Minggu, 11 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 050

Sementara itu Yo Ko melihat lawan mencakarnya lagi secara tak kenal ampun. Cepat ia melompat ke atas, dengan kedua tangannya dia tekan bagian atas pundak orang sambil menggertak:

“Duduk!”

Tiba-tiba pembesar itu merasakan kekuatan yang maha besar menekan dari atas. Ia tak bisa tahan lagi, kedua lututnya terasa lemas akhirnya ia duduk terkulai di lantai, dadanya terasa sumpek, darah serasa akan menyembur keluar.

Tetapi kemudian Yo Ko remas dua kali di bawah bahunya, tiba-tiba pembesar itu merasa dadanya lapang kembali dan dapat bernapas lancar, tanpa ayal lagi segera dia melompat bangun, dengan tercengang dia memandangi Yo Ko.

“Siapa kau? Ada keperluan apa kedatanganmu ini?” tanyanya kemudian. Ternyata bahasa Han yang diucapkannya bagus dan lancar sekali, tiada ubahnya seperti bangsa Han asli.

“Kau bernama siapa? Jabatan apa yang kau pangku?” berbalik Yo Ko menanya dengan tertawa.

Pembesar itu melotot dengan gusar, segera hendak dilabrak si Yo Ko. Tetapi Yo Ko tak gubris, ia malahan mendahului ambil tempat duduk pada kursi yang tadinya dipakai pembesar itu. Pembesar itu lalu menyerang beberapa kali, tapi selalu dipatahkan oleh Yo Ko tanpa banyak buang tenaga.

“Hai, pundakmu sudah terluka, baiknya kau jangan banyak keluarkan tenaga,” kata Yo Ko tiba-tiba.

“Ha, apa?! Terluka?” tanya pembesar itu kaget.

Ketika pundak kiri diraba, ia merasa ada satu tempat yang rada jarem sakit, lekas-lekas ia raba sebelah yang lain, sama saja terasa sakit pegal. Kalau tak disentuh tidak terasa, tetapi bila ditekan dengan jari, segera terasa ada sesuatu yang sangat lembut dan menusuk sampai ke tulang sumsum. Kaget sekali pembesar itu, dengan cepat ia robek bajunya, ia lihat di atas pundak kirinya terdapat titik merah yang kecil sekali, demikian pula sebelah pundak yang lain. Segera ia pun sadar bahwa ketika Yo Ko menahan pundaknya tadi, diam-diam tangannya genggam senjata rahasia hingga dirinya kena dikibuli.

“Am-gi apa yang kau pakai tadi?! Berbisa atau tidak?” cepat ia membentak dengan marah tercampur kuatir.

Tetapi Yo Ko tersenyum saja. “Kau belajar silat, mengapa sedikit pengetahuan umum itu saja tak mengerti,” sahutnya kemudian. “Jika Am-gi besar tak beracun, maka Am-gi kecil dengan sendirinya pasti berbisa.”

Dalam hati pembesar itu sembilan bagian percaya atas kata-kata ini, namun demikian, ia juga mengharap kata-kata itu bohong belaka, maka air mukanya tampak mengunjuk setengah percaya setengah sangsi.

“Pundakmu telah terkena jarum saktiku, racun itu akan meluas setiap hari, kira-kira enam hari sesudah racunnya menyerang jantung, maka jiwamu takkan tertolong Iagi,” demikian kata Yo Ko sembari memainkan sebuah pensil di atas meja.

Watak pembesar itu ternyata sangat keras kepala, biar pun dalam hati ia mengharapkan pertolongan orang, namun tak sudi diucapkannya.

“Jika begitu, biarlah tuan besarmu mati bersama dengan kau,” mendadak dia membentak Iagi. Kemudian, sekali bergerak, Yo Ko hendak ditubruknya.

Namun sebelum ia bertindak, tiba-tiba di luar ada suara bentakan orang yang keras: “Hai Yalu Cin, pembesar anjing dari Mongol, berpalinglah ke sini!”

Mendengar namanya disebut, pembesar itu lantas menoleh, segera sinar putih yang gemerlapan beruntun menyambar masuk lewat jendela. Hujan Am-gi atau senjata gelap itu dihamburkan dengan kuat lagi jumlahnya banyak, dalam keadaan begitu, meski pembesar itu pun tidak lemah, tapi seketika itu mana sanggup menyambut hujan Am-gi yang begitu banyak?

Sebenarnya tiada maksud Yo Ko buat menolong pembesar Mongol yang bernama Yalu Cin ini. Karena dilihatnya senjata rahasia begitu banyak menghambur masuk, tiba-tiba ia keluarkan ilmu ‘Boan-thian-hoa-uh’ (hujan gerimis memenuhi langit), suatu ilmu dari Giok-li-sim-keng yang dilatihnya. Ia menangkap ke kanan dan membentur ke kiri, maka sekejap saja senjata-senjata rahasia yang tertangkap olehnya telah ditimpuk kembali hingga terdengarlah suara gemerincing nyaring dan ramai, belasan macam senjata rahasia memenuhi meja dan lantai.

“Kepandaian bagus, semoga kelak kita dapat berjumpa lagi. Dapatkah mengetahui nama saudara?” terdengar suara pertanyaan seorang lelaki di luar jendela.

“Aku adalah kaum yang tak terpandang, maka tak punya nama dan tiada she,” sahut Yo Ko.

Karena jawaban ini, terdengar lagi suara jengekan seorang lain di luar. “Marilah pergi!” kata orang ketiga, sekali ini suara orang perempuan. Sesudah itu lantas terdengar suara tindakan kaki yang perlahan sekali di atas rumah, ketiga orang itu sudah pergi melintasi pagar rumah.

Tadi waktu Yo Ko bergebrak dengan Yalu Cin hingga sama-sama mencurahkan seluruh perhatian, maka tiada yang mendengar bahwa ada orang laki lagi mengintip di samping, hal ini menandakan pula ilmu entengkan tubuh ketiga orang itu sangat hebat.

Meski pembesar Mongol bernama Yalu Cin itu sudah ditolong jiwanya oleh Yo Ko, tetapi ketika pundaknya terasa sakit, ia menjadi marah lagi karena tadi telah dikibuli oleh Yo Ko. Mendadak senjata rahasia yang berserakan itu dia sambar terus ditimpukkan ke arah Yo Ko.

Menghamburnya senjata rahasia dari luar jendela tadi dilakukan oleh tiga orang secara bersamaan, kepandaian menimpuk pun jauh lebih tinggi dari pada Yalu Cin, dan untuk itu saja Yo Ko sanggup menangkap dan membenturnya kembali, apa lagi sekarang Yalu Cin menimpuk dengan satu per satu, mana bisa serangannya mengenai Yo Ko, malahan satu per satu telah ditangkap olehnya tanpa luput satu pun.

“Awas!” seru Yo Ko kemudian. Ketika tangannya mengayun, tahu-tahu beberapa puluh senjata rahasia yang ditangkapnya dihamburkan kembali.

Melihat datangnya senjata rahasia itu mengarah dari kanan-kiri mau pun atas atau bawah, walau pun berkelit atau mengegos pasti akan terkena juga beberapa di antaranya, tentu saja Yalu Cin terkejut. Dalam keadaan kepepet itu mendadak ia melompat mundur, maka terdengarlah suara “blang” yang keras, punggungnya menumbuk dinding dengan keras, Lalu terdengar suara bertok-tok riuh, beberapa puluh senjata rahasia itu telah mengenai dinding semua.

Suara gemerutuk di atas dinding itu ternyata sangat aneh dan berlainan satu sama lain, karena senjata rahasia itu memang beraneka macamnya. Dalam kagetnya, lekas-lekas Yalu Cin melompat ke samping Iagi. Ketika ia berpaling memandang ke dinding, mau tak mau ia ternganga saking herannya.

Ternyata beberapa puluh senjata rahasia itu ambles semua ke dalam dinding, jarak dengan tubuhnya tadi hanya berselisih beberapa senti saja sehingga potongan badannya terlukis di atas dinding, sedang tubuhnya seujung rambut pun tak terluka, bahkan baju pun tak terobek barang sedikit pun. Dalam kaget dan herannya, tanpa tertahan lagi Yalu Cin kagum luar biasa, mendadak dia menjatuhkan diri dan berlutut memberi hormat pada Yo Ko.



“Terimalah hormatku ini, Enghiong, hari ini aku betul-betul menyerah padamu,” demikian katanya.

Sungguh pun ilmu silat Yo Ko sangat tinggi, namun selama hidupnya selalu dimaki dan didamperat orang, sampai Liok Bu-siang yang berulang kali ditolong olehnya juga selalu berlaku sangat bengis padanya tanpa mau mengalah sedikit pun. Sekarang mendadak ada orang menjura padanya dan menyatakan takluk betul-betul, tentu saja hati mudanya menjadi girang luar biasa, saking senangnya ia tertawa terbahak-bahak.

“Dapatkah mengetahui nama Enghiong yang mulia?” tanya Yalu Cin.

“Aku bernama Yo Ko, dan kau apakah bernama Yalu Cin? Jabatan apa yang kau pangku di MongoI?” sahut Yo Ko.

Kiranya pembesar muda ini adalah putera Yalu Cu-cay, perdana menteri kerajaan Mongol! Yalu Cu-cay sudah banyak membantu Jengis Khan dan puteranya membangun kerajaan Mongol yang namanya disegani sampai di daerah barat itu, jasanya sungguh amat besar, sebab itulah meski umur Yalu Cin masih muda, namun berkat jasa sang bapak, dia sudah diangkat menjadi Keng-Iiat-su di HoIam, dan sekarang dia sedang berangkat menuju ke HoIam untuk memangku jabatan. BegituIah ia ceritakan apa yang sebenarnya.

Meski pun ilmu silat Yo Ko tinggi, tetapi terhadap segala nama jabatan itu sama sekali tak dimengertinya, maka ia hanya mengangguk-angguk saja dan bilang bagus.

“Hekoan (aku pembesar rendah) entah sebab apa telah membikin marah Yo-enghiong? Kalau ada sesuatu, harap Yo-enghiong suka katakan terus terang,” kata Yalu Cin.

“Tak ada apa-apa yang bikin marah,” sahut Yo Ko sambil ketawa. Habis ini, mendadak ia meloncat keluar melalui jendela terus menghilang. Keruan saja Yalu Cin kaget.

“Yo-enghiong...” ia berteriak sambil memburu ke pinggir jendela, namun bayangan Yo Ko sudah tak kelihatan. “Aneh, orang ini pergi datang secara tiba-tiba saja, padahal tubuhku sudah terkena jarum beracunnya, lalu bagaimana baiknya?” Yalu Cin menjadi ragu-ragu.

Tapi baru sejenak ia termenung-menung, mendadak daun jendela bergerak, tahu-tahu Yo Ko telah kembali lagi, malahan di dalam kamar kini sudah bertambah dengan satu orang.

“Ahh, kau telah kembali!” seru Yalu Cin girang.

“Dia adalah biniku, lekas kau menjura kepadanya!” kata Yo Ko tiba-tiba sambil menunjuk Liok Bu-siang.

“Apa kau bilang?!” bentak Bu-siang marah, ia tampar muka Yo Ko.

Jika Yo Ko mau menghindar, sebenarnya dengan gampang saja hal itu bisa dilakukannya, tapi entah kenapa ia merasa lebih senang menerima tamparan atau dicaci maki si gadis. Sebab itulah sama sekali ia tidak berkelit, maka “plok” pipinya merasakan tamparan itu hingga panas pedas.

Yalu Cin tak tahu kalau kelakuan kedua orang itu sudah biasa begitu. Ia mengira ilmu silat Bu-siang tentu lebih tinggi dari pada Yo Ko, maka dengan terpesona dia pandangi orang dan tak berani bersuara.

“Kau sudah terkena racun jarumku, tetapi sementara masih belum sampai mampus,” kata Yo Ko kemudian sembari meng-elus pipinya. “Asal kau mendengar kataku dan menurut, pasti aku akan menyembuhkan kau.”

“Hekoan biasanya paling kagum terhadap kaum Enghiong, hari ini bisa berkenalan dengan Yo-enghiong, sekali pun Hekoan tak bakal hidup lagi, rasanya pun rela,” sahut Yalu Cin.

“Ha-ha-ha!” Yo Ko tertawa senang karena orang pintar menjilat, “tak nyana kau terhitung seorang gagah berani. Baiklah, sekarang juga kusembuhkan kau.” Kemudian ia keluarkan sebuah batu sembrani lantas menyedot keluar dua jarum tawon putih yang menancap di pundak orang itu dan dibubuhi obat pula.

Selamanya belum pernah Bu-siang melihat Giok-hong-ciam atau jarum tawon putih itu. Kini nampak bentuk jarum itu selembut rambut, ia menjadi heran dan tidak habis mengerti benda seringan itu kenapa bisa dipakai sebagai senjata rahasia? Karena itu rasa kagumnya pada Yo Ko pun tanpa terasa bertambah setingkat. Walau pun begitu, di mulutnya ia sengaja ber-olok, katanya:

“Hm, pakai senjata rahasia begitu, tiada sedikit pun semangat jantan, apa tak kuatir ditertawakan orang?”

Tapi Yo Ko hanya tersenyum, ia tidak bantah kata-kata orang, sebaliknya ia berpaling dan berkata pada Yalu Cin:

“Kami berdua ingin mengabdi padamu.”

Yalu Cin terkejut. “Ahh, Yo-enghiong suka berkelakar saja. Ada apakah? Silakan berkata terus saja,” sahutnya kemudian.

“Aku tak berkelakar, tapi sungguh-sungguh. Kami ingin menjadi pengawalmu,” kata Yo Ko.

“Eh, kiranya dua orang ini ingin mencari pangkat dan kedudukan,” demikian pikir Yalu Cin. Karena itu segera sikapnya berubah lain, sebab disangkanya orang tentu membutuhkan bantuannya maka dengan sungguh-sungguh dia lalu berkata: “Enghiong, sesudah belajar silat memang harus diabdikan kepada kerajaan, hal ini memang jalan yang tepat.”

“Kau sudah salah tangkap maksudku,” ujar Yo Ko dengan tertawa, “Kami bukan hendak mencari pangkat. Di sepanjang jalan kami sedang dikejar oleh musuh yang sangat lihay. Karena kami tak ungkulan melawannya, maka kami ingin menyamar sebagai pengawalmu untuk menghindarinya sementara.”

Yalu Cin sangat kecewa sebab dugaannya salah, mukanya segera berubah lagi dan tidak berani berlagak.

“Ahh, kalian suka merendahkan diri, masa hanya seorang saja musuh perlu ditakuti?” katanya dengan tertawa, “Tetapi kalau mereka berjumlah banyak, Hekoan dapat mengirim pasukan dan menangkap mereka untuk diserahkan padamu.”

“Aku saja tidak bisa menandingi dia, maka sebaiknya tak perlu kau ikut repot,” sahut Yo Ko. “Lekas kau perintahkan pelayanmu mengambilkan pakaian supaya kami dapat segera menyamar.”

Yalu Cin tak berani membantah. Ia perintahkan pengawalnya mengambilkan pakaian yang diminta, lalu mempersilakan Yo Ko dan Bu-siang salin di kamar yang lain. Setelah tukar pakaian, waktu Bu-siang bercermin, nyata ia telah berubah menjadi perwira muda bangsa Mongol yang cakap.

Besok paginya berangkatlah mereka ikut rombongan pasukan tentara itu. Yo Ko dan Bu-siang masing-masing digotong dengan sebuah joli mentereng, sebaliknya Yalu Cin malah menunggang kuda. Sebelum lohor terdengarlah suara kelenengan nyaring dari jauh, tetapi sekejap saja suara itu sudah lewat melampaui rombongan.

Tentu saja Bu-siang amat girang, pikirnya: “Sungguh nikmat sekali merawat luka di dalam joli ini. Biarlah aku digotong mereka sampai daerah Kanglam saja.”

Dua hari kemudian, suara kelenengan keledai yang sangat ditakuti itu sudah tak terdengar lagi, agaknya Li Bok-chiu sudah mengejar terus ke desa dan tak kembali lagi. Begitu juga para Tojin dan anggota Kay-pang yang ingin menuntut balas pada Liok Bu-siang pun tidak menemukan jejaknya.


DENDAM TURUNAN DUA KELUARGA

Pada hari ketiga tibalah mereka di Liong-Se, satu kota persimpangan jalan yang penting dan ramai. Sehabis bersantap malam, iseng-iseng Yalu Cin mendatangi kamar Yo Ko untuk minta petunjuk tentang ilmu silat. Dasar Yalu Cin ini pandai bicara, dia sengaja menyanjung dan mengumpak Yo Ko setinggi langit, maka untuk jasa itu Yo Ko telah memberikan satu dua petunjuk kepadanya, walau pun hanya dasar-dasar yang tidak berarti, tetapi bagi Yalu Cin sudah merupakan pelajaran yang tak pernah didengarnya, tentu saja tidak sedikit faedah baginya.

Selagi Yalu Cin mencurahkan seluruh perhatiannya mendengarkan ‘kuliah’ Yo Ko, tiba-tiba datanglah seorang pengawalnya melapor bahwa orang-tuanya di kota raja mengirim utusan.

“Baiklah, segera aku datang,” sahut Yalu Cin girang. Selagi dia hendak mohon diri pada Yo Ko, mendadak timbul pikiran: “Ahh, kenapa aku tidak menerima kurir pengantar surat itu di hadapannya, dengan begitu bisa menandakan aku tidak pandang dia sebagai orang asing, dan cara dia mengajarkan ilmu silatnya kepadaku tentu akan bersungguh-sungguh juga.”

Segera pengawalnya diberi perintah: “Panggil dia menghadap padaku di sini.”

Pengawal itu merasa aneh mendengar perintah itu. “Ma... mana...” demikian dengan samar-samar ia hendak menjelaskan.

Namun Yalu Cin lantas lambaikan tangannya dan bilang lagi: “Tidak apa-apa, bawalah dia ke sini!”

“Tetapi Lotayjin sendiri yang...” kata si pengawal lagi.

“Ahh, kau hanya banyak omong saja,” sela Yalu Cin tak sabar, “Lekas pergi...”

Belum habis ia bicara, tahu-tahu tirai kamar tersingkap lantas masuklah seseorang dengan tertawa.

“Anak Cin, tentu kau tak menduga akan diriku, bukan?” demikian kata orang itu segera.

Girang dan kejut Yalu Cin demi mengenali siapa adanya orang itu. Lekas-lekas dia berlari memapak dan menyembah.

“Ahh, kiranya Ayah...”

“Ya, memang aku sendiri yang datang,” potong orang itu.

Ternyata orang ini memang bukan lain adalah ayah Yalu Cin, perdana menteri negeri Mongol Yalu Cu-cay. Mendengar Yalu Cin panggil orang itu sebagai ayah, Yo Ko tak tahu bahwa orang adalah Perdana Menteri yang sangat berkuasa di negeri Mongol. Ia lihat alis jenggot orang sudah putih, wajahnya alim menandakan seorang yang beribadat, mau tak mau dalam hati Yo Ko timbul juga semacam perasaan hormat.

Dan baru saja orang itu duduk, dari luar kembali masuk lagi dua orang terus memberi hormat pada Yalu Cin dan menyebutnya sebagai “Toa-ko”. Kedua orang ini yang satu laki-laki dan yang lain wanita. Yang lelaki berumur antara 25-26 tahun, sedangkan usia yang perempuan kira-kira sebaya dengan Yo Ko.

“Ahh, Ji-te dan Sam-moay, kalian juga ikut datang!” sapa Yalu Cin kepada muda-mudi itu dengan girang.

Pemuda itu adalah putera kedua Yalu Cu-cay, namanya Yalu Ce, dan puterinya bernama Yalu Yen. Perawakan Yalu Ce kurus jangkung, tapi sikapnya gagah dan wajahnya cakap. Yalu Yen pun memiliki potongan ramping tinggi, tampaknya mereka sekeluarga memang keturunan perawakan tinggi. Meski pun perawakan Yalu Yen tinggi, tapi wajahnya masih membawa sifat kanak-kanak. Dibilang cantik, sebenarnya tak begitu cantik, tetapi di antara senyumannya terdapat juga semacam gaya yang menggiurkan.

“Ayah, keberangkatanmu dari kota raja, sedikit pun anak tidak mengetahui,” sementara itu Yalu Cin berkata.

“Ya,” Yalu Cu-cay mengangguk, “karena ada suatu urusan besar, kalau bukan aku sendiri yang memimpinnya, betapa pun juga rasa hatiku tak lega.” Sambil berkata pandangannya menatap Yo Ko serta para pengawal yang berada di situ, maksudnya agar mereka diperintahkan menyingkir.

Tentu saja Yalu Cin menjadi serba salah. Seharusnya dia mengibaskan tangan menyuruh para pengawalnya pergi, tetapi Yo Ko adalah orang yang tak boleh dipersamakan dengan bawahannya, karena itu sikapnya menjadi kikuk dan ragu-ragu. Namun Yo Ko cukup tahu diri, dengan tersenyum ia mengundurkan diri atas kemauannya sendiri.

“Siapakah dia tadi?” tanya Yalu Cu-cay pada Yalu Cin segera sesudah Yo Ko menyingkir.

“Kenalan baru yang bertemu di tengah jalan tadi,” sahut Yalu Cin dengan samar untuk menghindari kehilangan pamor di hadapan adik-adiknya. “Sebenarnya ada urusan penting apakah sampai ayah berangkat sendiri ke selatan?”

Yalu Cu-cay menghela napas atas pertanyaan sang putera. “Pertama-tama untuk menghindari bahaya, kedua demi keutuhan negeri kita yang sudah tertanam kukuh oleh cikal bakal kita,” sahutnya kemudian.

Yalu Cin terdiam, dia saling pandang sekejap dengan adik-adiknya, wajah mereka pun mengunjuk rasa duka. Kiranya sesudah cikal-bakal negeri Mongol, Jengis Khan wafat, putera kedua, yaitu Gotai, menggantikan tahta. Setelah Gotai meninggal, kedudukannya diganti oleh puteranya yang pendek umur. Tatkala pemerintahan dikuasai permaisuri dan karena permaisuri main konco-koncoan dan percaya kepada sekelompok kecil orang, banyak pembesar lama dan panglima yang berjasa malah tergencet hingga suasana pemerintahan sangat kacau.

Yalu Cu-cay adalah pembesar tiga angkatan sejak Jengis Khan dan berjasa besar sebagai orang yang ikut membangun kerajaan Mongol, oleh sebab itu setiap permaisuri membuat kesalahan, ia suka memberi kritik secara jujur. Tetapi permaisuri menjadi kurang senang karena tindak-tanduknya selalu dirintangi. Tentu saja Yalu Cu-cay insaf bahwa keselamatannya terancam, tetapi demi kepentingan negara yang dulu ikut didirikannya dengan susah payah, ia berpikir siang dan malam untuk mencari jalan keluar yang paling baik.

Suatu malam sesudah membaca kitab ‘Cu-ti-thong-kam’ karangan Suma Kong dari ahala Song, mendadak pikiran Yalu Cu-cay tergerak. Dia mendapatkan satu akal bagus! Besok paginya di dalam sidang dia mengajukan usul agar dirinya diutus ke daerah Ho-lam untuk menenteramkan keadaan di sana yang sedang bergolak. Usul itu amat cocok dengan keinginan permaisuri yang memang sudah lama bermaksud menyingkirkan dia, maka diutuslah Yalu Cu-cay ke Holam dengan kuasa penuh.

Kemudian Yalu Cu-cay mengadakan perundingan dengan para sahabat lama dan akalnya ternyata disetujui serta didukung dengan suara bulat. Kiranya akal yang Yalu Cu-cay rencanakan itu ialah pada suatu saat permaisuri akan dirobohkan kemudian mengangkat raja baru, yakni meniru cara apa yang terjadi pada jamannya Bu-cek-thian dari ahala Tong.

Mula-mula ia mengusulkan agar dirinya diutus ke Holam dan disetujui permaisuri, tetapi di sana ia menghimpun pasukan dan panglima-panglima yang perkasa. Setelah kekuasaan militer berada di tangannya, segera dia mengangkat raja baru dan mendesak permaisuri mengundurkan diri. Tatkala itu calon raja yang mereka dukung adalah cucu Jengis Khan, putera Dule yang bernama Monka.

Begitulah, dengan suara perlahan Yalu Cu-cay ceritakan rencananya kepada sang putera. Yalu Cin merasa girang dan kuatir, sebab kalau rencana itu terlaksana, dengan sendirinya mereka berjasa besar, tetapi sebaliknya kalau gagal, itu berarti bahaya bagi kehancuran keluarga mereka. Selagi mereka berempat sedang berunding secara rahasia, waktu itu Yo Ko sedang duduk bersemadi di kamar Liok Bu-siang dengan memusatkan pendengarannya mengikuti pembicaraan Yalu Cu-cay berempat.

Bagi orang yang sudah melatih lwekang-nya hingga tingkat yang amat tinggi, penglihatan dan pendengaran atas sesuatu selalu lebih tajam dari pada orang biasa. Oleh karena itu, meski kamar di mana Yo Ko dan Bu-siang berada masih diseling dengan sebuah ruangan lain, dan suara bicara Yalu Cu-cay pun amat perlahan sehingga bagi Liok Bu-siang sedikit pun tak kedengaran, tapi untuk Yo Ko sebaliknya dapat didengar dengan jeIas. Walau pun apa yang dibicarakan keempat orang itu adalah rahasia pemerintahan Mongol dan tiada sangkut pautnya dengan Yo Ko, namun uraian Yalu Cu-cay itu sangat menarik. Yo Ko jadi ingin mendengarkan terus.

“Hai, ToloI, kenapa kau bersemadi di sini?” tegur Bu-siang setelah menunggu dan melihat orang hingga sekian lama tak bergerak.

Tetapi saat itu justru Yo Ko lagi pusatkan perhatiannya untuk mendengarkan pembicaraan orang, terhadap kata-kata Bu-siang itu sebaliknya malah tak didengarnya. Sesudah mengulangi lagi tegurannya dan masih tiada jawaban, Bu-siang menjadi marah.

“Hai, Tolol, kau mau bicara dengan aku tidak?” omelnya.

Karena Yo Ko tetap tidak menyahut, ia bermaksud mengitik-ngitiknya. Tetapi sekonyong-konyong Yo Ko melompat bangun.

“Ssssttt, di luar ada orang mengintip,” katanya tiba-tiba dengan suara mendesis.

Akan tetapi sedikit pun Bu-siang tidak mendengar sesuatu suara yang mencurigakan. “Kau mau dustai aku?” sahut si gadis dengan suara rendah.

“Bukan di sini, tetapi di rumah yang sana,” kata Yo Ko.

Namun Bu-siang lebih-lebih tak percaya, ia tersenyum sambil mengomel: “Tolol!”

“Ssst, jangan-jangan gurumu yang mencari kemari. Lekas kita sembunyi dahulu,” dengan suara bisik Yo Ko peringatkan sembari tarik baju nona.

Mendengar gurunya di-sebut, mau tak mau Bu-siang menurut. Ia ikut Yo Ko mendekam di luar jendela untuk mengintai. Mendadak Yo Ko menuding ke arah barat. Pada waktu Bu-siang mendongak, betul saja dilihatnya dari atas rumah yang agak jauh di sana tampak mendekam sesosok bayangan orang. Tatkala itu tiada sinar bulan sehingga malam gelap gulita, kalau tidak memandang dengan seluruh perhatian, sukar untuk membedakan apakah itu bayangan orang atau bukan.

Baru sekaranglah Bu-siang mau menyerah, alangkah kagumnya pada ‘si Tolol’ yang tak dimengerti cara bagaimana bisa mengetahui datangnya orang itu?

“Bukan Suhu,” katanya kemudian kepada Yo Ko. Karena dia tahu gurunya sangat tinggi hati, baju peranti jalan malam yang dipakainya kalau bukan berwarna kuning langsat tentu berwarna putih mulus, sama sekali tak mau mengenakan pakaian hitam.

Belum selesai ia berkata, mendadak orang berbaju hitam itu telah melompat ke sana dan sekejap saja dia sudah melintasi tiga deret rumah. Begitu sampai di luar jendela kamar di mana terdapat ayah dan anak keluarga Yalu, segera sebelah kakinya melayang, ia pentang daun jendela, lalu dengan senjata ‘Liu-yap-to’ (golok bentuk sempit panjang dan sedikit melengkung) terhunus, dengan cepat sekali ia melompat masuk.

“Yalu Cu-cay, hari ini biarlah aku mati bersama kau,” terdengar orang itu berteriak.

Waktu menyaksikan gerak tubuh orang itu yang amat cepat tetapi bergaya lemas, Yo Ko menduga tentu dia seorang perempuan. Ketika mendengar suara teriakannya, ia menjadi terang memang suara kaum wanita.

“Ha, ilmu silat orang itu jauh di atas Yalu Cin, jiwa orang tua berjenggot putih itu pasti sulit dipertahankan lagi,” demikian terpikir olehnya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar