Selasa, 06 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 046

MENYAMAR SEBAGAI PENGANTIN

“Sayang aku terlalu kotor lagi bau, kalau tidak, boleh juga kudukung kau di atas pundak,” demikian kata Yo Ko.

“Hm, omong yang tidak-tidak,” Bu-siang menjengek berbareng ia tarik tali kendali menjalankan keledainya.

Siapa duga binatang itu ternyata sangat bandel, tabiatnya pun buruk, bukannya ia jalan ke depan, sebaliknya tubuhnya me-nyirik minggir hingga mepet tembok bahkan badan Bu-siang di-gosokkan lagi pada tembok itu.

Memang Bu-siang masih lemas karena luka, keruan ia berteriak kaget dan terbanting jatuh. Untung ilmu silatnya cukup hebat, begitu sebelah kakinya menginjak tanah, dengan segera ia bisa berdiri tegak, cuma lukanya terasa sakit lagi.

“Sudah terang kau lihat aku jatuh terbanting, kenapa kau tidak memayang diriku?” dengan gusar ia melampiaskan rasa dongkolnya pada Yo Ko.

“Bu.... bukankah badanku kotor!” sahut Yo Ko.

“Apa kau tak bisa cuci dulu?” kata Bu-siang lagi.

Yo Ko tidak menjawab melainkan nyengir saja.

“Lekas kau dukung aku ke atas keledai,” bentak si gadis.

Yo Ko menurut, dia menaikkan ke punggung keledai. Tetapi begitu merasa punggungnya ada penunggang, segera keledai itu hendak main gila.

“Lekas kau tuntun keledai ini,” kata Bu-siang.

“Ti... tidak, aku takut didepak olehnya.” sahut Yo Ko.

Bu-siang menjadi dongkol. “Kurang ajar si tolol ini, dibilang tolol nyatanya dia tidak tolol, dibilang tidak tolol justru ia amat tolol, sudah terang maksudnya ingin memondong diriku,” demikian pikirnya.

Karena terpaksa, akhirnya ia berkata lagi: “Baiklah, kau pun menunggang ke atas sini.”

“Nah, kau sendiri yang suruh aku, tapi jangan kau bilang aku kotor, lalu mendamperat dan memukul aku lagi,” ujar Yo Ko.

“Ya, ya, cerewet!” sahut Bu-siang mengkal.

Maka sambil tertawa kecil barulah Yo Ko melompat ke atas keledai dengan perlahan, lalu dengan dua tangannya ia rangkul si gadis yang duduk di depannya. Ketika kedua kakinya sedikit mengempit, karena kesakitan maka keledai itu tidak berani binal lagi, dengan jinak berjalan menurut perintah.

“Pergi ke mana?” tanya Yo Ko.

“Sana,” sahut Bu-siang sambil menunjuk ke arah tenggara.

Sebelumnya ia sudah mencari tahu tentang perjalanan. Sebenarnya hendak ditempuhnya arah timur melalui Ciongkoan dan kemudian baru memutar ke daerah selatan, ini memang jalan raya yang biasa dilalui. Tetapi sejak ketemu empat pengemis yang lain, adalah lebih baik menempuh jalan kecil saja, walau pun sedikit lebih jauh, paling perlu cari selamat. Demikianlah terdengar suara tapak kaki keledai yang ketuprak berjalan perlahan ke arah yang dipilihnya itu. Baru saja mereka keluar dari kota, tiba-tiba dari tepi jalan ber-Iari mendatangi anak petani yang berumur belasan.

“Nona Liok, ini barang buat kau,” demikian seru bocah itu sambil mapaki keledai yang mereka tunggangi. Berbareng itu dia menimpukkan seikat bunga ke arah Bu-siang, habis ini dia angkat kaki dan berlari pergi lagi.

Waktu karangan bunga itu diterima Bu-siang dan diperiksa, ia hanya melihat seikat bunga biasa saja dan di samping terikat sepucuk surat dengan benang, lekas si gadis membuka sampulnya dan keluarkan selembar kertas kuning dari dalamnya. Ia lihat surat itu tertulis:

Sekejap lagi gurumu bakal datang, lekas sembunyikan diri, lekas!

Kertas surat itu sangat kasar, sebaliknya tulisannya bergaya sangat bagus. Bu-siang heran sekaligus ragu-ragu. Mengapa orang kenal dia she Liok dan siapakah anak itu? Mengapa mengetahui gurunya segera bakal datang?

“Apa kau kenal anak tadi?” demikian dia lantas tanya Yo Ko. “Apa Kokoh-mu yang suruh dia ke sini?”



Sementara itu dari belakang Bu-siang si Yo Ko juga dapat membaca isi surat itu, maka ia pun sedang berpikir: “Terang sekali anak tadi hanya anak petani biasa, tentu datangnya disuruh orang lain untuk mengirim surat. Tapi entah siapakah orang yang menulis surat itu? Tampaknya orang memang bermaksud baik, kalau betul sampai Li Bok-chiu mengejar datang, lalu bagaimana baiknya?”

Harus diketahui meski pun Yo Ko telah mempelajari Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng, seorang diri mempunyai dua macam ilmu silat yang paling tinggi di dunia persilatan, sejak dulu hingga kini boleh dikatakan hanya dia sendiri saja. Hanya sayang, karena waktunya belum Iama, meski pun intisari pelajaran ilmu silat yang hebat itu sudah dipahami, namun latihannya masih kurang matang, maka belum banyak hasilnya untuk digunakan. Apa bila sampai kena disusul Li Bok-chiu, terang ia masih bukan tandingan orang, karena inilah ia sedang berpikir dan ragu-ragu.

Mendengar pertanyaan Bu-siang tadi, maka Yo Ko menjawab: “Entah, aku tak kenal dia, tampaknya juga bukan Kokoh yang menyuruh dia.”

Baru habis dia menjawab, tiba-tiba terdengar bunyi alat tetabuhan dan tiupan, menyusul kemudian dari depan muncul sebuah joli yang digotong dengan belasan orang pengiringnya. Kiranya ada orang sedang melangsungkan perkawinan. Meski alat-alat musik yang dibunyikan itu berbau kampungan, tetapi suasana cukup riang gembira.

Nampak keadaan ini, tiba2 pikiran Yo Ko tergerak. Dia pikir kalau betul Li Bok-chiu dan Ang Ling-po mengejar tiba, di siang hari bolong seperti ini sebenarnya tiada tempat untuk bersembunyi lagi. Oleh karena itu segera ia tanya Bu-siang:

“Nona Liok, kau ingin menjadi pengantin tidak?”

Bu-siang sendiri memang lagi bingung karena kuatir tertangkap gurunya yang kejam itu. Kini mendengar orang bertanya tolol, kembali dia menjadi marah.

“ToIol, kau mengaco-belo apa lagi?” damperatnya.

“Ha-ha, maukah kita main sembayang dan jadi pengantin?” demikian sahut Yo Ko dengan tertawa, “Mau tidak kau menyamar menjadi pengantin perempuan? Tampaknya sungguh cantik sekali, muka ditutup kerudung merah, pasti orang lain takkan mengenali kau.”

Karena kata-kata Yo Ko terakhir ini, hati Bu-siang lantas tergerak. “ToIol, apa kau suruh aku menyamar untuk menghindari guruku?” ia tanya.

“Aku tidak tahu. Kalau kau jadi pengantin perempuan, aku akan jadi pengantin Ielakinya, hi-hi-hi,” sahut Yo Ko.

Dalam keadaan terpaksa, Bu-siang tak sempat lagi mendamperat orang, ia justru berpikir: “Kelakuan si Tolol ini sungguh aneh sekali, tapi kecuali jalan ini memang tiada cara lain lagi.”

Karena itu segera ia tanya: “Lalu cara bagaimana menyamarnya?”

Yo Ko tidak menjawab, ia tak berani membuang waktu lagi, maka segera ia pecut bokong keledai mereka sehingga binatang ini lantas kabur ke depan dengan cepat. Pada umumnya jalan pedusunan memang amat sempit. Sebuah joli besar yang digotong delapan orang dengan sendirinya memenuhi jalan, kedua sampingnya sudah tentu tiada lowongan lagi. Kini nampak ada keledai berlari memapak dari depan, keruan pengiring-pengiring pengantin itu menjadi ribut, mereka berteriak dan membentak dengan maksud menyuruh penunggang keledai agar menahan tali kendalinya.

Namun bukannya Yo Ko menahan keledainya. bahkan dia mengempit semakin kencang hingga lari binatang itu bertambah cepat, maka sekejap saja sudah menerjang sampai di depan pengiring pengantin itu. Dengan sendirinya mereka tak mau tinggal diam. Segera ada dua lelaki kekar menyerobot maju hendak menarik tali kendali keledai supaya jangan sampai menubruk joIi pengantin yang digotong.

Mendadak Yo Ko mengayunkan cambuknya. Dengan tepat ujung cambuk itu melilit betis kedua lelaki itu. Ketika Yo Ko menarik lantas diulur lagi, maka kedua orang itu langsung terlempar ke pinggir jalan.

“Sekarang aku mau menyamar jadi pengantin!” demikian katanya pada Bu-siang.

Kemudian mendadak dia mendoyong ke depan. Pada saat sebelah tangannya mengulur, tahu-tahu pengantin laki-laki yang menunggang seekor kuda putih itu sudah kena dicengkeram. Pengantin laki-laki itu berusia antara 17-18 tahun, tubuhnya lengkap mengenakan pakaian pengantin baru, di kepalanya tertancap hiasan bunga-bunga emas. Kini mendadak kena dicengkeram oleh Yo Ko, keruan bukan main kagetnya.

Bukan begitu saja, bahkan Yo Ko sengaja lemparkan tubuh pengantin laki-laki itu ke udara setinggi dua tombak lebih. Ketika jatuh ke bawah, di tengah-tengah ramai suara jeritan orang banyak tahu-tahu Yo Ko ulurkan tangannya dan menangkap lagi pengantin laki-laki itu.

Pengiring-pengiring pengantin itu seluruhnya hampir tiga puluhan orang, sebagian besar bertubuh tinggi besar dan kekar kuat, namun melihat ketangkasan Yo Ko, pula pengantin laki-laki jatuh ke dalam cengkeraman orang, tentu saja mereka ketakutan sehingga tiada yang berani maju. Seorang di antara mereka rupanya lebih banyak merasakan asam garam. Ia menduga Yo Ko pasti begal besar, maka dengan cepat ia lantas tampil ke depan.

“Mohon ‘Tay Ong’ suka mengampuni pengantinnya,” demikian pintanya sambil memberi hormat, “Berapa banyak kiranya ‘Tay Ong’ perlu pakai ongkos, pasti kami turut perintah dengan baik.”

“Hi-hi, nona Liok, mengapa mereka panggil aku ‘Tay Ong’! (raja besar, sebutan bagi para pembegal)? Aku kan tidak she Ong?” kata Yo Ko kepada Bu-siang dengan tertawa.

“Sudahlah, jangan main gila Iagi, aku seperti sudah mendengar suara keleningan keledai tunggangan Suhu,” sahut Bu-siang.

Yo Ko kaget oleh jawaban itu. Ia coba pasang kuping, benar saja sayup-sayup terdengar suara berkumandangnya keleningan. Kiranya Li Bok-chiu suka unggulkan ilmu silatnya yang tidak ada tandingannya di seluruh Kangouw, maka setiap tindak tanduknya selalu main gertak dulu, misalnya sebelum dia bunuh sasarannya, lebih dulu dia memberi tanda cap tangan berdarah di rumah orang, tiap cap tangannya berarti jumlah jiwa yang akan dibunuhnya dan sama sekali tak gentar meski pun lawannya mengundang pembantu atau melarikan diri meninggalkan rumah.

Sedangkan keledai belang yang dia tunggangi sengaja dia pasangi tiga belas keleningan emas pada lehernya. Suara keleningan ini dapat berkumandang jauh sampai beberapa li. Sebelum orangnya tiba, suara keleningannya telah terdengar lebih dulu, dengan demikian agar sebelum musuh melihat mukanya tapi lebih dulu sudah ketakutan setengah mati.

“Sungguh cepat sekali datangnya,” begitulah Yo Ko berpikir. Akan tetapi ia masih berlagak bodoh atas peringatan Bu-siang tadi: “Keleningan? Keleningan apa maksudmu? Apakah keleningan tukang jual jamu, kenapa aku tak mendengarnya?”

Habis ini, dengan sikap mengancam ia berpaling dan berkata pada orang tua tadi: “Kalian harus turut perintahku, dengan begitu aku lantas bebaskan dia, kalau tidak, hemm...” dan mendadak ia lemparkan pengantin laki-laki tadi ke udara lagi.

Saking ketakutan, pengantin laki-laki itu sampai menjerit dan menangis tergerung-gerung. Sedang si orang tua tadi pun terus-menerus memberi hormat sambil memohon:

“Ya, ya, pasti kami turut segala perintah Tay Ong.”

“Dia adalah biniku,” kata Yo Ko tiba-tiba sambil menuding Bu-siang, “Dia lihat kalian main sembahyang jadi pengantin segala, maka dia pun ketarik dan ingin main-main juga.”

“Apa kau bilang, Tolol?” damperat Bu-siang dari samping.

Akan tetapi Yo Ko tidak mengurusnya, ia meneruskan pembicaraannya tadi: “Maka kalian lekas copot pakaian pengantin perempuan itu dan biarkan dipakai dia, aku pun ingin main menjadi pengantin lelaki.”

Keruan para pengiring pengantin itu menjadi bingung sehingga saling pandang. Sungguh mereka tak mengerti mengapa pembegal di tengah jalan ini tiba-tiba ingin main pengantin-pangantinan. Waktu mereka awasi Yo Ko dan Liok Bu-siang, yang satu pemuda cakap dan yang lain gadis jelita, kalau dibilang sepasang suami isteri, memang sangat mirip.

Selagi kejadian itu berlangsung, tiba-tiba saja Yo Ko mendengar suara keleningan sudah semakin dekat. Dia lekas-lekas melompat turun dari keledainya dan membiarkan Bu-siang yang menjaganya, ia sendiri lantas pergi ke joli pengantin, mendadak dia tarik tirai joli dan tarik keluar pengantin perempuannya. Tentu saja pengantin itu kaget hingga menjerit, tapi mukanya pakai kerudung kain merah, maka tak diketahuinya apa yang terjadi sesungguhnya.

Di lain pihak Yo Ko tidak berhenti begitu saja, sekalian dia tarik pula kain penutup muka orang, maka tampaklah muka pengantin perempuan itu yang bundar bak bulan purnama, badan tampak montok pula.

“Ha, sungguh ayu pengantinnya,” demikian Yo Ko menggoda pula sambil tertawa, bahkan dia towel pipi orang dengan jarinya. Dalam ketakutannya pengantin perempuan itu malah menjadi bungkam tak berani berkutik sedikit pun.

“Apa bila ingin kuampuni jiwanya, lekas tukar pakaian biniku dengan pakaian pengantinmu itu,” Yo Ko mengancam lagi sambil tarik tubuh perempuan itu dan diangkat ke atas.

Sementara itu Bu-siang mendengar juga suara keleningan keledai belang gurunya sudah tambah dekat lagi datangnya. Ia mendelik pada Yo Ko ketika mendengar kata-kata Yo Ko tadi, pikirnya: “Si Tolol ini sungguh tidak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit, sudah dalam keadaan demikian masih terus bergurau?”

Dalam pada itu didengarnya pula suara si orang tua tadi yang sedang mendesak kawan-kawannya:

“Lekas tukar pakaian pengantin padanya!”

Dengan gugup para pengiring lantas melepaskan pakaian pengantin dan perlengkapannya dari gadis tadi, kemudian dikenakan pada Liok Bu-siang. Di sebelah sana Yo Ko tidak perlu bantuan lagi, ia sendiri lantas mencopot topi dan pakaian pengantin laki-laki itu terus dipakainya sendiri.

“Nah, isteriku yang baik, sekarang masuklah ke dalam joIi,” demikian ia berkata pada Bu-siang sesudah selesai penyamarannya.

Tetapi Bu-siang menyuruh pengantin perempuan tadi masuk dulu ke joli, ia sendiri lantas duduk dipangkuan orang, habis itu tirai joli baru ia tutup. Sementara itu sesungguhnya Yo Ko masih ingin mengganti sepatunya dulu, tetapi sudah tak keburu lagi, suara keleningan sudah berada di tikungan jalan sana.

“Lekas menuju ke arah tenggara, lekas tiup dan tabuh lagi!” segera ia memberi perintah, berbareng ini ia pun melompat ke atas kuda putih yang dipakai pengantin laki-laki tadi.

Karena sepasang pengantin baru sudah berada dalam cengkeraman kawanan ‘penjahat’, tentu saja para pengiring itu tak berani membantah, segera mereka tabuh gembreng dan meniup trompet lagi hingga keadaan berubah riuh ramai. Tetapi baru saja joli itu putar kembali ke jalan lain, belum ada belasan tombak ditempuh, suara keleningan itu sudah berbunyi dengan kencang di belakang mereka, dua keledai belang dengan langkah cepat telah memburu datang.

Hati Bu-siang berdebar-debar keras demi mendengar suara keleningan yang telah berada di belakang itu. Dia pikir bisa tidaknya lolos dari elmaut hanya tergantung sedetik ini saja, maka dengan penuh perhatian dia dengarkan gerak-gerik yang terjadi di luar joli. Di lain pihak Yo Ko yang menyamar sebagai pengantin laki-laki, ia pura-pura malu dengan kepala menunduk.

“Hai, kalian melihat satu gadis pincang lewat disini tidak?” demikian terdengar Ang Ling-po bertanya.

“Ti... tidak!” sahut si orang tua tadi dengan suara tak lancar.

“Apa tidak melihat seorang gadis jelita menunggang keledai lewat sini?” tanya Ang Ling-po lagi.

“Tidak,” sahut orang tua itu tetap.

Karena itu Li Bok-chiu berdua lantas mengeprak keledai mereka melampaui iring-iringan pengantin itu dan kabur ke depan dengan cepat. Tetapi hanya sebentar saja tiba-tiba Li Bok-chiu dan Ang Ling-po putar balik kembali. Sesudah dekat joli, mendadak Li Bok-chiu mengayun kebutnya, dengan ekor kebutnya ia lilit kain tirai joIi terus ditarik perlahan, maka terdengarnya suara memberebet, sebagian tirai itu robek.

Yo Ko terkejut sekali oleh kejadian itu. Dia larikan kudanya mendekati joli, dia tunggu apa bila Li Bok-chiu ayun kebutnya untuk kedua kalinya, dengan segera ia akan turun tangan menolong orang. Siapa duga Li Bok-chiu tidak gerakkan tangannya lagi, ia hanya melongok sekejap ke dalam joli, lantas dengan tertawa ia berkata:

“Hah, pengantinnya sungguh cantik!” Sesudah ini ia menoleh dan berkata pula kepada Yo Ko: “He, rejekimu sungguh tidak jelek!”

Tetapi dengan cepat Yo Ko telah menunduk, dia tidak berani kesamplok pandang dengan orang. Lantas terdengar pula suara keteprak-keteprak kaki binatang, Li Bok-chiu berdua telah pergi lagi. Keruan Yo Ko terheran-heran oleh kejadian itu.

“Aneh, mengapa dengan begitu saja dia lepaskan nona Liok?” demikian pikirnya tidak habis mengerti.

Waktu ia melongok juga ke dalam joli, ia lihat si pengantin perempuan asli mukanya pucat lesi saking ketakutan dan badannya gemetaran pula, sedang Liok Bu-siang ternyata tidak diketahui ke mana perginya, Keruan saja Yo Ko bertambah heran.

“He, nona Liok, di manakah kau?” segera ia berseru memanggil.

“Aku sudah hilang,” terdengar suara sahutan si gadis dengan tertawa.

Ketika kain panjang yang dipakai pengantin perempuan itu tersingkap, tahu-tahu Bu-siang muncul dari bawah, kiranya ia sembunyi di bawah kain panjang pengantin perempuan itu. Nyata nona ini memang cerdik, ia cukup kenal sang guru yang biasanya berlaku sangat teliti dan tidak gampang diingusi meski barang yang kecil saja. Dia menduga selewatnya sang guru, tentu sebentar akan balik kembali oleh karena itu ia sembunyi lebih dulu.

“Nah, bolehlah kau menjadi pengantin perempuan dengan tenang, bukankah naik joli jauh lebih enak dari pada menunggang keledai?” kata Yo Ko.

Bu-siang memanggut tanda setuju, lalu ia berkata juga pada si pengantin perempuan itu: “Kau bikin berdesakan di sini dan membuat aku sumpek, lekas kau enyah keluar!”

Karena terpaksa, mau tak mau perempuan itu menurut, ia turun joli lalu ganti menunggang keledai yang tadinya dipakai Yo Ko. Begitulah iring-iringan itu melanjutkan perjalanan, setelah belasan li dilalui, cuaca perlahan mulai gelap.

Dengan tiada hentinya si orang tua tadi mohon kepada Yo Ko agar suka membebaskan tawanannya supaya tidak bikin kacau waktu upacara mereka. Tetapi Yo Ko masih belum mau sudah, ia mendongkol oleh kerewelan orang.

“Apa yang kau cerewetkan terus?” demikian ia mendamperat, tetapi baru sekecap saja, tiba-tiba dilihatnya ada bayangan orang berkelebat di pinggir jalan, ada dua orang dengan tangkas dan cepat telah lari masuk hutan.

Yo Ko menjadi curiga, ia tarik tali kendali kudanya lalu memburu dengan cepat, lapat-lapat dapat dilihat bayangan kedua orang itu berbaju compang-camping dengan dandanan kaum pengemis.

“Jangan-jangan orang Kay-pang sudah mengetahui penyamaranku dan menyiapkan orang di depan sana?” demikian pikir Yo Ko sambil tahan kudanya, “Akan tetapi urusan sudah terlanjur, terpaksa harus diteruskan.”

Tidak lama kemudian joli pengantin itu pun sudah menyusul datang. Karena sebagian tirai joli sudah terobek oleh kebut Li Bok-chiu, maka Bu-siang melongok keluar dan tanya Yo Ko:

“Apa kau melihat sesuatu?”

Yo Ko tidak memberi penjelasan, sebaliknya ia berkata menyimpang: “Sebagai pengantin layaknya kau menangis. Biar pun hatimu seribu kali ingin kawin, mestinya kau menangis tak mau meninggalkan rumah. Di jagat ini mana ada pengantin perempuan yang tak malu seperti kau ini?”

Bu-siang pun seorang gadis yang amat pintar, demi mendengar kata-kata orang seakan-akan bilang sasarannya telah diketahui orang, maka dengan perlahan ia mengomel sekali, lalu tidak membuka suara lagi. Setelah berjalan tak lama, jalan pegunungan di depan mulai sempit dan menanjak hingga sangat susah ditempuh. Para pengiring pengantin itu sudah dalam keadaan letih, tetapi karena kuatir betapa marah Yo Ko, maka mereka tak berani mengunjuk rasa dongkol.

Tak lama kemudian sang dewi malam mulai muncul di ufuk timur, burung gagak dengan suara yang serak terbang di udara untuk kembali ke sarangnya. Sepasang pengantin yang sekarang menjadi tawanan Yo Ko itu selamanya belum pernah bertemu muka. Kini yang lelaki melihat yang perempuan mengunjuk rasa takut-takut tapi tak menutupi paras yang cantik, sedang yang perempuan memandang si lelaki yang juga cakap, kedua orang itu di samping merasa kuatir, diam-diam merasa girang.

Begitulah sedang mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dari balik bukit sana terdengar suara berdendang belasan orang yang sedang melagukan:

“Nona cilik berbuatlah murah hati, berikanlah sedekah sebelah kuping dan sebuah hidung!”

Mendengar suara nyanyian itu, seketika muka Bu-siang berubah, “Ha, ternyata keempat pengemis itu bersembunyi di sini,” demikian pikirnya.

Sesudah joli pengantin itu melintasi bukit, maka tampaklah di depan sana menanti tiga pengemis yang berperawakan tinggi jangkung, sama sekali berlainan dengan empat orang pengemis yang dilihatnya siang tadi.

Waktu Yo Ko meneliti kantong goni yang berada di pundak ketiga pengemis itu, ia melihat masing-masing menggendong tujuh buah. “Tentu ketiga pengemis tujuh kantong ini jauh lebih lihay dari pada empat orang yang berenam kantong itu, tampaknya tidak bisa tidak harus turun tangan sungguh-sungguh,” pikirnya.

Sementara itu karena sudah amat letih dan sedang uring-uringan, keruan para pengiring pengantin itu menjadi lebih mendongkol demi nampak ketiga pengemis itu menghadang di tengah jalan, segera ada di antaranya yang mengayun cambuk menyabet kepala salah satu pengemis itu.

“Hai, lekas enyah, lekas minggir!” demikian bentak mereka.

Tapi pengemis itu tak berkelit, hanya sekali tarik pucuk cambuk terus dibetot, maka tidak ampun lagi orang yang menyabet itu jatuh ngusruk ke depan seperti anjing menubruk tahi. Melihat kawan mereka dijungkalkan, kalau dalam keadaan biasa tentu para pengiring itu akan mengerubut maju beramai-ramai. Tapi kini mereka sedang ketakutan karena sudah dihajar Yo Ko tadi. Mereka pikir ketiga pengemis ini tentu juga satu komplotan dengan pembegal ini, maka tiada seorang pun yang berani maju, sebaliknya mereka malah pada menyurut mundur.

“Selamat dan berbahagialah nona, kami tukang minta-minta ini ingin mohon diberi persen beberapa duit,” demikian salah satu pengemis itu membuka suara dengan lantang.

“Tolol,” kata Bu-siang pada Yo Ko, “aku terluka sehingga tidak bisa turun tangan sendiri, kau saja wakilkan aku enyahkan mereka.”

“Baik,” sahut Yo Ko tanpa banyak rewel. Habis ini kudanya lantas dilarikan ke depan terus membentak: “He, hari ini adalah hari baikku. Kalian pengemis ini jangan banyak cerewet, lekas pergi dari sini!”

Karena dibentak, salah satu pengemis itu mengamat-amati Yo Ko, namun mereka tidak dapat meraba siapakah gerangan pemuda yang berani membentak-bentak mereka ini. Kiranya empat pengemis kantong enam yang tertotok oleh duri tulang ikan itu, semuanya menyangka Bu-siang yang menyerang mereka, maka sama sekali mereka tak menyebut-nyebut tentang Yo Ko pada paman-paman guru mereka, yakni ketiga pengemis kantong tujuh ini.

Dalam pada itu, salah seorang pengemis itu tiba-tiba mengangkat tangannya, karena itu kuda yang ditunggangi Yo Ko menjadi kaget hingga berdiri dengan kaki belakang. Yo Ko pura-pura terperosot dari kuda dan terbanting jatuh dengan keras, dan sampai lama tak sanggup bangun.

“Ha, kiranya pemuda ini memang pengantin laki-lakinya,” pikir ketiga pengemis itu begitu menyaksikan jatuhnya Yo Ko itu.

Sebetulnya Kay-pang adalah perkumpulan kaum jembel yang selamanya selalu membela keadilan kaum lemah dan memberantas kaum penindas. Sebabnya mereka bermusuhan dengan Liok Bu-siang adalah karena gadis ini tanpa sebab sudah melukai orang mereka. Kini melihat Yo Ko tidak pandai silat, malahan sudah jatuh terbanting dengan berat, maka mereka pun menjadi menyesal, satu di antara pengemis itu telah menariknya bangun.

“Aih, kalian ini terlalu...” demikian Yo Ko pura-pura mengomel, “minta ya minta, mengapa bikin kaget binatang tungganganku?”

Sambil berkata ia pun rogoh keluar tiga mata uang kemudian diberikan kepada pengemis-pengemis itu. Mengingat peraturan Kay-pang, tiga pengemis itu menerima pemberian itu dan menghaturkan terima kasih.

“Nah, kau suruh aku bereskan mereka, sekarang sudah kuIakukan,” dengan menyengir kemudian Yo Ko berkata pada Liok Bu-siang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar