Jumat, 02 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 045

Dalam keadaan gelap sinar api yang menyala pada tanduk sapi itu terlihat cukup jelas. Nyata binatang itu sudah menerobos masuk ke sebuah hutan. Dari sorot api tampak pula oleh Li Bok-chiu bahwa di atas punggung sapi itu tiada penunggangnya, tampaknya Liok Bu-siang toh bukan kabur dengan menunggang sapi. Namun pikirannya segera tergerak:

“Ahh, tentu tadi ada orang yang sembunyi di luar. Sapi aneh itu hanya digunakan untuk mengalihkan perhatianku dan dalam keadaan kacau budak hina itu lalu ditolongnya pergi.”

Namun seketika dia menjadi bingung karena tidak tahu ke jurusan mana harus mengejar, hanya langkahnya segera dia percepat sehingga sebentar saja sapi jantan itu telah dapat disusulnya. Segera ia melompat ke atas punggung binatang itu lalu diperiksanya dengan teliti, namun tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan. Ia melompat turun lalu menendang sekali bokong binatang itu, kemudian dengan menekap bibir dia bersuit memberi tanda pada Ang Ling-po. Mereka lantas menguber lagi dari dua jurusan, yang satu dari utara ke selatan dan yang lain dari barat ke timur.

Munculnya sapi jantan itu dengan sendirinya adalah perbuatan si Yo Ko. Tadi begitu mendengar suara Li Bok-chiu berdua, diam-diam dia ngeluyur keluar melalui pintu belakang lalu mengintip dari luar. Mendengar satu kata saja segera dia tahu Li Bok-chiu mau membunuh Liok Bu-siang. Meski Li Bok-chiu masih terhitung Supek atau ‘paman’ guru Yo Ko sendiri, tapi bencinya terhadap perempuan kejam itu sudah terlalu mendalam. Semula dia bingung bagaimana caranya harus menolong jiwa Liok Bu-siang.

Mendadak dilihatnya dari jauh sapi jantan yang kemarin itu sedang menguak tak bertuan. Keruan saja ia girang, ia ber-Iari menghampiri binatang itu. Ia ikat belatinya Bu-siang berikut seikat kayu yang dinyalakan di tanduk sapi, ia sendiri terlentang mengempit di bawah perut binatang, ia giring sapi itu menerjang ke dalam rumah.

Waktu sapi itu berlari mengitari ruangan, tubuh Bu-siang disambarnya dengan masih tetap menggemblok sembunyi di bawah perut sapi. Dasar ilmu silat Yo Ko sudah terlalu hebat, gerak-geriknya pun dilakukan dengan cepat sekali, ditambah lagi rupa sapi jantan itu pun aneh, maka sekali pun Li Bok-chiu luar biasa lihaynya, sesaat itu ia kena dikelabui oleh Yo Ko.

Dan ketika Li Bok-chiu berhasil menyusul sapi jantan yang kabur itu, Yo Ko sudah menyembunyikan diri di antara semak rumput sambil memondong Liok Bu-siang. Sudah tentu, karena guncangan hebat itu, rasa sakit Bu-siang menjadi melebihi di-sayat. Bagaimana caranya Yo Ko menolong dan membawa dirinya menggemblok di bawah perut sapi dan bagaimana cara melompat turun dan sembunyi di semak alang-alang, semuanya itu tidak diketahuinya oleh karena keadaannya yang setengah pingsan. Setelah agak lama kemudian baru pikirannya sedikit pulih kembali. Dalam sakitnya segera ia hendak berteriak.

“Jangan bersuara!” lekas Yo Ko dekap mulutnya sambil membisikinya.

Betul saja segera terdengar suara tindakan orang yang tidak jauh dari tempat sembunyi mereka.

“He, kenapa sekejap saja sudah tak kelihatan?” itulah suaranya Ang Ling-po.

“Lebih baik kita pergi saja, budak hina itu tentu sudah kabur jauh,” terdengar Li Bok-chiu menyahut dari jauh.

Habis itu lantas terdengar pula suara tindakan Ang Ling-po yang makin menjauh. Saking sesak oleh karena mulutnya didekap rapat orang, segera Bu-siang meronta-ronta dan hendak berteriak lagi, namun sedikit pun Yo Ko tak melepaskannya, tangannya masih mendekap kencang pada mulut si nona.

Ketika Bu-siang kembali meronta dan merasa dirinya berada dalam pelukan si pemuda, ia menjadi malu tercampur gugup. Segera ia bermaksud memukul orang, tetapi tiba-tiba terdengar Yo Ko membisikinya lagi:

“Ssstt, jangan kau tertipu, gurumu sengaja akali kau!”

Baru saja dia selesai bicara, betul saja lantas terdengar Li Bok-chiu sedang berkata: “Ah, rupanya memang tidak ada di sini lagi.” Demikian dekat suaranya seakan-akan berada di samping mereka saja.

Keruan Bu-siang terkejut. “Untung ada si tolol ini, kalau tidak, tentu aku sudah tertawan oIehnya.”

Kiranya Li Bok-chiu memang cerdik sekali. Ia sangsi Bu-siang masih sembunyi di sekitar sini, maka sengaja dia bilang pergi, padahal dengan ilmu entengi tubuh ‘Chau-siang-hui’ (terbang di atas rumput) dia putar balik kembali tanpa terbitkan sesuatu suara pun, dan karena ini hampir saja Bu-siang terjebak kalau Yo Ko kurang cerdik.

Sesudah Yo Ko pasang kuping mendengarkan, kemudian dapat diketahuinya Li Bok-chiu berdua sekali ini betuI sudah pergi, barulah ia lepaskan tangannya yang mendekap mulut si nona.

“Baiklah, sekarang tak perlu kuatir lagi,” dengan tertawa ia berkata.

“Lepaskan aku!” bentak Bu-siang karena badannya masih dalam pelukan orang.

Maka dengan perlahan Yo Ko meletakkan Bu-siang ke tanah rumput. “Segera akan kusambung tulangmu, kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini, jika sampai fajar mendatang mungkin tak bisa meloloskan diri lagi,” katanya.

Bu-siang manggut tanda setuju. Karena kuatir orang kesakitan pada waktu menyambung tulangnya dan me-ronta hingga diketahui oleh Li Bok-chiu, segera Yo Ko totok dulu jalan darah Bu-siang hingga gadis ini tak mampu berkutik, habis ini barulah baju orang dibukanya.

“Se-kaIi-kali jangan bersuara,” demikian ia berpesan. Setelah baju luar dibuka, tampaklah baju dalam si gadis yang berwarna biru muda.

Tiba-tiba kedua tangan Yo Ko rada gemetar, dia tak berani membuka baju orang lebih jauh. Pada waktu ia pandang si gadis, ia lihat Bu-siang pejamkan kedua matanya dengan alis berkerut rapat. Dasar Yo Ko memang baru menginjak masa remaja, ketika mencium bau wangi badan gadis, tak tertahan jantungnya memukul keras.



“Sembuhkanlah aku!” kata Bu-siang tiba-tiba sambil membuka matanya. Hanya dua patah kata saja, lalu ia pejamkan matanya lagi dan berpaling ke jurusan lain.

Akan tetapi Yo Ko berhenti lagi, ia tidak berani meraba tubuh orang. Ketika tubuh si gadis yang putih halus tampak olehnya, ia pun berdiri terpesona. Karena sudah lama menunggu, lagi pula terasa angin silir menghembusi badannya yang sudah terbuka hingga terasa rada sejuk, Bu-siang membuka matanya lagi sehingga kelakuan Yo Ko yang ter-mangu seperti patung itu dapat dilihatnya.

“A... apa yang kau... kau lihat?!” bentaknya marah.

Yo Ko terkejut, lekas ia ulurkan tangan meraba tulang iga orang yang patah. Tetapi baru menyentuh kulit tubuh yang halus itu, Yo Ko seperti kena aliran listrik, tangannya cepat ditarik kembali lagi.

“Lekas tutup matamu, jika kau pandang aku lagi segera ku... ku...” bentak Bu-siang pula dengan suara ter-putus-putus, sampai di sini tak tahan lagi air matanya lantas menetes.

“Ba... baiklah, jangan kau menangis,” sahut Yo Ko gugup.

Habis itu benar saja dia pejamkan matanya, lalu tangannya meraba lagi tulang iga orang. Kedua tulang iga yang patah itu dipasang dengan tepat, lalu baju si gadis lekas dia tarik buat menutupi bagian badannya itu.

Sesudah perasaannya rada tenang, Yo Ko mendapatkan pula empat potong kayu. Dua batang diapit di bagian depan dada dan yang dua batang di punggung, dengan kulit pohon yang dibesetnya dia pakai sebagai perban, lalu diikatnya dengan kencang supaya tulang yang patah itu tidak bergeser lagi. Habis ini baru dia betulkan baju si gadis dan lepaskan totokannya tadi.

Waktu Bu-siang pentang matanya, remang-remang ia lihat muka Yo Ko yang tersorot sinar bulan bersemu merah dan dengan rasa kikuk sedang mengintip meliriknya, tetapi begitu sinar mata kedua belah pihak bentrok, dengan cepat Yo Ko melengos ke samping.

Meski sekarang tulang iganya telah tersambung dengan benar, tapi masih dirasakan sakit jarem, cuma sudah jauh berkurang dari pada rasa sakit waktu tulangnya saling bergesek ketika sedang disambung tadi.

“Si tolol ini ternyata punya sedikit kepandaian juga,” demikian ia pikir.

Sebenarnya Bu-siang bukan gadis bodoh. Kini sudah dapat dilihat bahwa Yo Ko bukan anak udik biasa, bukan anak tolol segala. Tetapi karena sejak mula ia sudah perlakukan orang dengan caci maki dan pandang hina, kini meski sudah ditolong ia tetap belum mau merubah sikapnya.

“Lalu bagaimana baiknya sekarang, Tolol?” demikian ia tanya, “Apakah kita harus terpaku di sini ataukah harus menyingkir pergi yang jauh?”

“Bagaimana menurut kau?” balas Yo Ko tanya.

“Sudah tentu pergi saja, apa hendak tunggu kematian di sini?” sahut Bu-siang tertawa. Keruan girang sekali si gadis hingga ia tertawa riang. “Tolol, daerah Kanglam begitu jauh letaknya, apa bisa kau pondong aku terus sampai di sana?” ujar Bu-siang. Walau pun berkata demikian, namun dia pun tidak membantah lagi dan membiarkan tubuhnya meringkuk dalam pelukan Yo Ko.

Karena kuatir kepergok Li Bok-chiu berdua, maka jalan yang dipilih Yo Ko adalah jalanan kecil yang sepi. Dasar Ginkang Yo Ko memang sudah amat tinggi, meski pun langkahnya cepat, namun bagian tubuh yang atas sedikit pun tidak terkocak sehingga sama sekali Bu-siang tidak merasakan sakit lagi.

Begitu cepat larinya Yo Ko sehingga Bu-siang melihat pepohonan di tepi jalan berkelebat lewat ke belakang, sungguh cepatnya seperti kuda balap, apa bila dibandingkan malahan Ginkang pemuda ini tidak di bawah gurunya, keruan Bu-siang sangat terkejut dan heran.

“Ha, kiranya si Tolol ini memiliki ilmu yang tinggi luar biasa. Dengan umurnya semuda ini, mengapa sudah dapat melatih diri sampai begini lihay?” demikian dia bertanya dalam hati.

Sementara itu hari sudah mulai terang, waktu Bu-siang menengadah ia lihat muka Yo Ko meski pun kotor, tetapi tidak menutupi mata dan alisnya yang cukup jelas bukan anak tolol sebagaimana dia anggap, melainkan pemuda yang ganteng. Betapa pun juga hatinya tergerak, sehingga selang tak lama kemudian lambat laun ia pun lupa rasa sakit di dadanya.

“Pergi ke mana?” tanya Yo Ko.

“Aku mau pulang ke Kanglam, mau tidak kau antar aku ke sana?” kata Bu-siang lagi.

“Aku harus mencari Kokoh, aku tidak dapat pergi begitu jauh,” sahut Yo Ko.

Mendengar jawaban ini, tiba-tiba Bu-siang tarik muka. “Baiklah, kalau begitu lekaslah kau pergi! Biarkan aku mati saja di sini,” demikian katanya kemudian.

Kalau si gadis ini memohon dengan kata halus dan membujuk umpamanya, maka dapat dipastikan Yo Ko tidak akan mau terima. Tetapi kini melihat wajah orang mengunjuk rasa marah dan alisnya terkerut rapat, lapat-lapat memper sekali dengan sikap Siao-Iiong-li di waktu marah, tak tertahan ia lantas menerima baik permintaan orang.

“Bisa jadi Kokoh kebetulan juga berada di daerah Kanglam. Biar kuantar nona Liok ini ke sana, siapa tahu kalau Thian kasihan padaku berhasil ketemukan Kokoh di sana?” demikian ia pikir.

Walau pun demikian, sebenarnya dalam hati ia cukup tahu juga bahwa harapan itu terlalu kecil sekali, cuma tak ada jalan buat menolak permintaan Liok Bu-siang, maka pikirannya tadi boleh dibilang hanya untuk menghibur dirinya sendiri saja. Karena itulah, sambil menghela napas kemudian ia pun pondong lagi tubuh Bu-siang.

“Untuk apa kau pondong aku?” bentak Bu-siang dengan marah.

“Pondong kau ke Kanglam,” sahut Yo Ko lagi, lapat-lapat ia pun terpulas dalam pelukan Yo Ko.

Sampai hari sudah terang benderang, akhirnya Yo Ko merasa letih juga. Ia lari sampai di bawah satu pohon besar, ia turunkan Bu-siang dengan perlahan, ia sendiri lantas duduk di samping si gadis untuk mengaso.

Setelah Bu-siang bangun, dengan tersenyum manis ia berkata pada Yo Ko: “Aku lapar, kau lapar tidak?”

“Sudah tentu lapar,” sahut Yo Ko, “Baiklah, kita mencari kedai nasi untuk tangsal perut.”

Lalu ia pondong lagi si gadis. Sudah sepanjang malam ia memondong orang, maka kedua lengannya terasa pegal. Oleh karena itu tubuh si gadis ia angkat lalu didudukkan di atas pundaknya, dengan demikian ia melanjutkan perjalanan dengan perlahan.

“He, Tolol, siapakah namamu?” Bu-siang bertanya dengan tertawa sambil kedua kakinya menggeduk-geduk dada Yo Ko. “Rasanya tidak baik kalau di hadapan umum kau selalu kupanggil si Tolol saja!”

“Memang aku tidak punya nama lain, semua orang panggil aku si Tolol,” sahut Yo Ko.

“Hm, aku tidak percaya, tidak mau kau katakan juga masa bodoh,” kata Bu-siang dengan mendongkol. “Kalau begitu, siapakah Suhu-mu?”

Mendengar orang menyebut “Suhu”, karena terhadap Siao-liong-Ii hormatnya luar biasa, maka Yo Ko tidak berani bergurau atas nama gurunya itu.

“Suhu-ku adalah Kokoh,” demikan ia jawab dengan sungguh-sungguh.

Atas jawaban ini, Bu-siang mau percaya, “Kiranya ilmu silatnya ini adalah ilmu keturunan keluarga sendiri,” demikian ia pikir.

“Dari tempat mana dan aliran manakah Kokoh-mu?” segera ia tanya lagi.

“Tempatnya di rumah,” sahut Yo Ko pura-pura tolol. “Dari aliran apa itulah aku tidak tahu.”

“Hm, pura-pura bodoh kau,” omel si gadis. “Yang aku tanya adalah ilmu kepandaianmu itu dipelajari dari pintu perguruan mana?”

“Pintu? Apa kau tanya pintu rumahku itu?” sahut Yo Ko yang berlagak linglung, “Pintu itu bukankah terbikin dari kayu?”

Mendengar jawaban yang tidak keruan juntrungannya ini, Bu-siang pikir: “Jangan-jangan orang ini memang betul-betul tolol, hanya karena terlahir bisa lari cepat dan bukannya memiliki ilmu silat yang tinggi? Tapi salah juga, terang sekali ia mampu menotok dan menyambung tulang, sudah tentu dia adalah jagoan Bu-lim, jangan-jangan meski ilmu silatnya hebat, namun orangnya memang dasarnya dungu.”

BegituIah Bu-siang berpikir dengan hati bingung. Kemudian dengan kata2 halus dia coba bertanya lagi:

“Coba katakanlah baik-baik padaku, tolol, sebab apakah kau menolong jiwaku?”

Pertanyaan ini seketika sulit dijawab Yo Ko, karena itu ia telah pikir sejenak, habis ini baru ia berkata:

“Kokoh suruh aku menolong kau, maka aku lantas menolong kau!”

“Siapakah kau punya Kokoh itu?” tanya Bu-siang.

“Kokoh ya Kokoh, dia suruh aku kerja apa lantas kukerjakan apa,” kata Yo Ko.

Si gadis menghela napas lagi oleh jawaban yang tak genah ini, ia pikir: “Ah, kiranya orang ini memang betul toloI.”

Dan karena pikiran ini, rasa marahnya terhadap Yo Ko yang mulai timbul tadi, sekarang mendadak berubah lagi menjadi jemu dan gemas.

Melihat orang terdiam, Yo Ko malah bertanya: “Hei, kenapa kau tidak bicara lagi?”

Bu-siang tidak menjawab, dia hanya menjengek saja sekali, karena itu Yo Ko mengulangi lagi pertanyaannya.

“Kalau aku tak suka bicara lantas tak bicara, tahu, Tolol? Lekas kau tutup mulut!” bentak Bu-siang tiba-tiba.

Yo Ko pikir wajah orang dalam keadaan muring-muring demikian tentu enak sekali dipandang, tetapi si nona duduk di atas pundaknya, maka sukar dilihat, ia merasa sayang. Begitulah sambil bicara itu, kemudian tibalah mereka di suatu kota kecil.

Melihat cara kedua muda-mudi ini, yaitu Bu-siang didukung dengan duduk di atas pundak Yo Ko, semua orang di jalan ter-heran. Akan tetapi Yo Ko tidak peduli, ia mencari restoran dan minta disediakan daharan. Mereka duduk berhadapan.

Mendadak Bu-siang mengerutkan keningnya ketika terendus olehnya bau tahi sapi yang menghembus keluar dari badan Yo Ko.

“He, Tolol, kau duduk ke meja sana saja, jangan duduk semeja denganku,” katanya pada si pemuda dengan sikap mual.

Yo Ko tidak membantah, dengan tertawa ia duduk di meja yang lain. Meski demikian, melihat duduk orang masih menghadap ke arahnya, semakin dipandang tampang tolol orang semakin menjemukan, maka sambil menarik muka Bu-siang berkata lagi:

“Jangan kau pandang aku,” habis ini ia menuding meja yang lebih jauh letaknya dan menyambung: “Sana, pindah ke meja itu!”

Yo Ko menurut, dengan tertawa sambil membawa mangkok nasinya dia malah pindah ke ambang pintu dan duduk di sana lalu makan nasinya.

“Nah, begitulah seharusnya,” kata Bu-siang.

Sungguh pun perut si gadis terasa lapar, tapi dadanya terasa sakit oleh tulang yang patah itu. Dia menjadi uring-uringan dan maunya melampiaskan marahnya pada Yo Ko saja, tetapi karena orang sudah duduk begitu jauh, dia tak punya alasan lagi untuk mem-bentak atau mengomel padanya. Begitulah selagi ia kesal sekali, tiba-tiba didengarnya di luar pintu sana ada suara orang berdendang:

“Nona cilik berlakulah murah hati.” Kemudian ada seorang lagi terus menyambung: “Sedekahlah satu mangkok nasi kepada si pengemis!”

Waktu Bu-siang angkat kepalanya, terlihatlah empat pengemis berdiri sejajar di luar pintu, ada yang tinggi, ada yang pendek, semuanya sedang memandang ke arahnya. Karena dia pernah melukai seorang pengemis dengan senjatanya ‘Gin-ko-to’ atau golok perak melengkung, kini nampak kedatangan empat orang ini tidak mengandung maksud baik, ia terkejut.

Sementara itu ia dengar orang ketiga dari pengemis itu sedang menyambung dendangan kawannya tadi:

“Jalan ke sorga tidak kau tempuh!”

Lalu orang keempat lantas menyambung juga: “Neraka tak berpintu hendak kau masuki!”

Demikianlah lagu yang dinyanyikan keempat pengemis itu adalah lagu minta-minta yang biasa disuarakan kaum pengemis. Pada tangan kanan tiap-tiap pengemis itu membawa sebuah mangkok rusak, ada pun tangan kiri mencekal sepotong kayu yang masih berkulit, pundak mereka menggendong 6 buah kantong goni.

Melihat dandanan pengemis ini, teringat oleh Bu-siang apa yang pernah dia dengar dari cerita sang Suci, Ang Ling-po, bahwa anggota Kay-pang mem-bedakan tingkatan dengan menghitung kantong goni yang digendong mereka. Melihat empat pengemis ini membawa 6 kantong, maka dapatlah diketahui mereka adalah anak murid 6 kantong yang tergolong tinggi tingkatannya dalam Kay-pang.

Waktu itu pengaruh Kay-pang di daerah utara dan selatan sungai Yangce sangat besar, maka demi nampak sekaligus didatangi empat jago Kay-pang berkantong 6, kuasa hotel lantas tahu bakal terjadi peristiwa besar. Keruan ia menjadi gugup dan tegang, Iekas ia memberi tanda kepada pelayannya dan suruh mereka jangan membikin marah tokoh Kay-pang itu.

Di pihak Iain Liok Bu-siang tidak lagi memandang empat pengemis itu, ia hanya pandang daharan yang berada di atas mejanya, sedang dalam hati ia memikirkan tipu-daya untuk meloloskan diri. Tetapi musuh ada empat orang, dirinya sendiri terluka, sedang si Tolol itu apa benar pandai ilmu silat masih sukar dipastikan. Sekali pun benar bisa silat, namun kelakuannya gila-gilaan tak genah, tidak mungkin ilmu silatnya tinggi dan susah juga melawan empat jagoan Kay-pang. Begitulah meski pun Bu-siang biasanya sangat pintar dan cerdik, kini seketika merasa tak berdaya.

Sebaliknya Yo Ko lagi sibuk mengurusi isi mangkoknya dan sama sekali tak ambil pusing terhadap empat pengemis itu. Sehabis ‘langsir’ isi mangkok ke dalam perutnya, ia lantas mendekati meja Bu-siang dan tambah nasi lagi satu mangkok penuh, berbareng itu ia sambar sepotong ikan. Karena ikan itu dimasak kuah, maka airnya menetes-netes di atas meja.

“He-he-he, makan ikan!” dengan ke-tawa tolol ia berkata.

Melihat rupa orang, alis Bu-siang berkerut lebih rapat, namun kini tiada banyak waktu lagi buat mendamperat orang, sebab terdengar olehnya keempat pengemis tadi sesudah melagukan ‘si nona cilik’ secara sambung-menyambung hingga berulang sampai tiga kali, empat pasang mata mereka pun terus membelalak ke arahnya.

Oleh karena masih belum mendapatkan sesuatu akal untuk melayani orang, terpaksa Bu-siang pura-pura tidak mendengar saja dan dengan kepala tunduk menyumpit nasinya dengan perlahan.

“Nona cilik, jika semangkok nasi saja tak kau beri, maka harap memberi sedekah sebilah golok lengkung saja,” kata seorang di antara pengemis itu, rupanya mereka sudah tidak sabar. “Mari kau ikut bersama kami, kami takkan persulit kau, kami hanya ingin tanya duduknya perkara dan tentu ada keputusan secara adil,” demikian kata yang lain pula.

Selang tidak lama, pengemis yang ketiga pun mendesak lagi: “Hayo, lekaslah, apa perlu kami gunakan kekerasan?”

Dalam keadaan begini Bu-siang menjadi serba salah, dia tidak tahu apa harus menjawab atau tidak.

“Tidak akan kami minta-minta secara paksa dan empat laki-laki menghina seorang nona cilik. Kami hanya ingin engkau ikut pergi untuk menimbang siapa kiranya di pihak yang benar,” akhirnya pengemis yang keempat pun ikut berkata.

Mendengar lagu suara orang, Bu-siang insaf sebentar lagi tentu pakai kekerasan. Meski tahu tak ungkulan, tetapi tak bisa mandah menerima kematian. Maka dengan tangan kiri memegang bangku ia menunggu. Bila lawan berani maju, segera dengan bangku itu akan kuhantamkan dahulu kepada musuh.

“Sudah tiba waktunya kini,” demikian Yo Ko juga sedang berpikir, kemudian ia mendekati meja Bu-siang lagi, ia angkat piring ikan orang untuk mengambil lauk-pauk.

“Ahh, aku minta kuahnya,” demikian dengan samar dia bicara karena mulutnya sedang mengunyah sepotong ikan dengan lezatnya.

Sembari berkata, piring ikan yang dia angkat tadi sengaja dia miringkan hingga setengah mangkok kuah yang masih panas tertuang semua di atas lengan Bu-siang. Karena kejadian ini, tiba-tiba Bu-siang berpaling sambil menggeser sedikit tubuhnya untuk memeriksa kuah yang tertuang ke badannya itu.

“Aih, sungguh celaka!” seru Yo Ko pura-pura terkejut, habis ini ia berlagak kelabakan hendak membersihkan noda kuah itu.

Pada saat itu juga, dengan sedikit miringkan mukanya keluar, tiba-tiba ia menguap terus menyemprot hingga belasan duri tulang ikan yang tajam menyambar keluar dengan cepat ke arah keempat pengemis tadi.

Keempat pengemis itu sama sekali tidak menduga akan kejadian ini. Sedikit pun mereka tidak nampak jelas, tapi tiba-tiba saja siku mereka tempat ‘kiok-ti-hiat’ terasa kesemutan, lalu terdengar suara gedubrakan. Empat mangkok mereka yang bobrok itu terbanting ke lantai hingga pecah berantakan, berhimpun dengan empat pentung kayu mereka.

Sementara itu dengan bajunya yang sudah rombeng Yo Ko tiada hentinya menyeka air kuah yang tertuang ke lengan Bu-siang tadi sambil dengan ter-putus-putus dia berkata:

“Ja... jangan kau marah, aku... aku bersihkan kau.”

“Pergi!” mendadak Bu-siang membentak.

Ketika ia menoleh kembali, ia melihat keempat pengemis tadi menghilang di simpang jalan raya sana, sedang empat pentung dan mangkok yang sudah pecah berantakan terserak di lantai. Bu-siang menjadi ragu dan heran oleh kelakuan pengemis-pengemis itu, mengapa tanpa sebab lantas pergi begitu saja?

Sementara itu ia lihat Yo Ko dengan kedua tangannya yang kotor oleh kuah ikan dan air sayur lainnya masih mengusap dan menyeka serabutan di atas meja. Ia menjadi marah dan mendamperat lagi.

“Pergi menyingkir! Apa kau kira tidak kotor?”

“Ya, ya!” sahut Yo Ko berulang-ulang sambil dua tangannya menggosok bajunya untuk menghilangkan kotoran.

“Mengapa keempat pengemis itu pergi?” tanya Bu-siang kemudian sambil mengerutkan kening.

“Tentu karena nona tak mau memberi sedekah, toh tiada gunanya minta terus, maka mereka lantas pergi,” ujar Yo Ko.

Si gadis ber-pikir sejenak lagi tetapi tetap tidak mengetahui apa sebabnya, lalu dia ambil serenceng uang perak dan menyuruh Yo Ko membeli seekor keledai. Setelah membayar uang daharan, dia lantas menunggang keledai yang baru dibeli ini untuk berangkat.

Tetapi tulang iga dekat dadanya yang patah itu belum sembuh, maka baru saja ia naik, terasalah sakit sekali sampai mukanya putih pucat.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar