Senin, 28 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 043

“Biarlah malam ini aku menginap di sini. Tengah malam nanti kalau si tolol sudah pulas, sekali bacok saja kubunuh dia,” demikian pikirnya.

Setelah mengambil keputusan segera menuju ke rumah batu itu. Waktu pintu didorong, tiba-tiba tercium bau apek yang menyenggerok hidung, terang sekali rumah ini sudah terlalu lama ditinggalkan penghuninya. Kemudian gadis itu pergi mencari segenggam rumput kering dan lap bersih sebuah meja, di atas meja inilah dia berbaring, ia pejamkan mata untuk mengumpulkan tenaganya.

“Tolol, tolol!” panggilnya ketika dilihat Yo Ko tidak ikut masuk ke dalam.

Akan tetapi tiada sahutan yang dia peroleh. “Jangan-jangan si tolol ini mengetahui aku hendak membunuh dia, maka kabur lebih dulu?” demikian ia pikir.

Setelah agak lama, ketika layap-layap hendak pulas, tiba-tiba tercium bau sedap yang sangat menusuk hidung. Dalam terkejutnya segera pula ia melompat bangun. Waktu dia berlari keluar, di bawah sinar bulan yang terang Yo Ko sedang duduk sambil memegang sepotong entah paha binatang apa dan sedang pentang mulut menggerogoti dengan lahap, di samping sana menyala segunduk api unggun dan di pinggir gundukan api itu tergeletak bahan makanan dan sedang dipanggang, dari situlah bau sedap tadi menguar.

“Mau tidak?” tanya Yo Ko dengan tertawa demi nampak gadis itu keluar. Habis itu ia ambil sepotong daging paha yang sudah dipanggang hingga berbau sedap itu terus dilemparkan kepadanya.

Waktu gadis itu menyambutinya, ia lihat daging paha itu seperti paha kijang. Memang perut sudah lapar, maka tanpa sungkan lagi dia sebret daging itu dan dimakan sepotong demi sepotong, meski pun kurang asin karena tidak digarami, tetapi dalam keadaan lapar rasanya sangat lezat juga. Maka sambil duduk di dekat api unggun ikutlah dia makan dengan bernapsu.

Tetapi dasar anak gadis, maka cara makannya tidak main lalap seperti Yo Ko, lebih dulu dia sobek daging paha itu dalam potongan kecil, kemudian dengan perlahan barulah dia memakannya. Tetapi bila dilihat cara makan Yo Ko yang lahap hingga air liurnya ikut mencerocos, ia menjadi mual dan jijik. Jika tidak jadi makan maka perutnya terasa lapar, karena itu terpaksa dia berpaling ke jurusan lain dan tidak memandang Yo Ko lagi. Sesudah sepotong daging itu habis, kembali Yo Ko lemparkan sepotong lagi kepadanya.

“He, tolol, kau bernama siapa?” gadis itu menanya.

“Eh, apa kau ini dewa? Kenapa kau tahu bahwa aku bernama Tolol?” dengan lagak bebal yang di-bikin-bikin berbalik Yo Ko bertanya.

“Ha-ha-ha, jadi kau memang bernama si tolol?” gadis itu tertawa demi mendengar jawaban orang, rupanya ia menjadi gembira, “Dan di manakah ayah dan ibumu?”

“Sudah mati semua,” sahut Yo Ko. “Dan kau sendiri siapa?”

“Tidak tahu. Buat apa kau tanya?” kata si gadis.

“Dia tidak mau katakan, biarlah aku pancing dia,” demikian pikir Yo Ko karena orang tidak mau memberi-tahukan namanya. Lalu dengan berlagak ber-seri ia berkata:

“Ha-ha, aku tahu, kau pun bernama si tolol, maka kau tak mau mengatakan namamu.”

Tentu saja gadis itu menjadi gusar. Segera dia melompat maju, dia angkat kepalan terus dengan keras menggetok ke atas kepala Yo Ko.

“Siapa bilang aku bernama si tolol, kau sendiri yang tolol,” demikian damperatnya pula.

Karena kepala digetok orang, Yo Ko pura-pura kesakitan sambil menutup kepala dengan tangannya.

“Ya, sebab kalau orang tanya namaku, bila aku katakan tak tahu, lantas orang panggil aku si tolol, sekarang kau pun bilang tak tahu, maka dengan sendirinya kau pun bernama si tolol,” kata Yo Ko dengan mewek bikinan.

“Siapa bilang aku tidak tahu?” bentak si gadis sengit. “Hanya saja aku tidak suka katakan padamu. Aku she Liok, mengerti tidak?”

Kiranya gadis ini adalah Liok Bu-siang, gadis cilik pemetik ubi teratai yang sudah kita kenal pada permulaan cerita ini. Sebagaimana masih ingat, dahulu waktu dia main panjat pohon bersama Piauci-nya, Thia Eng, dan kedua saudara Bu, dia sudah jatuh dari atas pohon hingga tulang kakinya patah. Syukur secara kebetulan Bu-samnio numpang menginap di rumahnya dan sudah menyambungkan tulang kakinya yang patah itu.

Tetapi karena ayah Bu-siang, yakni Liok Lip-ting mencurigai Bu-samnio, akhirnya mereka saling gebrak hingga sambungan tulang kaki Bu-siang rada terganggu dan agak meleset. Sesudah sembuh, kaki kirinya yang patah itu sudah mengker sekitar satu senti, maka bila berjalan menjadi sedikit pincang.

Walau pun kulit badan Liok Bu-siang tidak begitu putih, tapi dasar pembawaannya cantik raut mukanya. Setelah besar ia bertambah manis pula, tapi karena kakinya pincang, inilah yang menjadi penyesalan selama hidupnya. Sesudah seluruh keluarganya dibunuh habis oleh Li Bok-chiu, sebenarnya Bu-siang pun tidak terluput dari kematian, akan tetapi setiap kali bila melihat sapu tangan sulaman yang menggubet di leher Bu-siang, Li Bok-chiu lantas teringat pada cinta Liok Tian-goan dahulu hingga selalu ia tak tega menghabisi jiwa anak dara ini.

Meski usia Liok Bu-siang sendiri masih kecil, tapi dia sudah pandai berpikir. Dia mengerti dirinya terjeblos dalam cengkeraman iblis perempuan ini, jiwanya boleh dikatakan seperti telur di ujung tanduk yang setiap saat terancam bahaya. Oleh sebab itu ia berlaku sangat hati-hati dan berusaha sedapat mungkin me-narik hati orang, dan karena pintarnya Bu-siang membawa diri dan rajin melayani hingga Jik-lian-sian-cu yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu lambat laun menjadi reda.

Kadang-kadang Li Bok-chiu terkenang akan peristiwa pada masa mudanya yang sangat menyesatkan itu. Segera Bu-siang dipanggil ke hadapannya lalu nona kecil itu disiksa dan dihina untuk melampiaskan dendamnya. Namun Bu-siang pintar pura-pura. Ia sengaja bikin mukanya kotor dan rambutnya serawutan sambil berjalan pincang sebagaimana seorang gadis yang harus dikasihani. Maka begitu melihat macamnya ini, mestinya Li Bok-chiu hendak umbar dendamnya namun lantas tak sampai hati.



Demikianlah caranya Liok Bu-siang mencari selamat bagi dirinya sendiri. Beruntung juga seorang gadis cilik seperti dia ternyata bisa hidup terus berdampingan dengan Li Bok-chiu yang kejam. Sungguh pun demikian, dalam hati Bu-siang tidak pernah melupakan sakit hati ayah-bundanya yang dibunuh Li Bok-chiu secara kejam, tapi sebaliknya apa bila Li Bok-chiu coba menanyakan tentang ayah-ibunya, selalu Bu-siang berlagak linglung dan pura-pura tidak mengingatnya lagi.

Bila Li Bok-chiu sedang mengajarkan ilmu silat pada Ang Ling-po, ia lantas menunggunya di samping untuk melayani bila orang perlu diambilkan handuk atau Iain-lain, atau dia pura-pura menyapu dan bersihkan meja kursi. Memang ilmu silat Bu-siang sudah ada dasarnya, maka ia mengingatnya dengan baik apa yang dilatih kedua orang tadi, lalu di waktu malam ia sendiri lantas melatihnya kembali. Ditambah lagi di waktu biasa ia sengaja membaiki Ang Ling-po hingga belakangan ketika sang guru sedang gembira, Ang Ling-po lantas memohon bagi Liok Bu-siang agar diterima sekalian sebagai murid Li Bok-chiu.

Dengan begitulah beberapa tahun telah berlalu, ilmu silat Bu-siang banyak maju pula, hanya perasaan Li Bok-chiu betapa pun masih terdapat sisa-sisa rasa benci kepadanya. Jangankan ilmu silat yang paling tinggi, meski ilmu kepandaian kelas dua saja tidak sudi diajarkan kepadanya. Baiknya ada Ang Ling-po yang merasa kasihan padanya dan diam-diam memberi petunjuk, maka ilmu silatnya walau pun tidak bisa dikatakan tinggi, namun dibilang rendah pun tidak rendah.

Hari itu, ber-turut-turut Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah berangkat ke Hoat-su-jin-bong untuk mencuri ‘Giok-li-sim-keng’. Karena sampai lama belum nampak kedua orang itu kembali, maka Bu-siang ambil keputusan untuk pulang ke daerah Kanglam buat mencari tahu mati-hidup ayah-bunda yang sesungguhnya, sebab waktu kecil ia hanya melihat ayah-ibunya dipukul Li Bok-chiu hingga luka parah, tentu banyak celaka dari pada selamatnya, tetapi karena belum melihat meninggalnya kedua orang tua dengan mata kepala sendiri, bagaimana pun dalam hatinya masih selalu menaruh sedikit sinar harapan semoga ayah-bundanya masih hidup, maka ingin sekali dia mencari tahu keadaan yang sebenarnya.

Oleh karena kaki kirinya cacat, yakni pincang, ciri ini telah merubah sifatnya hingga rada rendah diri. Dia paling benci apa bila ada orang memandang kakinya yang pincang. Hari itu di tengah jalan justru kedua imam sudah memandang beberapa kali pada kakinya yang cacat itu hingga menimbulkan amarahnya, kontan Bu-siang melontarkan kata yang menghina. Dasar kedua imam itu juga bertabiat buruk, maka dari perang mulut akhirnya berubah menjadi perang senjata.

Dalam pertarungan itu, dengan golok sabitnya yang melengkung Bu-siang telah tebas daun kuping dan batang hidung kedua imam itu, maka sebagai ekornya kemudian terjadi pertarungan sengit di Cay-long-kok.

Dulu tatkala Bu-siang digondol pergi oleh Li Bok-chiu, di goa pegunungan dekat Oh-chiu sebenarnya dia sudah pernah berjumpa satu kali dengan Yo Ko, namun waktu itu sama-sama masih kecil. Sekarang keadaan mereka berdua pun sudah banyak berubah, dengan sendirinya perkenalan kilat dahulu itu sudah tidak mereka ingat lagi.

BegituIah, sesudah Bu-siang menghabiskan dua potong daging paha kijang panggang, ia pun merasa kenyang. Di lain pihak sebaliknya Yo Ko sedang memandangi wajah si nona yang manis. “Saat ini Kokoh entah berada di mana? Gadis di depanku ini kalau Kokoh adanya, lalu kuberi dia paha kijang panggang, bukankah akan sangat menyenangkan?” demikian pikirnya. Karena hatinya berpikir, maka mata pun menatap orang lebih kesima.

Melihat begitu rupa orang memandang padanya, Bu-siang menjengek sekali, kemudian ia berdiri hendak menyingkir. Tiba-tiba dari jauh terdengar seseorang sedang mendatangi dengan menyeret sandalnya yang menerbitkan suara “srat-sret, srat-sret”. Sambil mendekat orang itu gunakan hidungnya untuk mengendus se-kerasnya.

“Ehm, wangi, sedap!” demikian ia berseru.

Dan sesudah dekat, maka jelas kelihatan baju yang dipakai orang itu penuh tambal-sulam di sana-sini, kiranya seorang kere, seorang pengemis. Meski pun kere tetapi dia mendekati orang dengan lagak tuan besar, kemudian dia duduk di samping Yo Ko. Tanpa disuruh tanpa permisi segera dia sambar sepotong daging kijang panggang yang masih digarang di atas api unggun, langsung digeragoti dengan lahap seperti orang yang sudah tujuh hari tujuh malam tidak makan.

Yo Ko sih tidak menggubris diri orang. Tetapi Bu-siang yang memang sudah mendongkol, begitu mencium bau busuk tubuh orang yang kotor dan kini melihat kelakuannya yang tak kenal aturan, rasa mendongkolnya bertambah lipat. Mendadak ia berdiri lantas tinggalkan orang hendak masuk ke dalam rumah untuk tidur.

Rupanya sikap Bu-siang ini dapat diketahui oleh si jembel tadi. Tiba-tiba dia mendongak dan memandang sekejap pada si gadis sambil tersenyum, sesudah ini dia menunduk kembali untuk makan daging panggangnya.

Bu-siang menjadi marah melihat kelakuan orang. “Apa yang kau tertawakan?!” damperatnya segera.

“Aku tertawa sendiri, sangkut-paut apa dengan kau?” sahut pengemis itu dengan dingin.

Dalam marahnya Bu-siang sudah memegang goloknya dan berniat bunuh orang, syukur dia berpikir pula: “Jangan dulu. Kalau aku bunuh dia si tolol itu tentu akan ketakutan dan melarikan diri, biarlah aku bersabar untuk sementara.”

Maka dengan menahan rasa gusarnya, tanpa berpaling lagi dia lantas masuk ke rumah batu itu. Di luar dugaan, baru saja dia melangkahi ambang pintu, tiba-tiba terdengar si pengemis membuka suara dan bertanya kepada Yo Ko:

“Siapakah dia tadi, apakah dia binimu? Kenapa kakinya pincang? Tidak laku dijual?”

Sungguh tidak kepalang rasa marah Liok Bu-siang oleh serentetan kata yang semuanya sangat menusuk hatinya. Per-tama orang bilang bahwa dia bini si tolol yang kotor dan berbau busuk itu, kedua, kakinya yang cacat di-olok dan ketiga dia dianggap seperti hewan saja, bukan saja harus dijual, bahkan dikatakan tidak laku. Sejak kecil Bu-siang sudah kenyang oleh segala siksa-derita yang diperoleh dari Li Bok-chiu. Oleh karena itu dalam pandangannya setiap orang di jagat ini dianggapnya sebagai musuh semua dan setiap orang pasti akan membikin susah padanya, apa lagi ditambah kakinya pincang sehingga tabiatnya berubah aneh, merasa rendah harga diri.

Maka bila siapa saja berani coba-coba memandang sekejap pada kakinya yang cacat, tentu akan menimbulkan amarahnya, apa lagi si pengemis tadi sudah mengeluarkan kata-kata yang sangat menghina. Keruan dia tidak tahan lagi, dengan cepat golok sabitnya dilolos, begitu memutar, secepat angin dilabraknya si jembel itu.

Si pengemis itu terhitung anak murid Kay-pang (Persatuan Pengemis) angkatan ke enam, di kalangan pengemis ilmu silatnya tergoIong tengahan, maka kepandaiannya pun tidak terlalu rendah. Sejak Ang Chit-kong menjabat ketua Kay-pang, banyak anggota Persatuan Pengemis itu terpengaruh oleh sifat ketua mereka, yakni menganggap di mana-mana adalah kediaman mereka, berpikiran jujur dan suka terus terang, suka bersahabat dengan siapa pun yang dijumpainya.

Oleh sebab itulah demi bertemu dengan Yo Ko yang lagi memanggang daging di tempat sepi, lagi pula melihat pakaian Yo Ko compang-camping, maka pengemis tadi pikir meski orang bukan sesama anggota, sedikitnya masih terhitung segolongan, golongan kere. Karena itu dia pun tidak sungkan lagi, begitu datang dia lantas duduk terus ikut makan. Siapa tahu Bu-siang telah mengunjuk muka jemu dan kurang senang, bahkan terus berdiri dan menyingkir pergi karena tak tahan ia telah tertawai orang beberapa kata. Tak terduga si gadis ternyata sangat pemarah, begitu putar kembali lantas main senjata.

BegituIah, maka atas serangan Bu-siang tadi pengemis itu melompat bangun sambil berteriak:

“Haya, jangan ngamuk, jangan ngamuk. Memang aku sudah makan panggang daging lakimu, biarlah aku muntahkan kembali saja!”

Justru Bu-siang paling benci kalau orang berkelakar atas dirinya. Keruan dia bertambah murka, tanpa berhenti lagi goloknya membabat dari kiri lantas memotong pula dari kanan, be-runtun dua kali mengarah tempat lawan yang berbahaya.

Akan tetapi dengan cepat pengemis itu dapat menghindarkan diri. Ketika serangan ketiga menyambar lagi, karena arah yang dituju tidak tetap, begitu dugaan pengemis itu sedikit saja meleset, maka terdengarlah suara robeknya kain. Ternyata baju yang memang sudah rombeng itu telah tertebas.

Keruan pengemis itu terkejut, “Ehh, sungguh tidak nyana ilmu silat anak dara ini ternyata lihay,” demikian katanya dalam hati.

Sementara itu untuk ke empat kalinya Bu-siang menyerang lagi, maka tak berani si pengemis pandang enteng lawannya, segera tongkat yang terselip di pinggangnya dia cabut terus ditangkiskan. Tetapi sesudah saling gebrak belasan jurus, rangsakan Bu-siang semakin lama semakin ganas, maka pengemis itu mengeluh.

“Anak dara ini entah dari golongan dan aliran mana datangnya, tapi perlu apa aku terlibat permusuhan dengan dia tanpa sebab? Asal aku tancap gas sekencang-kencangnya terus ngeluyur pergi, masakah gadis pincang ini sanggup mengejarku?” demikian pikirnya. Demi ingat kaki orang pincang, tanpa terasa ia memandang sekejap lagi ke arah anggota badan orang yang cacat itu.

Sebenarnya kalau dia sudah ambil keputusan buat angkat kaki, asal dia putar tubuh terus kabur mungkin segala persoalan akan segera selesai. Tapi celaka baginya, justru karena dia baru melarikan diri setelah tanpa sengaja memandang kaki orang yang pincang, kelakuannya ini menyinggung perasaan Liok Bu-siang yang paling benci jika kakinya yang cacat itu dipandang orang. Sebab inilah di kemudian hari telah banyak menimbulkan ekor panjang.

Ketika Bu-siang mengetahui orang menatap kakinya yang pincang sambil mengunjuk rasa senang, habis ini tongkatnya ditarik terus kabur, keruan rasa maranya me-Iuap tak bisa ditahan lagi.

“Pengemis maling, apa kau kira aku tak bisa berjalan leluasa dan tak sanggup mengejar kau?” damperatnya sengit. Kemudian segera dia mengudak.

Melihat pengemis itu lari ke arah utara, segera Bu-siang putar goloknya yang melengkung itu. Setelah diayun beberapa kali, sekonyong-konyong dia lepaskan se-kerasnya ke arah tenggara hingga membawa sambaran angin yang santer.

Tatkala itu dengan seenaknya Yo Ko sedang makan daging panggang dan menyaksikan perkelahian orang sambil duduk. Dia menjadi sangat senang melihat si pengemis sengaja bikin Bu-siang marah-marah. Tetapi dia menjadi heran ketika mendadak melihat Bu-siang menimpukkan goloknya ke arah tenggara. Namun baru saja dia tercengang, terlihat golok sabit itu memutar sendiri di udara seperti dikemudikan saja.

Golok sabit yang melengkung ini bentuknya amat aneh, mata goloknya begitu tipis seperti kertas, di waktu Liok Bu-siang menimpuk, tenaga yang digunakan amat tepat pula, maka tampaklah golok itu membawa suara ngaungan terus menyambar ke tubuh si pengemis.

Saat itu si jembel sedang berlari dengan cepat. Siapa duga golok ini seperti punya mata saja, se-konyong-konyong menyambar tiba terus menancap pada punggungnya. Saking sakitnya oleh tusukan golok, tanpa ampun lagi pengemis itu jatuh terjungkal.

Tentu saja Bu-siang tidak sia-siakan kesempatan. Dengan menggunakan ilmu entengkan tubuh dia memburu maju dengan niat mencabut goloknya yang menancap di punggung orang untuk kemudian menambahi orang dengan sekali bacokan lagi.

Namun pengemis itu tidak menyerah mentah-mentah. Belum sampai orang datang dekat, sekuat tenaga dia sudah merangkak bangun lantas berlari pula ke depan seperti kesetanan, sekejap kemudian orangnya sudah menghilang tanpa bekas di kegelapan. Sesudah dicoba dan merasa tidak bisa menyandak larinya orang, akhirnya Liok Bu-siang tidak mengudak lebih jauh, ia kembali ke tempatnya tadi.

“Lekas pergi mengambil kembali golokku!” bentaknya setelah berhadapan dengan Yo Ko.

“Golok apa? Aku tidak tahu!” sahut Yo Ko acuh tak acuh.

“Bukankah kau melihat golokku menancap di punggungnya?” kata Bu-siang, “Lekas pergi mengambil!”

“Tidak bisa mengambilnya lagi,” ujar Yo Ko sambil goyang tangannya.

Bu-siang tahu percuma saja meski banyak bicara, karena itu ia putar tubuh terus masuk rumah batu tadi untuk tidur sendiri. Baiknya masih terdapat sebilah belati, maka katanya dalam hati: “Walau pun golok sabit sudah tidak ada, dengan belati ini pun cukup untuk bikin beberapa lubang di badanmu.”

Tengah malam, diam-diam Bu-siang bangun. Dengan ber-indap ia keluar rumah. Dia melihat Yo Ko sedang menggeros di tepi gundukan api tanpa bergerak sedikit pun. Gundukan api itu sudah lama padam, rembulan pun mulai doyong ke barat, hanya remang-remang masih kelihatan bayangannya.

Segera Bu-siang mencabut belatinya, dengan perlahan mendekati orang. Begitu sudah dekat, tanpa pikir lagi belati diangkat terus ditusukkan se-kerasnya ke punggung orang. Tetapi mendadak tangannya kesemutan, tangannya terguncang sakit, karena itu tak kuat lagi ia genggam lebih kencang, dengan menerbitkan suara nyaring, belatinya terlepas dari cekalan. Terasa olehnya tempat yang kena tusukan belati itu bagaikan mengenai besi atau batu yang keras.

Keruan saja bukan buatan terkejutnya Bu-siang. Tanpa pikir lagi ia putar tubuh terus lari menyingkir. Dalam hati ia pikir: “Jangan-jangan Si tolol ini telah melatih diri begitu rupa sehingga tubuhnya kebal tak mempan senjata?”

Sesudah berlari pergi beberapa tombak jauhnya, karena tak mendengar suara kejaran Yo Ko, kemudian Bu-siang menoleh. Dilihatnya Yo Ko masih meringkuk di dekat gundukan api yang sudah padam itu tanpa bergerak sedikit pun. Dengan sendirinya Bu-siang menjadi curiga,

“Tolol, he, Tolol!” dia ber-teriak memanggil. Tetapi meski sudah berulang kali ia memanggil toh orang masih tetap tidak menyahut.

Waktu Bu-siang menegasi, dia lihat tubuh Yo Ko dalam keadaan meringkuk, bentuknya sangat aneh dan mencurigakan. Maka dengan tabahkan hati ia mendekati. Setelah dekat, nyatanya barang yang meringkuk itu tidak mirip bentuk manusia, ketika ia coba meraba, rasanya sangat keras, barang yang berada di bawah baju itu laksana batu. Tanpa ayal lagi segera Bu-siang singkap baju itu. Benar saja, di dalamnya berisi sebuah batu padas yang panjang besar, jadi hanya baju membungkus batu, tetapi bayangan Yo Ko sudah tidak kelihatan.


DIBURU SANG GURU

Seketika Bu-siang terkesima oleh kejadian di luar dugaan itu, kembali ia memanggil: “He, Tolol.”

Namun tetap tiada jawaban. Ketika ia pasang kuping mendengarkan tiba-tiba terdengar di dalam rumah batu itu sayup-sayup seperti ada suara orang mengorok. Keruan saja Bu-siang ter-heran, segera ditujunya tempat datangnya suara itu, betul saja ia lihat Yo Ko sedang tidur pulas di atas meja yang tadi digunakan dirinya.

Karena serangannya tadi tidak mengenai sasaran, dalam marahnya ini Bu-siang tidak berpikir secara teliti kenapa orang bisa mendadak tidur di atas mejanya. Tiba-tiba ia melompat maju, belati diangkat, lalu dengan sekali tusuk kembali ia tikam punggung orang. Bu-siang menjadi senang sebab sekali ini ia telah tepat menikam orang yang sebenarnya. Ia lihat Yo Ko tidak melompat bangun tidak menjerit kesakitan, maka tanpa ayal dia cabut belatinya dan tambahi pula sekali. Tempat di mana belatinya menusuk terang sekali adalah daging tubuh orang, sedikit pun tidak ada perbedaan lain, cuma aneh, sama sekali tidak tampak mengalirnya darah.

Karena itu kembali Bu-siang terkejut tetapi marah pula. Susul menyusul dia menusuk lagi beberapa kali, tapi yang terdengar malah suara menggerosnya Yo Ko yang makin keras.

“Aih, siapakah yang mengitik-ngitik punggungku? Hi-hi-hi, jangan guyon! Ha-ha-ha, jangan main-main, aku tidak tahan geli!” demikian terdengar Yo Ko malah menginggau.

Saking terperanjatnya muka Bu-siang sampai pucat lesi, akhirnya kedua tangannya pun menjadi gemetar sendiri. “Jangan2 orang ini adalah setan atau siluman?” katanya dalam hati.

Oleh karena pikiran itu, segera dia putar tubuh hendak melarikan diri. Akan tetapi, entah saking takutnya atau kenapa, seketika kedua kakinya tak mau turut perintahnya, dia masih terpaku di tempatnya.

“Aih, mengapa punggungku jadi begini geli, tentu ada tikus yang hendak mencuri daging kijangku,” demikian kembali terdengar Yo Ko menempati lagi.

Kemudian dia malah mengulurkan tangan ke punggung, dari dalam bajunya dia tarik keluar sepotong daging kijang panggang terus dibanting ke lantai. Melihat ini barulah Bu-siang menarik napas Iega, kini baru dia mengerti duduknya perkara. “Ternyata si tolol ini menyimpan daging kijang di dekat punggungnya, pantas belasan kali tikamanku tidak membikin jiwanya melayang sebab semuanya mengenai daging kijang, sebaliknya aku sendiri malah dibikin takut!” begitulah ia pikir.

Karena dua kali menikam dan dua kali tidak berhasil tewaskan orang, rasa benci Bu-siang terhadap Yo Ko menjadi bertambah. “Si tolol busuk, lihat sekali ini jiwamu melayang tidak?”

Dengan geregeten Bu-siang berkata dengan suara perlahan, menyusul tiba-tiba saja ia menubruk maju, lagi dengan belatinya ia menikam punggung Yo Ko. Ia menduga sekali ini pasti Yo Ko tak terluput dari kematian. Siapa tahu pada waktu belatinya sudah hampir mengenai tubuh Yo Ko, mendadak dalam keadaan masih mengorok pemuda itu sudah membalikkan tubuhnya. Keruan tusukannya menjadi luput sehingga mengenai meja sampai ambles sebatas gagang belati.

Selagi Bu-siang sekuatnya hendak mencabut kembali belatinya, di lain pihak bagai mimpi saja tiba-tiba Yo Ko berteriak:

“Tolong, Ibu! Tolong, ada tikus busuk hendak gigit aku!”

Menyusul kedua kakinya yang kotor dan bau itu bahkan menjulur ke depan, kaki kiri tepat ditaruh pada siku Bu-siang tempat ‘kiok-ci-hiat’, ada pun kaki kanan sebaliknya menggeletak di atas pundak si gadis tepat mengenai tempat ‘ko-cing-hiat’.

Dua tempat yang disebut itu adalah dua Hiat-to yang berbahaya di tubuh manusia. Ketika Yo Ko ulurkan kedua kakinya, entah sengaja atau secara kebetulan, secara persis telah membentur kedua tempat jalan darah itu. Keruan seketika Bu-siang merasakan tubuhnya menjadi kesemutan lalu tak bisa berkutik lagi. Ia hanya berdiri membisu saja di tempatnya dan dijadikan penyanggah kaki Yo Ko.

Sungguh bukan buatan murka Liok Bu-siang oleh kejadian ini. Meski tubuhnya tidak bisa bergerak akan tetapi mulutnya masih bisa buka suara. Karena itu segera dia membentak mendamperat:

“Hai, ToloI, lekas singkirkan kakimu yang bau ini!”

Tetapi jawaban yang dia peroleh hanya suara mengoroknya Yo Ko yang semakin keras. Tidak kepalang gemasnya Bu-siang sehingga dia kehabisan akal. Dalam keadaan murka, ia pentang mulut terus meludahi tubuh Yo Ko.

Tanpa tersangka lagi-lagi Yo Ko membalikkan tubuhnya, sedang ujung kaki kanannya seperti tak sengaja saja tiba-tiba melayang dan dengan tepat membentur perlahan ‘pi-su-hiat’ di bawah dagu Liok Bu-siang. Karena benturan itu, seketika seluruh tubuh Bu-siang menjadi kaku semua, kini mulut pun tidak bisa dipentang lagi, hanya hidungnya yang kenyang mencium bau kaki Yo Ko yang bacin.

Demikianlah gadis itu sudah dibuat sebagai tempat penyanggah kaki Yo Ko hingga sekian lama, saking dongkolnya sampai Bu-siang hampir semaput, dalam hati tiada hentinya dia mengutuk dan menyumpahi Yo Ko: “Jahanam kau si Tolol ini, besok kalau aku sudah bisa bergerak bebas, pasti kucincang kau hingga menjadi baso.”

Tak lama kemudian, rasanya Yo Ko sudah cukup puas mempermainkan orang. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh lagi berbareng melepaskan kedua kakinya dari atas tubuh orang. Kini ia membalik menghadap keluar, karena itu, meski dalam keadaan gelap Yo Ko masih bisa melihat cukup jelas air muka si nona yang penuh gusar dan mangkel itu.

Tetapi semakin Bu-siang mengunjuk marah, wajahnya semakin mirip Siao-liong-li sehingga dengan ter-mangu Yo Ko menikmati wajahnya seperti orang yang kehilangan semangat.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar