Sabtu, 26 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 041

Di dinding kandang dapat dilihatnya tergantung sebuah caping dan sebatang suling, keduanya ini memang barang yang biasa dipakai oleh anak gembala. Keruan Yo Ko sangat girang, ia pikir penyamarannya sekali ini pasti akan menjadi sangat mirip. Karena itu tanpa pikir lagi dia pakai caping yang diketemukannya itu, dia ambil seutas tali rumput pula dan dipakai sebagai ikat pinggang, lalu suling bambu itu dia selipkan di pinggangnya dan kemudian dia membuka pintu kandang sapi.

Sementara itu sapi jantan raksasa itu sedang mengamuk, binatang ini jadi lebih beringas lagi ketika melihat ada orang membuka pintu kandang, tanpa ayal lagi segera dia pentang kaki terus menerjang keluar hendak menyeruduk Yo Ko.

Namun Yo Ko sudah siap sedia. Dengan telapak tangan kiri dia tahan kepala sapi jantan (atau banteng) itu, di lain saat dia sudah meloncat ke atas punggung binatang itu. Sapi ini ternyata amat tinggi dan besar. Bulunya panjang dan tanduknya pun lancip tajam, tampaknya perkasa sekali. Maka dengan sekali terjang sekejap saja sudah nyelonong sampai di jalan besar dengan Yo Ko masih menunggang di atas punggungnya.

Rupanya sapi jantan ini sedang birahi, maka wataknya menjadi beringas luar biasa. Tiada hentinya ia me-loncat dan ber-jingkrak dengan maksud hendak membanting Yo Ko ke bawah. Akan tetapi mana begitu gampang Yo Ko bisa dibikin terperosot dari tempatnya, bahkan dia menjadi senang oleh kelakuan si binatang.

“Ha, rupanya kau minta digebuk,” dengan tertawa Yo Ko membentak. Kemudian dia angkat telapak tangan dan dengan pinggiran telapak tangan dia hantam pundak sapi itu dengan perlahan.

Meski pun pukulan ini hanya memakan sedikit tenaga saja, namun bagi sapi itu sudah tak tertahan rasa sakitnya, keempat kakinya seketika lemas dan hampir dia mendeprok tekuk lutut. Tentu saja binatang ini tak mau menyerah begitu saja, masih melompat dan hendak mengamuk lagi. Tak terduga kembali Yo Ko beri persen sekali potong lagi dengan telapak tangan.

Dan begitulah seterusnya. Sesudah merasakan belasan kali gebukan seperti itu, akhirnya sapi jantan itu menjadi kapok dan tak berani ngotot lagi. Kemudian Yo Ko mencoba jojoh kiri leher binatang itu dengan jari tangannya, segera sapi itu berbelok ke kanan dan bila menjojoh sebelah kanan lantas dia menikung ke kiri, kalau diketok pantatnya, segera ia berlari ke depan, dan jika digebuk depan pundaknya, sapi ini lantas mundur ke belakang. Nyata binatang yang tadinya liar itu kini sudah menjadi jinak dan dapat dikendalikan menurut keinginannya.

Bukan main girang Yo Ko. Dengan keras ia tepuk pantat sapi itu, maka larilah binatang itu ke depan seperti kesetanan, begitu cepat larinya hingga boleh dikatakan tak kalah dengan kuda pacuan yang paling bagus. Maka sebentar saja, sesudah menyusuri sebuah rimba lebat, sampailah Yo Ko di lembah gunung yang sekitarnya dilingkungi oleh bukit-bukit yang menghijau permai.

Melihat keindahan alam tempat ini, Yo Ko heran kenapa lembah sebagus ini diberi nama ‘lembah srigala’ yang sama sekali tidak tepat dengan keadaannya. Kemudiari ia pun menggiring sapi jantan tadi ke lereng bukit yang terdekat agar bisa makan rumput sendiri.

Yo Ko sengaja pura-pura tidur dengan rebah di tanah rumput, lalu dengan hati berdebar dia menanti. Ketika itu sang surya sudah menggeser sampai di tengah langit, tetapi keadaan masih tenang dan sepi nyenyak, hanya kadang terdengar suara menguaknya sapi jantan itu.

Tengah Yo Ko bertambah gelisah, mendadak dari mulut lembah sana sayup-sayup berkumandang beberapa kali suara tepukan tangan, menyusul di belakang bukit sebelah selatan pun membalas beberapa kali. Maka tahulah Yo Ko sudah tiba waktunya. Dia tetap rebah di tanah rumput yang miring itu, sebelah kakinya sengaja dia tumpangkan ke atas kaki yang lain, capingnya untuk menutupi kaki yang menumpang dan sebagian mukanya, maka yang kelihatan hanya kaki kanan saja yang menjulur lurus.

Selang tak lama, tampaklah dari mulut lembah sana datang tiga orang Tojin. Dua di antaranya ternyata sudah Yo Ko kenal di hotel semalam, yakni Ki Jing-si dan Bi Jing-hian, sedang seorang lagi berumur sekitar setengah abad, perawakannya pendek buntek, agaknya dialah apa yang mereka sebut sebagai ‘Thio-susiok’.

Melihat ‘Thio-susiok’ yang dimaksudkan orang bukan Thio Ci-keng yang diduga semula, di dalam hati Yo Ko timbul semacam perasaan aneh, entah rasa kecewa atau rasa syukur karena orang itu lain dari dugaannya. Habis ketiga imam ini, kemudian dari lereng bukit sana muncul lagi dua orang, yang satu berperawakan kekar, agaknya dia inilah Han-cecu, dan yang lain adalah guru silat tua she Tan.

Meski kelima orang ini sudah datang dekat dan sudah berhadapan, namun mereka hanya saling kiong-chiu (merangkap kedua tangan saling memberi hormat), tiada satu pun yang buka suara, hanya terus berbaris sejajar dan menghadap ke barat.

Ketika selintas Thio-susiok mendongak memandang ke arah matahari hingga sinar terang menyorot mukanya, dari samping Yo Ko dapat melihatnya lebih jelas. Ternyata imam tua ini bermuka kuning, sikapnya tenang sekali dan bersungguh-sungguh, sedikit pun tak ada perasaan memandang enteng bakal lawannya nanti.

Pada saat itulah, dari mulut lembah sana pula sayup-sayup terdengar suara derap kaki binatang yang semakin mendekat. Ketika kemudian sesosok bayangan putih berkelebat maka tampaklah seekor keledai hitam dengan membawa seorang gadis berpakaian putih sedang mendatangi dengan cepat.

“Ahh, dia bukan Kokoh!” hati Yo Ko seketika lemas demi melihat siapa yang mendatangi ini. “Apakah dia ini juga bala bantuan mereka?” demikian dia pikir dan berharap demikian pula.

Sementara gadis berpakaian putih tadi dengan cepat sudah semakin mendekat. Sesudah berjarak antara 7-8 tombak dari kelima orang yang duluan tadi, tiba-tiba saja dia menahan keledainya, dengan sorot mata yang dingin tetapi tajam ia pandang sekejap pada mereka. Dari muka si gadis nyata tampak sikap yang memandang hina dan seperti hakikatnya tiada harganya mengajak mereka bicara.

Rupanya Ki Jing-si sudah tak sabar, maka segera ia berteriak: “Orang she Liok, nyata kau cukup tabah memenuhi janji, maka boleh sekalian kau suruh keluar saja semua pembantumu!”

Akan tetapi gadis itu tidak menjawab, ia hanya menjengek satu kali sambil tertawa dingin, berbareng itu, “sret”, entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah melolos keluar sebilah golok melengkung yang kecil dan tipis laksana bulan sabit dengan memancarkan sinar putih ke-hijauan dan menyilaukan mata.

“lni, kami seluruhnya ada lima orang, dan pembantumu ada berapa dan kapan datangnya, kami tak sabar lagi buat tunggu lebih lama,” demikian kata Ki Jing-si menantang.

“lnilah pembantuku yang utama!” sahut gadis itu tiba-tiba sambil mengayun golok tipisnya tadi.



Begitu tipis dan agaknya saking tajamnya sehingga begitu golok diputar, seketika udara di atas kepala gadis itu seperti digenangi lingkaran sinar putih dan mengeluarkan suara mendenging yang nyaring tajam.

Karena jawaban tadi, enam orang termasuk Yo Ko, semuanya menjadi terperanjat. Lima orang di sana terkejut oleh sebab seorang gadis seperti dia ini ternyata begitu besar nyalinya, berani mengadakan pertandingan silat dengan lima jago tinggi tanpa mengajak barang seorang pembantu pun. Sedang Yo Ko sebaliknya terperanjat bercampur kecewa. Mula-mula dia yakin bahwa Siao-liong-Ii pasti akan ditemukannya di sini, siapa tahu apa yang disebut ‘si gadis cantik berpakaian putih’ itu ternyata adalah seorang nona lain.

Saking masgulnya, seketika dada Yo Ko seakan-akan menjadi sesak, perasaannya yang mudah terguncang itu tak terkendalikan lagi, tiba-tiba ia meng-gerung menangis keras.

Mendengar suara tangisan Yo Ko yang mendadak ini, keenam orang itu pun terkejut, tapi setelah mereka tahu bahwa yang menangis adalah seorang bocah gembala yang mungkin karena ketakutan melihat ada orang hendak berkelahi, maka mereka pun tidak mengambil perhatian kepadanya.

Sementara itu terdengar Ki Jing-si sudah buka suara sambil menunjuk Han-cecu: “lni Wi-cin-lam-pak Han-cecu, yang ini adalah Tan-lokunsu, tertua dari Ho-siok-sam-hiong, dan ini adalah Liong-kim-kiam Tio Put-hoan, Tio-totiang!”

Demikian Ki Jing-si memperkenalkan ketiga jagonya kepada gadis itu. Ia mengira setelah orang mendengar nama ketiga kawannya itu, tentu akan menjadi jeri dan mundur teratur. Siapa tahu gadis itu anggap saja seperti tidak mendengar dan tidak menggubris, ia hanya mengerling kepada mereka dengan sorot mata yang tajam dingin, ia anggap kelima orang di hadapannya seperti barang sepele belaka.

“Karena kau hanya datang seorang diri saja, kami pun tidak mau bergebrak dengan kau,” terdengar Tio Put-hoan angkat bicara, “Maka kami beri kau tempo sepuluh hari, sepuluh hari kemudian kau boleh ajak empat orang pembantu dan datang lagi bertemu di sini.”

“Aku sudah bilang ada pembantuku,” sahut gadis itu sambil ayunkan golok sabitnya lagi. “untuk melayani kalian sebangsa gentong nasi dan guci arak ini masakah aku perlu pakai bantuan orang?”

Keruan Tio Put-hoan menjadi marah. “Kau anak dara sungguh keterlaluan...”

Sesungguhnya ia hendak mendamperat orang, syukur sebelum diucapkan ia masih bisa menahan api amarahnya dan menanya pula:

“Kau ini sebenarnya orang Ko-bong-pay atau bukan?”

“Kalau betul mau apa dan kalau bukan ada apa?” sahut gadis itu ketus. “Hayo, imam tua hidung kerbau, katakan lekas, kau berani tidak bergebrak dengan nonamu?”

Tio Put-hoan sudah rada berumur, maka orangnya cukup bisa mengendalikan diri. Ia lihat meski seorang diri tetapi bukannya jeri, bahkan menantang, maka dia kuatir kalau sebelumnya si gadis telah atur perangkap dengan menyembunyikan bala bantuan. Oleh sebab itulah lantas dijawabnya:

“Nona, lebih dulu aku ingin tanya kau. Tanpa alasan kau telah melukai anak murid golongan kami, sebetulnya disebabkan urusan apakah? Jika kesalahannya terletak pada pihak kami, tanpa segan pasti aku akan minta maaf kepada gurumu. Akan tetapi kalau nona tak bisa mengatakan sesuatu alasan, hm, jangan kau sesalkan kalau kami bertindak kurang sopan.”

“Sudah tentu disebabkan kedua hidung kerbau golonganmu itu yang kurang ajar, karena itu kuberi sedikit hajaran pada mereka,” sahut gadis itu dengan tertawa mengejek, “Kalau tidak, di jagat ini tak sedikit terdapat sebangsa kutu busuk, kenapa harus hidung mereka yang kuiris?”

Mendengar jawaban yang makin ketus dan bersifat menantang ini, Tio Put-hoan menjadi lebih ragu terhadap kemampuan lawannya. Dalam pada itu, meski pun usia Tan-lokunsu sudah lanjut, namun tabiatnya ternyata amat berangasan.

“Ehh, bicara dengan kaum Cianpwe, kenapa tidak turun dari keledaimu?” demikian segera ia menyerobot maju dan cari-cari persoalan. Menyusul tahu-tahu ia sudah berada di depan binatang tunggangan orang dan ulur tangannya buat menarik lengan kanan si gadis.

Karena gerak tangannya itu sangat cepat hingga gadis itu tak sempat menghindarkan diri, seketika lengannya kena dicekal, dan karena lengan kanannya dipakai untuk memegang golok-sabitnya, maka goloknya tak bisa dipakai menangkis. Tak tersangka se-konyong-konyong sinar tajam berkelebat. Sedikit gadis itu tekuk sikutnya, golok sabitnya memotong dari samping, dari jurusan yang sama sekali tak terduga.

Tentu saja tidak kepalang kagetnya Tan-lokunsu, lekas dia lepaskan cekalannya bila dia tak mau merasakan tajamnya golok itu. Sungguh pun begitu, tak urung dua jari tangannya sudah terluka.

Dengan cepat segera ia melompat mundur terus cabut goloknya sendiri, dalam marahnya ia ber-teriak mendamperat:

“Perempan bangsat, agaknya kau sudah bosan hidup!”

Melihat kawannya dilukai, mau tak mau yang lainnya ikut mengangkat senjata, Han-cecu memakai sepasang ganden berantai, sedangkan Tio Put-hoan melolos pedangnya, begitu pula Ki Jing-si dan Bing-hiam juga lantas tarik pedang mereka. Akan tetapi mereka menjadi kaget ketika merasa senjata yang mereka genggam itu bobotnya sangat enteng. Ketika mereka tegasi, celaka tiga belas, kiranya yang terpegang di tangan mereka hanya garan pedang belaka, sedangkan bagian yang tajam ketinggalan di dalam sarungnya.

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa itu adalah hasil perbuatan Yo Ko semalam di mana pedang mereka dipatahkan dan selimut mereka dikencingi pula. Sekarang musuh tangguh sudah berhadapan, sedangkan senjata saja mereka tak punya. Rupanya karena melihat kelakuan kedua imam yang kikuk dan serba salah itu, si gadis tadi tertawa ngikik geli.

Waktu itu Yo Ko sendiri lagi berduka, tetapi demi mendengar suara tertawa gadis itu dan melihat kelakuan kedua imam yang lucu itu, tak tertahan ia pun tertawa meski sebetulnya ia masih senggak-sengguk.


KEMBALI JADI SI TOLOL

Sementara itu terlihat si gadis telah membuka serangan, se-konyong-konyong ia ayun goloknya terus memotong ke telinga Bi Jing-hian.

Dengan sendirinya lekas-lekas Bi Jing-hian menarik badan dan mengerutkan kepala menghindarkan elmaut. Siapa tahu gaya serangan golok itu ternyata sangat hebat. Ketika tangan si gadis sedikit memutar, senjatanya yang aneh itu tiba-tiba membelok di tengah jalan terus mengiris ke bawah lagi. Karena perubahan serangan ini tidak ter-duga, tidak urung sebelah kuping Bi Jing-hian menjadi korban.

Keruan saja keempat kawannya terkejut, sama sekali tidak mereka duga bahwa To-hoat atau ilmu permainan golok orang bisa begitu bagus dan aneh. Keadaan sudah memaksa, kini mereka tak pikirkan lagi keroyokan atau tidak, segera mereka mengerubut maju terus mengepung si gadis bersama keledainya di tengah-tengah.

Cuma yang mengeroyok hanya tiga orang saja. Bi Jing-hian dan Ki Jing-si terpaksa harus mundur ke belakang karena mereka tidak bersenjata, yang mereka pegang hanya garan pedang, hendak dibuang sayang, tidak dibuang toh tidak terpakai. Maka mereka menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Sementara itu mendadak terdengar gadis itu bersiul nyaring sekali, dia tarik tali kendali keledainya terus melompat pergi sejauh beberapa tombak dengan maksud memboboIkan garis kepungan orang. Namun dengan cepat Tan-lokusu bertiga lantas mengerubut maju lagi. Bahkan sebelum tiba orangnya, lebih dulu Han-cecu timpukkan ganden besinya yang berantai itu.

Melihat senjata orang cukup berat, lagi pula tipu serangannya cukup ganas, gadis itu merasa heran juga. Maka tak berani lagi ia memandang enteng, ketika tubuhnya mengegos, timpukan ganden tadi telah dia hindari.

Memang senjata ‘Lian-cu-tui’ (ganden berantai) milik Han-cecu itu bukan senjata ringan, tetapi mempunyai daya tekanan yang sukar ditahan. Sebaliknya ilmu pukulan Tan-lokunsu sesungguhnya lebih tinggi dari pada permainan goloknya, pula jarinya telah terluka, maka serangan goloknya boleh dikatakan tak seberapa, tapi Kiam-hoat Tio Put-hoan sebaliknya tak bisa dipandang rendah, serangannya jitu lagi keji, setiap tipu-tipu serangannya selalu mengincar tempat yang berbahaya.

Tatkala itu hati Yo Ko rada tenang. Kini baru dia amat-amati wajah gadis itu. Ia lihat raut muka orang potongan daun sirih dan sangat cantik, usianya agaknya setahun dua tahun lebih muda dari pada dirinya, pantas apa bila si pelayan hotel tidak percaya bahwa ‘gadis cantik berbaju putih’ itu adalah kakak perempuannya. Di samping muka orang yang cantik itu, kulit badannya sebaliknya rada-rada hitam manis, sama sekali berlainan dengan kulit Siao-Iiong-li yang putih bersih.

Senjata yang digunakan gadis ini pun benar-benar aneh dan lain dari pada yang Iain. Ilmu permainan goloknya sangat gesit, meski dikatakan golok tetapi yang dipakai adalah gerak tipu permainan pedang, lebih banyak menusuk dan memotong dari pada membacok dan membabat.

Hanya menyaksikan beberapa jurus permainan golok orang, Yo Ko langsung tahu bahwa orang memang menggunakan ilmu silat dari golongan yang sama dengan dirinya, yakni Ko-bong-pay. Apakah dia ini juga muridnya Li Bok-chiu? Demikian Yo Ko menjadi heran.

Semula sebetulnya Yo Ko merasa sangat penasaran karena lima orang lelaki mengeroyok seorang gadis cilik. Namun kemudian, sesudah mengetahui dari mana asal-usul ilmu silat orang, karena menduga orang pasti muridnya Li Bok-chiu, seketika timbul rasa antipati Yo Ko. Ia pikir biarkan saja pihak mana yang bakal menang, semuanya tidak kugubris. Begitulah dia lantas berbaring lagi dengan sikunya sebagai bantal, hanya kadang saja ia melirik pertarungan yang sedang berlangsung dengan sengit itu.

Untuk belasan jurus permulaan, karena gadis itu berada lebih tinggi di atas keledainya, maka kelima lawannya dipaksa harus melompat kian ke mari untuk menghindari sabetan golok-sabit yang diayun kesana kemari.

Setelah belasan jurus lagi, karena senjata yang dipegangnya hanya gagang pedang yang sudah patah dan tak sanggup membantu kawannya, hati Ki Jing-si tergerak.

“Mari Bi-sute, ikut padaku!” ia teriaki Bi Jing-hian.

Sesudah itu ia berlari menuju ke tempat yang banyak tumbuh pohon, di sana ia pilih satu pohon muda dan sekuat tenaganya ia patahkan bongkotnya, ia hilangkan tangkai berikut daunnya, maka berwujutlah kini sebatang pentung yang dapat dipakai sebagai genggaman. Tentu saja Bi Jing-hian sangat girang, ia pun tiru sang Suheng dan patahkan satu pohon yang lain untuk digunakan sebagai senjata.

“Jangan hantam orangnya, tapi keledainya!” demikian Ki Jing-si memberi petunjuk lagi.

Habis ini dengan cepat dua pentung kayu mereka lantas menyerampang dari kanan dan kiri, mereka arahkan ke kaki keledai tunggangan gadis tadi.

“Hm, tak punya malu!” dengan perlahan gadis itu menjengek berbareng ia ayun goloknya untuk menangkis pentung orang.

Karena sedikit melengnya ini, dari samping lain ganden berantai Han-cecu tahu-tahu telah menyerang pula bersama dengan pedang Tio Put-hoan. Dalam keadaan terancam, lekas gadis itu keluarkan gerak tipu yang berbahaya, ia tundukkan kepala buat luputkan ganden yang menyambar, di saat lain terdengar suara “trang” yang nyaring, goloknya sudah menangkis pedang lawan yang lain. Tetapi pada waktu itu juga keledainya melengking kesakitan terus menegak dengan kaki belakang, kiranya binatang ini kena ditoyor satu kali oleh pentung Ki Jing-si.

Melihat ada kesempatan baik, segera Tan-lokunsu menjatuhkan diri terus menggelundung mendekati musuhnya, dia keluarkan ilmu golok dan berhasil menghantam satu kali pada paha keledai hitam dengan punggung goloknya. Dengan demikian tak mungkin lagi bagi si gadis mengandalkan keledainya.

Sementara itu senjata lawan baik pedang mau pun ganden berbareng telah menyambar datang pula. Terpaksa dia meloncat ke atas, tangan kiri menyambar dan pentung Bi Jing-hian berhasil dicekalnya. Begitu dia gunakan tenaga dalamnya, pentung itu sudah patah menjadi dua potong. Dan begitu kedua kakinya menancap lagi di atas tanah, sekalian pula goloknya dia babat ke samping untuk mematahkan bacokan Tan-lokunsu yang sementara itu telah menyerang.

“He, kenapa? Dia sudah terluka?” Yo Ko kaget demi nampak gaya berjalan si nona.

Ternyata kaki kiri si gadis rada pincang, dengan sendirinya untuk berjalan, apa lagi untuk melompat menjadi tidak leluasa. Dan dengan sendirinya, sebab inilah maka sejak tadi dia tidak mau turun dari keledainya.

Tahu akan ciri gadis ini, seketika rasa keadilan Yo Ko tergugah, dia berniat turun tangan buat membantunya. Tapi ketika dia pikir dan ingat pengacauan Li Bok-chiu hingga dirinya yang tinggal aman tenteram bersama Siao-liong-li di dalam kuburan itu berakibat seperti keadaan sekarang ini, kembali hatinya menjadi panas Iagi. Ia berpaling ke jurusan lain dan tidak mau menyaksikan lebih lanjut.

Namun telinga toh mendengar suara “crang-creng”, suara beradunya senjata tajam yang nyaring dan tiada hentinya, rasa ingin tahunya tak bisa ditahan, kembali ia berpaling menonton lagi. Hanya sejenak tadi ternyata keadaan pertarungan sudah banyak berubah. Kini gadis itu terdesak lari kian kemari, sudah lebih banyak menangkisnya dari pada balas menyerang.

Sementara itu mendadak Han-cecu telah timpukkan sebelah gandennya. Terpaksa gadis itu miringkan kepala, tapi pada saat yang sama pedang Tio Put-hoan sudah menusuk pula.

Terdengarlah suara “cring” yang nyaring perlahan. Ternyata gelang perak pengikat rambut gadis itu kena ditebas kutung hingga sebagian rambutnya yang panjang terurai. Maka tampaklah alis si gadis yang lentik menjengkit itu, bibirnya pun sedikit bergerak dan digigit, mukanya seketika laksana tertutup oleh selapis awan hitam. Kontan goloknya membabat, ia balas satu kali serangan orang. Melihat tarikan alis dan gerakan bibir si gadis, seketika hati Yo Ko terguncang keras, “Di waktu Kokoh marah padaku, persis mimik wajahnya pun begitu,” demikian pikirnya.

Oleh karena melihat rasa marah yang diunjuk gadis itu, tanpa pikir lagi Yo Ko mengambil keputusan pasti membantu padanya.

Sementara itu ia lihat keadaan gadis itu semakin terdesak, gerak-geriknya tak teratur lagi.

“Hayo, lekas katakan, sebutan apa sebenarnya antara kau dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu?” demikian terdengar Tio Put-hoan memperingatkan lawannya, “Jika masih tetap tak mau menjelaskan, maka jangan kau sesalkan senjata kami tak bermata.”

Di luar dugaan, bukan saja gadis itu tidak menjawab, bahkan goloknya tahu-tahu menebas dari belakang kepala sebab senjata ini memang melengkung, Terkejut sekali Tio Put-hoan oleh serangan yang aneh itu, tapi syukurlah dengan cepat Tan-lo-kunsu keburu mewakili dia menangkis sehingga dengan demikian jiwa Tio Put-hoan dapat diselamatkan.

Melihat tipu serangan si gadis begitu keji, ketiga lawannya kini tidak pakai murah hati lagi. Maka dalam sekejap saja gadis itu telah ber-ulang menghadapi serangan berbahaya.

Tio Put-hoan pikir gadis ini pasti ada hubungan rapat dengan Li Bok-chiu, jadi kalau kelak diketahui oleh Li Bok-chiu, tentu pada kemudian hari akan menjadikan bibit bencana saja. Oleh sebab itu serangannya kini selalu mengincar tempat yang berbahaya.

Melihat keadaan si gadis sudah dalam detik yang amat genting, segera Yo Ko melompat ke atas punggung sapi jantan tadi, lalu ia jojoh sekali pantat binatang itu dengan jerijinya. Karena kesakitan, dengan sekali menguak sapi jantan itu pentang kaki dan menerjang ke jurusan enam orang yang sedang saling labrak itu.

“Haya, celaka! Sapiku kesetanan, tolong, tolong…!” demikian Yo Ko sengaja ber-teriak. Baru saja selesai ia berteriak, orang berikut sapinya sudah menyerbu sampai di medan pertempuran.

Tatkala itu keenam orang itu tengah asyik bertempur mati-matian. Ketika tiba-tiba melihat seekor banteng menyeruduk tiba dengan kalap, mereka berniat hendak melompat ke samping hindarkan diri, namun secepat kilat banteng itu sudah menerjang sampai di belakang Ki Jing-si dan Bi Jing-hian.

Yo Ko sendiri tengkurap di atas sapinya, tangan serta kakinya bergerak naik turun seperti orang kebingungan dan ketakutan setengah mati. Setelah dekat dengan kedua orang tadi, dengan cepat ‘hong-gan-hiat’ di punggung kedua orang dicengkeramnya.

‘Hong-gan-hiat’ adalah salah satu jalan darah terpenting di tubuh manusia. Karena kena dicekal, seketika Ki Jing-si dan Bi Jing-hian menjadi lemas kesemutan dan tidak bisa berkutik.

Dengan per-lahan Yo Ko mengangkat tangannya, kedua orang itu dia tarik ke atas terus digantung pada kedua tanduk sapi jantan itu, sedangkan mulutnya masih tiada hentinya berteriak:

“Tolong! Tolong!”


Lalu dengan ujung kaki ia tendang pantat sapi itu, maka binatang itu berlari kesetanan lagi ke lereng bukit dengan membawa tiga orang, satu tengkurap di punggungnya dan yang dua tercantol pada tanduknya.

Melihat perubahan yang mendadak dan aneh ini, baik si gadis tadi mau pun Tio Put-hoan seketika berhenti dari pertempuran mereka. Nyata ilmu silat Yo Ko masih jauh lebih tinggi dari pada keenam orang itu, maka apa yang dilakukannya ternyata tiada seorang pun yang mengetahui.

Sesudah sampai di tanah rumput di mana dia angon sapi tadi, Yo Ko membuang kedua imam itu ke tanah terus menggiring sapi itu menerjang ke bawah puIa, sekali ini yang dia incar adalah Han-cecu dan Tan-Iokunsu.

Rupanya Han-cecu pikir tenaganya cukup besar untuk dapat menundukkan binatang yang mengganas ini, maka gandennya yang berantai dia libatkan di pinggangnya, lalu dengan pasang kuda-kuda kuat ia menunggu sapi itu mendekat. Se-konyong-konyong ia melangkah maju satu tindak, terus tanduk binatang itu dia pegang erat dengan kedua tangannya, dengan cara demikian ia hendak menaklukkan banteng ngamuk itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar