Rabu, 23 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 039

“Tetapi Suhu sangat baik terhadap diriku, ayah!” demikian ia jelaskan.

Tiba-tiba Auwyang Hong menjadi cemburu, “Dia baik, apa aku tidak?” teriaknya.

“Baik, kau pun baik,” sahut Yo Ko cepat sambil tertawa, “Di dunia ini hanya kalian berdua saja yang baik terhadap diriku.”

Karena itu dengan memegangi tangan Yo Ko, Auwyang Hong menyengir. “Ilmu silat yang kau pelajari itu sesungguhnya tidak jelek juga,” katanya kemudian, “cuma sayang dua macam ilmu paling hebat di dunia ini tak kau pelajari satu pun.”

“Ilmu apakah itu?” tanya Yo Ko.

Se-konyong-konyong Auwyang Hong menarik muka, alisnya yang tebal se-akan menegak.

“Percuma kau sebagai seorang berilmu silat, sampai dua ilmu sakti di jagat ini saja tidak kau kenal, lalu apa gunanya kau angkat dia sebagai guru?” bentaknya tiba-tiba.

Melihat orang sebentar girang sebentar marah, hati Yo Ko bukan menjadi takut sebaliknya dia merasa sedih. “Nyata penyakit ayah sudah terlalu mendalam, entah kapan baru bisa sembuh kembali?” demikian ia berpikir.

Sementara itu terdengar Auwyang Hong bergelak ketawa. “Ha, ini biar ayah mengajar kau,” katanya, “Kedua macam ilmu mujijat itu adalah Ha-mo-kang dan Kiu-im-cin-keng. Semasa kecilmu aku sudah mengajarkan kau sedikit penuntun dasarnya, sekarang coba kau berjungkir dan berlatih di hadapanku!”

Memang semenjak Yo Ko masuk kuburan kuno itu, sudah lama dia tidak berlatih lagi ilmu menjungkir dengan kepala di bawah itu. Kini diingatkan kembali tentu saja dengan senang hati dia menurut. Dahulu ketika masih di Tho-hoa-to saja Yo Ko sudah berlatih dengan masak sekali, kini ditambah lagi Iwekang-nya telah tinggi sekali, keruan seperti macan tumbuh sayap saja, ia bisa berputar kayun secepat kitiran dengan kepala menjungkir di bawah.

“Bagus, bagus! Segera kuajarkan pula seluruh intisari yang paling hebat!” seru Auwyang Hong kegirangan.

Kemudian betul saja dia lantas gerakkan kaki dan tangannya, dia mencerocos tiada hentinya, dia tidak urus apakah Yo Ko bisa ingat seluruhnya atau tidak, tetapi sejak mulai dia terus menutur seperti mitraliur.

Di Iain pihak setelah mendengar beberapa kali ajaran Auwyang Hong, hati Yo Ko tiba-tiba tergerak. Ia merasa setiap kata, setiap istilah ternyata luas sekali artinya, tidak bisa dipahami seluruhnya. Terpaksa ia pergunakan ketajaman otaknya untuk mengingatnya dengan paksa.

Sesudah Auwyang Hong mencerocos tak lama, tiba-tiba dia tepuk tangan dan berseru pula:

“He, celaka, jangan-jangan si budak cilik itu ikut mencuri dengar!”

Segera ia pergi ke belakang pohon sana, ia dekati Siao-liong-li dan bilang padanya: “ehh, budak cilik, sekarang aku sedang mengajarkan ilmu kepandaian kepada anakku, jangan kau mencuri dengar.”

“Macam apakah kepandaianmu itu? Siapa yang pingin mendengarkan?” sahut Siao-liong-Ii dengan sikap dingin.

Sejenak Auwyang Hong tertegun oleh jawaban orang. “Baik, kalau begitu kau menyingkir yang jauh,” katanya kemudian.

Tetapi Siao-liong-li sama sekali tak menggubris, ia masih bersandar pada batang pohon besar itu.

“Hm, mengapa aku harus turut perintahmu? Kalau aku suka pergi segera aku akan pergi, kalau tidak suka, tak akan aku pergi,” demikian sahutnya ketus.

Keruan Auwyang Hong marah hingga rambut alisnya se-akan berdiri, dia ulurkan tangan hendak mencakar muka Siao-liong-li. Akan tetapi Siao-liong-li masih tak gubris, bahkan dia pura-pura tidak tahu atas serangan orang. Tentu saja dengan cepat jari-jari tangan Auwyang Hong menyelonong ke mukanya, tetapi sesudah dekat, tiba-tiba Auwyang Hong mendapat pikiran lain. “Ahh, dia kan Suhu anakku, tidak baik kalau aku melukai dia. Tetapi seketika aku pun tidak bisa berbuat apa-apa jika dia tak mau menyingkir pergi,” demikian ia membatin.

Karena itu segera tangan yang dia ulur itu kembali ditariknya lagi. “Baiklah, jika begitu kami saja yang menyingkir, tapi kau jangan mengintip, ya?” katanya.

Siao-Iiong-li pikir meski orang ini sangat tinggi ilmu silatnya, tetapi orangnya dogol, maka ia pun malas buat meladeninya, ia malah berpaling ke jurusan lain dan tak menjawab. Tapi siapa tahu begitu dia melengos, mendadak punggungnya terasa kesemutan. Kiranya Auwyang Hong tiba-tiba sudah ulur tangan dan menotok sekali pada Hiat-to di punggungnya. Oleh karena gerak tangannya terlalu cepat dan aneh, pula sama sekali Siao-liong-li tidak me-nyangka, ketika dia kaget dan bermaksud tutup jalan darahnya buat menolak totokan orang, sudah terlambat. Seketika setengah badannya bagian atas terasa tak bebas lagi. Bahkan menyusul Auwyang Hong menambahi pula sekali tutukan di pinggangnya.


LENYAPNYA SIU-KIONG-SEH

“Nah, budak cilik, jangan kau kuatir, sebentar saja sesudah selesai aku ajarkan ilmu pada anakku, segera aku datang melepaskan kau,” demikian terdengar Auwyang Hong berkata dengan tertawa sambil berjalan pergi.

Tatkala itu Yo Ko sedang meng-ingat-ingat Ha-mo-kang dan Kiu-im-cm-keng yang diajarkan oleh ayah angkatnya tadi. Ia merasa apa yang diajarkan dari Cin-keng atau kitab asli itu, bukan saja berlainan dengan apa yang terukir di kamar batu oleh Ong Tiong-yang, bahkan seluruhnya berlawanan dan terbalik, maka dia sedang peras otaknya untuk menyelaminya lebih mendalam hingga sedikit pun dia tak mengetahui sang guru kena diserang Auwyang Hong.

“Marilah kita menyingkir ke sana agar jangan sampai didengar oleh Suhu-mu,” demikian kata Auwyang Hong sambil tarik tangan Yo Ko.

Tetapi Yo Ko cukup kenal tabiat Siao-liong-li yang aneh dan menyendiri. Jangan kata tidak akan si gadis ini sudi mencuri dengar, sekali pun dipertontonkan di depannya, belum tentu dia mau lihat dan pasti dia akan menyingkir juga.

Tetapi karena pikiran ayah angkatnya dalam keadaan kurang waras, ia pun merasa tidak perlu banyak berdebat, segera ia ikut pergi.

Sementara itu karena kena ditotok jalan darahnya, dengan lemas tubuh Siao-liong-li terkulai di tanah. Sungguh tidak kepalang rasa mengkalnya pula geli. Ia pikir ilmu silatnya sendiri meski sudah terlatih masak dan bagus, namun betapa pun juga masih kurang pengalaman menghadapi musuh, sehingga kena dibokong oleh Li Bok-chiu, dan kini mengalami pembokongan lagi oleh makhluk aneh si berewok ini.



Maka diam-diam dia kumpulkan tenaga sakti dari apa yang dia pelajari dalam Kiu-im-cin-keng, yaitu ‘Kay-hiat-pi-koat’, rahasia cara melepaskan totokan. Dia sedot napasnya dalam-dalam terus menggempur aliran jalan darahnya.

Akan tetapi aneh! Sesudah dua kali dia ulangi, bukan saja Hiat-to yang tertotok itu tidak menjadi lancar dan terbuka, bahkan bertambah pegal dan linu. Keruan saja tidak kepalang terkejutnya oleh kejadian yang tak dimengerti ini.

Kiranya cara totokan Auwyang Hong justru berlawanan dengan jalan darah biasa, karena memang ia melatih Kiu-im-cin-keng secara terbalik. Kini Siao-liong-li memakai cara biasa untuk membebaskan diri, dengan sendirinya bukan menjadi kendor, sebaliknya bertambah kencang dan makin rapat. Dan karena sudah coba dan dicoba lagi masih belum berhasil, bahkan bertambah sakit, akhirnya Siao-liong-li tak berani coba lagi.

Terpikir pula olehnya bahwa nanti sehabis si gila ini selesai mengajarkan ilmu pada Yo Ko. dengan sendirinya dia akan kembali untuk menolongnya. Biasanya Siao-liong-li memang tidak suka banyak pikiran, maka kini dia pun tidak menjadi kuatir atau gugup, bahkan dia ter-mangu sambil menengadah untuk memandang bintang yang tinggi di langit, hingga lapat-lapat akhirnya ia tertidur.

Entah sudah berapa lama dia pulas ketika merasa kelopak matanya perlahan seperti tergosok sesuatu. Dia terjaga dari tidurnya, dia coba membuka mata. Biasanya dalam kegelapan Siao-liong-li bisa memandang sesuatu seperti siang hari, tapi kini sedikit pun ternyata tidak dilihatnya. Ternyata kedua matanya sudah ditutup orang dengan selapis kain. Luar biasa kaget Siao-liong-li sekali ini, malah menyusul ini segera terasa pula ada orang yang memeluk dirinya. Pada waktu memeluk, mula-mula orang ini agaknya rada takut, tetapi belakangan lambat laun menjadi tabah dan perlahan menjadi berani.

Dalam kagetnya itu niat Siao-Iiong-Ii hendak berteriak, namun percuma sebab mulutnya susah dipentang karena totokannya Auwyang Hong tadi. Segera ia merasa orang itu berani mencium pipinya. SemuIa Siao-liong-li menyangka Auwyang Hong yang tiba-tiba telah memakai kekerasan hendak memperkosa dirinya. Tetapi ketika muka orang itu menyentuh pipinya, dia merasa muka orang halus licin saja tanpa berewok seperti Auwyang Hong.

Hatinya terguncang , rasa terkejutnya perlahan hilang. Maklum, Siao-liong-li pun masih muda, di hatinya terpikir tentu ini perbuatan si Yo Ko. Ia merasa kelakuan orang mulai tidak sopan, tangan meraba sini dan menarik sana.

“Kurang ajar si Yo Ko ini!” demikian diam-diam Siao-liong-li mengelak.

Tetapi karena tubuhnya sedikit pun tak bisa berkutik, maka tiada jalan lain ia serahkan diri apa yang hendak diperbuat orang, hanya saja tidak keruan rasa dalam hatinya. Ia terkejut girang, malu dan rada-rada sakit.

Sementara itu di sebelah sana Auwyang Hong sedang asyik memberi pelajaran ilmu silat kepada Yo Ko. Ia menjadi senang demi nampak bakat Yo Ko sangat pintar, sedikit diberi-tahu saja, lanjutannya dengan sendirinya dipahami. Oleh karena itulah semakin mengajar Auwyang Hong semakin bersemangat, hingga fajar menyingsing barulah pokok kedua ilmu mujijat itu selesai diajarkan.

“Ayah, pernah juga kupelajari Kiu-im-cin-keng, tetapi kenapa berlainan sekali dengan apa yang kau uraikan ini?” tanya Yo Ko kemudian sesudah pelajaran yang baru diperolehnya itu diulangi dan diapalkan lagi.

“Apa?! Pernah kau pelajari? Ahh, bohong! Kecuali ajaranku ini, mana ada lagi Kiu-im-cin-keng lain?” sahut Auwyang Hong membentak.

“Tetapi betul, seperti cara melatih melemaskan otot dan menguatkan tulang, menurut kau, langkah ketiga harus sedot napas dan jalankan darah ke arah atas. Tapi Suhu sebaliknya bilang napas harus dipusatkan di perut dan darah dilancarkan ke bawah,” kata Yo Ko.

“Mana bisa begitu? Salah, salah...!” teriak Auwyang Hong sambil geleng kepala. Namun baru sampai di sini tiba-tiba dia berhenti, dia berpikir sejenak, lalu disambungnya lagi: “eh, ehm, nanti dulu...”

Habis ini ia coba melakukan apa yang dikatakan Yo Ko tadi. Betul saja, seluruh badannya dirasakan sangat nyaman dan segar, ternyata sangat berbeda dengan caranya sendiri.

Sudah tentu tidak pernah dia pikir bahwa dahulu dia sudah dipermainkan Kwe Ceng yang atas suruhan Ang Chit-kong (salah satu gurunya Kwe Ceng) telah menuliskan kitab palsu Kiu-im-cin-keng yang telah diubah sana sini dan diputar-balik tak keruan untuk kemudian baru diserahkan kepadanya. Maka dengan sendirinya hasil dari apa yang dilatihnya juga menjadi terjungkir-balik dan berlawanan dengan intisari Kiu-im-cin-keng yang asIi.

BegituIah, maka Auwyang Hong menjadi bingung, pikirannya kacau lagi. “He, mengapa bisa begini? Ahh, mana bisa? Sesungguhnya aku yang salah atau dia yang keliru? Ahh, mana bisa, mana bisa jadi begini?” demikianlah Auwyang Hong mengomel sendiri tiada hentinya.

Yo Ko menjadi kaget melihat kelakuan orang yang tak beres ini. “Ayah, ayah!” ia coba memanggil beberapa kali, tetapi tiada sahutan yang dia peroleh. Yo Ko menjadi kuatir penyakit ayah angkatnya ini kumat lagi.

Sedang dia terkejut itu, tiba-tiba terdengar olehnya suara gemerisik di antara semak rumput sana, berbareng itu dilihat berkelebatnya bayangan orang, lapat-lapat di antara semak itu tampak sebagian dari ujung jubah imam yang ke-kuning-kuning-an. Sebenarnya tempat ini sunyi senyap dan terpencil, kenapa sekarang bisa didatangi orang luar? Pula kelakuan orang itu celingukan tidak beres, terang tidak mengandung maksud baik. Demikianlah Yo Ko menjadi curiga, maka dengan langkah cepat segera ia memburu ke sana.

Akan tetapi dengan cepat orang itu sudah kabur ke jurusan sana, apa bila melihat bagian belakangnya, nyata seorang Tojin atau imam.

“Hai, siapa kau?!” segera Yo Ko membentak. “Hayo, berhenti! Apa kerjamu disini?”

Sambil berteriak, dengan Ginkang yang tinggi segera Yo Ko mengudak. Di lain pihak demi mendengar suara bentakan Yo Ko, imam itu semakin percepat larinya, tetapi mana sanggup dia balapan lari dengan Yo Ko, hanya sedikit ‘tancap gas’ saja Yo Ko sudah melompat sampai di belakangnya. Begitu pundaknya dia cekal dan diputar balik, seketika Yo Ko menjadi heran, sebab imam ini dapat dikenalnya bukan lain dari pada In Ci-peng, itu murid Khu Ju-ki dari Coan-cin-kau.

Yo Ko makin tak mengerti ketika dilihatnya pakaian In Ci-peng kusut tak teratur, mukanya sebentar merah dan sebentar pucat.

“He, katakan, kerja apa kau di sini?” Yo Ko menegur lagi.

In Ci-peng terhitung salah satu jago utama dari anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, ilmu silatnya tinggi, tindak tanduknya biasanya juga cukup gagah. Tetapi entah mengapa, kini sama sekali dia berubah lain, kena di-bentak Yo Ko tadi, kelihatan dia menjadi gugup hingga tak sanggup bicara.

Melihat orang tetap tak menjawab meski pun beberapa kali ia mengulangi pertanyaannya, keruan Yo Ko tambah tidak mengerti. Namun segera teringat olehnya dahulu In Ci-peng pernah menanam budi atas dirinya ketika dia melarikan diri dari Tiong-yang-kiong. Oleh karenanya dia tidak tega untuk membentak lebih lanjut lagi.

“Baiklah, kalau tidak ada apa-apa, bolehlah kau pergi!” demikian katanya kemudian sambil melepaskan In Ci-peng.

Keruan saja In Ci-peng seperti terlepas dari genggaman elmaut, sambil menoleh beberapa kali memandang Yo Ko, segera dia lari pergi dengan langkah cepat dan ketakutan seperti orang berdosa.

“Sungguh menggelikan kelakuan imam ini.” demikian Yo Ko tertawai orang.

Lalu dia menuju ke gubuk mereka, tetapi di antara semak di depan gubuk sana tiba-tiba dilihatnya sepasang kaki Siao-liong-Ii melonjor keluar tanpa bergerak sedikit pun, agaknya seperti sedang tertidur nyenyak.

“Kokoh, Kokoh!” Yo Ko coba memanggil.

Akan tetapi tiada jawaban. Dia berjongkok dan menyingkap semak yang lebat itu, maka terlihat Siao-liong-li rebah terlentang di tanah, sedang kedua matanya tertutup oleh selapis kain biru.

Rada kaget juga Yo Ko melihat keadaan sang guru. Ia lekas melepaskan ikatan kain biru dari muka orang, dilihatnya wajah serta sorot matanya berlainan sekali dengan biasanya, kedua pipinya pun bersemu merah ke-malu-maluan.

“Kokoh, siapakah yang mengikat kain ini pada dirimu?” tanya Yo Ko kemudian.

Namun Siao-liong-li tak menjawab, hanya sorot matanya tampak mengandung maksud mengomelinya. Melihat tubuh orang lemas lunglai, agaknya jalan darahnya seperti tertotok oleh orang, Yo Ko coba menariknya. Betul juga, sama sekali Siao-liong-li tak bisa bergerak.

Yo Ko memang pintar. Begitu melihat keadaan orang, segera dapat menerka apa sebab-musababnya. “Tentu dia ditotok ayah angkatku dengan Tiam-hiat-hoat yang terbalik, jika tidak, dengan kepandaian Kokoh, Tiam-hiat-hoat yang lebih lihay sekali pun tentu dapat dibukanya sendiri,” demikian pikirnya.

Maka dengan cara yang telah dipelajarinya dari Auwyang Hong tadi, Yo Ko lalu membuka Hiat-to Siao-liong-li yang tertotok itu. Siapa tahu, sesudah tubuh Siao-liong-li tertotok oleh Yo Ko, toh Siao-liong-li tetap lemah lunglai dan meringkuk dalam pangkuan Yo Ko seperti seluruh tubuhnya tidak bertulang lagi.

“Kokoh,” kata Yo Ko dengan suara halus sambil memegang lengan orang, “kelakuan ayah angkatku memang tidak genah, maka jangan kau sesalkan dia.”

“Kau sendiri tidak genah. Tidak tahu malu, masih kau bilang orang Iain!” sahut Siao-liong-li tiba-tiba secara samar dan menyembunyikan mukanya ke dalam pangkuan pemuda itu.

Melihat kelakuan sang guru semakin aneh dan berbeda sekali dengan se-hari-harinya, Yo Ko mulai bingung.

“Kokoh, ak... aku...” demikian kata-katanya menjadi tak lancar.

“Masih kau panggil aku Kokoh?” omel Siao-liong-li sambil mendongak.

Keruan saja Yo Ko semakin bingung dan gugup. “He, tidak panggil kau Kokoh, lalu panggil apa? Apa panggil Suhu saja?” sahutnya heran.

“Kau perlakukan aku cara begitu, mana bisa lagi aku menjadi gurumu?” kata Siao-liong-li dengan senyum malu-malu.

“Aku? Aku kenapa?” Yo Ko tambah tak mengerti.

Akan tetapi Siao-liong-li tidak menjawab lagi. Dia gulung lengan bajunya, maka tampaklah tangannya yang berkulit putih bersih seperti salju.

“Lihat!” katanya dengan wajah ke-maluan sambil menunjuk lengannya yang putih mulus itu. Ternyata andeng-andeng merah ‘Siu-kiong-seh’ yang dahulu terdapat di lengannya itu kini sudah hilang tanpa bekas.

Yo Ko masih bingung, ia cakar kuping dan garuk kepala. “Kokoh, apa artinya ini?” demikian katanya.

“Dengarkan, tak boleh lagi kau panggil aku Kokoh,” ujar Siao-liong-li setengah mengomel. Dan demi dilihatnya wajah Yo Ko mengunjuk bingung, entah mengapa hati gadis ini tiba-tiba timbul rasa cinta mesra yang tak terkatakan.

“Ahli waris Ko-bong-pay kita selamanya turun-temurun gadis suci bersih,” lalu dengan suara perlahan Siao-liong-li berkata pula. “sebab itu Suhu menisik satu titik andeng-andeng merah di tanganku. Tetapi semalam... semalam kau perlakukan aku begitu, mana bisa lagi andeng-andeng merah itu tinggal di atas tanganku?”

“Aku perlakukan kau apa semalam?” tanya Yo Ko dengan bingung.

Muka Siao-liong-li menjadi merah jengah. “Sudahlah, itu tak perlu dibicarakan lagi,” sahutnya kemudian, dan sesudah sejenak pula, dengan perlahan ia berkata lagi: “Dahulu aku takut turun gunung, tetapi kini sudah lain, tidak peduli ke mana kau pergi, dengan rela aku akan mengikuti kau.”

“Bagus sekali, Kokoh, kalau begitu!” seru Yo Ko girang.

“He, kenapa masih saja kau memanggil aku Kokoh?” tegur Siao-liong-li dengan wajah ber-sungguh-sungguh. “Apa kau tidak dengan hati murni terhadap diriku?”

Karena Yo Ko tidak menjawab, akhirnya Siao-liong-Ii menjadi tak sabar lagi. “Sebenarnya kau anggap diriku ini apamu?” tanyanya dengan suara gemetar.

“Kau adalah guruku, kau sayang padaku, aku telah bersumpah bahwa selama hidupku ini pasti menghormati kau dan suka padamu,” demikian dengan sungguh-sungguh dan tulus Yo Ko menjawab.

“Apa kau tidak anggap aku sebagai isterimu?” teriak Siao-liong-li tak tahan.

Sungguh hal ini belum pernah terlintas dalam pikiran Yo Ko, kini mendadak ditanya orang, keruan ia kelabakan dan tak mengerti cara bagaimana harus menjawabnya.

“Ti... tidak, tak mungkin kau adalah isteriku, mana aku cukup cakap?” demikian sahutnya kemudian dengan tak lancar. “Tetapi kau adalah Suhu, adalah Kokoh-ku.”

Tidak kepalang marahnya Siao-liong-li mendengar jawaban ini sehingga seluruh tubuhnya gemetar, mendadak darah segar menyembur keluar dari mulutnya.

“Kokoh, Kokoh...!” Yo Ko ber-teriak bingung melihat keadaan ini.

Mendengar orang terus-menerus masih memanggil demikian padanya, dengan sorot mata yang gemas tiba-tiba Siao-liong-li angkat telapak tangannya terus hendak digablokkan ke kepala Yo Ko. Tapi perlahan-lahan sorot matanya dari gemas dan menyesal tadi berubah menjadi benci dan dendam, lalu dari benci dan dendam berganti lagi menjadi sayang dan kasihan.

“Baiklah, kalau begitu selanjutnya jangan kau bertemu dengan aku lagi,” sambil menghela napas panjang akhirnya ia berkata dengan lirih dan lemah.

Habis berkata dia kebaskan lengan bajunya yang panjang, terus putar tubuh dan lari pergi dengan cepat turun ke bawah gunung.

“Kokoh, Kokoh! Ke mana kau? Aku ikut bersama kau!” Yo Ko ber-teriak-teriak.

“Kalau kau bertemu lagi dengan aku, mungkin jiwamu sulit kuampuni,” sahut Siao-liong-li tiba-tiba sambil menoleh.

Dalam bingungnya Yo Ko semakin tak tahu apa yang harus dia lakukan. Karena tertegun ini, sementara bayangan Siao-liong-li sudah menghilang di antara jalan pegunungan yang menurun itu. Sungguh tak kepalang berdukanya Yo Ko hingga dia menangis ter-gerung-gerung. Sungguh tak dimengerti olehnya sebab apakah dia membuat gurunya begitu marah hingga kelakuannya begitu aneh. Kenapa sang guru bilang mau jadi isterinya, pula melarang dia memanggil Kokoh lagi padanya? Semua ini membuatnya bingung.

“Ya, tentu urusan ini ada hubungannya dengan ayah angkatku, pasti dia yang bikin marah Suhu,” demikian akhirnya Yo Ko menarik kesimpulan sesudah berpikir lama.

Lalu dia pergi ke dekat Auwyang Hong lagi, di situ dia melihat orang tua ini sedang berdiri tegak dengan kedua matanya terbelalak tanpa berkedip.

“Ayah, sebab apakah kau membikin marah guruku?” segera Yo Ko bertanya.

Akan tetapi Auwyang Hong tidak menjawab, hanya terdengar mulutnya bergumam sendiri:

“Kiu-im-cin-keng, Kiu-im-cin-keng!”

“He, kenapa kau totok jalan darah guruku hingga bikin dia begitu marah?” kembali Yo Ko tanya lagi.

Namun Auwyang Hong tetap tidak menjawab. Dia berkata seorang diri pula: “Sebenarnya harus dijalankan ke atas atau ditekan ke bawah?”

“He, ayah!” teriak Yo Ko akhirnya, dia menjadi tidak sabar, “aku tanya kau tentang Suhu, katakanlah, apa yang telah kau lakukan terhadap dia?”

“Siapa gurumu? Siapa aku? Siapakah Auwyang Hong?” tiba2 Auwyang Hong ber-teriak sendiri.

Melihat penyakit gila orang kumat lagi, Yo Ko jadi kuatir tercampur kasihan. “Ayah, tentu kau sudah letih, marilah mengaso ke dalam gubuk,” ajaknya kemudian.

Tetapi mendadak Auwyang Hong berjumpalitan dan tahu-tahu tubuhnya sudah menjungkir sambil ber-teriak:

“Siapakah aku ini? Siapakah aku ini? Di manakah Auwyang Hong?”

Berbareng itu kedua tangannya bergerak-gerak tak keruan, tubuhnya yang menjungkir pun berputar cepat, dengan kepala di bawah secepat angin Auwyang Hong ber-lari ke bawah gunung.

“Ayah, ayah!” dalam bingungnya Yo Ko coba menarik orang.

Siapa duga mendadak Auwyang Hong memancal dengan sebelah kakinya yang dengan tepat mengenai rahang Yo Ko. Depakan ini sedikit pun ternyata tak kenal ampun hingga Yo Ko tak tahan berdiri tegak lagi. Dia jatuh terjengkang. Sesudah dia berdiri lagi, sementara itu Auwyang Hong sudah pergi jauh dan sekejap saja lantas menghilang dari pandangan.

Dengan terkesima Yo Ko terpaku pada tempatnya, entah perasaan apa yang dia rasakan waktu itu. Suasana sekelilingnya seakan-akan sunyi senyap, sayup-sayup diselingi suara berkicaunya burung.

“Kokoh! Ayah! Kokoh! Ayah!” akhirnya Yo Ko ber-teriak seorang diri.

Sudah tentu tiada sesuatu sahutan dari kedua orang yang dipanggil itu, yang ada hanya suaranya sendiri yang berkumandang balik dari lembah pegunungan yang luas itu.

Dalam keadaan demikian Yo Ko menjadi putus asa, perasaannya seakan-akan hancur. Maklumlah, selama beberapa tahun ini boleh dikatakan tidak pernah dia berpisah dengan Siao-liong-li, hubungan mereka begitu rapat bagaikan ibu dan anak. Kini mendadak tanpa diketahui apa sebabnya orang pergi begitu saja, sudah tentu tidak keruan rasa hatinya.

Dalam putus asanya itu dan memang perasaan halus Yo Ko lain dari pada orang biasa, maka hampir saja dia mau bunuh diri. Syukurlah dia masih dapat berpikir panjang, lapat-lapat timbul semacam harapan bahwa gurunya yang pergi mendadak itu mungkin akan kembali juga secara mendadak. Meski pun Kokoh dibikin marah ayah angkatnya, namun dirinya toh tiada berbuat sesuatu kesalahan, tentu sang guru akan kembali lagi mencari, begitulah dia pikir.

Tentu saja malam itu ia lewatkan sendirian tanpa bisa tidur. Beberapa kali, asal terdengar sesuatu suara gemerisik, segera ia melompat bangun mengira Siao-liong-li yang kembali. Ia berteriak dan me-manggil sambil berlari keluar, tetapi setiap kali selalu ia kecewa dan cemas. Begitulah, semalam suntuk dia sibuk merindukan Siao-liong-li sampai fajar menyingsing.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar