Rabu, 07 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 047

“Hm, untuk apa kau berlagak tolol padaku?” omel Bu-siang.

Tetapi Yo Ko hanya mengiya saja lantas mundur ke pinggir jalan sambil mengebut debu yang berada di badannya.

“Sebenarnya kalian inginkan apa?” dengan sikap dingin kemudian Bu-siang menegur tiga pengemis itu, karena orang masih menghadang di tengah jalan.

“Anak murid golongan kami bilang nona adalah jago dari Ko-bong-pay. Karena kagum, maka kami ingin minta petunjuk beberapa gebrakan dari nona,” sahut satu di antaranya.

“Kini aku dalam keadaan terluka, cara bagaimana dapat bergebrak dengan kalian?” kata Bu-siang. “Jika kalian betul-betul penasaran, bolehlah tetapkan harinya, nanti kalau lukaku sudah sembuh, pasti aku datang minta pengajaran kalian. Kalian bertiga adalah jago dari Kay-pang, kini sengaja hendak mengeroyok satu gadis yang sedang luka parah, apakah ini terhitung orang gagah perkasa?”

Dengan kedudukan tiga pengemis itu yang cukup tinggi, mereka jadi terdesak oleh debat Bu-siang ini.

“Baiklah, nanti kalau lukamu sudah sembuh, kami akan cari kau lagi,” kata pengemis yang kedua.

“Nanti dulu,” tiba-tiba pengemis yang ketiga berpikir lain: “Di manakah lukamu? Apa betul atau pura-pura, kami harus periksa dulu. Kalau benar engkau terluka, hari ini kami boleh mengampuni kau.”

Ia berkata begitu karena tak diketahuinya luka Bu-siang berada di bagian dadanya, maka tidak sengaja ingin mengetahui tempat luka ini, namun bagi Bu-siang seketika mukanya menjadi merah, ia pun menjadi marah hingga untuk sesaat tak bisa bicara.

“Hm, orang Kangouw bilang sahabat-sahabat dari Kay-pang semuanya ksatria sejati, tapi siapa tahu semuanya adalah manusia-manusia yang tak kenal malu,” kemudian Bu-siang mendamperat.

Mendengar nama baik perkumpulan mereka dihina, air muka ketiga pengemis itu berubah semua. Satu di antaranya yang berwatak berangasan segera melompat maju, dan hendak menarik Bu-siang keluar dari jolinya.

“Eeeeh, nanti duIu, nanti dulu!” tiba-tiba Yo Ko menyela demi dilihatnya keadaan sudah mendesak. “Kalian minta duit, bukankah tadi aku telah memberi, kenapa sekarang masih merecoki biniku?” Sembari berkata dia pun maju menghadang di depan joli, kemudian dia menyambung lagi, “meski kalian pengemis, tapi tampang kalian tampak gagah, potongan pun banyak rejeki, kelak banyak harapan bisa menjadi orang kaya atau orang berpangkat, mengapa sekarang berani mengggoda biniku dan melakukan perbuatan-perbuatan rendah seperti bajingan?”

Teguran ini membikin ketiga pengemis menjadi tercengang sehingga mereka tidak dapat menjawab.

“Menyingkirlah, kami hanya ingin belajar kenal dengan ilmu silatnya dari Ko-bong-pay, siapa yang melakukan perbuatan rendah?” sahut si pengemis yang berangasan tadi. Sambil berkata, berbareng ia mendorong Yo Ko.

“Haya!” Yo Ko berteriak dan pura-pura jatuh ke tepi jalan.

Dalam perserikatan kaum pengemis itu ada peraturan yang melarang bergebrak dengan orang yang tak mahir ilmu silat, Sungguh tak terduga oleh pengemis itu bahwa ‘pengantin laki-laki’ ini ternyata begitu tak becus. Hanya sekali dorong perlahan saja telah terbanting jatuh, kalau terbanting luka, tentu bakal terima hukuman berat dari perkumpulan, dan dua kawannya pun tidak terluput dari tanggung jawab ini.

Karena itu mereka kaget bukan main, lekas-lekas mereka memburu maju buat bangunkan orang, sebaliknya Yo Ko sengaja menjerit kesakitan. Karena waktu itu hari sudah gelap, maka pengemis itu pun tak jelas apa betul-betul orang terluka atau tidak.

“Aihh, kalian bertiga ini pun orang tolol. Biniku baru jadi pengantin dan masih malu-malu, mana mau dia bicara dengan orang yang tak dikenalnya,” demikian sambil berteriak-teriak sakit masih Yo Ko berkata lagi, “Begini saja, pelajaran apakah yang kalian inginkan? Coba katakan padaku, nanti aku yang bicara dengan biniku yang baru ini, habis itu nanti kuberi-tahukan lagi pada kalian. Bukankah baik begitu?”

Melihat macam Yo Ko yang dibilang tolol toh tidak tolol, akhirnya mereka tak sabar Iagi. “Kau mau menyingkir tidak?” pengemis yang berwatak keras tadi membentak pula. Akan tetapi Yo Ko malah sengaja pentang kedua tangannya.

“Tidak, kalian hendak menghina biniku, jangan harap,” ujarnya dengan suara keras.

“Nona Liok,” kata pengemis yang lain, “kau pakai si tolol ini sebagai tameng, apa dia bisa merintangi kami? Lekas kau berterus terang saja, apa yang hendak kau katakan!”

“Eh, dari mana kau pun tahu namaku si Tolol? Sungguh aneh bin ajaib!” tukas Yo Ko tiba-tiba dengan lagak heran.

Tetapi pengemis yang berangasan tadi tak gubris padanya, ia masih berteriak pada Liok Bu-siang:

“Kami tidak ingin belajar lain, cukup asal belajar kenal dengan tipu seranganmu dengan golok membacok punggung itu saja, apakah nama tipu serangan itu?”

Bu-siang tahu bahwa dengan caranya Yo Ko sedang menggoda mereka, maka urusan ini sukar juga diselesaikan, karena itu di dalam hati sedang memikirkan sesuatu jalan untuk meloloskan diri. Ketika mendengar orang bertanya lagi, tanpa terasa dia telah menjawab:

“Namanya ‘Tiau-siang-pay-gwe’, ada apakah?”

“Ya, betul, namanya ‘Tiau-sian-pay-gwe’, begini gerak goloknya, bet, lantas kena bacok di punggungmu,” tiba-tiba Yo Ko menyambung sambil mulutnya “bat-bet, bat-bet”, tangan pun mendadak memotong ke belakang pundak orang.

“Plokk!” dengan pinggiran telapak tangan ia hantam punggung pengemis itu. Keruan saja ketiga pengemis itu sangat terkejut oleh gerak serangan Yo Ko, berbareng mereka melompat mundur.



MENYAMAR SEBAGAI TOSU

“Ha, kiranya orang ini berpura-pura menyamar sebagai pengantin untuk mempermainkan kami,” demikian pikir mereka.

Walau pun tak banyak tenaga yang dikeluarkan Yo Ko, akan tetapi punggung pengemis itu pun terasa sakit.

“Bagus, anak keparat, kau berpura-pura tolol. Mari, mari sini, biar aku belajar kenal dulu dengan kepandaianmu yang tinggi itu,” segera pengemis itu berteriak-teriak menantang, berbareng tongkat diketokkan ke tanah hingga menerbitkan suara nyaring keras.

“Tadi kau bilang ingin belajar kenal kepada biniku, kenapa sekarang hendak belajar kenal padaku?” sahut Yo Ko berlagak bodoh.

“Belajar kenal dengan kau pun sama saja,” kata pengemis itu dengan marah.

“Wah, bisa celaka, aku tidak bisa apa-apa,” ujar Yo Ko, habis ini dia berpaling dan tanya Bu-siang: “Bini cilik yang baik, menurut kau, apa yang harus kuajarkan kepadanya?”

Kini Bu-siang sudah tidak ragu-ragu lagi akan si Yo Ko yang pasti memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, kalau tidak, mana berani ia cengar cengir berlagak bodoh menggoda ketiga jago Kay-pang ini? Tapi karena belum mengenal aliran ilmu silat orang, maka sekenanya ia menjawab pula:

“Kau unjuk sekali lagi jurus Tiau-sian-pay-gwe!”

“Baik!” sahut Yo Ko, berbareng ini tiba-tiba ia membungkuk ke depan, tangan mengulur.

“Plokk!” dengan tipu ‘Tiau-sian-pay-gwe’ atau Tiau-sian menyembah rembulan, kembali ia gebuk sekali lagi punggung si jembel itu.

Melihat serangan Yo Ko, semua orang bertambah terkejut dan heran. Terang tadi Yo Ko berdiri berhadapan dengan lawan dan sama sekali tidak menggeser satu langkah pun, tapi hanya sedikit membungkuk dan tangan mengulur, tahu-tahu tangannya telah berhasil menggebuk punggung orang. Sungguh ilmu pukulan yang amat aneh dan mengherankan!

Bukan saja orang-orang itu heran, bahkan Bu-siang pun tergetar hatinya. “Bukankah ilmu pukulannya ini adalah aliran Ko-bong-pay kami, kenapa dia pun bisa?” demikian tanyanya dalam hati.

Dengan ragu segera ia berkata lagi: “Coba sekali Iagi, sekarang jurus ‘Se-si-hong-sim’!”

“Baik!” sambut Yo Ko cepat.

Begitu tinjunya menyodok ke depan, dengan tepat sekali ulu hati lawan kena pukul. Itulah tipu serangan ‘Se-si-hong-sim’ atau Se Si meraba dada. Karena genjotan itu, maka terasalah oleh pengemis itu didorong oleh suatu kekuatan yang maha besar sehingga tubuhnya mencelat pergi sejauh lebih setombak. Anehnya di sana dia bisa berdiri dengan tegak, tempat yang terkena pukulan pun tidak terasa sakit. Walau pun begitu, kedua pengemis yang lain segera menerjang maju berbareng.

“Haya, celaka, bini cilik, tak sanggup aku melawan mereka, lekas ajarkan tipu padaku,” Yo Ko berteriak-teriak.

“Ciau-kun-jut-sat, Moa-koh-hian-siu!” tiba-tiba Bu-siang menyebut dua macam nama tipu serangan.

Maka dengan cepat Yo Ko ulur tangan kiri, lima jarinya menjentik berbareng seperti orang menabuh Pi-peh dan lima jari itu juga dengan tepat kena menyentil tubuh pengemis yang berada di sebelah kanan. Memang betul itulah tipu ‘Ciau-kun-jut-sat’ atau Ciau-kun keluar negeri, menyusuI kemudian tubuhnya tiba-tiba mengegos ke samping, ia hindarkan tendangan si pengemis sebelah kiri yang sementara itu sudah melayang, sedangkan kedua kepalan telah disodokkan ke atas.

“Plak!” dengan jitu sekali dagu pengemis sebelah kiri itu pun kena ditonjok.

“lni ‘Moa-koh-hian-siu’, betul tidak?” teriak Yo Ko. Karena tidak ada niat untuk mencelakai pengemis itu, maka tenaga hantamannya tadi pun tidak keras.

Begitulah, berturut-turut Yo Ko telah unjuk empat kali serangan dan setiap tipu serangan adalah ‘Bi-li-hoat’ dari Ko-bong-pay. Dimulai sejak cikal-bakalnya, yaitu Lim Tiao-eng, selamanya Ko-bong-pay hanya terima murid wanita dan tidak lelaki. Lim Tiao-eng telah ciptakan ilmu pukulan yang disebut ‘Bi-li-kun-hoat’ atau ilmu pukulan gadis ayu, maka tiap-tiap tipu serangannya juga diberi nama dengan mengambil nama-nama wanita cantik jaman purbakala. Pada waktu ilmu pukulan itu dimainkan, orangnya lemah gemulai dan gayanya indah luar biasa.

Karena Siao-Iiong-li sudah melanggar kebiasaan menerima murid wanita dan telah terima Yo Ko sebagai murid, dengan sendirinya ‘Bi-li-kun-hoat’ itu pun diajarkan padanya. Tetapi Yo Ko merasa tipu-tipu serangan itu meski lihay, namun gayanya selalu kiyat-kiyut, tidak pantas dilakukan orang Ielaki, maka pada saat ia melatih ilmu pukulan itu, ia sendiri telah tambahi dengan tenaga besar dan gaya kaum lelaki, dan gaya yang lemah gemulai itu ia ubah menjadi gaya lelaki yang gagah perkasa. Biar pun gayanya lain, tetapi intinya masih tetap.

Begitulah, sesudah kena diserang Yo Ko dengan cara-cara yang sukar dimengerti, ketiga pengemis yang terhitung jago kelas tinggi dari Kay-pang itu masih belum mau menyerah begitu saja, sekali bersuit berbareng mereka mengerubut maju Iagi.

“Haya, celaka, bini cilik, sekali ini kau bisa menjadi janda!” teriak Yo Ko sambil berkelit ke sana kemari.

Bu-siang terkikik geli oleh teriakan Yo Ko. “Thian-sun-cit-kim!” tiba-tiba dia menyebut satu nama tipu serangan lagi.

Tanpa pikir Yo Ko mengayun tangan kanan ke kiri dan tangan kiri menyodok ke kanan. Ia bergaya seperti orang memintal, sesuai dengan nama tipu ‘Thian-sun-cit-kim’ atau Thian-sun memintal sutera, maka sekaligus pundak kedua pengemis itu kena dihantam semua.

“Bun-kun-tang-lo, Kui-hui-cui-ciu!” kembali Bu-siang menyebut dua nama Iagi.

Ehh, benar juga, si Yo Ko lantas angkat tangan seperti menuang arak dan ketok ke atas kepala si pengemis yang bertabiat berangasan itu, menyusul tubuhnya terhuyung-huyung dan miring ke kiri, maka perut si pengemis yang lain dengan tepat sudah kena ditumbuk oleh pundak kanannya. Itulah tipu-tipu ‘Bun-kun-tang-lo’ dan ‘Kui-hui-cui-ciu’ atau Bun-kun mengipas anglo dan Kui-hui mabuk arak.

Terkejut dan gusar pula ketiga pengemis itu. Mereka telah keluarkan seluruh ilmu silatnya, namun sedikit pun tidak bisa menghantam orang, sebaliknya lawannya bebas mengayun tangan atau melayangkan kakinya, ke mana dipukulnya, di situ tentu kena, meski tak sakit tempat yang kena serangan, namun anehnya luar biasa.

Kemudian berulang-ulang Bu-siang menyebut lagi beberapa tipu serangan yang satu per satu segera dilakukan Yo Ko lagi dengan betul. Sungguh kagum sekali Liok Bu-siang oleh kepandaian ‘si ToIol’. Segera timbul juga kejahilannya untuk permainkan ‘si Tolol’. Ia melihat waktu itu Yo Ko sedang ulurkan kepalan menghantam ke depan, mendadak ia pun berteriak:

“Cek-thian-sui-liam!”

Menurut keadaan Yo Ko waktu itu, sekali-kali tidak mungkin bisa memakai tipu serangan yang disebut itu. Tetapi betapa tinggi Iwekang Yo Ko sekarang, bisa saja melakukan tipu apa yang orang inginkan. Sekonyong-konyong tubuhnya menubruk ke depan, sambil dua tangannya memotong ke bawah dengan gaya seperti menurunnya kerai. Tidak salah lagi, ini memang tipu ‘Cek-thian-sui-Iiam’ atau Bu Cek-thian menurunkan kerai.

Sebelum itu sebenarnya ketiga pengemis itu sedang menubruk maju karena melihat ada kesempatan, namun siapa tahu oleh tubrukan Yo Ko ini, mereka malah berbalik terdesak mundur beberapa langkah. Luar biasa heran dan senangnya Liok Bu-siang melihat kemahiran ‘si Tolol’ ini. Kembali ia berseru:

“lt-siau-cing-kok!”

‘lt-siau-cing-kok’ atau sekali tertawa meruntuhkan negara, inilah satu tipu pilihan Bu-siang sendiri yang tidak pernah ada dalam pelajaran ‘Bi-li-kun-hoat’, sebab meski wanita cantik dengan senyum dan tawanya bisa meruntuhkan suatu negara, tapi mana dapat digunakan untuk bergebrak dengan pihak lawan?

Akan tetapi di sinilah Yo Ko unjuk kemahirannya. Sesudah tertegun sedetik karena nama tipu yang aneh itu, segera ia menengadah dan tertawa:

“ha-ha-ha-ha... he-he-he-he... hu-hu-hu... ho-ho-ho... ha-ha-ha-ha!”

Sungguh aneh sekali suara tertawanya ini. Ternyata Yo Ko telah keluarkan Iwekang yang paling tinggi dari ‘Kiu-im-cin-keng’ yang dilatihnya. Walau latihannya belum bisa dikatakan masak dan belum dapat dipakai untuk melawan jago kelas wahid, tetapi ketiga pengemis itu hanya anak murid Kay-pang kelas dua-tiga saja. Ketika mendengar suara ketawa yang aneh itu, tanpa tertahan lagi telinga mereka seolah-olah pekak dan kepala pusing, mereka terhuyung-huyung untuk kemudian terguling jatuh semua saking tak tahan.

Bukan saja tiga pengemis itu, bahkan Bu-siang ikut terkena juga akibatnya. Ia pun merasa pusing hingga hampir jatuh semaput. Lekas-lekas ia pegang erat-erat tiang joli.

Sementara itu di bagian luar keadaan sudah kacau balau, suara jeritan serta gedubrakan bercampur aduk. Para pengiring pengantin berikut kedua pengantin baru itu sudah jatuh terguling semua karena tidak tahan oleh suara tertawa Yo Ko. Setelah Yo Ko hentikan tertawanya, dengan cepat ketiga pengemis itu melompat bangun, tanpa berpaling lagi segera mereka angkat kaki.

Sesudah mengaso tidak terlalu lama, iring-iringan joli pengantin itu kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Terhadap Yo Ko kini para pengiring itu menganggapnya seperti malaikat dewata saja, tiada seorang pun yang berani membangkang lagi. Menjelang tengah malam barulah mereka sampai di sebuah kota, dan di sanalah Yo Ko membubarkan para pengiring pengantin itu. Ia dan Bu-siang lantas mendapatkan sebuah hotel untuk menginap.

Waktu mereka hendak bersantap, baru saja mereka duduk, tiba-tiba Yo Ko melihat di depan pintu ada berkelebatnya bayangan orang, satu orang telah longak-longok ke dalam dan demi nampak Yo Ko dan Bu-siang, orang itu langsung mengkeret lalu putar pergi.

Yo Ko menjadi curiga, dengan cepat dia menyusul keluar. Maka tampaklah olehnya di pelataran hotel sana berdiri dua Tojin atau imam. Begitu melihat Yo Ko keluar, dua imam itu segera menubruk maju ke arahnya. Kedua imam itu dapat dikenali Yo Ko sebagai Tio Put-hoan dan Ki Jing-si yang pernah saling labrak dengan Liok Bu-siang di lembah Srigala tempo hari.

“He, ada apakah kalian marah padaku?” teriak Yo Ko heran karena ada orang menubruk ke jurusannya. Ia berdiri tegak saja tanpa menggubris mereka.

Tak terduga tujuan kedua imam itu ternyata bukan diri Yo Ko. Tiba-tiba mereka mengegos lewat di sampingnya terus melompat ke depan Bu-siang. Tetapi sebelum terjadi sesuatu, pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara kelenengan yang nyaring. Suara kelenengan ini datangnya mendadak dan tahu-tahu sudah berada dalam jarak yang dekal sekali.

Muka kedua Tosu itu berubah hebat demi mendengar suara kelenengan. Sesudah saling pandang sekejap, segera mereka berlari kembali ke kamar yang berada di sebelah barat sana, dengan keras mereka gabrukan daun pintu lantas dikunci rapat untuk kemudian tak berani keluar lagi.

“Ha...! Imam-imam busuk itu tentu pernah merasakan pahit getir tangannya Li Bok-chiu, makanya mereka begitu takut padanya,” diam-diam Yo Ko membatin.

“Suhu sudah datang, bagaimana baiknya, Tolol?” tanya Bu-siang dengan suara tertahan. Rupanya ia pun berkuatir.

“Bagaimana baiknya?” Yo Ko balik bertanya. Dan selagi dia hendak memondong si gadis, mendadak suara kelenengan tadi sudah berhenti di depan pintu hotel.

Benar saja, segera terdengar suara Li Bok-chiu sedang berkata: “Ling-po, kau menjaga di atas wuwungan rumah!”

Terdengar Ang Ling-po menyahut sekali, lalu dengan cepat sang murid melompat ke atas. Menyusul terdengar lagi suara kasir hotel yang berkata:

“Sian-koan, engkau orang tua... aduh... Aku...”

Suara si kasir hotel ternyata terputus sampai di situ saja, sebab orangnya tiba-tiba sudah terguling ke lantai dan jiwanya telah melayang. Kiranya Li Bok-chiu paling benci kalau orang menyebut kata-kata ‘tua’ di hadapannya, apa lagi orang terang-terangan mengatakan dia ‘orang tua’, keruan tanpa ampun lagi, sekali kebutnya menyabet, seketika jiwa kasir hotel itu melayang.

“Ada seorang nona pincang tinggal di sini tidak?” lalu Li Bok-chiu tanya pelayan hotel.

Tetapi pelayan itu sudah ketakutan melihat keganasannya. “Aku... aku...” demikian sahutnya tidak jelas.

Li Bok-chiu menjadi tidak sabar, sekali dorong ia sengkelit pelayan itu sehingga mencium tanah, habis ini lantas terdengar suara “bang” yang keras, pintu kamar pertama di sebelah barat itu didobraknya hingga terpentang, itulah kamar para imam.

“Inilah kesempatan untuk melarikan diri melalui pintu belakang, meski akan dipergoki Ang Ling-po, tapi aku tidak takut padanya,” diam-diam Yo Ko terpikir. Maka dengan suara lirih ia berkata pada Liok Bu-siang: “Bini cilik, lekas ikut aku melarikan diri.”

Si gadis pelototi Yo Ko karena orang berulang kali memanggil “bini cilik” padanya, tetapi ia berdiri juga. Ia pikir sekali ini kalau bisa selamat pula, betul-betul Tuhan yang melindungi mereka.

Pada saat itu pula dari pojok ruangan hotel itu satu tetamu telah berdiri. Waktu ia berjalan melalui samping Yo Ko dan Bu-siang, tiba-tiba dengan suara tertahan ia berkata:

“Aku pancing dia pergi, lekas cari jalan buat selamatkan diri.”

Semenjak tadi orang ini duduk di sebuah meja di pojok yang rada gelap, maka Yo Ko dan Bu-siang sama sekali tidak memperhatikan muka orang, Kini waktu bicara mukanya pun berpaling ke jurusan lain dan baru selesai bicara dengan cepat orangnya telah melangkah keluar, hanya potongan belakangnya yang tampak jelas bahwa perawakannya tidak tinggi, malahan lebih pendek sedikit dari pada Liok Bu-siang, dan baju yang dipakainya berwarna hijau dan rada kebesaran.

Tentu saja Yo Ko dan Bu-siang terkejut sekali oleh kata-kata orang tadi. Selagi mereka kebingungan, mendadak terdengar suara kelenengan keledai berbunyi riuh terus menjauh menuju ke utara.

“Suhu, ada orang yang mencuri keledai kita!” terdengar Ang Ling-po berteriak.

Dengan cepatnya satu bayangan berkelebat dari dalam kamar tadi. Li Bok-chiu melayang keluar terus mengudak ke arah perginya si pencuri keledai.

“Lekas kita lari!” segera Bu-siang mengajak.

Namun Yo Ko berpandangan lain, ia berpikir: “llmu entengkan tubuh Li Bok-chiu cepat luar biasa, tentu orang tadi segera akan dicandaknya dan segera pula ia dapat balik kembali. Kalau aku pondong nona pincang ini, karena tak bisa cepat berlari maka sukar juga buat meloloskan diri.”

Mendadak ia mendapat akal. Dengan cepat ia memasuki kamar pertama di sebelah barat sana. Di kamar itu dia lihat Tio Put-hoan dan Ki Jing-si dalam keadaan ketakutan sedang duduk di atas pembaringan. Tahu keadaan amat mendesak, tanpa menunggu dua imam itu bersuara, dengan cepat Yo Ko menubruk maju lantas ia totok roboh kedua orang itu.

“Bini cilik, masuk sini!” teriaknya pada Bu-siang.

Tanpa pikir lagi si gadis menurut, pintu kamar dengan cepat dirapatkan kembali oleh Yo Ko.

“Lekas copot pakaian!” katanya pula.

“Apa kau bilang, Tolol?” Bu-siang mengomel dengan muka merah jengah.

“Terserah kau mau copot pakaian tidak, tetapi aku sendiri akan mencopot!” sahut Yo Ko sambil melepaskan baju luarnya, menyusul jubah Tosu yang dipakai Tio Put-hoan telah ia lucuti dan dikenakan sendiri, malahan kopiah orang ia sambar lalu dipakainya pula.

Nampak perbuatan Yo Ko ini, segera Bu-siang mengerti. “Baiklah, kita menyamar sebagai Tosu buat mengelabui Suhu,” katanya kemudian.

Habis itu bajunya sendiri lantas hendak dibukanya, namun mukanya menjadi merah pula. Tiba-tiba ia depak Ki Jing-si sekali sambil mendamperat:

“Cepat pejamkan matamu, imam keparat!”

Meski badan kedua imam itu tertotok dan tak bisa berkutik, namun panca indera mereka masih bisa bekerja biasa, karena itu mereka lantas pejamkan mata. Mana berani mereka mengintip tubuh Liok Bu-siang?

“Tolol, kau pun berpaling ke sana,” kata Bu-siang pula pada Yo Ko.

“Takut apa? Waktu aku sambung tulangmu, bukankah aku sudah melihatnya?” sahut Yo Ko dengan tertawa.

Tetapi sesudah berkata, segera Yo Ko merasa kata-katanya itu terlalu bambungan, maka ia menjadi rikuh. Di lain pihak Bu-siang menjadi marah.

“Plakk!” kontan ia membalikkan telapak tangannya dan menempeleng orang.

Sebenarnya sedikit menunduk saja Yo Ko bisa hindarkan tamparan itu, akan tetapi dalam keadaan linglung, ia tidak menghindar hingga pukulan itu kena pipi kirinya dengan antap. Kiranya mendadak Yo Ko teringat kepada Siao-liong-li karena mimik wajah Liok Bu-siang yang sedang marah-marah itu, maka ia menjadi ternganga diam.

Sebaliknya Bu-siang menyangka pukulannya tentu mengenai tempat kosong, tetapi siapa tahu justru tepat kena sasarannya dengan keras, maka mau tak mau ia pun tertegun.

“Sakit tidak, Tolol? Makanya kau jangan ngaco-belo dan mengoceh semaunya,” katanya kemudian sambil tersenyum.

Yo Ko tak menjawab. Ia meraba-raba pipinya sendiri yang panas pedas itu, lalu berpaling ke jurusan lain.

“Coba lihat, aku mirip imam kecil tidak?” tanya Bu-siang dengan tertawa sesudah jubah pertapaan orang dikenakannya.

“Tak kelihatan, mana aku tahu,” sahut Yo Ko.

“Balik sini, Tolol,” omel si gadis.

Ketika Yo Ko berpaling kembali, ia lihat jubah itu terlalu besar dipakai Bu-siang, tapi makin menunjukkan betapa ramping tubuh Bu-siang. Selagi Yo Ko hendak buka suara, tiba-tiba terdengar Bu-siang menjerit tertahan sambil menuding ke atas pembaringan.

Ehh, kurang ajar, kiranya dari dalam selimut di atas pembaringan itu kelihatan menongol kepala imam yang dapat Yo Ko kenali sebagai Bi Jing-hian, imam yang tangannya tertabas oleh Bu-siang di lembah Srigala. Rupanya ia rebah di atas pembaringan karena lukanya. Tadi saat melihat Bu-siang, dalam takutnya ia telah mengkeret ke dalam selimut. Karena Yo Ko dan si gadis sedang sibuk menukar pakaian, mereka tidak memperhatikan kalau di situ masih ada satu imam lagi.

“Dia... dia...” demikian dengan suara samar-samar Bu-siang hendak bicara, sebenarnya ia hendak bilang: “dia mengintip aku tukar pakaian”, tetapi tak enak diucapkannya.

Pada saat itu juga, suara kelenengan keledai belang milik Li Bok-chiu kembali terdengar lagi. Yo Ko tahu iblis perempuan itu kembali lagi. Tiba-tiba tergerak kecerdasannya. Ia tarik Bi Jing-hian yang meringkuk dalam selimut itu. Dengan sekali cekal dan tarik itu berbareng ia sudah totok jalan darah orang, lalu ia buka rongga pembaringan dan masukkan imam sial itu ke dalam.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar