Wanyen Peng akan diperisteri, ia merasa semakin tinggi ilmu silat Yalu Ce dan semakin baik peri-lakunya, hal ini semakin menandakan kemalangan nasib dirinya sendiri.

Oleh sebab itulah, begitu dilihatnya sorot mata Wanyen Peng sangat mirip Siao-Iiong-li, tanpa terasa bibit asmaranya bersemi. Tengah ia tertegun, tiba-tiba dilihatnya berkelebat bayangan Wanyen Peng di atas rumah sana yang menuju ke jurusan tenggara.

“Coba aku pergi melihatnya,” katanya tiba-tiba pada Liok Bu-siang.

“Melihat apa?” tanya si nona.

Namun Yo Ko tak menjawab, dengan cepat Wanyen Peng disusulnya. Meski pun ilmu silat Wanyen Peng tidak terlalu tinggi, tetapi Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya sangat bagus. Sesudah Yo Ko mengejar dengan ‘poIgas’ hingga di luar kota, barulah dia berhasil disusulnya. Dia melihat Wanyen Peng masuk ke sebuah rumah penduduk. Dengan cepat Yo Ko ikut melompat masuk ke pelataran rumah itu kemudian sembunyi di pinggir tembok. Lewat tak lama, kamar di sebelah barat kelihatan sinar lampu yang dinyalakan, menyusul terdengar suara menghela napas panjang. Jelas orangnya sedang berhati duka dan menderita batin.

Mendengar helaan napas panjang itu, seketika Yo Ko tertegun bagai orang linglung, tanpa terasa ia pun ikut menghela napas panjang.

Mendadak mendengar ada orang menghela napas juga, Wanyen Peng terperanjat. Lekas-lekas ia sirapkan lampu lantas mundur ke pojok kamar.

“Siapa?” bentaknya kemudian dengan suara tertahan.

“Kalau tidak berduka, mana bisa menghela napas?” sahut Yo Ko.

Wanyen Peng semakin heran. Dari lagu suara orang agaknya tak bermaksud jahat, maka ia tanya lagi:

“Siapakah kau sebenarnya?”

“Untuk membalas sakit hati, orang jaman kuno pernah rebah sambil merasakan pahitnya empedu, tetapi kau baru gagal sekali saja sudah hendak bunuh diri, bukankan harus malu dibandingkan orang jaman kuno itu?” kata Yo Ko dari luar.

Dahulu di Tho-hoa-to pernah Yo Ko bersekolah pada Oey Yong dan banyak diceritakan oleh bibinya itu tentang hikayat orang-orang jaman dulu, di antaranya ialah Wat-ong dari jaman Cian-kok yang tertawan musuh, tetapi tanpa putus asa dan dengan penuh sabar menantikan saat baik untuk membalas dendam. Sebagai gemblengan atas cita-cita-nya, setiap hari Wat-ong meng-icip-icip rasa pahitnya empedu sambil rebahan. Cerita itulah kini disitir oleh Yo Ko.

Oleh karena itu lalu terdengar suara pintu kamar dibuka, Wanyen Peng menyalakan lagi lampunya.

“Silakan masuk,” begitulah ia menyambut Yo Ko.

Lebih dulu Yo Ko memberi hormat, kemudian baru dia masuk ke kamar orang. Wanyen Peng rada heran melihat Yo Ko memakai seragam perwira bangsa Mongol, lagi pula usianya masih muda.

“Petunjuk tuan memang tepat, dapatkah aku mengetahui nama dan she tuan yang mulia?” tanyanya kemudian.

Akan tetapi Yo Ko tidak menjawab, sebaliknya kedua tangannya dia masukkan ke dalam lengan baju, baru dia buka suara, tetapi menyimpang dari pertanyaan orang.

“Yalu Ce telah membual secara tidak tahu malu. Ia kira dengan tangan kanan saja sudah hebat sekali kepandaiannya, padahal kalau mau merebut golok orang dan menotok Hiat-to orang, apa susahnya meski sebelah tangan tak dipergunakan?” demikian katanya.

Namun Wanyen Peng tidak sependapat dengan uraian Yo Ko yang malah lebih sombong dari pada Yalu Ce. Tetapi karena belum kenal asal usul orang, maka dia merasa tidak enak mendebatnya.

“Aku ajarkan kau tiga jurus sakti, dengan ini kau bisa memaksa Yalu Ce memakai kedua tangannya,” kata Yo Ko lagi. “Tetapi kau tentu tak percaya, bukan? Nah, sekarang juga aku boleh coba-coba dengan kau. Aku sama sekali tak menggunakan kaki-tanganku untuk bergebrak dengan kau, bagaimana?”

Luar biasa heran Wanyen Peng oleh ucapan Yo Ko, katanya dalam hati: “Masakah kau bisa ilmu gaib sehingga dengan sekali tiup bisa merobohkan aku?”

Melihat sikap si gadis, Yo Ko tahu apa yang dipikirkannya. “Kau boleh bacok dengan golok sesukamu, kalau aku tidak bisa menghindarkan diri, biar mati pun aku tidak menyesal,” katanya untuk menghiIangkan rasa sangsi si nona.

“Baiklah, cuma aku pun tak pakai golok, balas dengan tangan kosong saja agar kau tidak kulukai,” sahut Wanyen Peng.

“Tidak, tidak,” kata Yo Ko lagi sambil menggeleng kepala, “aku harus rebut golokmu tanpa menggerakkan tangan dan kakiku, dengan begitu barulah kau mau percaya.”

Melihat sikap Yo Ko yang menganggap perkara itu hal sepele saja, mau tak mau Wanyeng Peng mendongkol juga.

“Tuan begini lihay, sungguh, mendengar saja aku tidak pernah,” katanya. Habis ini, tanpa sungkan-sungkan lagi ia loloskan golok terus membacok ke pundak Yo Ko.

Ketika melihat kedua tangan Yo Ko masih terselubung dalam lengan baju dan anggap seperti tidak terjadi apa-apa, ia menjadi kuatir melukai orang, maka arah goloknya sedikit dimiringkan ke samping. Gerak senjatanya ini ternyata dapat dilihat jelas oleh Yo Ko, maka ia pun tidak bergerak sedikit pun.

“Jangan kau sungkan-sungkan, kau harus membacok sungguhan,” demikian katanya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar