Jumat, 09 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 049

Sementara itu terdengar Yo Ko berkata: “Kami dengan perkumpulan kalian biasanya bersahabat, hendaklah kalian jangan percaya omongan yang sengaja mengadu-domba. Siapa yang utang harus membayar, bukankah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu dari Ko-bong-pay itu berada di sana, kalian berdua kenapa tidak mencari padanya saja?”

Kedua pengemis itu tak kenal Li Bok-chiu, tetapi cukup tahu betapa lihay iblis perempuan itu, mereka terkesiap demi mendengar penuturan Yo Ko.

“Apa betul katamu?” sahut mereka bersama.

“Buat apa aku berdusta,” kata Yo Ko. “Justru Siauto sendiri kepepet oleh desakan iblis itu, maka tadi terpaksa bergebrak dengan kalian berdua,” berkata sampai di sini, dengan laku sangat hormat dikembalikannya tongkat-tongkat rampasan tadi dan disambungnya pula: “Jik-lian-sian-cu selalu membawa benda-benda pertandaannya yang terkenal di seluruh jagat, masakah kalian tidak mengenal?”

“Ah, tak salah lagi,” kata salah satu pengemis, “la membawa kebut, keledai belangnya pakai kelenengan emas, bukankah dia yang memakai baju kuning tadi?”

“Betul…! Betul!” sahut Yo Ko tertawa, “Dan nona yang melukai anak murid perkumpulan kalian dengan golok melengkung itu, bukan lain adalah muridnya Li Bok-chiu...” sampai di situ mendadak ia berhenti dan pura-pura berpikir sejenak, lalu dilanjutkannya: “Cuma saja, jangan-jangan... ahh, sulit, sulit...”

“Jangan-jangan apa?” tanya si pengemis yang berwatak aseran.

“Ah, sulit, sulit,” kata Yo Ko lagi.

“Sulit apa?” kembali pengemis itu mendesak.

“Coba pikir saja, Li Bok-chiu itu sudah malang melintang di jagat ini dan siapa di kalangan Kangouw yang tidak pecah nyalinya kalau mendengar namanya,” demikian sahut Yo Ko. “Meski pun golonganmu sangat lihay, tapi terang tiada satu pun yang bisa menandinginya. Karena yang melukai kawanmu itu adalah muridnya, maka sebaiknya kalian anggap sial saja.”

Karena kata-kata yang bersifat memancing, pengemis itu dibikin murka hingga berteriak-teriak.

“Hm, peduli dia setan iblis, hari ini pasti kami tempur dia,” demikian teriaknya sambil tarik tongkatnya terus hendak berlari kembali ke tempat tadi.

Syukur pengemis yang satu bisa berlaku tenang. Ia pikir, melawan seorang bocah saja berdua tak ungkulan, apa lagi hendak perang tanding dengan Jik-lian-sian-cu, apa itu bukan berarti menghantarkan jiwa belaka? Karena itu segera ia tarik tangan kawannya dan mencegah:

“Tak perlu buru-buru, marilah kita kembali buat berunding lebih jauh.” Habis ini ia rangkap tangan memberi hormat pada Yo Ko sambil bertanya: “Dapatkah mengetahui nama Toyu (sahabat dalam agama) yang terhormat?”

“Siauto she Sat dan bernama Hua-cu,” sahut Yo Ko. “Sampai ketemu lagi.” Habis berkata, ia mohon diri dan balik ke jurusan tadi.

”Sat Hua-cu, Sat Hua-cu? Aneh sekali nama ini, mengapa tak pernah kudengar? Dengan usianya yang masih begitu muda, ilmu silatnya sangat hebat.”

Begitulah kedua pengemis itu menggumam mengulangi nama palsu Yo Ko yang sangat mengherankan. Tetapi sesaat kemudian, mendadak satu di antaranya berjingkrak sambil mencaci maki:

“Kurang ajar, jahanam, keparat!.”

“Ada apakah?” tanya kawannya.

“Bukankah dia mengaku she Sat bernama Hua-cu? Itu artinya Sat-hua-cu (menyembelih pengemis)! Kurang ajar, kita dicaci maki olehnya tanpa terasa!”

Karena itu keduanya lantas mengumpat Yo Ko, namun demikian mereka pun tak berani mencari orang lagi buat bikin perhitungan.

Di lain pihak Yo Ko sedang tertawa geli. Kuatir terjadi sesuatu atas keselamatan Bu-siang, lekas-lekas ia kembali ke tempat tadi. Di sana ia lihat Bu-siang sedang longak-longok ke arahnya di atas keledai, tampaknya si gadis kuatir luar biasa. Tetapi begitu melihat Yo Ko sudah kembali, mukanya berubah girang, lekas-lekas ia keprak keledainya memapaki.

“Tolol, bagus ya kau, aku ditinggalkan sendirian,” dengan suara tertahan ia mengomeli Yo Ko.

Tetapi pemuda ini tidak menjawabnya melainkan tersenyum saja, kemudian pedang yang dipinjam dari Ang Ling-po tadi disodorkan kembali kepada pemiliknya sambil memberi hormat dan menyatakan terima kasih. Setelah senjata itu diterima kembali oleh Ang Ling-po, selagi Yo Ko hendak putar tubuh, sekonyong-konyong Li Bok-chiu berkata:

“Nanti dulu!”

Kiranya karena melihat ilmu silat Yo Ko amat bagus, ia pikir jika orang ini dibiarkan hidup kelak pasti akan membikin susah dirinya, sebaiknya mumpung ilmu silatnya masih belum memadai, sekarang juga dibunuh kan beres urusannya?

Tetapi betapa cerdiknya Yo Ko, begitu dia mendengar orang berkata “nanti du!u”, segera diketahuinya keadaan bakal runyam, lekas-lekas pedang yang dia serahkan di tangan Ang Ling-po itu dilepaskan.

Sebenarnya Li Bok-chiu hendak pancing orang agar bergebrak dengannya, dengan begitu sekali kebut akan dibunuhnya Yo Ko, namun kini Yo Ko sudah tidak bersenjata, dengan kedudukan Li Bok-chiu, tidak sudi mencelakai orang dengan senjatanya.

“Kau ini murid siapa di antara Coan-cin-chit-cu itu?” tanyanya kemudian sambil tancapkan kebutnya ke baju Iehernya.

“Aku adalah murid Ong Tiong-yang Cinjin,” sahut Yo Ko tertawa.

Seperti diketahui, sebenarnya Yo Ko adalah murid Thio Ci-keng dan cucu murid Coan-cin Chit-cu, tetapi terhadap imam-imam Coan-cin-kau dia sudah mendapat kesan jelek, dalam hatinya sedikit pun imam-imam itu tak dihormatinya lagi. Walau pun Khu Ju-ki tidak jelek terhadap dirinya, tapi waktu berkumpulnya terlalu singkat, maka sedikit kebaikan itu habis tertutup oleh kesan jelek yang dia dapat dari Thio Ci-keng dan Hek Tay-thong, sebab itu ia tak sudi mengaku sebagai murid Ci-keng.



Tetapi sewaktu tinggal di kuburan kuno, ia telah melatih inti ilmu ‘Kiu-im-cin-keng’ yang dahulu diukir Ong Tiong-yang, maka kalau dia mengatakan anak murid cikal bakal Coan-cin-kau itu, sebenarnya juga tidak berlebihan.

Kalau menurut umur Yo Ko, sebenarnya paling banyak sesuai bila menjadi murid tingkatan Thio Ci-keng dan In Ci-peng. Tapi melihat ilmu silatnya tidak lemah, maka Li Bok-chiu telah tanya dia murid siapa di antara Coan-cin Chit-cu, yaitu tujuh imam utama murid Ong Tiong-yang. Dengan pertanyaan ini sebetulnya sudah meninggikan diri Yo Ko. Kalau pemuda ini menjawab salah satu nama umpamanya Khu Ju-ki atau Ong Ju-it, pasti Li Bok-chiu dapat mempercainya.

Siapa tahu hati muda Yo Ko masih belum hilang. Dia tak sudi tingkatannya lebih rendah dari pada Hek Tay-thong yang sudah membunuh Sun-popoh yang dicintainya. Maka nama Ong Tiong-yang sengaja ditonjolkan olehnya. Padahal Ong Tiong-yang adalah cikal bakal Coan-cin-kau, semua orang Bu-lim tahu kalau dia hanya mempunyai tujuh orang murid yaitu ‘Coan-cin Chit-cu’. Pada waktu Yo Ko lahir malahan Tiong-yang Cinjin sudah lama meninggal dunia.

Demikianlah, maka Li Bok-chiu menjadi sangsi. “Hm, kau imam cilik ini sungguh tak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit, rupanya kau tak kenal aku ini siapa, maka berani main gila dengan aku,” demikian ia pikir, tetapi lantas teringat lagi olehnya: “Namun imam-imam Coan-cin-kau sekali-kali tak berani main gila dengan nama Cosuya mereka. Jika dia ini bukan anak murid Coan-cin, mengapa tipu-tipu ilmu silatnya tadi jelas adalah keluaran Coan-cin-pay?”

Melihat orang mengkerut kening sedang berpikir, Yo Ko kuatir nanti dikenali Ang Ling-po yang dulu pernah dikibulinya dengan menyamar sebagai anak gembala, maka tak berani dia tinggal lama, ia pikir paling perlu kabur dulu. Maka dengan cepat ia cemplak ke atas keledainya terus hendak dilarikan.

“Turun dulu, ada yang hendak kutanyakan padamu,” demikian kata Li Bok-chiu.

“Tidak perlu kau bicara, aku sudah tahu apa yg hendak kau tanyakan,” sahut Yo Ko tiba-tiba. “Bukankah kau hendak tanya apa aku melihat seorang gadis pincang atau tidak? Dan tahu tidak kitab yang dibawanya itu, bukan?”

Li Bok-chiu terkejut mengapa orang tahu akan maksud hatinya. Namun dengan adem saja ia menyahut:

“Ya, kau sungguh pintar. Ke manakah kitab itu dibawanya?”

“Tadi waktu aku dan Sute-ku ini beristirahat di tepi jalan, kami melihat gadis pincang saling gebrak dengan tiga pengemis,” sahut Yo Ko dengan karangannya. “Satu di antara pengemis terkena timpukan goloknya yang melengkung, walau pun demikian, karena masih ada dua pengemis yang lain, maka gadis itu tak ungkulan, akhirnya dia tertawan.”

Biasanya Li Bok-chiu selalu berlaku tenang. Tetapi kini mendengar Liok Bu-siang tertawan pengemis-pengemis dari Kay-pang, sedangkan dara itu membekal ‘Ngo-tok-pit-toan’ yang tentu akan terjatuh ke tangan mereka, mau tidak mau mukanya mengunjuk rasa kuatir juga.

Melihat obrolannya berhasil, keruan Yo Ko sengaja obral ceritanya yang ditambah dan di-bumbui, ia bilang:

“Dan sesudah tertawan, seorang pengemis geledah keluar satu kitab dari badan gadis pincang itu, tapi karena nona itu tidak mau menyerahkannya, maka pengemis itu telah persen dia sekali tamparan.”

Mendengar dirinya dibuat buIan-bulanan mengobrol, tidak kepalang mendongkolnya Bu-siang, lebih-lebih Yo Ko bilang dirinya sudah ditempeleng oleh pengemis, maka dengan gemas ia mendeliki Yo Ko, dalam hati dia berkata: “Bagus, kau tolol ini, berani fitnah diriku, lihat saja kelak kalau aku tidak hajar kau!”

Di lain pihak si Yo Ko ternyata sangat jahil. Ia tahu betul hati si gadis waktu itu pasti sangat ketakutan karena berhadapan dengan gurunya yang kejam, tetapi ia justru sengaja bertanya padanya:

“Betul tidak, Sute? Bukankah itu sangat menggemaskan orang? Bukankah nona itu sudah dipegang sini dan diraba sana oleh beberapa pengemis itu, betul tidak?”

Bukan buatan dongkolnya Bu-siang, tapi ia tak berani membantah, terpaksa ia mengiakan sambil kepala menunduk.

Tengah berbicara, tiba-tiba terdengar derap kuda yang ramai, menyusul muncul sepasukan tentara dari balik bukit sana dengan persenjataan lengkap dan berbaris sangat rapi, kiranya adalah pasukan tentara Mongol.


MENYAMAR SEBAGAI PERWIRA MONGOL

Tatkala itu negeri Kim dari Manchu sudah dibasmi oleh bangsa Mongol, karena itu daerah utara sungai seluruhnya berada di bawah pemerintahan Mongol. Sudah tentu Li Bok-chiu tidak pandang sebelah mata pada pasukan tentara itu, tetapi karena tujuannya ingin lekas mendapatkan jejak Bu-siang, maka ia tak ingin banyak cekcok lagi dengan pihak lain. Ia menyingkir ke tepi jalan.

Sejenak kemudian, di bawah derap kuda yang riuh dan mengepulnya debu yang tinggi, ratusan serdadu yang mengiringi seorang pembesar Mongol lewat di samping mereka. Pembesar itu berdandan sebagai pembesar sipil, tetapi kepandaiannya dalam hal menunggang kuda ternyata sangat bagus. Meski pun wajahnya tak kelihatan jelas, namun sikapnya di waktu melarikan kuda ternyata sangat gagah dan perkasa.

Sesudah pasukan itu lewat, Li Bok-chiu lantas angkat kebutnya membersihkan debu yang mengotori baju. Tiap-tiap kali kebutnya mengebas, tiap-tiap kali juga jantung Bu-siang memukul keras. Harus diketahui, kalau kebut itu bukan dibuat membersihkan debu melainkan jatuh di atas kepala orang, maka tak perlu disangsikan lagi kepala sasarannya seketika pasti pecah berantakan.

“Lalu bagaimana?” Li Bok-chiu bertanya lagi.

“Lalu pergilah pengemis-pengemis itu menuju ke utara dengan membawa nona itu,” sahut Yo Ko menuding ke utara. “Aku dengar, katanya mereka pergi ke Ciong-koan.”

“Hm, bagus, terima kasih,” Li Bok-chiu mengangguk dan tersenyum. “Aku she Li bernama Bok-chiu, orang Kangouw menyebut aku Jik-lian-sian-cu, tetapi ada juga yang panggil aku Jik-lian-mo-tau (iblis ular belang rantai), pernah tidak kau mendengar namaku?”

“Tidak pernah,” sahut Yo Ko menggeleng kepala, “Nona, kau begini cantik, pantasnya kau disebut Sian-cu (dewi), mana boleh dipanggil Mo-tau (iblis)?”

Memang dengan paras Li Bok-chiu yang cantik, meski pun umurnya sudah lebih setengah abad, tapi karena Iwekang-nya sudah tinggi, maka kulitnya yang putih halus tanpa keriput sedikit pun kalau dipandang laksana wanita berumur 30 tahun saja. Selama hidup Li Bok-chiu memang amat bangga atas kecantikannya. Kini mendengar Yo Ko memujinya, ia sangat senang.

“Kau berani main gila dengan aku, sesungguhnya kau harus diberi rasa sedikit,” katanya kemudian sambil menggoyangkan kebutnya, “Tetapi mengingat kau pintar bicara, biarlah aku hanya menggunakan kebut ini untuk menghajar kau,”

“Ahh, jangan, jangan! Mana bisa tanpa sebab Siauto bergebrak dengan kaum Siaupwe (tingkatan muda),” sahut Yo Ko geleng kepala.

“Hm, ajalmu sudah di depan mata tapi masih berani kau main gila. Cara bagaimana kau anggap aku ini kaum Siaupwe?” damperat Bok-chiu.

“Guruku Tiong-yang Cinjin setingkat dengan nenek gurumu Lim-popoh, jadi bukankah aku satu tingkat lebih tinggi dari kau?” kata Yo Ko.

Marah sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu, namun dia tetap tersenyum dan berpaling kepada Ang Ling-po:

“Pinjamkan lagi pedangmu kepadanya.”

“Eh, tidak boleh jadi, tidak... boleh jadi...” ia berteriak sambil menggoyangkan tangannya, akan tetapi di sebelah sana Ang Ling-po sudah mencabut pedangnya, maka terdengarlah suara “kraak”, yang terpegang di tangannya melulu garan pedang saja, sedangkan mata pedang masih ketinggalan di dalam sarungnya.

Sesaat Ang Ling-po tercengang, tapi segera ia sadar bahwa itu adalah perbuatan Yo Ko tadi yang secara diam-diam telah bikin patah garan pedang sewaktu mengembalikan kepadanya, kini mendadak dicabut, dengan sendirinya lantas terpisah menjadi dua. Keruan saja berubah hebat air muka Li Bok-chiu.

“Nah, memang aku tak bisa bergebrak dengan kaum Siaupwe, tapi kau memaksa hendak saling gebrak dengan aku,” ujar Yo Ko. “Baiklah begini saja, dengan tangan kosong aku sambut tiga kali serangan kebutmu. Kita berjanji yang terang, hanya tiga gebrakan saja, selewatnya tiga gebrakan, asal kau sanggup bertahan, aku lantas melepaskan kau pergi. Tetapi sehabis itu, kau pun tak boleh recoki aku lagi.”

Kiranya dalam hati Yo Ko tahu bahwa dalam keadaan demikian tak bisa tidak harus saling gebrak, tapi bila bergebrak sungguh-sungguh, dirinya masih bukan tandingan Li Bok-chiu, maka sengaja dia berlagak orang tua, pura-pura sebagai kaum Locianpwe ditambah kata-kata yang tajam, asal Li Bok-chiu berjanji hanya bergebrak tiga jurus saja dan tidak lebih.

Li Bok-chiu bukan orang bodoh, dengan sendirinya dia pun paham maksud tujuan orang, cuma ia pikir masakah bocah ini sanggup terima tiga kali seranganku? Sebab itulah ia pun tidak banyak bicara, segera ia buka serangan sambil berseru:

“Bagus, Locianpwe, berikanlah petunjuk pada Siaupwe.”

“Ahh, tak berani...” sambut Yo Ko.

Maka berkelebatlah bayangan orang, sekitarnya penuh dengan bayangan kebut, Li Bok-chiu telah menyerang dengan tipu ‘bu-khong-put-jin’ (tiada lubang yang tak dimasuki) yang mengarah setiap tempat maut di tubuh Iawan. Meski hanya satu kali gerakan, sebenarnya luar biasa perubahannya dan berbareng mengincar 36 Hiat-to di tubuh Yo Ko.

Tadi Li Bok-chiu melihat Yo Ko melawan anggota Kay-pang kantong delapan dengan Kiam-hoat yang sangat bagus. Tampaknya memang bukan lawan yang lemah, jika dalam tiga gebrakan hendak merobohkan dia, agaknya tidak mudah juga. Oleh karena itu sekali serang segera digunakannya tipu yang paling dibanggakan selama hidupnya, yakni ‘Sam-bu-put-jiu’ atau serangan tiga serangkai ‘aksara tidak’.

Yo Ko terkejut sekali oleh serangan yang sangat aneh itu. Begitu hebat tipu serangan itu sehingga boleh dikatakan tak tertahankan lagi. Jika berkelit ke kiri, pasti Hiat-to di kanan akan tersabet dan demikian pula sebaliknya. Dalam kepepet itu tiba-tiba ia berjumpalitan dan menjungkir.

Dengan cepat dikeluarkannya ilmu mujijat ajaran Auwyang Hong. Ia menjalankan darahnya secara terbalik dan menutup rapat semua Hiat-to di tubuhnya. Biar pun segera terasa ke-36 Hiat-to rada kesemutan, namun segera pula tidak berhalangan, bahkan tubuhnya yang memutar cepat itu tiba-tiba balas menendang satu kali.

Heran sekali Li Bok-chiu. Jelas-jelas ia berhasil menotok Hiat-to orang, siapa duga Yo Ko masih bisa balas menyerang. Karena itu tipu serangan kedua menyusul dilontarkan lagi. Tipu ini disebut ‘Bu-so-put-ci’ (tiada sesuatu yang tak didatangi), yang diarah adalah 72 tempat Hiat-to di seluruh badan lawan. Akan tetapi mendadak Yo Ko malah mengulur tangan kirinya, dengan jarinya segera dia jojoh ‘wi-tiong-hiat’ di lutut kanan Li Bok-chiu.

Keruan Li Bok-chiu bertambah heran, lekas-lekas berkelit, segera menyusul serangan ke tiga ‘Bu-so-put-wi’ (tiada sesuatu yang tak diperbuatnya). Serangan ini tidak lagi menotok Hiat-to, melainkan mengincar mata, tenggorokan, perut dan bagian belakang yang lemah, oleh sebab itu disebut tipu ‘Bu-so-put-wi’ atau ‘tiada sesuatu yang tak diperbuatnya’, yang berarti mendekati cara-cara yang rendah dan kotor.

Cuma di waktu Li Bok-chiu melontarkan serangan itu, ia lupa bahwa di dunia ini ternyata ada orang yang berkelahi secara menjungkir seperti Yo Ko ini, maka serangannya yang dilontarkan secara tergesa-gesa itu bagian mata yang diarah lantas mengenai telapak kaki Yo Ko, tenggorokan yang diserang berbalik kena betis, begitu pula perut, yang kena justru pahanya, selangkangan yang diserang, tetapi yang kena dadanya, maka sedikit pun tidak membawa hasil yang diharapkan.

Sungguh tak kepalang kejut Li Bok-chiu sekali ini. Selama hidupnya entah berapa banyak pertempuran besar yang pernah dia hadapi, malahan orang yang ilmu silatnya lebih tinggi pun sudah pernah dilawannya, segala tindak-tanduknya sebelumnya selalu diperhitungkan secara teliti, tetapi sekarang sama sekali tak terpikir olehnya, seorang imam cilik ternyata memiliki ilmu silat yang sukar dijajaki.

Karena sedikit tertegunnya itu, ketika mendadak mulut Yo Ko menganga, tahu-tahu buntut kebutnya kena dicokot kencang, lalu pemuda itu cepat membalik, berdiri kembali. Bahkan sedikit Yo Ko menarik, mendadak tangan Li Bok-chiu terguncang sehingga kebutnya kena dirampas.

Hendaklah diketahui bahwa tenaga mana saja dari anggota badan manusia tak ada yang bisa lebih kuat dari pada gigi. Dengan gigi orang biasa sanggup mengertak pecah sesuatu benda yang keras, sebaliknya betapa pun kuat tangan seseorang tidak dapat membikin remuk dengan remasan tangannya. Oleh sebab itulah, meski tenaga dalam Yo Ko masih jauh di bawah Li Bok-chiu, namun dengan giginya yang menggigit ujung kebut, ternyata senjata kebanggaan Li Bok-chiu kena direbut.

Kejadian yang sama sekali tak terduga ini membikin Ang Ling-po dan Liok Bu-siang menjerit kaget. Sebaliknya meski Li Bok-chiu terkejut juga tetapi sedikit pun ia tak gentar. Sesudah telapak tangannya dia gosok, dengan ‘Jik-Iian-sin-ciang’ atau pukulan sakti ular belang, segera ia memburu maju buat merebut kembali kebutnya. Tapi baru saja pukulannya hendak dilontarkan, mendadak ia berteriak:

“He, kiranya kau! Di manakah gurumu?”

Kiranya muka Yo Ko yang tadinya terpoles dengan debu arang, setelah dia berjungkir dan berputar, tanpa sengaja debu arang mukanya tergesut hilang sebagian sehingga wajah aslinya dapat dikenali.

“He, dia adalah Sumoay, Suhu!” mendadak Ang Ling-po juga berteriak, sebab waktu itu pun Liok Bu-siang dapat dikenaIinya.

Namun Yo Ko bertindak cepat sekali. Begitu kakinya sedikit mengenjot, keledai Li Bok-chiu lantas dicengklaknya terus dilarikan, bahkan sekali tangan kirinya menjentik, sebuah “Giok-hong-ciam” (jarum tawon putih) sudah ditimpukkan dan dengan jitu masuk di kepala keledai Ang Ling-po.

Dalam murkanya tanpa pikir lagi Li Bok-chiu menguber, sekuat tenaga ia melayang ke depan dan menubruk si Yo Ko dari belakang. Lekas-lekas Yo Ko meloncat meninggalkan binatang tunggangannya, senjata kebut hasil rampasan tadi dia gunakan untuk mengetok kepala keledai hingga pecah dan otaknya berhamburan.

“Hayo, lekas, bini cilik, lari ikut lakimu!”

Yo Ko berteriak-teriak pula sambil turunkan tubuhnya di atas keledai, lalu kebut rampasannya digunakan menyabet serabutan ke belakang untuk menahan uberan Li Bok-chiu.

Di sebelah sana, tanpa menunggu perintah lagi Liok Bu-siang mengeprak keledainya dilarikan secepatnya. Dengan Ginkang Li Bok-chiu, dalam satu-dua li saja sebenarnya dia pasti dapat menyusul binatang tunggangan orang. Cuma tadi dia sudah merasakan tipu serangan aneh dari Yo Ko hingga hatinya rada jeri, maka ia tak berani terlalu mendesak melainkan dengan ‘Kim-na-jm-hoat’ ia rebut kembali kebutnya.

Di pihak lain, keledai Ang Ling-po yang kepalanya tertimpuk jarum tawon putih yang amat lembut itu, tiba-tiba berjingkrak terus nyeruduk ke arah Li Bok-chiu, bahkan pentang mulut hendak menggigit.

“Hai, Ling-po, ada apakah?” bentak Li Bok-chiu.

“Binatang ini menjadi gila,” sahut Ling-po sambil menarik tali kendali sekuat tenaga hingga seluruh mulut keledai itu penuh darah. Sejenak kemudian sekonyong-konyong keledai itu menjadi lemas, terguling mati.

“Kita kejar saja, Suhu!” seru Ang Ling-po melompat bangun.

Tetapi waktu itu Yo Ko dan Bu-siang sudah berlari pergi hampir satu li jauhnya, hendak mengejar pun tak akan bisa menyandak lagi. Setelah melarikan keledai mereka sekencang-kencangnya, kemudian Yo Ko dan Bu-siang berpaling, namun tak tampak bayangan Li Bok-chiu yang mengejar.

“ToIol, dadaku sangat sakit, aku tidak tahan lagi,” seru Bu-siang.

Yo Ko tidak menjawab. Ia melompat turun dan mendekam ke tanah untuk mendengarkan, tetapi tiada suara derap kuda yang didengarnya.

“Tak perlu takut lagi, kita lanjutkan dengan perlahan-lahan saja,” ujarnya.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan berendeng. Tetapi hanya sebentar saja, karena kuatir disusul oleh Li Bok-chiu, kembali mereka keprak keledai. Begitulah, sebentar cepat dan lain saat alon-alon hingga hari pun sudah magrib.

“Bini cilik, jika kau ingin selamat, hendaklah kau tahan sakit dan lari terus semalaman ini,” kata Yo Ko.

“Ngaco-belo! Awas, kalau aku tidak iris lidahmu!” damperat Bu-siang karena Yo Ko terus-menerus menyebut “bini” padanya.

Yo Ko melelet-lelet lidah, tapi ia berkata lagi: “Hanya sayang binatang-binatang ini sudah terlalu letih, kalau semalaman berlari terus mungkin akan mampus di tengah jalan.”

Sementara hari mulai gelap, dan mendadak terdengar di depan sana ada suara meringkiknya kuda.

“Ha-ha-ha, itu dia, marilah kita tukar kuda ke sana!” seru Yo Ko girang.

Segera mereka kencangkan lari keledai lagi. Sesudah lewat beberapa li, tampaklah di depan sana ada sebuah perkampungan dan di bagian luar tertambat ratusan ekor kuda. Kiranya pasukan berkuda Mongol yang dilihat mereka siang tadi sedang berhenti di sini.

“Kau tunggu di sini, biar aku masuk ke kampung sana menyelidiki keadaan dulu,” kata Yo Ko.

Kemudian ia turun dari keledainya dan masuk sendiri ke perkampungan itu. Pada jendela sebuah gedung besar dilihatnya ada sinar lampu, maka dengan cepat Yo Ko menyelinap ke sana. Ia mengintip melalui jendela, ia lihat seorang pembesar MongoI sedang duduk mungkur (membelakangi). Tiba-tiba pikiran Yo Ko tergerak, “He, dari pada menukar kuda, tidakkah lebih baik kalau menukar orang saja,” demikian pikirnya.

Tidak berapa lama, ia melihat pembesar Mongol itu berdiri, lalu berjalan mondar-mandir. Umur pembesar ini masih sangat muda, hanya likuran saja, tetapi sikap dan tindak tanduknya sangat berwibawa, tampaknya pangkatnya tidak rendah. Yo Ko menunggu. Pada waktu pembesar itu mungkur lagi, dengan perlahan ia mendorong daun jendela, lalu melompat dia ke dalam terus menotok punggung orang.

Siapa duga, begitu mendengar ada suara angin menyambar dari belakang, secepat kilat pembesar itu melangkah maju, maka dengan sendirinya totokan Yo Ko menjadi luput. Kesempatan ini segera dipergunakan pembesar itu untuk mengayun tangan kirinya buat menangkis, menyusul putar tubuh dan sepuluh jari tangannya laksana kaitan lantas mencakar ke muka Yo Ko. Ternyata yang dipakai adalah tipu serangan yang lihay dari ‘Tay-lik-eng-jiau-kang’ atau ilmu cakar elang bertenaga raksasa.

Yo Ko rada terkejut juga. Sungguh tak nyana bahwa seorang pembesar Mongol memiliki ilmu silat begitu tinggi. Karena itu, sedikit mengegos ia pun berkelit menghindar dari cakaran tadi. BeruIang kali pembesar Mongol itu mencengkeram lagi, tapi semuanya dapat dielakkan oleh Yo Ko.

Biasanya pembesar Mongol itu sangat bangga atas ilmu silatnya yang hebat karena sejak kecil mendapat pelajaran guru pandai dari golongan Eng-jiau-bun. Siapa sangka, begitu bergebrak dengan Yo Ko, sama sekali ia tak bisa berbuat apa-apa.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar