Kamis, 08 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 048

Hendaklah diketahui bahwa balai-balai atau pembaringan yang biasa digunakan di daerah utara itu terbuat dari tanah liat dan di bawahnya berlubang. Karena hawa di daerah utara amat dingin, maka pada rongga balai-balai itu dinyalakan api unggun untuk memanaskan badan bagi yang rebah di atasnya. Tetapi waktu itu bukan musim dingin, di bawah kolong balai-balai itu tak ada api, meski pun begitu di dalamnya hitam gelap penuh debu arang. Keruan seluruh muka dan kepala Bi Jing-hian berubah menjadi hitam.

Sementara itu suara kelenengan tadi sudah berhenti. Li Bok-chiu sudah sampai di depan hotel.

“Naiklah ke atas balai-balai,” kata Yo Ko kepada Bu-siang.

“Tidak mau, sudah digunakan imam busuk itu, tentu kotor dan bau.” sahut si gadis.

“Jika tidak mau, terserah kau!” ujar Yo Ko. Sembari berkata tangan pun bekerja, dan Tio Put-hoan sudah dijebloskan pula ke dalam koIong, sebaliknya totokan Ki Jing-si malah dia lepaskan.

Di lain pihak, walau pun merasa selimut bekas terpakai itu kotor dan bau, tetapi bila ingat kekejian gurunya yang tidak kenal ampun, terpaksa Bu-siang merangkak ke atas balai-balai. Ia tiduran dengan muka menghadap ke bagian dalam dan baru saja ia rebah, pintu kamar sudah ditendang oleh Li Bok-chiu. Untuk kedua kalinya wanita iblis ini melakukan penggeledahan.

Di sebelah sana Yo Ko pura-pura memegangi sebuah cangkir dan dengan kepala tunduk sedang minum, padahal sebelah tangannya ia tekan di punggung Ki Jing-si, pada Hiat-to yang mematikan sehingga imam ini tak berani berkutik.

Melihat isi kamar itu masih tetap tiga imam, pula melihat wajah Li Jing-si pucat lesi mirip mayat dan dalam ketakutan, maka Li Bok-chiu hanya tersenyum, kemudian pergilah dia menggeledah ke kamar yang Iain.

Tadi pada saat pertama kali Li Bok-chiu menggeledah, wajah ketiga imam itu sudah jelas dilihatnya, sebab ia kuatir Liok Bu-siang ganti pakaian dan menyamar, maka pada waktu menggeledah lagi untuk kedua kalinya, ia tidak memeriksa dengan cermat. Karena sedikit lengahnya ini ia kena dikelabui oleh Yo Ko.

Malam itu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po berdua sudah obrak-abrik seluruh kota itu hingga setiap rumah merasa terganggu. Sebaliknya dengan aman sentosa Yo Ko rebah di balai-balai berendeng dengan Liok Bu-siang. Betapa senangnya dia waktu mencium bau harum yang menggiurkan dari tubuh si gadis.

Pikiran Bu-siang sendiri pun timbul tenggelam bagaikan mendamparnya ombak. Ia rebah tanpa berani bergerak sedikit pun. Ia pikir jika si ToIol ini dibilang goblok, nyatanya pintar tiada bandingannya, dikatakan dia pintar, sebaliknya kelakuannya agak-agakan. Sungguh aneh orang ini. Ia rada kikuk juga karena rebah berendeng dengan pemuda, tetapi sesudah sampai lama sedikit pun tiada sesuatu gerak-gerik dari Yo Ko, barulah ia merasa lega hingga akhirnya ia terpulas.

Esok paginya Yo Ko bangun lebih dulu. Ia lihat Ki Jing-si masih menggeros mendekam di atas meja, sedang Bu-siang dengan napasnya yarig perlahan kelihatan masih nyenyak. Kedua pipi gadis ini bersemu merah, bibirnya mungil. Tanpa terasa jantung Yo Ko memukul keras.

“Jika perlahan-lahan aku mencium dia sekali, tentu dia tak akan tahu,” demikian ia pikir.

Dasar Yo Ko baru injak dewasa, walau pun tiada maksud jahat yang terkandung padanya, tetapi ingin juga mengecup sekali bibir si gadis yang merah mungil itu. Maka dengan hati-hati ia menjulurkan kepalanya. Bau harum yang teruar dari badan si gadis membikin Yo Ko makin lupa daratan. Tetapi baru saja kedua bibir hampir bersentuhan, sekonyong-konyong Yo Ko merasakan punggungnya tertimpuk sesuatu Am-gi atau senjata gelap. Luar biasa kaget Yo Ko hingga ia meloncat bangun.

Dengan kepandaian Yo Ko sekarang sebenarnya segala jenis senjata rahasia pasti akan diketahuinya sebelum mendekati, namun tadi ia sedang lupa daratan sehingga pikirannya kabur, maka tak heran senjata rahasia orang bisa mengenai punggungnya.

BegituIah, waktu ia meloncat kaget, segera bisa dilihatnya sebuah wajah sekilas melintas di balik lubang jendela, Wajah itu aneh luar biasa, seperti manusia tetapi bukan manusia, dibilang setan pun bukan setan. Dalam herannya Yo Ko menguber keluar, namun tiada satu bayangan yang dia dapatkan.

“Jangan-jangan ini tipu pancingan belaka!” tiba-tiba terpikir olehnya.

Ketika dia kembali ke kamar lalu memeriksa senjata rahasia tadi, dia melihat di atas lantai hanya terdapat segelintir kertas saja. Dia lantas menjemputnya dan diperiksa, ternyata di atas kertas yang dilinting itu tertulis sesuatu.

Waktu itu Bu-siang sudah terjaga bangun. Ia pun mendekati Yo Ko untuk melihat isi surat itu. Maka tertampaklah apa yang tertulis itu berbunyi:

'Kalau berani kurang ajar, segera jiwamu melayang!'



Seperti diketahui, sehari sebelumnya ada satu anak petani menghantarkan seikat bunga kepada Liok Bu-siang dengan secarik surat pengantar yang memberi peringatan bahwa gurunya segera tiba dan gadis ini disuruh lekas sembunyi. Gaya tulisan surat itu ternyata mirip dengan tulisan yang sekarang ini.

Yo Ko heran sekali tercampur malu demi membaca kata-kata surat itu, pikirnya: “Kiranya diam-diam ada jagoan kelas atas sedang melindungi dia, kalau semalam aku melakukan sesuatu yang tidak pantas, bukankah...” Berpikir sampai di sini, tanpa terasa seketika itu seluruh mukanya merah semua.

“Hm, tolol busuk, kau didamperat Kokoh-mu bukan?” tanya Bu-siang.

“He, ya, jangan-jangan memang Kokoh?” terkesiap hati Yo Ko. Tetapi lantas teringat lagi olehnya: “Ahh, tidak mungkin, muka orang itu luar biasa anehnya, bukan lelaki juga bukan perempuan, seperti manusia tetapi juga bukan setan, terang bedanya bagaikan langit dan bumi dengan Kokoh, lagi pula tulisan ini pun bukan tulisan tangan Kokoh!”

Pada saat itu juga suara kelenengan keledai belang Li Bok-chiu berkumandang lagi dan menuju ke arah barat laut. Rupanya karena kitab ‘Ngo-tok-pit-toan’ (kitab pelajaran ‘panca bisa’) digondoI Liok Bu-siang, dan kitab itu belum didapatkan kembali, selama itu pula ia tak tenteram.

Maka selama beberapa hari ini Li Bok-chiu boleh dikatakan tidur tak nyenyak dan makan tak enak. Meski pun hari masih amat pagi, dengan keledainya ia telah berangkat mencari Liok Bu-siang.

“Kalau kembalinya ke sana tak ketemukan kau, pasti dia akan balik ke sini puIa,” kata Yo Ko. “Cuma sayang kau terluka parah sehingga tidak boleh terguncang keras, kalau tidak, kita bisa menunggang dua ekor kuda dan kabur secepat-cepatnya.”

“Bukankah kau sendiri tidak terluka? Kenapa tak kau curi kuda lalu kabur sekaligus sehari semalam?” Bu-siang mengomel.

Melihat orang marah, Yo Ko menjadi senang, dia sengaja memancing pula: “Kalau bukan kau yang mohon diantar ke Kanglam, mana aku mau menghadapi bahaya ini.”

“Kalau begitu bolehlah kau pergi, Tolol. Melihat macammu saja aku lantas marah, biarlah lebih baik aku mati saja,” sahut Bu-siang.

“Wah, jika kau mati, akulah yang rugi,” kata Yo Ko tertawa.

Tetapi kuatir si gadis betul naik darah hingga tulangnya yang sudah tersambung itu patah lagi, maka tak digodanya lebih jauh. Ia ke kantor hotel dan pinjam tinta bak, bahan tulis ini dia campurkan dengan air baskom yang akan dibuat cuci muka Bu-Siang. Mendadak Yo Ko celup tangannya pada air baskom dan dengan cepat diusapkan ke muka si gadis.

Sama sekali Bu-siang tidak berjaga-jaga kalau orang akan berbuat begitu. Lekas-lekas ia keluarkan sapu tangan buat bersihkan air kotor itu sambil tiada hentinya ia mendamperat ‘si Tolol’.

Dalam pada itu dilihatnya Yo Ko sendiri pun menggosok tangannya ke kolong balai-balai yang penuh arang itu, kemudian ia campur dengan lak dan dipoles pada mukanya sendiri. Karena itu wajahnya yang tadinya ganteng, kini berubah menjadi jelek.


MENGAKU SEBAGAI MURID COAN-CIN-KAU

Bu-siang adalah gadis yang pintar dan cerdas. Melihat kelakuan Yo Ko itu, segera ia pun sadar. “Ah, memang betul meski aku sudah salin pakaian kaum imam, tetapi mukaku masih bisa dikenalnya, kalau tersusul Suhu, mana bisa mengelabui matanya?”

Maka tanpa sangsi-sangsi lagi air bak tadi ia poles rata pada mukanya. Dasar anak gadis memang suka akan kecantikan, sungguh pun memoles muka dengan air bak, toh masih dilakukannya seperti biasa kalau bersolek dengan bedak dan gincu.

Selesai keduanya menyamar, Yo Ko ulurkan kakinya dan menendang ke kolong balai-balai buat lepaskan Hiat-to kedua imam yang dia totok itu. Menyaksikan caranya Yo Ko melepaskan totokan orang, tanpa melihat sedikit pun, hanya kakinya menendang beberapa kali sekenanya lantas kedua imam itu dapat bersuara dan bergerak lagi, sungguh tidak kepalang kagum Bu-siang. “Kepandaian si Tolol ini berpuluh kali lebih tinggi dari pada aku,” demikian ia betul-betul menyerah kini. Walau pun begitu, mukanya sama sekali tidak mengunjuk sesuatu tanda bahkan ia masih memaki-maki “tolol”.

Sementara luka Bu-siang telah baikan, ia sudah bisa menunggang keledai sendiri dengan jaIan perlahan. Karena tidak ingin setunggangan lagi dengan Yo Ko, maka masing-masing mengambil seekor keledai dan melanjutkan perjalanan ke tenggara. Bila mana letih, mereka mengaso, lalu meneruskan lagi menunggang keledai.

“Siapakah gerangan orang yang sudah dua kali kirim surat itu?” begitulah sepanjang jalan Yo Ko selalu bertanya-tanya dalam hati.

“Hai, Tolol, kenapa kau diam saja tak bicara?” tiba-tiba Bu-siang menegur.

Waktu itu memang Yo Ko sedang termenung-menung. Karena teguran orang, mendadak dia ingat sesuatu.

“Ai, celaka, sungguh aku terlalu ceroboh!” ia berteriak.

“Memang kau ceroboh, siapa bilang kau pintar!” kata si gadis.

“Kita sudah menyamar dan ganti rupa, tetapi sudah dilihat oleh ketiga Tojin itu. Kalau dia lapor kepada gurumu, bukankah kita bakal celaka?” ujar Yo Ko.

Bu-siang tertawa geli oleh pikiran orang ini. “Tiga imam busuk itu sudah mendahului kabur ke depan sana, mana berani dia tinggal di sana menunggu kedatangan Suhu,” sahutnya kemudian. “Semenjak tadi kau termenung-menung saja seperti orang gendeng, masa mereka sudah mendahului di depan sana kau tidak melihat?”

“Oh!” kata Yo Ko sambil tertawa ke arah Bu-siang.

Gadis itu menjadi bingung oleh tawa itu yang tampaknya mengandung arti yang lebih dalam. Pada saat itu mendadak keledai yang ditungganginya meringkik keras. Waktu Bu-siang menoleh, ia lihat di tikungan jalan sana sudah berdiri Iima orang pengemis, mereka berdiri berjajar merintangi jalan.

Mata Yo Ko sangat jeli, sekilas saja dapat dilihat di balik jalan sana ada dua orang lain yang mengkeret kembali sesudah melongok sekejap. Kedua orang itu bukan lain adalah Tio Put-hoan dan Ki Jing-si.

“Ahh, kiranya tiga imam busuk itu sudah memberi-tahu orang-orang Kay-pang mengenai penyamaran kami sebagai Tojin.” Demikian segera duduknya perkara jadi terang. Karena itu ia lantas melompat turun dari keledainya dan memapak maju.

“Tuan-tuan besar pengemis, kalian minta-minta di delapan penjuru, maka hari ini mohon kalian suka menderma kepada kami,” segera Yo Ko buka suara lebih dahulu.

“Hm, sekali pun kalian cukur gundul menjadi Hwesio, jangan harap bisa mengelabui mata-telinga kami,” satu di antara pengemis-pengemis itu menyahut, suaranya keras bagaikan genta. “Sudahlah, jangan berlagak bodoh lagi, baiknya terus terang saja lantas ikut kami pergi menghadap Pangcu (ketua perserikatan).”

Mendengar orang menyebut Pangcu, diam-diam Yo Ko berpikir: “Menurut cerita Kokoh, Pangcu dari Kay-pang bernama Kiu-ci-sin-kay Ang Chit kong, berapa tinggi ilmu silatnya tidak ada yang mampu merabanya. Walau pun Kokoh sendiri tidak pernah meninggalkan kuburan kuno, tapi pernah juga Sui-popoh bercerita padanya, agaknya Pangcu mereka ini memang sangat lihay, kalau betul-betul ada disini, rasanya susah buat loloskan diri lagi.”

Dua pengemis yang mencegat di jalan seberang ini adalah murid berkantong delapan dari Kay-pang. Mereka menjadi ragu-ragu melihat Yo Ko dan Liok Bu-siang hanya anak-anak muda yang usianya belum genap 20 tahun, tapi bisa mengalahkan empat murid Kay-pang dari kantong enam dan tiga murid kantong tujuh.

Begitulah, selagi kedua belah pihak sama-sama ragu, mendadak suara kelenengan nyaring berkumandang lagi dari jurusan barat laut, suaranya begitu tajam dan riuh hingga menusuk telinga.

“Celaka, sekali ini bisa celaka,” demikian Bu-siang pikir. “Meski aku sudah ganti rupa dan bertukar corak, tapi justru dirintangi kedua pengemis setan ini. Kalau rahasia penyamaran kami dibongkar, cara bagaimana aku bisa lolos dari tangan Suhu yang kejam? Ai, betul-betul sial.”

Bu-siang bukannya menyesalkan diri sendiri yang tanpa sebab sudah melukai murid Kay-pang hingga menanam bibit permusuhan, kini ia malah menyalahkan orang Kay-pang yang merintangi dia. Memang anak gadis kadang-kadang lebih suka menyalahkan orang lain dari pada koreksi diri sendiri, ditambah pula tabiat Bu-siang memang aneh sehingga apa yang diperbuatnya dianggap pasti betul dan apa yang dilakukan orang tentu salah. Sementara itu, sekejap saja suara kelenengan Li Bok-chiu sudah tambah dekat.

“Terang aku bukan tandingan Li Bok-chiu, tiada jalan lain lagi kecuali terjang ke depan saja,” pikir Yo Ko.

Sungguh pun dalam hati ia berkuatir, tapi pada lahirnya ia masih bisa berlaku tenang. “Ha-ha, kalau kalian tidak sudi memberi sedekah tak apalah, harap kalian memberi jalan saja,” dia berkata lagi pada kedua pengemis tadi dengan lagak setengah tolol. Habis berkata, dengan langkah lebar dia pun berjalan ke depan.

Melihat tindakan orang yang enteng dan seperti tidak paham ilmu silat sedikit pun, kedua pengemis itu mengulur tangan kanan hendak menjambret Yo Ko. Namun Yo Ko telah siap, tiba-tiba telapak tangannya mendorong maju. Maka beradu tiga tangan tak terhindarkan lagi, hanya sekali gebrak, ketiganya sama-sama tergetar mundur semua.

Kiranya murid Kay-pang kantong delapan itu telah latihan beberapa puluh tahun, tenaga dalam mereka begitu hebat dan jarang ada tandingan lagi di kalangan Kangouw, kalau melulu soal keuletan, boleh dikatakan puluhan kali lebih kuat dari Yo Ko. Cuma dalam hal kebagusan dan keanehan gerak serangan, hal ini berbalik jauh di bawah pemuda kita. Oleh karena itulah, dengan meminjam tenaga pukulan orang untuk memukul balik, Yo Ko dapat mematahkan tenaga pukulan orang tadi. Akan tetapi untuk menerjang lewat begitu saja juga sukar baginya. Karenanya, ketiga orang sama-sama terkejut.

Pada saat itu juga Li Bok-chiu dan Ang Ling-po sudah datang mendekat. “Hai, pengemis, imam cilik, kalian melihat seorang gadis pincang lewat disini tidak?” Ang Ling-po segera bertanya dengan suara berteriak.

Di kalangan Bulim kedudukan kedua pengemis itu tergolong tinggi, tentu saja mereka mendongkol oleh cara Ang Ling-po bertanya, cuma karena terikat dengan peraturan Kay-pang yang keras, yang melarang si anak murid berkelahi dengan orang dalam persoalan kecil, maka mereka menyahut juga dengan pendek:

“Tidak melihat!”

Namun mata Li Bok-chiu sangat tajam. Dia lihat perawakan kedua Tosu muda ini seperti pernah dilihatnya entah di mana, maka timbul rasa curiganya. Sementara keempat orang itu sedang berhadapan dalam keadaan siap hendak saling labrak, maka dia lantas mengambil keputusan akan menonton perkelahian itu. Pertama, dia ingin menyaksikan sampai di manakah ilmu silat anak murid Kay-pang. Kedua, dia juga ingin tahu dari aliran manakah kedua Tosu cilik itu.

Di lain pihak Yo Ko pun sedang berpikir karena kedatangan iblis perempuan itu. Waktu ia melirik, melihat wajah orang mengunjuk senyum dan hendak menyaksikan perkelahian, tiba-tiba pikirannya tergerak: “Ah, dengan cara begini tentu akan hilang rasa curiganya.”

Kemudian didekatinya Ang Ling-po, ia memanggut memberi salam. Karena itu, Ang Ling-po membalas hormat orang.

“Siauto (imam kecil) kebetulan lewat di sini dan tanpa sebab dicegat oleh dua pengemis galak ini serta ditantang berkelahi,” demikian kata Yo Ko, “Tetapi Siauto tidak membawa senjata, maka harap Toyu (kawan dalam agama Tao) sudi memberi pinjam pedangmu.”

Melihat muka orang yang benjal-benjol jelek sekali, tapi budi bahasanya sopan, ditambah lagi orang mengemukakan agama, maka Ang Ling-po merasa tak enak hati buat menolak permintaan orang. Pedang lantas dilolosnya, lebih dulu dia berpaling pada gurunya. Waktu melihat Li Bok-chiu mengangguk maka disodorkan pedangnya kepada Yo Ko.

“Terima kasih sebelumnya,” kata Yo Ko pula sambil terima senjata orang, “dan bila Siauto tak ungkulan, masih mengharap Toyu mau memandang pada sesama agama kita, sudilah memberi bantuan sedikit.”

Ang Ling-po berkerut kening oleh ceriwisnya Yo Ko, ia hanya menjengek sekali dan tidak menjawab. Sementara itu Yo Ko telah putar balik ke sana, dengan suara keras ia berkata pula pada Bu-siang:

“Hai Sute, kau saksikan kutempur mereka dan tak usah ikut turun tangan, biar pengemis-pengemis Kay-pang ini berkenalan dengan ilmu kepandaian anak murid Coan-cin-pay kita.”

“Ha, kiranya kedua imam cilik ini adalah orang Coan-cin-kau,” Li Bok-chiu terkesiap ketika mendengar Yo Ko mengaku sebagai anak murid Coan-cin-kau. “Tapi biasanya hubungan Coan-cin-kau dan Kay-pang sangat baik, kenapa sekarang saling labrak?”

Sementara itu, kuatir kalau kedua pengemis berteriak-teriak menyingkap rahasianya Bu-siang, dengan cepat Yo Ko lantas merangsek maju.

“Hayo, majulah Iekas, biar aku seorang diri melawan kalian berdua,” segera ia menantang.

Mendengar kata-kata Yo Ko semakin temberang, hati Bu-siang menjadi kuatir. “Si Tolol ini sudah menyamar sebagai Tosu, masa masih berani mengaku dari Coan-cin-kau,” demikian pikir gadis itu. “Dia tidak tahu bahwa guruku entah sudah berapa puluh kali berkelahi melawan imam-imam Coan-cin-kau, ilmu silat Coan-cin-pay mana yang tak dikenalnya? Sungguh kelewat berani dia memalsukan nama orang lain.”

Di pihak sana, demi mendengar Yo Ko mengaku sebagai anak murid ‘Coan-cin’, seketika juga kedua pengemis itu terkejut, berbareng mereka membentak tanya:

“Apa betul-betul kau anak murid Coan-cin? Kau dan dia...”

Tak mungkin Yo Ko memberi kesempatan pada mereka untuk menyebut Liok Bu-siang, maka sebelum selesai perkataan orang, secepat kilat pedangnya sudah menusuk, sekaligus dia mengarah perut kedua pengemis itu, dan tipu itu memang betul adalah tipu serangan dari ‘Tiong-yang-kiam-hoat’ yang tulen.

Dengan kedudukan mereka yang tinggi di kalangan Bu-lim, sebenarnya kedua pengemis itu tidak mau menempur Yo Ko dengan dua lawan satu. Akan tetapi serangan Yo Ko datangnya terlalu cepat dan aneh, maka mau tidak mau mereka berdua harus angkat tongkat untuk menangkisnya. Nyata, tongkat mereka yang tadinya tak menarik perhatian itu, kiranya terbikin dari besi.

Tetapi baru saja mereka angkat tongkat, tahu-tahu pedang Yo Ko sudah menerobos lewat melalui sela-sela tongkat mereka dan masih terus menusuk ke dada kedua orang itu. Sama sekali tidak diduga oleh kedua pengemis itu bahwa ilmu pedang orang bisa begitu cepat, maka terpaksa mereka mundur ke belakang.

Tetapi Yo Ko sedikit pun tak kenal ampun, ia mendesak terus setiap detik hingga sekejap saja sudah menusuk 18 kali, bahkan tiap-tiap tusukan sekaligus terbagi dua jurusan puIa, yakni mengarah lawan yang berjumlah dua orang.

Itu adalah ilmu silat Coan-cin-pay yang paling hebat yang disebut ‘lt-gi-hoa-sam-jing’ atau satu menjelma menjadi tiga. Kalau sudah terlatih sampai tingkat yang paling hebat, maka sekali serangan dapat berubah menjadi tiga tipu gerakan, dengan begitu satu orang sama dengan tiga orang maju berbareng.

Begitulah, maka tiap-tiap Yo Ko menusuk, kedua pengemis itu dipaksa mundur, satu kali saja ternyata mereka tak mampu balas menyerang. Diam-diam Li Bok-chiu terperanjat melihat betapa bagus Kiam-hoat imam cilik ini. Katanya dalam hati: “Pantas nama Coan-cin-kau disegani di seluruh jagat, karena anak muridnya memang pilihan semua. Dalam sepuluh tahun lagi kepandaian orang ini pasti aku sendiri tidak bisa menandinginya. Tampaknya jabatan Ciangkau (ketua) Coan-cin-kau kelak pasti akan jatuh di tangan orang ini.”

Jika Li Bok-chiu saja begitu kagum dengan kepandaian Yo Ko, maka jangan ditanya lagi Ang Ling-po dan Liok Bu-siang. Mereka berdua terpesona dan ternganga. Sementara itu Yo Ko sendiri sedang berpikir: “Jika sedikit aku main kendur, pasti mereka akan buka suara, dan kalau mereka sudah pentang mulut pasti banyak celaka dari pada selamatnya.”

Karena itu sesudah 18 jurus ‘Tiong-yang-kiam-hoat’ habis dimainkan, dengan cepat Kiam-hoatnya berubah, mendadak ia memutar ke belakang kedua lawannya dan kembali pedangnya menusuk lagi sekali-dua-gerakan.

Terpaksa kedua pengemis itu membalik tubuh dengan cepat untuk menangkis, akan tetapi sebelum tongkat mereka menyentuh pedang, tiba-tiba Yo Ko sudah melesat pergi, lagi-lagi dia mengitar ke belakang orang dan kembali menusuk. Bila kedua orang itu memutar menangkis, segera Yo Ko menggeser ke belakang mereka lagi. Kiranya Yo Ko sudah insaf, kalau mengandalkan keuletan, jangan kata satu lawan dua, melawan seorang pengemis saja tak bisa menandinginya, oleh sebab itu dia sengaja main putar dengan Ginkang untuk mengitari kedua lawannya.

Cara Yo Ko memutar dan menggeser, bagi setiap anak murid Coan-cin-kau yang telah cukup matang memang diwajibkan melatih Ginkang semacam ini untuk kelak digunakan dalam barisan bintang-bintang ‘Thian-keng-pak-tau-tin’. Hanya saja sekarang Yo Ko kombinasikan cara bernapasnya dengan inti pelajaran ‘Giok-li sim-keng’.

Harus diketahui bahwa Ginkang atau ilmu entengkan badan dari Ko-bong-pay adalah ilmu yang tiada bandingannya, oleh karena itu kecepatan Yo Ko memutar dan berganti tempat sekali-kali tidak bisa diikuti oleh kedua jago Kay-pang itu, yang kelihatan hanya bayangan Yo Ko yang berlari secepat kilat dibarengi sinar mengkilap menyambar, karena tusukan pedangnya yang silih bergilir. Dalam keadaan demikian, apa bila Yo Ko sungguh-sungguh hendak mencelakai jiwa kedua pengemis itu, sekali pun berjumlah dua puluh orang gampang saja dibunuhnya semua.

Tentu saja kedua pengemis itu sangat kewalahan. Sembari ikut memutar cepat, mereka berusaha mengayun tongkat untuk melindungi tempat-tempat berbahaya. Kini mereka sudah tak pikirkan buat tangkis serangan orang lagi, mereka hanya berusaha melindungi diri sepenuh tenaga dan terserah nasib. Dengan begitu, sesudah ratusan kali berputar cepat, akhirnya kepala kedua pengemis ini menjadi puyeng dan mata berkunang-kunang, mereka mulai sempoyongan, tampaknya sudah akan jatuh semaput.

“Hai, kawan dari Kay-pang,” tiba-tiba Li Bok-chiu berseru dengan tertawa, “kuajarkan satu akal, kalian saling berdempetan punggung, dengan begitu tidak perlu lagi ikut putar-putar.”

Karena peringatan ini, dua pengemis itu sangat girang, segera mereka akan turuti akal itu.

“Celaka, jika mereka berbuat begitu, tentu aku akan kalah,” pikir Yo Ko.

Maka sebelum kedua lawannya berganti tempat, tiba-tiba ia mengganti siasatnya. Ia tidak bergeser lagi, melainkan pedangnya sekali serang dua gerakan, ia tusuk punggung kedua orang.

Merasa ada angin santer menyambar dari belakang, kedua pengemis itu tidak sempat lagi menangkis, terpaksa mereka melompat maju. Tak terduga, baru saja kakinya menginjak tanah, kembali tusukan orang sudah datang. Keruan saja tak kepalang kaget kedua pengemis itu, tanpa pikir lagi mereka angkat kaki terus lari ke depan seperti diudak setan. Siapa duga ujung pedang Yo Ko bagaikan bayangan saja yang selalu melengket dengan tubuh mereka, tidak peduli berlari betapa cepatnya, senantiasa Yo Ko gerakkan pedangnya di belakang mereka, bila sedikit lambat saja mereka melangkah, segera daging di punggung terasa sakit-tertusuk ujung senjata.

Mereka tahu bahwa tidak ada maksud Yo Ko membunuh, kalau tidak, asalkan tangan pemuda ini diulur sedikit lebih panjang saja, pasti punggung mereka akan tertembus oleh ujung pedang. Walau pun begitu, sedikit pun mereka tidak berani berhenti dan masih berlari kesetanan.

Ketiga orang yang udak-udakan ini mempunyai ilmu entengkan badan yang sangat tinggi, maka sekejap saja mereka sudah berlari beberapa li, hingga Li Bok-chiu ditinggalkan jauh di belakang. Ketika itulah mendadak Yo Ko menambah ‘gas’ sedikit, tahu-tahu ia sudah mendahului di depan kedua pengemis itu.

“Eeeeeh, mengapa terburu-buru, perlahan-lahan sedikit, jangan sampai jatuh kesandung!” dengan menyengir ia menghadang di depan orang.

Tanpa berjanji dua pengemis itu lantas mengemplang berbareng dengan tongkatnya. Namun sekali meraup, tangan kiri Yo Ko menangkap sebuah tongkat orang, berbareng itu pedang di tangan kanan ia tempelkan pada tongkat yang lain dan didorong sedikit ke kiri hingga dengan tepat dua tongkat sekaligus kena dicekal.

Tahu gelagat jelek, lekas-lekas kedua pengemis itu berusaha membetot sekuatnya. Tapi Yo Ko cukup cerdik. Ia tahu keuletannya masih belum bisa memadai kedua pengemis itu, maka tentu saja ia tak mau betot-betotan. Dengan pedang sekonyong-konyong dia membabat mengikuti batang tongkat yang lempeng itu, dalam keadaan demikian, jika kedua pengemis tidak lepaskan tangan, delapan jari mereka pasti akan tertebas kutung.

Karena itu terpaksa mereka melepaskan senjata dan melompat ke belakang, kemudian dengan mata melotot memandang Yo Ko dengan marah, sikap mereka pun kikuk dan serba salah, hendak menempur tak ungkulan, kalau lari rasanya merendahkan derajat.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar