Kamis, 01 Juli 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 044

Di lain pihak, karena waktu itu rembulan mendoyong ke barat sehingga sinar sang dewi malam menyorot masuk melalui pintu, maka muka Yo Ko dapat dilihat dengan jelas oleh Liok Bu-siang. Dia melihat pemuda ini sedang pentang kedua matanya lebar-lebar dan sedang memandang dengan tersenyum simpul. Keruan hati Bu-siang terkesiap,

“Jangan-jangan si Tolol ini sengaja berlagak bodoh dan pura2 bebal? Memangnya dia tadi tidak sengaja menotok jalan darahku?” demikian ia ber-tanya pada diri sendiri. Oleh karena pikiran itu, tanpa tertahan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.

Justru pada saat itu juga dilihatnya Yo Ko sedang melirik ke lantai. Waktu Bu-siang ikut melirik ke arah yang diincar Yo Ko, maka tampaklah olehnya di atas lantai itu terdapat tiga bayangan hitam yang sejajar, kiranya ada tiga orang telah berdiri di ambang pintu sana. Waktu ia menegasi lagi, ternyata ketiga orang itu semuanya bersenjata.

“Celaka, celaka, ada musuh lagi menunggu, tetapi justru Hiat-to kena ditotok si Tolol ini,” Bu-siang mengeluh.

Nyata, meski tadi dia sudah curiga, namun apa pun juga sukar dipercaya bahwa seorang bocah angon yang bodoh dan kotor seperti dia ini memiliki ilmu silat yang tinggi. Sementara itu demi dilihatnya bayangan orang-orang itu, segera Yo Ko pejamkan mata lagi dan pura-pura tidur.

“Budak hina, hayo lekas keluar, apa dengan berdiri tegak begitu saja lantas kau kira Toya (tuan imam) bisa mengampuni kau?” terdengar salah seorang di luar itu berteriak.

“Ah, kiranya kaum imam lagi,” kata Yo Ko di dalam hati demi mendengar tantangan orang itu.

“Kami pun tidak inginkan jiwamu, asal sudah iris batang hidungmu, potong sebelah daun kuping dan sebelah telapak tangan saja sudah cukup,” terdengar seorang Iainnya berkata lagi.

“Kami sudah menunggu di sini, lekas keluar kau untuk turun tangan,” demikian kata orang ketiga.

Kemudian ketiga orang itu lantas melompat pergi, mereka kepung pintu keluar itu dengan rapat.

“He, suara teriakan apakah di luar itu, di manakah kau nona Liok?” demikian kemudian Yo Ko bangun terduduk dengan mengulet maIas-malas-an. “Eh, nona Liok, kenapa kau berdiri saja di situ?”

Habis berkata, seperti tidak sengaja ia tarik-tarik lengan baju si gadis sambil digoyangkan beberapa kali, Maka terasalah oleh Liok Bu Siang ada sebuah kekuatan yang besar sekali telah meng-guncangkan seluruh tubuhnya hingga tiga tempat Hiat-to yang tertotok tadi seketika lancar kembali dan dapat bergerak bebas lagi.

Bu-siang pun tidak sempat berpikir lebih teliti lagi, segera ia jemput belatinya dari lantai terus melompat keluar. Di bawah sinar rembulan terlihatlah olehnya tiga orang lelaki sudah menanti. Ia pun tidak bicara lagi, begitu tangannya bergerak belatinya segera menusuk orang yang berdiri di sebelah kiri.

Orang itu bersenjatakan ruyung besi, karena serangan Bu-siang itu, ia incar dengan baik, ruyungnya terus disabetkan ke bawah. Ruyungnya memang cukup berat, ditambah lagi tenaganya juga besar, sabetannya itu pun diincar dengan tepat sekaii, maka terdengarlah suara “trang” yang keras, belati Bu-siang seketika terlepas dari tangan.

Waktu itu Yo Ko masih merebah miring di atas mejanya. Dia melihat Bu-siang melompat ke samping, sedang tangan kirinya diangkat miring ke depan, segera Yo Ko menduga imam yang diarah itu pasti tak mampu mempertahankan goloknya.

Memang benar. Ketika Bu-siang membalikkan tangannya lagi, dengan ilmu silat Ko-bong-pay yang sangat hebat, golok salah satu imam itu sudah kena direbutnya dan bahkan dibarengi pula sekali membacok. Maka tanpa ampun lagi pundak imam itu telah merasakan tajamnya golok sendiri.

Dengan disertai caci maki lekas-lekas imam itu melompat ke samping untuk merobek kain bajunya membalut lukanya.

Sesudah mendapat goIok, seketika semangat Bu-siang bertambah, maka tanpa ayal lagi dia tempur laki-laki yang memakai ruyung besi itu dengan sengit. Sedang seorang lainnya adalah lelaki pendek kecil dan memakai senjata tombak. Ia pun tidak berpeluk tangan, ia ikut terjun ke dalam pertempuran, tombaknya bekerja cepat menusuk ke sini sana untuk bantu kawannya, cuma dia tak berani terlalu mendekati Bu-siang.

Ilmu silat lelaki yang pakai ruyung itu ternyata sangat tinggi. Setelah belasan jurus, lambat laun Liok Bu-siang merasa kewalahan. Agaknya laki-laki itu mempunyai tingkat yang tidak rendah di kalangan Bu-lim, hal ini terbukti gerak-geriknya ternyata amat beraturan. Meski beberapa kali Bu-siang berbuat kesalahan dalam serangannya, namun orang itu ternyata tidak mau terlalu mendesak dan gunakan kesempatan itu untuk melukai Liok Bu-siang.

Sementara itu imam tadi sudah selesai membalut lukanya, maka dengan tangan kosong dia menerjang maju lagi.

“Dari mana datangnya perempuan keparat seperti kau ini? Kenapa cara turun tanganmu begitu keji?” demikian dia mencaci-maki dengan tangan menuding Bu-siang. Sesudah ini, begitu kepalanya menunduk, segera dia menyeruduk Liok Bu-siang dengan cepat.

“Celaka!” Yo Ko berteriak demi dilihat keadaan pertarungan keempat orang di luar itu.

Betul saja. Di bawah berkelebatnya sinar senjata, punggung imam itu kembali merasakan sekali bacokan lagi, bersamaan dengan itu tombak si lelaki pendek itu pun telah menusuk sampai di belakang Liok-Bu-siang, sedangkan telapak tangan si lelaki kuat tadi pun sudah menghantam ke dada si gadis.

Melihat keadaan berbahaya itu, dengan cepat Yo Ko menyambar dua batu kecil terus ditimpukkan sekaligus. Sambitannya ternyata amat jitu, yang sebuah tepat mengenai tombak musuh hingga senjata ini terguncang pergi, sedangkan batu yang lain kena pula pada pergelangan tangan lelaki kuat tadi.

Ilmu silat lelaki itu ternyata sangat tinggi. Meski tangan kanan kena sambitan batu hingga seketika lemas tak bertenaga, tapi telapak tangan yang lain masih bisa bergerak secepat kilat dan mendadak dipukulkan lagi. Maka terdengarlah suara “plak”, dada Bu-siang kena digenjot dengan keras.



Keruan Yo Ko terkejut. Ya, bagaimana pun usia Yo Ko masih muda dan pengalamannya cetek, sama sekali tidak diduganya bahwa lelaki itu memiliki kepandaian lihay ‘Lian-goan-siang-ciang’ atau pukulan berganda secara susul-menyusul.

Ketika pukulan kedua orang itu dilontarkan, lekas Yo Ko melayang maju menolong Liok Bu-siang. Dengan sekali tarik saja dia dapat jambret baju leher lelaki itu, lalu dengan tenaga raksasanya terus dilempar pergi se-jauhnya. Tubuh lelaki itu beratnya sedikitnya lebih dua ratus kati, tetapi oleh lemparan Yo Ko ini, seketika ia ter-apung di udara untuk kemudian jatuh terbanting sejauh beberapa tombak.

Melihat Yo Ko begini lihay, imam tadi dan si lelaki pendek menjadi jeri, maka Iekas-lekas mereka membangunkan kawannya terus pergi tanpa berpaling lagi.

Kemudian Yo Ko memeriksa keadaan Bu-siang. Dia melihat muka si gadis pucat kuning, napasnya sangat lemah, nyata lukanya tidak ringan. Ia ulur sebelah tangan ke bahu orang dengan maksud memayang Bu-siang supaya duduk kembali, siapa tahu terdengar suara “gemerutuk” dua kali, suara saling geseknya tulang, kiranya dua tulang iga Bu-siang telah patah oleh hantaman lelaki tangkas tadi.

Sebenarnya Bu-siang sudah jatuh pingsan, namun karena terguncangnya tulang iga yang patah hingga menimbulkan sakit hebat, saking sakitnya berbalik ia sadar dari pingsannya, lalu ia merintih-rintih dengan kepala tunduk.

“Kenapa? Apa sangat sakit?” lekas Yo Ko bertanya.

Dalam sakitnya sampai jidatnya Bu-siang penuh berkeringat. Kini mendengar pertanyaan Yo Ko, keruan ia mendongkol.

“Masih tanya, sudah tentu sangat sakit!” demikian dengan mengertak gigi menahan sakit dia mendamperat, “Hayo pondong aku ke dalam rumah!”

Yo Ko tak membantah, segera ia pondong tubuh si nona, tapi tidak urung terjadi juga guncangan sehingga tulang iga yang patah itu kembali saling bergesek sampai Bu-siang kesakitan Iagi.

“Bagus ya kau si Tolol setan alas, kau sengaja menyiksaku, ya?” demikian ia me-maki. “Dan… di manakah ketiga orang tadi?”

Nyata pada saat Yo Ko turun tangan menolongnya, waktu itu kebetulan dia jatuh semaput oleh hantaman musuh, sebab itu ia tidak tahu bahwa ‘si Tolol’ inilah yang telah menolong jiwanya.

“Mereka menyangka kau sudah mati, maka mereka lantas pergi,” dengan tertawa Yo Ko menjawab.

Mendengar keterangan ini hati Bu-siang merasa lega. “Apa yang kau tertawakan?” damperatmya pula demi dilihatnya Yo Ko nyengir. “Kau kesenangan ya melihat aku kesakitan?”

Mendengar orang mendamperat dan memaki terus-menerus padanya, setiap kali orang memaki, Yo Ko lantas teringat pada kejadian dulu ketika dirinya didamperat Siao-liong-li. Selama beberapa tahun dia hidup berdampingan dengan Siao-liong-Ii di dalam kuburan Hoat-su-jin-bong, hari yang dilewatkannya itu dianggap masa yang paling menyenangkan selama hidupnya. Sungguh pun Siao-liong-Ii selalu mendamperatnya dengan bengis, tapi karena, diketahuinya sang guru mengajarnya dengan sesungguh hati, biar pun mendapat damperatan, toh tetap dirasakannya sangat senang.

Kini karena tidak bisa ketemukan Siao-liong-li yang dia cari, tetapi kebetulan ada seorang gadis lagi yang mendamperatnya dengan kata-kata yang bengis, tanpa terasa hati kecilnya lantas anggap orang sebagai duplikatnya Siao-liong-li sekedar pelipur hati yang kosong, dengan demikian rasa deritanya menjadi sedikit berkurang. Begitulah, maka terhadap caci-maki Liok Bu-siang tadi, Yo Ko hanya tertawa saja tanpa digubrisnya.

Melihat wajah orang mengunjuk ketawa, Bu-siang teringat pada dirinya sendiri yang sudah cacat, sekarang menderita luka parah pula. Sebaliknya bocah angon ini meski kotor tapi seluruh anggota badannya dalam keadaan baik. Memang tabiat Bu-siang sudah ada kelainan, kini dalam keadaan luka dia menjadi iri terhadap Yo Ko. Ia gemas sekali, bisa-bisa dengan sekali bacok hendak dibunuhnya Yo Ko.

Yo Ko pondong Bu-siang dan direbahkan di atas meja tadi. Karena gerakan merebahkan itu, kembali tulang iganya yang patah itu berbunyi lagi saling gesek, saking sakitnya Bu-siang men-jerit tak tahan. Dan justru waktu menjerit itu pernapasannya menjadi tambah keras hingga menarik urat iganya, maka rasa sakitnya menjadi lebih hebat lagi.

“Maukah kusambungkan tulangmu yang patah ini?” tanya Yo Ko kemudian.

“Anak angon bau busuk, kau mampu sambung tulang apa?” damperat Bu-siang.

“Pernah anjing piaraanku yang borokan berkelahi dengan anjing tetangga sehingga tulang kakinya patah tergigit, maka akulah yang sambungkan tuIangnya,” kata Yo Ko. “Dan ada lagi, babi betina kepunyaan tetanggaku terbanting patah tulang iganya, itu pun aku yang menyambungkan tulangnya.”

Bu-siang menjadi marah karena dirinya disamakan dengan hewan, namun dia tidak berani berteriak sebab akan mengakibatkan rasa sakit. Maka dengan suara tertahan terpaksa ia mendamperat lagi:

“Kurang ajar, kau memaki aku sebagai anjing borokan dan maki aku pula sebagai babi betina. Kau sendirilah yang anjing borokan dan babi betina.”

“Tidak, salah, umpamanya babi, aku kan babi jantan,” sahut Yo Ko dengan tertawa, “Lagi pula, anjing borokan itu pun betina, anjing jantan tak bisa borokan kulitnya.”

Biasanya Bu-siang sangat pintar bicara dan pandai adu mulut, tapi karena setiap ia buka mulut rasa sakitnya tidak kepalang, maka niatnya untuk membalas makian orang ia urungkan, terpaksa ia pejamkan mata dan menahan rasa sakit, ia tidak menggubris lagi keceriwisan Yo Ko.

“Tahukah kau, tulang anjing borokan itu lantas sembuh dalam beberapa hari saja setelah kusambung. Ketika berkelahi lagi dengan anjing tetangga, keadaannya seperti tulangnya tak pernah patah,” demikian Yo Ko sengaja menerocos terus. “Eh, nona Liok, bagaimana dengan kau, mau tidak aku pun sambungkan tulangmu?”

Dalam keadaan kepepet, dalam hati Bu-siang berpikir juga: “Boleh jadi bocah angon kotor ini benar-benar bisa menyambung tulang, apa lagi disini pun tiada tabib, kalau tiada yang mengobati aku, tentu aku akan mati konyol kesakitan.”

Tetapi lantas terpikir lagi olehnya: “Tulang igaku yang patah, kalau dia menyambungkan tulangku ini tentu tubuhku akan kelihatan, bukankah ini sangat memalukan? Hm, kalau dia tidak dapat menyembuhkan Iukaku, biar kuhabiskan jiwaku bersama dia. Dan kalau bisa sembuh, aku pun tidak membiarkan seorang yang pernah melihat tubuhku tetap hidup di jagat ini.”

Dasar sifat Bu-siang memang sudah menyendiri karena penderitaannya sejak kecil, lagi pula begitu lama ikut Li Bok-chiu hingga terpengaruh juga oleh sifat Jik-lian-sian-cu yang kejam dan enteng tangan. Walau pun umurnya masih sedikit, tapi dalam pikirannya penuh dengan angan-angan yang keji.

Begitulah, maka dengan suara rendah lalu ia berkata: “Baik, boleh coba kau sambungkan tulangku, tapi sebenarnya kau bisa atau tidak? Jangan kau coba membohongi aku, bocah angon busuk, awas kau!”

Yo Ko menjadi senang melihat orang akhirnya menyerah, katanya dalam hati: “Jika dalam keadaan begini aku tidak goda dia, mungkin selanjutnya tiada kesempatan baik lagi.”

Oleh karena itu, dengan lagak dingin saja dia berkata lagi: “Sewaktu babi betinanya wak Ong tetanggaku itu patah tulang iganya, beribu kali anak gadisnya memohon padaku dan beruntun memanggil aku seratus kali ‘engkoh yang baik’ baru aku mau menyambungkan tulangnya.”

“Cis, cis, bocah angon busuk, cis... auuhh...” damperat Bu-siang ber-ulang, akan tetapi mendadak ia menjerit karena dadanya terasa sakit pula.

“Kau tak mau panggil aku, tak mengapalah,” kata Yo Ko dengan tertawa. “Nah, aku akan pulang saja, nona Liok, selamat tinggal, sampai ketemu lagi.”

Sambil bicara, betul saja Yo Ko lantas melangkah keluar pintu. “Celaka, dengan kepergiannya ini pasti aku akan mampus kesakitan di sini,” demikian pikir Bu-siang. Karena itu terpaksa ia tanya dengan menahan amarahnya:

“Lalu apa yang kau kehendaki?”

“Sebenarnya kau pun harus seratus kali panggil aku ‘engkoh yang baik’, tetapi sepanjang jalan aku sudah kenyang dicaci maki olehmu, maka kau harus panggil aku seribu kali baru jadi,” sahut Yo Ko.

Betul-betul Bu-siang mati kutu, “Biarlah kusanggupi semuanya, nanti bila aku sudah sembuh, satu persatu baru kubikin perhitungan padanya.”

Demikian pikirnya diam-diam. Karena itu, segera ia menurut: “Baiklah, engkoh yang baik, engkoh yang baik, engkoh yang baik... auuh...”

“Sudahlah, masih ada 997 kali, sementara kucatat saja sebagai utangmu, nanti kalau kau sudah baik barulah dilunaskan lagi,” kata Yo Ko.

Habis berkata, ia lantas mendekati Bu-siang terus hendak membuka bajunya. Karena kelakuan Yo Ko ini, tanpa terasa Bu-siang sedikit mengkeret sambil membentak:

“Pergi! Apa yang hendak kau lakukan?!”

Karena bentakan itu, Yo Ko menyurut mundur. “Untuk menyambung tulangmu, mengapa bajumu tak boleh dibuka? Aku pernah mendengar orang bilang ada ilmu ‘ke-san-pak-gu’ (memukul kerbau dari balik gunung), tetapi tidak pernah mendengar ada ilmu ‘ke-ih-ti-gu’ (mengobati kerbau dari balik baju),” demikian katanya dengan tertawa.

Mendengar kata-kata ini, Bu-siang merasa lucu juga akan kelakuannya tadi. Tetapi kalau dibiarkan orang membuka bajunya, sesungguhnya rada malu juga. Karena itu ia menjadi ragu-ragu.

“Baiklah, tak bisa kutolak kau,” katanya kemudian dengan kepala menunduk dan berpikir lama.

“Kalau kau tak mau disembuhkan boleh tak usah saja, aku pun tidak kepingin...”

Baru saja Yo Ko berkata sampai di sini, mendadak didengarnya dari luar sana ada suara orang sedang berbicara:

“Budak hina ini pasti berada di sekitar sini, kita harus lekas-lekas menemukannya.”

Bu-siang menjadi pucat lesi mendengar suara orang itu, dalam keadaan demikian rasa sakit dadanya tak terpikir lagi olehnya, dengan cepat ia mendekap mulut Yo Ko yang sedang berkata tadi. Kiranya yang berbicara di luar itu tidak lain dari pada Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu, gurunya yang sangat ditakutinya itu.

Yo Ko sendiri pun sangat terkejut setelah dikenalnya suara siapa orang itu.

“Yang menancap di punggung pengemis itu terang adalah ‘Gin-ko-to’ milik Sumoay, cuma sayang tak keburu kita mencabutnya buat mengenalinya lebih pasti,” demikian terdengar suara seorang wanita lain. Orang ini dengan sendirinya Ang Ling-po adanya.

Kiranya sejak mereka guru dan murid terlolos dari kematian di Hoat-su-jin-bong, kemudian mereka pulang ke Jik-keh-ceng yang menjadi kediamannya, di sana diketahui bahwa Liok Bu-siang meninggalkan perkampungan mereka itu tanpa pamit, bahkan sebuah kitab Li Bok-chiu, yaitu ‘Ngo-tok-pit-toan’ (kitab rahasia ‘Panca-bisa’) telah ikut dicuri juga.

Sebabnya Li Bok-chiu disegani di seluruh jagat hingga tokoh-tokoh Bu-lim pada jeri kalau mendengar namanya, titik pokoknya bukan karena ilmu silatnya, tetapi pada racun jahat ‘Ngo-tok-sin-ciang’ (pukulan sakti panca-bisa, yaitu lima macam racun) dan senjata ‘Peng-pek-gin-ciam’ (jarum perak batu es).

Justru kitab ‘Ngo-tok-pit-toan’ itu memuat resep obat racun pembuatan jarum perak dan pukulan saktinya yang berbisa itu dengan obat pemunahnya pula. Kalau kitab itu teruar di kalangan umum, lalu ditaruh ke mana lagi nama baik serta wibawa Jik-Iian-sian-cu yang disegani?

Sebenarnya Li Bok-chiu sendiri sudah apal di luar kepala semua isi kitab pusakanya, dengan sendirinya kitab itu tak perlu selalu dibawa, pula penyimpanannya di Jik-he-ceng sangat dirahasiakan. Siapa tahu Liok Bu-siang yang pintar dan cerdik, segala apa selalu diperhatikannya hingga tempat penyimpanan benda-benda rahasia gurunya telah diketahui olehnya. Karena sudah ada niatannya hendak melarikan diri, maka jarum perak berbisa berikut obat pemunah sang guru, bahkan kitab ‘Panca-bisa’ itu pun dicuri dan dibawa lari sekalian.

Keruan amarah Li Bok-chiu bukan buatan oleh perbuatan Liok Bu-siang itu. Maka dengan membawa Ang Ling-po, segera diubemya siang malam. Tapi sudah lama Bu-siang kabur, lagi pula yang ditempuh adalah jalanan kecil yang sepi, meski Li Bok-chiu berdua sudah menguber dari utara hingga selatan dan dari selatan kembali ke utara untuk mencegatnya, namun bayangan si gadis yang dicari itu tetap tak kelihatan.

Kebetulan malam hari itu, waktu mereka berdua sampai di sekitar kota Cingkoan, mereka mendengar berita dari anak murid Kay-pang yang mengatakan bahwa ada pertemuan golongan mereka di suatu tempat.

Li Bok-chiu pikir anggota persatuan kaum pengemis itu tersebar di mana-mana, kabar berita mereka pun sangat cepat dan tajam, tentu di antara mereka ada yang pernah melihat Liok Bu-siang. Oleh karena itu mereka berdua lantas pergi ke tempat pertemuan itu dengan maksud mencari kabar.

Tetapi di tengah jalan mereka ketemukan satu anak murid Kay-pang dari angkatan ke enam yang digendong lari oleh seorang kawannya dalam keadaan luka-luka, selain itu ada belasan pengemis yang mengawalnya.

Dengan kejelian mata Li Bok-chiu, sekilas bisa dilihatnya pada punggung pengemis yang digendong itu menancap sebilah golok melengkung dan dapat dikenalinya sebagai ‘Gin-ko-to’ atau golok perak melengkung milik Liok Bu-siang.

Oleh karena tak ingin membuat onar dengan kaum pengemis yang berpengaruh besar itu, maka Li Bok-chiu mengintil dari belakang untuk mengintai. Kebetulan lapat-lapat dapat didengar percakapan kawanan pengemis itu dalam keadaan marah-marah, katanya yang melukai kawan mereka itu adalah seorang gadis pincang yang menimpukkan golok melengkung itu.

Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang. Ia pikir kalau pengemis itu baru saja dilukai, tentu Liok Bu-siang masih berada juga di sekitar sini. Karena itu dengan langkah cepat segera ia menguber lagi hingga sampai di depan rumah batu bobrok itu. Di sini tampak olehnya ada segundukan abu bekas api unggun, hidungnya pun segera mengendus bau darah yang anyir. Lekas ia nyalakan api dan coba periksa sekitarnya. Betul saja di atas tanah diketemukan lagi bekas noda darah yang masih baru, terang sekali terjadinya pertarungan sengit itu belum lama berselang. Dari itu segera Li Bok-chiu tarik ujung baju sang murid sambil menuding ke arah rumah bobrok itu.

Ang Ling-po mengerti maksud sang guru. Dia mengangguk, setelah itu pintu rumah yang setengah tertutup ia dorong, dengan putar pedang untuk melindungi tubuhnya segera ia terjang ke dalam.

Di Iain pihak, begitu mendengar suara percakapan antara Suhu dan Suci-nya, Bu-siang insaf sekali ini tak akan luput lagi dari kematian, karena itu ia malah kuatkan hatinya dan berlaku tenang saja merebah untuk menantikan ajalnya.

Begitulah terdengar suara pintu didorong, menyusul sesosok bayangan orang menyelinap masuk yang bukan lain adalah sang Suci, Ang Ling-po. Sejak kecil Bu-siang pandai mengambil hatinya, maka terhadap sang Sumoay tidak jelek juga kasih sayang Ang Ling-po. Sekali ini sang Sumoay telah melanggar peraturan besar perguruannya, pasti gurunya akan menyiksa habis-habisan dengan ber-macam cara yang keji terhadap Bu-siang, habis itu sedikit demi sedikit baru dihukum mati.

Kini nampak si Sumoay masih rebah di atas meja, segera Ang Ling-po angkat pedangnya terus menusuk ke ulu hatinya, dengan demikian ia pikir anak dara ini boleh terbebas dari segala siksaan guru mereka.

Siapa duga, baru saja ujung pedangnya hampir menempel ulu hati Liok Bu-siang, tiba-tiba Li Bok-chiu sudah menepuk perlahan pundaknya, karena ini seketika Ling-Po merasakan tangannya menjadi lemas tak bertenaga, segera pula tangannya melambai ke bawah.


DITOLONG SI TOLOL

“Hm, apa aku sendiri tidak bisa membinasakan dia? Perlu apa kau buru-buru?” kata Li Bok-chiu dengan tertawa dingin. Habis ini ia berpaling dan ditujukan pada Liok Bu-siang. “Hm, apa di hadapan Suhu kau tidak melakukan penghormatan lagi?”

Tapi Bu-siang sudah teguhkan hatinya. “Hari ini aku sudah jatuh ke tangannya, baik minta ampun atau membangkang pasti juga akan merasakan siksaan yang kejam,” demikianlah pikirnya. Karena itu dengan dingin saja dia menjawab:

“Keluarga kami dengan kau sudah menanam dendam sedalam lautan, tidak perlu lagi kau banyak bicara.”

Namun Li Bok-chiu hanya memandang anak dara itu dengan diam, entah rasa suka atau duka yang terkandung pada sorot matanya. Sebaliknya Ang Ling-po memandangi sang Sumoay dengan wajah yang penuh rasa duka dan kasihan, akan tetapi ternyata Bu-siang tidak gentar sedikit pun oleh sikap sang guru, bibirnya sedikit terjibir, tampaknya malah mengunjuk sikap yang angkuh dan menantang. Dengan begitu mereka bertiga sudah saling pandang.

“Mana kitab itu? Serahkan!” kata Li Bok-chiu kemudian sesudah terdiam agak lama.

“Sudah direbut seorang Tosu (imam) dan seorang pengemis!” sahut Bu-siang.

Terkejut sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu. Meski pun Li Bok-chiu tidak pernah bermusuhan dengan kaum pengemis, tapi dengan ‘Coan-cin-kau’ tidak sedikit dendamnya, dia pun tahu antara Kay-pang dan Coan-cin-kau mempunyai hubungan yang sangat rapat, kalau kitab ‘Ngo-tok-pit-toan’ itu sampai jatuh di tangan mereka, sungguh celaka!

Sayup-sayup Bu-siang dapat mendengar suara tertawa dingin sang guru, dia tahu pasti orang sedang memikirkan akal keji untuk menyiksa dirinya. Jika waktu melarikan diri sepanjang jalan selalu ketakutan ditangkap oleh gurunya, sekarang sesudah betul-betul tertangkap, dia malah tidak begitu takut lagi seperti semuIa.

“Ehh, kemanakah si tolol itu pergi?” demikian tiba-tiba ia jadi teringat pada Yo Ko.

Dalam keadaan jiwanya terancam maut ini, tanpa sadar timbul semacam perasaan hangat terhadap bocah angon yang tolol dan kotor itu. Pada saat itu juga tiba-tiba ada berkelebatnya sinar api, menyusul kemudian dengan membawa suara gedebukan mendadak seekor banteng ngamuk menerjang masuk dari luar.

Waktu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po menoleh, maka tampaklah seekor sapi jantan yang tinggi besar menyerobot masuk, pada ujung tanduk kiri binatang itu terikat sebilah belati dan sebelah tanduk yang lain terikat pula seikat kayu dengan api yang me-nyala.

Terjangan binatang itu ternyata hebat sekali. Meski pun ilmu silat Li Bok-chiu amat tinggi, tetapi tak berani juga ia menghadapi serudukan sapi jantan itu dari depan, maka segera ia berkelit ke samping. Ia melihat binatang itu mengitar sekali di ruangan rumah itu, habis ini lantas berputar keluar lagi. Tatkala menerjang masuk sapi itu main seruduk seenaknya, pada waktu keluar pun berlari secepat keranjingan setan, karenanya hanya sekejap saja sapi itu sudah lari pergi sejauh belasan tombak.

Dengan memandangi bayangan binatang itu semula Li Bok-chiu rada heran, tetapi segera terpikir olehnya:

“He, siapakah yang mengikat pisau dan kayu berapi itu di tanduknya?”

Waktu mereka berpaling kembali, tanpa saling berjanji guru dan murid itu lantas menjerit berbareng. Ternyata Liok Bu-siang yang tadi masih rebah di atas meja itu, sekarang telah lenyap tanpa bekas. Lekas Ling-po menggeledah seluruh rumah bobrok itu, habis ini ia melompat lagi ke atas atap rumah. Sebaliknya Li Bok-chiu menduga pasti sapi tadi yang bikin gara-gara, maka dengan sekali melayang, dengan enteng dan gesit segera dikejarnya binatang itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar