Kamis, 24 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 040

“Jika Suhu tidak mau kembali, biarlah aku yang pergi mencarinya,” tiba-tiba terpikir olehnya, “Asal bisa ketemukan dia, tidak peduli bagaimana dia akan menghajar atau mendamperat aku, yang pasti aku tak akan berpisah lagi dengan dia.”

Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ketabahannya banyak bertambah. Segera ia bebenah seperlunya, ia bungkus pakaian sendiri dan milik Siao-liong-li ke dalam sepotong kain, lalu ia gendong di punggungnya dan dengan langkah lebar ia turun ke bawah gunung.

Sepanjang jalan ia coba bertanya kepada penduduk di tepi jalan apakah melihat seorang nona putih yang cantik lewat di situ. Tetapi beruntun ia tanya beberapa orang, semuanya hanya goyang kepala menyatakan tidak tahu.

Karena itu akhirnya Yo Ko menjadi gopoh, dengan sendirinya cara bertanyanya kemudian menjadi kurang sopan. Dan para penduduk yang ditanya itu sebaliknya mendongkol juga melihat pemuda seperti Yo Ko ini selalu mencari tahu tentang nona cantik segala, dengan sendirinya lalu ada orang yang ingin tahu untuk apa dia mencari dan siapa nona ayu itu, pernah apakah dengan dia.

Sebaliknya Yo Ko jadi marah-marah oleh pertanyaan kembali itu. “ltu tidak perlu kau urus, aku hanya ingin tahu kau melihat dia lewat di sini tidak?” demikian dalam gusarnya Yo Ko tak sadar kata2nya ini halus atau tidak.

Sedang orang yang ditanya tentu saja marah juga melihat sikap Yo Ko ini. Syukur setelah terjadi ribut2, dari samping seorang tua telah memisah, kemudian orang tua ini menunjuk ke satu jalanan kecil yang menuju jurusan timur sambil berkata pada Yo Ko:

“Tadi malam aku melihat satu gadis secantik bidadari menuju ke arah timur. Tadinya aku menyangka dia itu Koan-im-po-sat (Budha Satwa) yang menjelma, siapa tahu dia kenalan baik saudara...”

Mendengar kabar ini, tanpa menunggu orang selesai bicara, Iekas Yo Ko menghaturkan terima-kasih terus memburu ke jalan kecil menurut arah yang ditunjuk itu. Tetapi begitu dia mungkur, orang banyak tertawa ramai. Kiranya karena kelakuan Yo Ko yang tak punya sopan santun, maka orang tua tadi sengaja mempermainkan dia.

Namun Yo Ko sama sekali tak tahu kalau dirinya telah didustai orang, ia masih memburu ke jurusan itu dengan cepat. Lewat tidak lama kemudian, tiba-tiba di depan terdapat simpang jalan tiga jurusan, ia menjadi bingung ke arah mana harus dia tempuh.

“Biasanya Kokoh tak suka tempat ramai, tentu dia pilih jalanan kecil yang sepi,” demikian Yo Ko pikir sendiri, habis ini lantas dipilihnya jalanan kecil yang membelok ke kiri.

Siapa duga jalanan kecil ini makin Iama semakin lebar dan sesudah menikung beberapa kali, akhirnya malah menembus ke satu jalan raya. Waktu itu hari sudah magrib, Yo Ko sendiri sudah sehari semalam tak makan tak minum, perutnya sudah keruyukan. Dilihatnya di depan sana rumah berderet dan gedung berjajar, nyata ada satu kota yang cukup ramai.

Cepat Yo Ko menuju ke kota dan masuk sebuah hotel (pada umumnya hotel merangkap restoran), lalu dia menggembor minta disediakan daharan. Tidak lama pelayan sudah mengantar santapan sederhana ke hadapan Yo Ko, tetapi baru beberapa kali sumpitan saja anak muda ini tidak punya napsu makan lagi. Karena merasa kesal, tenggorokannya menjadi seret dan tak bisa menelan.

“Meski hari sudah mulai gelap, tetapi lebih baik lekas aku pergi mencari Kokoh saja. Bila malam ini dibiarkan lewat, selanjutnya mungkin sukar bertemu lagi,” demikian pikir Yo Ko. Oleh karenanya segera ia menaruh mangkok nasinya dan memanggil pelayan.

“Aku ingin tanya kau, pelayan,” kata anak muda ini sesudah petugas itu datang.

“Boleh saja, tuan, katakanlah! Apakah karena santapan ini tidak cocok dengan lidah tuan, biarlah hamba buatkan yang lain, tuan suka masakan apakah?” demikian sahut si pelayan mencerocos.

“Tidak, aku tidak maksudkan makanan,” kata Yo Ko sambil goyang tangannya. “Tapi aku ingin tanya, apakah kau melihat seorang gadis jelita berbaju putih lewat di sini?”

“Berbaju putih?” si pelayan menggumam sendiri “He, apakah nona itu sedang berkabung? Ada keluarganya yang meninggal, bukan?”

Demikianlah si pelayan mencerocos tak keruan dan menyimpang dari pertanyaan orang, Keruan Yo Ko sangat mendongkol.

“Aku hanya tanya kau, lihat atau tidak?” mengulanginya lagi.

“Wanita sih memang ada, juga pakai baju putih.”

“Dan menuju ke arah mana?” tanya Yo Ko cepat dan girang.

“Tetapi sudah hampir setengah hari dia lewat tadi!” sahut pelayan itu. Kemudian dia perlahankan suaranya seperti kuatir didengar orang, lalu menyambung lagi: “Adalah lebih baik jangan pergi mencari dia!”

Merasa mendapatkan jejak sang Kokoh yang dicari, dalam girangnya Yo Ko terkejut pula mendengar perkataan orang itu.

“Se... sebab apa?” tanyanya dengan suara rada gemetar.

“Coba aku tanya dahulu, tuan tahu bahwa wanita itu pandai silat?” mendadak pelayan itu bertanya.

“Mengapa aku tidak tahu?” demikian Yo Ko membatin. Maka dengan cepat ia menjawab: “Sudah tentu tahu, dia memang pandai silat.”

“Nah, kalau begitu untuk apa kau mencari dia? Bukankah ini sangat berbahaya?” kata si pelayan pula.

“Sebab apakah sebenarnya?” Yo Ko menjadi bingung.

“Coba terangkan dulu, pernah apakah gadis baju putih itu dengan tuan?” tanya si pelayan.

Yo Ko mengerti kalau tidak sekadar menerangkan, agaknya orang tidak mau ceritakan ke mana perginya Siao-liong-li, maka terpaksa ia menjawab:

“Ia adalah Enci-ku, aku sedang mencari dia.”

Mendengar jawaban ini, seketika pelayan itu berubah sangat hormat pada Yo Ko. Tetapi hanya sekejap saja, sebab segera si pelayan meng-geleng kepala.



“Tidak, tidak sama!” katanya tiba-tiba.

Bukan main mendongkolnya Yo Ko oleh kelakuan sang pelayan. Saking gopohnya, sekali jamberet dia cengkeram baju orang.

“Sebenarnya kau mau katakan tidak?” bentaknya marah.

Melihat Yo Ko naik darah, mendadak si pelayan me-leletkamnIidahnya.

“Persis, persis! Kalau begini baru sama!” demikian katanya.

“Kurang ajar, apa-apaan ini sebentar sama sebentar tidak sama, apa maksudmu?” damperat Yo Ko.

“Le... lepaskan dulu, siauya (tuan muda), leherku tercekik... he-he-he... aku tak bisa buka suara,” sahut si pelayan dengan suara ter-putus-putus.

Melihat rupa orang dasarnya memang ceriwis, percuma saja meski pun pakai kekerasan, maka Yo Ko lantas lepaskan tangannya.

“Siauya,” tutur si pelayan kemudian sesudah berdehem beberapa kali. “Aku bilang tidak sama, soalnya karena perempuan... ehh..., Enci-mu itu, tampaknya lebih cakap dan lebih muda dari pada kau, pantasnya dia mirip adikmu dan bukan kakak. Lalu aku bilang sama, sebab kalian berdua sama-sama berwatak keras, sama-sama memiliki tabiat suka angkat senjata dan main kepalan.”

Yo Ko tertawa oleh cerita itu. “Apakah Enci-ku berkelahi dengan orang?” tanyanya kemudian.

“Betapa tidak?” sahut pelayan itu, “Tidak hanya berkelahi, bahkan sudah melukai orang. Coba lihat itu!” Berbareng dia menunjuk beberapa bekas bacokan senjata tajam di bawah meja, kemudian dengan muka ber-seri ia sambung pula: “Walau kejadian tadi itu sangat berbahaya, memang kepandaian Enci-mu sangat hebat, hanya sekali tebas saja sebelah kuping Toya (tuan imam) itu lantas kena diirisnya.”

“Apa katamu? Toya apa?” tanya Yo Ko terkejut.

“Ya, dia itu...” baru berkata sampai di sini, se-konyong-konyong muka si pelayan berubah hebat, seketika ia mengkeret terus ngeluyur pergi.

Yo Ko memang cerdik luar biasa. Melihat kelakuan pelayan tadi, ia tak menegur juga tak menyusulnya, sebaliknya dia angkat mangkok nasinya tadi terus menyumpit daharannya lagi. Pada saat lain, terlihatlah olehnya ada dua Tojin muda masuk ke dalam hotel. Usia kedua imam ini kira-kira 26-27 tahun saja, jubah pertapaan mereka bersih dan rajin sekali. Mereka ambil tempat duduk pada meja di samping Yo Ko, lalu imam yang beralis tebal panjang tiada hentinya berteriak mendesak diantari arak dan daharan.

Dengan muka ber-seri si pelayan lekas-lekas meladeni kedua tetamunya itu. Pada suatu kesempatan ia mengedipi matanya pada Yo Ko sambil mulutnya merot-merot ke jurusan kedua imam itu.

Yo Ko pura-pura tidak tahu, ia masih terus menyumpit santapannya dengan asyik. Kini dia betul-betul merasa lapar, apa lagi kabar Siao-liong-Ii sudah diperolehnya, hatinya menjadi lega dan gembira sekali. Maka tanpa terasa beberapa kali isi mangkoknya telah ditambah dan dilangsir ke dalam perutnya.


GADIS BERBAJU PUTIH YANG KEJAM

Baiknya pakaian Yo Ko memang sederhana, apa lagi sudah sehari semalam ia menyusul Siao-liong-li sehingga seluruh badannya penuh debu dan mukanya kotor. Oleh karena itu kedua imam tadi sama sekali tidak perhatikan dirinya melainkan asyik ber-cakap sendiri dengan suara perlahan.

Sebaliknya Yo Ko semakin pura-pura. Ia kecap mulutnya dan mainkan lidahnya, dia sengaja makan begitu rupa hingga mengeluarkan suara keras, kemudian dia angkat semangkok wedang panas dan diseruput dengan bernapsu, akan tetapi telinganya dia pasang, mendengarkan apa yang sedang dipercakapkan kedua Tojin atau imam itu.

“Bi-sute, menurut pendapatmu, malam ini Han-cecu dan Tan-lokunsu bakal datang tidak?” demikian ia dengar imam yang beralis tebal tadi berkata.

Imam satunya lagi bermulut Iebar, suaranya kasar serak ketika terdengar dia menjawab: “Kedua orang ini adalah laki-laki gagah perkasa yang bersahabat kental dengan Thio-susiok. Kalau Thio-susiok sudah mengundangnya, tidak boleh tidak mereka pasti akan datang.”

Hati Yo Ko terkesiap ketika mendengar orang menyinggung nama ‘Thio-susiok’. Pikirnya dalam hati: “Jangan2 Thio-susiok yang mereka maksudkan adalah guruku yang dulu, Thio Ci-keng?”

Ia jadi curiga kenapa kedua imam ini belum pernah dilihatnya di Tiong-yang-kiong. Ketika ia melirik dan mengamat-amati orang, ternyata tiada yang dia kenal.

“Boleh jadi karena jauhnya perjalanan, dia tidak keburu datang,” demikian imam alis tebal tadi berkata lagi.

“Ki-suheng, kau ini memang suka takut ini dan kuatir itu,” demikian sahut imam she Bi tadi, “Hanya seorang perempuan saja, berapa besarkah kemampuannya?”

“Ya, sudahlah, mari minum, jangan dibicarakan lagi,” begitulah imam she Ki memotong.

Kemudian ia memanggil pelayan hotel dan minta disediakan satu kamar kelas satu, nyata mereka juga bermalam di sini.

Sementara itu Yo Ko sedang memikirkan isi percakapan dua imam tadi. Ia dapat meraba tentu orang bermaksud mencari seteru dengan Suhu-nya, mungkin disebabkan ada kawan kecundang, maka ‘Thio-susiok’ tampil ke muka untuk mengundang seorang she Han dan seorang she Tan sebagai bala bantuan. Kalau terus kintil kedua imam ini, tentu akan bisa bertemu dengan Suhu.

Berpikir akan hal ini, hati Yo Ko menjadi gembira sekali. Sudah jelas dua imam ini adalah musuh gurunya, tetapi dengan petunjuk mereka nanti akan menemukan sang guru, maka terhadap mereka tiada timbul perasaan benci. Dia tunggu sampai kedua imam itu masuk kamar, kemudian dia sendiri minta disediakan sebuah kamar di sebelah kamar imam-imam itu.

“Siauya, kau ber-hati-hatilah. Enci-mu telah mengiris kuping seorang Toya, tentu mereka akan menuntut balas,” demikian si pelayan membisiki Yo Ko pada saat datang ke kamarnya membawakan lampu.

“Sungguh aku tidak mengerti. Enci-ku biasanya sangat sabar, kenapa mendadak dia bisa mengiris kuping orang?” kata Yo Ko dengan suara lirih.

“Terhadap kau tentu saja dia baik, tetapi terhadap orang lain mungkin tidak,” kata si pelayan pula dengan suara yang di-bikin-bikin. “Enci-mu tadi sedang bersantap di sini dan Toya yang sial itu duduk di sebelahnya. Hanya disebabkan Toya itu melirik beberapa kali pada kaki Enci-mu, siapa tahu Enci-mu lantas naik darah terus loloskan senjata dan melabrak orang.”

BegituIah si pelayan mencerocos terus, dan masih hendak dilanjutkan, namun Yo Ko sudah mendengar lampu di kamar sebelah telah disirapkan, maka cepat ia memberi tanda agar si pelayan tidak perlu bercerita lagi.

“Kurang ajar, tentu imam busuk itu terus-terusan mengincar Kokoh karena kecantikannya sehingga akhirnya Kokoh menjadi marah,” demikian Yo Ko menggerutu sendiri sesudah pelayan itu pergi.

Kemudian segera dia pun padamkan lampu. Malam ini dia memang tidak ingin tidur lagi, dia hanya duduk sambil pasang kuping baik-baik untuk mengikuti segala gerak-gerik di kamar sebelah.

BegituIah Yo Ko berjaga hingga tengah malam. Tiba-tiba didengarnya pelataran luar bersuara keresek dua kali, menyusul seperti ada orang meloncat masuk ke bagian dalam melintasi pagar tembok. Habis itu jendela kamar sebelah terdengar dibuka dan imam yang she Ki itu membuka suara:

“Apakah Han dan Tan berdua?”

“Ya,” terdengar suara sahutan seorang yang berada di pelataran sana.

“Silakan masuk!” demikian kata imam she Ki lagi.

Menyusul pintu kamar perlahan dibuka, lampu dinyalakan pula. Tentu saja Yo Ko amat tertarik. Ia kumpulkan seluruh perhatiannya untuk mendengarkan percakapan mereka berempat.

“Tecu Ki Jing-hi dan Bi Jing-hian memberi hormat kepada Han-cecu dan Tan-lokunso,” terdengar imam she Ki bersuara pula.

Mendengar nama kedua imam itu, diam-diam Yo Ko membatin: “Ternyata mereka bukan orang dari Tiong-yang-kiong, tapi nama mereka memakai urutan Jing, maka mereka juga terhitung orang dari Coan-cin-pay.”

“Begitu menerima undangan Thio-susiok kalian, segera kami memburu kesini,” terdengar suara sahutan yang tajam. “Apakah betul perempuan hina itu sangat sulit dilawan?”

“Sungguh memalukan bila diceritakan,” demikian kata Ki Jing-si lagi, “Dari golongan kami sudah ada dua anak murid yang ber-turut-turut dilukai perempuan hina-dina itu.”

“Sebenarnya dari aliran manakah ilmu silat perempuan itu?” tanya orang yang bersuara tajam tadi.

“Thio-susiok bilang dia adalah ahli waris dari Ko-bong-pay, oleh sebab itu, meski usianya masih muda, namun kepandaiannya sungguh sangat hebat,” sahut Ki Jing-si.

Yo Ko menjengek demi mendengar orang menyebut “Ko-bong-pay”.

“Ko-bong-pay apakah?” rupanya orang yang bersuara tajam itu tidak mengerti.

“Menurut Thio-susiok, orang dari golongan mereka selamanya jarang sekali berkecimpung di dunia Kangouw, karena itu nama mereka tidak terkenal dalam Bu-lim, pantas kalau Han-cecu tidak kenal,” demikian sahut Ki Jing-si.

“Oh, kalau begitu, agaknya tidak perlu dipandang berat,” kata orang yang dipanggil Han-cecu itu. “Dan di mana besok harus bertemu? Pihak lawan mendatangkan berapa orang?”

“Thio-susiok sudah janji dengan wanita itu untuk bertemu besok lohor di lembah Cay-long-kok yang 40 li jauhnya dari sini ke jurusan barat, di situlah kedua pihak akan menentukan siapa yang unggul dan siapa yang asor,” Ki Jing-si menjelaskan. “Soal di pihak lawan ada berapa orang, aku tidak tahu. Tetapi kalau sudah ada Han-cecu dan Tan-lokunsu yang membantu kami, tak perlu lagi kita takut meski mereka berkawan banyak.”

Lalu terdengar suara seorang tua berkata: “Baiklah kalau begitu, besok tepat lohor kami pasti datang. Marilah kita pergi, Han-laute.”

Lalu Ki Jing-si mengantar tetamunya keluar kamar. Ketika sampai di depan pintu, dengan suara bisik-bisik terdengar ia pesan orang:

“Tempat ini tak jauh dari Tiong-yang-kiong, urusan kita akan bertanding dengan orang sekali-kali jangan sampai diketahui Ma, Khu dan Ong (maksudnya Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it). Kalau sampai ketahuan, pasti kita akan didamperat.”

Han-cecu bergelak tawa oleh pesan itu. “Kalian takut pada Ma Giok dan Khu Ju-ki imam-imam tua itu, tetapi sebaliknya kami tidak berada di bawah perintahnya,” demikian katanya.

“Sudahlah, kau tidak usah kuatir,” demikian Tan-lokunsu menyelak, “pasti kami tidak akan membocorkan rahasia ini.”

Mendengar percakapan terakhir mereka ini, diam-diam Yo Ko membatin, kiranya mereka hendak keroyok Kokoh dan para imam tua sebangsa Ma Giok tiada yang mengetahui. Meski Yo Ko tidak berkesan baik pada Coan-cin-kau, tetapi bila mengingat Ma Giok dan Khu Ju-ki toh tidak jelek juga terhadap dirinya, karenanya terhadap kedua imam tua itu dia tidak menyimpan dendam, hanya kepada Hek Tay-thong yang membinasakan Sun-popoh itulah dia telah ambil keputusan kelak pasti akan menuntut balas.

Sementara itu keempat orang yang di luar sesudah berunding dengan suara perlahan lagi, kemudian Han-cecu dan Tan-lokunsu pergi dengan melompati pagar tembok lagi, Ki Jing-si dan Bi Jing-hian mengantar juga keluar, keadaan menjadi sepi.

Tiba-tiba pikiran Yo Ko tergerak, segera ia buka pintu perlahan, dengan cepat ia menyelinap masuk kamar kedua imam di sebelah itu. Ia lihat di atas pembaringan kamar tergeletak dua buntalan. Dia ambil satu bungkusan itu dan merogoh isinya, kiranya di dalam ada uang perak sekitar 20 tahil.

“Ha, kebetulan, memang aku sedang kekurangan duit,” demikian pikir Yo Ko, lalu dia pindahkan uang perak itu ke dalam sakunya sendiri.

Ia lihat bungkusan lain yang rada panjang, kiranya berisi dua batang pedang. Sengaja Yo Ko melolos pedang itu satu per satu dan dengan tekanan tenaga berat ia patahkan garan pedang lalu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya dan dibungkus lagi dengan rapi. Selagi dia hendak keluar kembali, pikirannya tergerak pula, dia lepas kolor dan buka celana terus kencingi kasur di kolong selimut kedua imam itu hingga basah kuyup.

Sementara itu dia dengar di luar ada suara orang melompati pagar. Dia tahu tentu kedua imam itu telah kembali, dapat diketahuinya pula bahwa ilmu entengkan tubuh kedua imam itu ternyata biasa saja, sebab tidak mampu dengan sekali lompat melintasi pagar tembok, melainkan harus tancapkan kaki dahulu di atas pagar untuk kemudian baru loncat turun.

Lekas Yo Ko menyelusup kembali ke kamarnya sendiri. Ia tutup pintu kamarnya dengan perlahan, nyata sama sekali kedua imam itu tidak merasa bahwa mereka sedang diincar orang. Setelah berada di kamarnya sendiri, Yo Ko pasang kuping ke dinding kamar untuk mendengarkan gerak-gerik dan suara apa yang bakal terjadi di kamar sebelah. Ia dengar kedua imam itu masih berembuk dengan suara rendah, agaknya mereka cukup yakin bakal menang akan pertarungan besok, maka sembari bicara mereka pun buka baju dan naik ke.

Akan tetapi baru saja Bi Jing-hian memasukkan kakinya ke dalam selimut, mendadak dia berteriak:

“He, apa ini basah becek di dalam selimut? Aih, baunya! He, Ki-suheng, sudah tua, kenapa kau masih ngompol?”

“Apa? Ngompol?” sahut Ki Jing-si bingung, tetapi segera pula ia sendiri ikut berteriak: “He, ya, dari manakah kucing keparat yang kencing di sini?”

“Kencing kucing mana bisa begini banyak,” ujar Bi Jing-hian.

“Ya, memang aneh,” kata Ki Jing-sin, kemudian tiba-tiba ia berteriak pula: “He, di manakah uang perak kita?”

BegituIah seluruh kamar menjadi geger dan kacau-balau, kedua imam ini sibuk mencari uang perak mereka. Sudah tentu mereka tidak bakal menemukannya.

Diam-diam Yo Ko sangat senang dan merasa geli, sementara itu dia dengar Bi Jing-hian sedang berteriak-teriak lagi.

“He, pelayan, pelayan! Apakah hotelmu ini hotel perampok, mengapa tengah malam buta mencuri uang tamu?”

Karena suara ribut ini, pelayan hotel datang menanyakan sambil masih kucek matanya yang sepat. Tanpa ter-duga segera Bi Jing-hian pegang baju dada si pelayan dan menuduh hotel ini adalah hotel perampok, kenapa malam-malam menggasak uang tetamu.

Tentu saja si pelayan tak mau terima tuduhan itu, lalu terdengar dia berteriak penasaran. Dengan sendirinya pegawai hotel lainnya dimulai dari tukang api sampai pada kuasa hotel lantas terjaga semua dari tidur mereka dan merubung datang, menyusul pula para tetamu lain pun be-runtun ikut terbangun dan be-ramai datang menonton keributan itu. Dan di antara mereka terdapat pula si nakal, Yo Ko.

Begitulah dengan menahan perasaan geli Yo Ko melihat pelayan hotel itu sedang ‘main pidato’. Dasar pelayan ini memang ceriwis lagi pula pandai bicara, maka Bi Jing-hian dan Ki Jing-si berdua terdesak oleh debatannya hingga tak sanggup berkata lagi.

Dari malu Bi Jing-hian menjadi marah, begitu ayun tangannya, kontan ia persen si pelayan dengan sekali tamparan. Keruan pelayan itu menjadi kalap, tanpa pikir lagi dia menubruk maju hendak adu jiwa. Tapi sebelum dia datang dekat, menyusul kaki Bi Jing-hian sudah melayang, dia tambahi si pelayan dengan sekali tendangan hingga pelayan itu terjungkal.

Melihat imam ini tanpa sebab memukul orang, keruan pegawai hotel lainnya sama solider, mereka berteriak dan be-ramai merangsak maju hendak mengeroyok. Sudah tentu beberapa orang yang tak masuk hitungan ini bukan tandingan kedua imam itu. Hanya dalam waktu sekejap saja, baik kuasa hotel, tukang api dan Iain-lainnya mendapat hajaran.

Yo Ko girang sekali menyaksikan peristiwa hasil perbuatannya itu. Dengan geli ia kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur lagi, ia tidak pusingkan apa yang terjadi lebih lanjut dari lelakon di luar itu.

Besoknya, pada waktu Yo Ko sarapan pagi, dilihatnya si pelayan yang ceriwis itu sedang mendatangi dan menyapa kepadanya. Mukanya terlihat babak-belur dan hidung bengkak, meski pun demikian toh pelayan ini masih tiada hentinya mencaci maki tentang kejadian tadi malam.

“Mana kedua imam bangsat itu?” dengan tertawa Yo Ko bertanya.

“Hm, memang imam bangsat keparat, sudah memukul orang, masih gegares dan tinggal gratis, sesudah itu lantas angkat kaki,” demikian kata si pelayan dengan marah. “Hmm, hari ini pasti akan kulaporkan ke Tiong-yang-kiong. Biasanya imam-imam di Cong-lam-san ini semuanya sopan-santun, entah dari mana mendadak bisa muncul imam bangsat liar seperti mereka ini.”

Yo Ko tidak tertarik lagi dengan obrolan orang, segera ia bereskan rekening hotel sambil menanyakan jalan yang menuju ke Cay-long-kok atau lembah srigala, dan kesanalah dia lantas pergi. Tidak berapa lama Yo Ko telah menempuh perjalanan sejauh dua puluhan li, Cay-long-kok atau ‘lembah srigala’ itu sudah tidak jauh lagi di depan. Cuaca waktu itu agaknya masih pagi, maka keadaan sepi-sepi saja.

“Biarlah aku sembunyi dulu dan menyaksikan cara bagaimana Kokoh bereskan kawanan pengganas itu, paling baik kalau Kokoh seketika tak bisa mengenali aku,” demikian Yo Ko berpikir.

Segera pula teringat olehnya tempo hari pernah menyamar sebagai anak gunung dan dia telah berhasil mengingusi Ang Ling-po. Teringat akan ini hati Yo Ko menjadi geli, ia ambil keputusan hendak meniru cara itu sekali lagi.

Segera dia mendatangi satu rumah petani, ia longak-longok ke sana ke sini, tiada seorang pun yang dia lihat. Di kandang hewan di belakang rumah itu ia lihat ada seekor sapi jantan yang besar yang rupanya sedang mengamuk, binatang ini tundukkan kepala dan gunakan tanduknya untuk menyongkel serta menumbuk pagar kayu yang melingkarinya, begitu keras tumbukannya hingga terdengar suara gedubrakan yang tiada hentinya.

Nampak adanya sapi jantan besar ini, Yo Ko mendapatkan satu pikiran. “He, kenapa aku tidak menyamar sebagai penggembala sapi saja, biar Kokoh melihat diriku juga pasti tak mengenal aku lagi.” demikian keputusannya.

Begitulah Yo Ko lantas melompat masuk ke dalam rumah. Ia cari barang lain yang sekiranya cocok baginya, akhirnya dapatlah dia ambil sepasang baju petani yang sudah robek, ia ganti pakai sepatu rumput pula dan poles mukanya dengan lumpur agar terlihat kotor dan lebih mirip bocah angon, kemudian ia mendekati kandang sapi tadi.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar