Minggu, 27 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 042

Di lain pihak Yo Ko masih bertingkah serabutan sambil berteriak, namun pada saat yang jitu sekali, ‘cian-tay-hiat’ di pinggang Tan-lokunsu dia totok pula dengan tendangan. Dan sebelum kedua sasarannya ini roboh, mereka sudah dia sambar terus digantung lagi di atas tanduk sapi dan diangkut pula ke tanah rumput tadi.

Melihat banteng ngamuk ini begitu aneh, mau tidak mau si gadis dan Tio Put-hoan saling pandang tak mengerti. Jika tadi mereka saling labrak dengan adu jiwa, maka kini sebaliknya ada persamaan perasaan di antara mereka, yakni ‘senasib’.

Sementara itu dilihatnya banteng ngamuk tadi sudah balik kembali, suara teriakan bocah angon yang tengkurap di atas binatang itu sudah terdengar serak, terang sekali keadaan sangat genting. Segera Tio Put-hoan ber-siap, dia menanti banteng itu menyeruduk tiba. Kira-kira setengah tombak sebelum tubuhnya, sekonyong-konyong pedangnya berputar, ia hindari serudukan banteng itu dari depan, dengan cepat tubuhnya melangkah ke samping sambil pedangnya menusuk, begitu cepat dan tepat saat yang dipergunakan, agaknya dengan segera perut banteng ngamuk itu bakal tertusuk tembus.

Tapi siapa tahu baru saja ujung pedangnya hampir menyentuh kulit sapi itu, se-konyong-konyong tangan bocah angon itu bergerak pontang-panting sambil memegang sulingnya, kemudian dengan persis batang suling itu membentur ujung pedang, sebab itu arah pedang menjadi menceng.

Karena serangannya luput, Tio Put-hoan menjadi terkejut. Untuk menghindar supaya tidak diserempet banteng, lekas dia melompat ke atas dengan maksud melewati binatang itu. Siapa duga selagi orangnya terapung di udara, se-konyong-konyong mata kakinya terasa kaku kesemutan dan ketika tubuhnya jatuh ke bawah, dengan tepat lantas menyangkol di ujung tanduk banteng hingga kena dibawa binatang yang berlari itu ke tanah lapang tadi untuk kemudian dilemparkan di sana.

Sesudah itu Yo Ko putar haluan sapi itu, kembali menerjang cepat pula ke arah si gadis yang masih tersisa itu. Di lain pihak, sesudah menyaksikan kelima jago seperti Tio Put-hoan kena diseruduk jatuh semua oleh banteng ngamuk itu, meski gadis itu merasa curiga juga, tetapi dia pikir hanya seekor sapi jantan saja, kenapa harus ditakuti? Segera dia bersiap-siap.

Dilihatnya dengan mulut berbusa binatang itu telah menyeruduk tiba pula. Pada saat yang tepat mendadak ia meloncat ke atas dan berbareng itu goloknya membacok ke leher banteng.

“Haya, celaka, jangan bunuh sapiku!” jerit Yo Ko mendadak, berbareng itu dia jojoh pundak sapi itu dengan jarinya. Karena sakit, dengan sendirinya kepala sapi itu meleng ke samping dan dengan persis bacokan orang dapat dihindarinya.

Sedangkan Yo Ko sendiri menjatuhkan diri, pura-pura tergelincir ke bawah sambil ber-teriak:

“Tolong…! Tolong…!”

Sebaliknya sapi jantan itu rupanya sudah terlalu letih. Setelah beberapa tindak berlari lagi dia lantas berhenti dengan napas empas-empis. Melihat binatang itu sudah tidak main gila lagi, setelah tenangkan diri mendadak gadis itu menjinjing goloknya terus berlari ke tanah datar sana.

“Celaka, kelima orang itu pasti akan teraniaya,” pikir Yo Ko diam-diam.

Karena itu, sebelum gadis itu sampai di tempatnya, lebih dahulu Yo Ko sudah menjemput beberapa batu kecil. Sekali ayun batu itu ditimpukkan ke badan kelima orang yang rebah tak berkutik itu.

Meski umur Yo Ko masih kecil namun ilmu silatnya sudah terlatih sampai tingkatan yang tiada taranya. Walau pun jaraknya dengan kelima orang itu sangat jauh, namun tiap batu yang ditimpukkan itu dengan tepat mengenai Hiat-to di tubuh masing-masing.

Ketika Tio Put-hoan dan lainnya tiba-tiba merasakan tubuh kesakitan, tetapi rasa kesemutan juga segera hilang, mereka mengira gadis itu menyembunyikan bala bantuan yang sangat lihay. Cara mereka kena ditotok dan mendadak terlepas pula jalan darahnya tentu perbuatan jagoan yang tersembunyi itu.

Kini orang suka memberi jalan hidup, mana berani lagi mereka terlibat dalam pertarungan pula? Maka begitu mereka bisa merangkak bangun, tanpa pikir lagi segera mereka angkat langkah seribu alias kabur.

Dalam gugupnya karena ketakutan itu, rupanya Bi Jing-hian menjadi bingung sehingga tak bisa bedakan arah timur dan barat. Bukannya dia lari ke jurusan yang selamat, sebaliknya dia malah berlari ke arah si gadis yang sedang menghampiri mereka itu.

“Bi-sute, lekas kembali!” seru Ki Jing-si kuatir.

Ketika Bi Jing-hian sadar keliru jalan dan berniat putar kemudi, namun sudah terlambat, si gadis sudah datang dekat, goloknya sudah diangkat dan dibacokkan padanya. Sungguh luar biasa kaget Bi Jing-hian. Dia sendiri sudah tidak bersenjata, Iekas-lekas dia mengegos buat luputkan diri dari ancaman maut. Tapi tanpa terduga arah serangan yang dilontarkan gadis itu ternyata susah dipastikan, mula-mula seperti mengarah ke kiri, tahu-tahu telah sampai di kanan, disertai berkelebatnya sinar dingin, tahu-tahu golok sabit sudah berada di depan mukanya.

Dalam keadaan kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa Bi Jing-hian mengangkat sebelah tangannya untuk menangkis, maka tidak ampun lagi terdengar sekali suara “cret”, telapak tangannya tertabas putus.

Meski pun demikian Jing-hian masih belum merasakan sakit, ia masih sempat putar tubuh terus lari terbirit-birit lagi. Waktu itu Tio Put-hoan sudah berpaling juga, dengan pedang melintang di dada dia berusaha melindungi kawannya.

Rupanya gadis itu sudah kenal juga lihaynya orang, maka dia tidak berani mendekati. Dia menyaksikan Bi Jing-hian dipayang pergi oleh Ki Jing-si untuk kemudian menghilang di balik gunung sana.

Nampak musuh sudah pergi, gadis itu masih ketawa dingin, sedang di dalam hati penuh curiga. Ia pikir apakah mungkin ada orang luar yang bersembunyi di sekitar sini? Dengan cepat ia mengelilingi sekitar sana, tetapi keadaan sunyi senyap tanpa satu bayangan pun, Dia kembali lagi ke lembah sana, dia melihat Yo Ko masih duduk di tanah dengan muka mewek seperti mau menangis.

“Hai, bocah angon, apa yang kau keluh-kesahkan?” tegur gadis itu.

“Sapi ini tadi telah gila sehingga tubuhnya babak belur, kalau pulang nanti pasti aku akan dihajar setengah mati oleh majikanku,” sahut Yo Ko.

Tetapi waktu si gadis periksa keadaan sapi jantan, dia lihat kulit tubuh binatang itu halus bersih, tiada kelihatan sesuatu luka.

“Baiklah, hitung-hitung sapimu ini telah menolong aku tadi. Ini, aku beri serenceng uang perak,” kata si gadis.

Kemudian ia lantas keluarkan serenceng uang perak yang berbobot sekitar lima tahil terus dilemparkan ke tanah. Ia menduga ‘bocah angon’ itu pasti akan girang tidak kepalang dan menghaturkan terima kasih, siapa tahu orang masih bermuka muram durja sambil geleng kepala, tetapi tidak mengambil uang perak itu.

“Kenapakah kau?” tanya gadis itu tak sabar, “lni uang perak, tahu tidak kau, tolol?”



“Hanya serenceng tidak cukup!” sahut Yo Ko kemudian.

Waktu gadis itu merogoh sakunya, kembali ia keluarkan serenceng uang perak lain yang masih ada kemudian dilemparkan ke tanah lagi. Tapi Yo Ko sengaja goda padanya, dia masih tetap goyang kepala.

Akhirnya gadis itu menjadi marah, alisnya tertarik tegak dan mukanya merengut. “Sudah habis, tolol!” damperatnya, kemudian ia putar tubuh dan berjalan pergi.

Melihat sikap orang waktu marah, seketika hati Yo Ko terguncang, mendadak teringat olehnya sikap Siao-liong-li waktu mendamperat dirinya, karenanya dia sudah ambil suatu keputusan: “Jika seketika tak bisa menemukan Kokoh, biar aku senantiasa menyaksikan wajah nona ini saja yang suka marah-marah.”

Maka sebelum orang melangkah pergi, Yo Ko merangkul kaki kanan si gadis sambil ber-teriak:

“Tidak, kau jangan pergi!”

Dengan kuat gadis itu coba meronta kakinya, tetapi saking kencangnya Yo Ko merangkul, ia tak berhasil melepaskan diri. Keruan ia bertambah marah.

“Lepas! Ada apa kau merangkul kakiku?” dengan suara garang gadis itu membentak.

Melihat air muka orang yang sedang marah-marah, bukannya Yo Ko melepaskan, sebaliknya ia malah senang.

“Tidak, aku tak bisa pulang ke rumah lagi, kau harus tolong aku,” demikian sahutnya.

Sudah marah gadis itu menjadi geli pula melihat kelakuan Yo Ko. “Kalau tidak kau lepaskan, segera aku bacok mati kau,” dengan angkat golok sabitnya si gadis coba menakut-nakuti.

Tetapi rangkulan Yo Ko berbalik tambah kencang, ia malah pura-pura menangis sekalian. “Baiklah, boleh kau bacok mati aku saja, toh kalau pulang aku pun tak bakal hidup lagi,” serunya sambil meng-gerung-gerung.

“Lalu apa yang kau kehendaki?” tanya si gadis kewalahan.

“Entahlah, aku ikut kau saja,” sahut Yo Ko.

Rupanya gadis itu menjadi sebal karena diganduli orang, “Mengapa aku harus berurusan dengan si tolol semacam ini,” demikian pikirnya, habis ini ia mengangkat goloknya terus membacok sungguh-sungguh.

Semula Yo Ko menduga orang tidak akan membacok sungguh-sungguh, maka ia masih pegang kaki orang erat-erat. Siapa sangka hati gadis itu ternyata keji, bacokannya ini betul-betul diarahkan ke atas kepalanya. Meski tiada niatnya untuk menewaskan jiwa orang, tetapi ia bermaksud memberi bacokan di batok kepala agar ‘si tolol’ ini tahu rasa dan tak berani main gila lagi.

Syukur Yo Ko benar-benar cekatan. Begitu golok orang tinggal beberapa senti lagi bakal berkenalan dengan batok kepalanya, mendadak ia jatuhkan diri terus menggelinding pergi.

“Haya, tolong…! Tolong…!” demikian ia menjerit-jerit pula.

Karena bacokannya tadi luput, si gadis menjadi bertambah sengit. Dia segera melangkah maju, kembali sekali bacokan diberikan pada Yo Ko. Yo Ko telentang di atas tanah, kedua kakinya mancal-mancal serabutan.

“Mati aku! Mati aku!” demikian ia berteriak-teriak, sedang kedua kakinya terus memancal dan mendepak tak keruan, tampaknya seperti tak teratur tetapi pergelangan tangan gadis itu ternyata beberapa kali hampir kena ditendang, meski berulang kali ia membacok pula, namun tidak sekali pun bisa mengenai sasarannya, sudah tentu ia bertambah marah.

Melihat muka orang penuh mengunjuk marah, Yo Ko justru ingin menikmati wajah orang semacam ini, karena itu, tanpa terasa ia terkesima dan memandangi orang. Gadis itu juga seorang yang pintar luar biasa. Ketika melihat kelakuan Yo Ko yang aneh, tiba-tiba ia membentak:

“Hayo, bangun!”

“Tetapi kau bunuh aku tidak?” tanya Yo Ko ke-tolol-tololan.

“Baiklah, kau tidak kubunuh,” sahut si gadis.

Karena janji ini, dengan perlahan Yo Ko merangkak bangun, napasnya sengaja dia bikin ter-engah, ia kumpulkan tenaga dalam dan bendung aliran darahnya, maka mukanya seketika berubah menjadi putih lesi, begitu pucat sehingga tiada warna darah sedikit pun, seperti orang yang ketakutan.

Melihat rupa orang, si gadis sangat senang. “Hm, kau berani main gila lagi tidak?” demikian ejeknya sambil mengangkat golok sabitnya terus menuding pada telapak tangan Bi Jing-hian yang terkutung dan masih ketinggalan di tanah datar itu, lalu ia mengancam: “Coba, orang begitu galak dan bengis, toh cakarnya kena ditebas oleh golokku tadi.”

Sambil bicara, goloknya yang melengkung itu diulurkan, tiba-tiba ia kesutkan senjatanya di atas baju Yo Ko yang memang dekil, ternyata dia gunakan baju Yo Ko sebagai lap untuk menghilangkan noda darah pada goloknya.

Yo Ko geli oleh lagak si gadis. “Hm, kau anggap aku ini orang macam apa, berani kau begini kurang ajar padaku?” demikian ia membatin.

Walau pun begitu, pada mukanya tetap dia pura-pura mengunjuk rasa keder, dia sengaja mengkeret mundur seperti takut pada senjata orang yang mengkilap itu. Gadis itu masukkan golok ke sarungnya, lalu dengan sebelah kakinya ia cukit renceng uang perak tadi ke arah Yo Ko.

“Nih, sambut!” serunya sambil tertawa. Dengan mengeluarkan sinar putih yang gemerdep, serenceng uang perak itu menyamber ke arah muka Yo Ko.

Menyambarnya perak itu sesungguhnya tidak keras, orang biasa saja pasti akan sanggup menangkapnya. Namun Yo Ko justru pura-pura bodoh, dia melangkah mundur dan menubruk maju secara gugup. Selagi tangannya diulur ke atas buat menangkap, tiba-tiba terdengar suara “plok” sekali, uang perak itu kena menimpuk dia punya batok kepala.

“Aduh!” jerit Yo Ko sambil mendekap batok kepalanya.

Sementara itu jatuhnya uang perak itu kena menindih pula di atas kakinya, maka dengan sebelah tangan pegang batok kepala dan lain tangan menarik sebelah kaki, Yo Ko ber-jingkrak dengan kaki tunggal sambil ber-teriak:

“Auuuh, kau pukul aku, kau pukul aku!”

Begitulah Yo Ko pura-pura meng-gerung menangis. Nampak ketololan orang sudah begitu rupa hingga tiada obatnya, dengan suara perlahan gadis itu mencemoohnya sekali:

“Tolol!” Habis ini ia putar tubuh dan pergi mencari keledai hitamnya.

Akan tetapi binatang itu semenjak tadi entah telah kabur ke mana sewaktu dia bergebrak dengan Tio Put-hoan, maka terpaksa ia pergi dengan jalan kaki.

Yo Ko jemput uang perak tadi dan dimasukkan ke sakunya, lalu dengan menuntun sapinya ia ikut di belakang si gadis.

“Bawa serta aku, nona!” demikian ia berseru.

Namun gadis itu tidak menggubris, sebaliknya ia percepat langkahnya, hanya sekejap saja Yo Ko sudah ketinggalan hingga tak kelihatan. Tak terduga, baru saja ia berhenti sebentar, Yo Ko sudah muncul lagi dari jauh dan masih tetap menuntun sapinya.

“Bawalah aku, bawalah aku!” demikian Yo Ko masih terus ber-teriak.

Mendongkol sekali gadis itu karena orang mengintil terus. Sambil kerut kening segera dia keluarkan Ginkang, sekaligus dia berlari sejauh beberapa li, dengan demikian dia yakin ‘si tolol’ itu pasti tak sanggup menyusulnya.

Diluar dugaan, tidak antara lama sayup-sayup kembali terdengar suara teriakan: “Bawalah aku!”

Luar biasa rasa gemasnya gadis itu. Sekali ini ia tidak lari menyingkir, sebaliknya ia putar balik mendatangi Yo Ko.

“Srett!” golok sabitnya dia loIos.

“Haya, celaka!” teriak Yo Ko pura-pura ketakutan, berbareng itu ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.

Maksud si gadis asal orang tidak selalu mengintil sudah cukup, karena itu dia masukkan kembali golok ke sarungnya, dia putar kembali dan melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi belum seberapa jauh ia berjalan, tiba-tiba didengarnya di belakang ada suara menguaknya sapi. Waktu ia menoleh, ia lihat Iagi-lagi Yo Ko mengintil di belakang sambil masih menuntun binatang angonnya itu, jarak dengan dirinya kira-kira beberapa puluh tindak saja.

Sungguh tak terbilang mengkal si gadis. Sekali ini ia sengaja berhenti di tempatnya untuk menunggu datangnya Yo Ko. Akan tetapi, demi nampak orang tak berjalan, segera pula Yo Ko berhenti. Kalau si nona melangkah, Yo Ko lantas menyusul lagi, apa bila ia putar balik dan hendak menghajarnya, segera Yo Ko kabur.

Demikianlah terjadi kucing-kucingan di antara Yo Ko dan gadis itu, sebentar mereka kejar mengejar dan sebentar lagi berhenti. Sementara itu hari sudah magrib dan gadis itu masih tetap tak bisa melepaskan diri dari godaan Yo Ko.

Keruan tidak kepalang gemasnya gadis itu. Dia lihat meski bocah angon ini tolol goblok, tapi gerak kakinya ternyata cepat luar biasa, mungkin telah terlalu biasa berlarian di tanah pegunungan. Beberapa kali dia kejar orang hendak menotok jalan darahnya atau melukai kedua kakinya, tetapi setiap kali selalu Yo Ko bisa meloloskan diri dengan menggelinding dan merangkak pergi dengan cepat.

Sesungguhnya ilmu silat Yo Ko jauh di atas gadis itu, cuma dia sengaja lari kalau sudah dalam keadaan yang paling berbahaya, dengan demikian gadis itu tidak menjadi curiga.

Demikianlah, maka sesudah beberapa kali digoda lagi, karena kaki kiri gadis itu memang pincang, sesudah berjalan lama ia menjadi payah. Tiba-tiba ia mendapat satu akal, dengan suara keras dia teriaki Yo Ko:

“Baiklah, kubawa serta kau, tetapi kau harus turut segala perkataanku.”

“Apa betul kau mau membawa aku?” dengan girang Yo Ko menegas.

“Ya, siapa mendustai kau?” sahut si gadis. “Aku letih, kau menunggang sapimu dan biar aku ikut membonceng.”

Benar saja Yo Ko lantas tuntun sapinya mendekati dengan cepat. Di bawah cuaca senja yang remang Yo Ko dapat melihat mata si gadis menyorot tajam, ia tahu pasti orang tak bermaksud baik, maka diam-diam ia berlaku waspada. Dengan cara yang susah payah ia merambat ke atas punggung sapinya.


SI GADIS PINCANG LIOK BU-SIANG

Sebaliknya gadis itu hanya sedikit menutul kakinya, lantas dengan enteng sekali dia telah melompat ke atas dan menunggang di depan Yo Ko.

“Keledaiku sudah hilang, tidak jelek juga menunggang sapi jantan ini,” pikir gadis itu, kemudian dengan ujung kakinya ia tendang iga banteng itu. Karena kesakitan, maka sapi itu membedal ke depan seperti kesetanan.

Melihat tibanya kesempatan baik, gadis itu tersenyum dingin. Mendadak sikutnya dengan kuat menyodok ke belakang, dengan tepat sekali ‘ki-bun-hiat’ di dada Yo Ko kena sodok.

“Aduuh…!” jerit Yo Ko, menyusul kemudian dia pun terjungkal dari punggung sapinya.

Dara itu amat senang karena serangannya berhasil. “Betapa pun kau berlaku bambungan, sekarang kau kena juga kuingusi,” demikian katanya dalam hati.

Lalu dia sogok pula iga sapi itu dengan jari tangannya. Karena merasa sakit, sapi jantan itu kabur lebih cepat lagi. Sekali jari si gadis menjojoh punuk kerbau itu, lari si kerbau semakin kencang. Mendadak didengarnya Yo Ko masih berkaok-kaok di belakangnya. Waktu dia berpaling, tampak dengan kedua tangannya Yo Ko mengganduli ekor kerbau ikut lari berlompatan naik turun, tingkah lakunya lucu sekali.

Di luar dugaan, tiba-tiba terdengar Yo Ko men-jerit dan berteriak-teriak, suaranya terdengar berada di belakang saja. Waktu gadis itu menoleh, ia melihat Yo Ko sedang menggendoli ekor sapi dengan kedua tangannya, saking cepatnya dibawa kabur sapi itu hingga kedua kakinya sedikit pun tidak menempel tanah, jadi Yo Ko ini seperti terbang saja. Akan tetapi keadaannya benar-benar mengenaskan, mukanya penuh debu pasir, ingus dan air mata membasahi mata hidungnya.

Karena merasa tak ada jalan lain lagi, gadis itu kertak gigi, ia tegakan hati, golok dia angkat terus hendak dibacokkan ke tangan Yo Ko yang menggendoli ekor sapi dengan kencang. Tetapi sebelum serangannya dilontarkan, tiba-tiba didengarnya suasana sekitarnya riuh ramai, kiranya sapi itu telah berlari sampai di sebuah pasar. Oleh karena pasar itu penuh berjubel dengan orang hingga tiada jalan lewat, akhirnya sapi itu berhenti sendiri dengan Yo Ko masih tetap ‘melekat’ di belakangnya.

Karena sengaja hendak menggoda si gadis untuk menikmati wajah orang pada waktu marah-marah, maka Yo Ko lantas merebahkan diri di tanah sambil ber-teriak:

“Aduh, dadaku sakit, kenapa kau pukul aku?”

Karena suara teriakannya ini, orang-orang di pasar itu lantas berkerumun untuk mencari tahu sebab-musababnya dan apa yang terjadi. Karena dirubung orang banyak, dengan sekali menyelusup segera gadis itu bermaksud mengeluyur pergi. Tak terduga Yo Ko lebih cerdik dari pada dia. Mendadak Yo Ko merangkak maju, sebelah kaki si gadis dia pegang dengan erat.

“Jangan pergi, jangan pergi!” demikian ia berteriak-teriak.

“He, ada apakah? Apakah yang kalian ributkan?” beramai-ramai orang yang merubung itu bertanya.

“Dia adalah biniku, biniku ini tidak suka padaku, bahkan dia pukul aku pula,” teriak Yo Ko dengan lagak lagu yang toloI.

Mendengar orang berani mengaku bini, sungguh tak kepalang marahnya gadis itu hingga kedua alisnya se-akan menegak. Tanpa segan lagi sebelah kakinya melayang, segera dia hendak tendang Yo Ko. Namun Yo Ko tidak kurang akal. Mendadak lelaki yang berdiri di sebelahnya didorong ke depan, oleh karena itu tendangan si gadis dengan tepat mengenai pinggang lelaki itu. Keruan saja lelaki itu sangat marah.

“Perempuan keparat, berani kau tendang aku?” dampratnya kontan, menyusul kepalannya sebesar mangkok lantas menjotos.

Namun gadis itu tidak gampang dihantam. Tiba-tiba tangan orang dipegangnya, sebelah tangannya menyusul mengangkat lelaki itu terus dilempar pergi dengan meminjam tenaga pukulan orang tadi. Dengan sekali sengkelit ini, tubuh laki-laki yang gede itu melayang ke atas udara sambil tiada hentinya berteriak-teriak dan kemudian jatuhlah dia di antara orang banyak yang berkerumun itu hingga keadaan menjadi tuggang langgang karena ada beberapa orang pula yang tertindih oleh tubuh lelaki itu.

Dengan sekuat tenaga sebenarnya si gadis tadi ingin melepaskan diri dari Yo Ko, namun karena digendoli Yo Ko dengan mati-matian seketika ia menjadi kewalahan. Sementara itu dilihatnya ada lima-enam orang lagi yang maju dan rupanya hendak bikin perhitungan karena disengkelitnya si lelaki tadi. Dalam keadaan demikian, mau tidak mau dia kuatir juga.

“Tolol, baiklah aku bawa serta kau, sekarang lekas lepaskan kakiku!” dengan kata halus terpaksa dia mengalah pada Yo Ko.

“Dan kau masih akan hantam aku tidak?” Yo Ko sengaja tanya lagi.

“Baiklah, tidak kupukul lagi,” sahut si gadis.

Sehabis itu barulah Yo Ko melepaskan kaki orang yang dia pegang erat tadi, kemudian ia pun merangkak bangun. Lalu dengan cepat mereka berdua menerobos keluar di antara orang banyak dan meninggalkan pasar itu, dari belakang mereka mendengar ramai suara teriakan orang yang penasaran tadi.

“Lihatlah, sekarang sapiku sudah hilang pula, tak bisa tidak lagi aku harus ikut kau,” kata Yo Ko kemudian sesudah di tempat sepi.

“Hmm, sekali lagi kau ngaco-belo bilang aku adalah binimu segala, awas, kalau aku tidak penggal kepalamu,” dengan sengit gadis itu mengancam. Berbareng goloknya diayun pula ke arah kepala Yo Ko.

“Haya, jangan,” teriak Yo Ko sambil melompat pergi dan kepalanya dipegang dengan dua tangannya, “Baiklah, nona manis, tak berani lagi aku bilang begitu.”

“Hm, melihat macammu yang kotor ini, siluman yang paling jelek juga tidak sudi menjadi binimu,” demikian cemooh si gadis.

Yo Ko tak menjawab, dia hanya nyengir tolol saja. Tatkala itu hari telah mulai gelap. Dengan berdiri di ladang yang luas, dari jauh tampak mengepulnya asap dapur di rumah penduduk, karena itu barulah mereka merasa perut sudah lapar.

“Aku sudah lapar, pergilah kau ke pasar tadi membelikan barang makanan,” kata si gadis kemudian.

“Tidak, aku tak mau pergi,” sahut Yo Ko meng-geleng kepala.

“Kenapa tak mau?” damperat gadis itu dengan tarik muka.

“Mentang-mentang aku tolol, kau tipu aku pergi beli makanan, lalu kau sendiri ngeluyur kabur,” sahut Yo Ko.

“Aku bilang tidak kabur, tentu tidak kabur,” ujar si gadis.

Tetapi Yo Ko masih geleng kepala.

Karena merasa jengkel, gadis itu mengayun bogemnya hendak meninju, namun dengan cepat Yo Ko bisa menyingkir. Sebelah kaki gadis itu pincang, dengan sendirinya jalannya tidak begitu leluasa. Percuma saja dia memiliki Ginkang, tetapi selalu tidak bisa menyandak orang.

Tentu saja dia sangat mendongkol. Dia pikir sia-sia saja mempunyai ilmu silat yang tinggi dan percuma pula mengaku dirinya cerdik dan banyak akal, nyatanya kini digoda seorang anak tolol yang kotor dan berbau busuk tanpa bisa berbuat apa-apa.

Begitulah dengan perlahan ia meneruskan perjalanan dengan mengikuti jalan besar, dalam hati ia berpikir cara bagaimana nanti secara mendadak bisa memberi sekali bacokan dan membunuh si tolol ini. Selang tak lama, cuaca menjadi gelap seluruhnya. Tiba-tiba dilihatnya di pinggir jalan ada sebuah rumah batu yang bobrok, agaknya sudah tiada penghuninya. Mendadak ia dapat satu akal.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar