Selasa, 22 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 038

Nyata Yo Ko ini sangat licin. Begitu melihat kesempatan, segera dia berusaha memecah-belah antara guru dan murid.

“Anak keparat, tutup bacotmu!” damperat Li Bok-chiu marah.

Kata-kata Yo Ko tadi sebenarnya belum dipahami Siao-Iiong-li, tetapi selamanya ia membela pendirian pemuda itu, karena itu segera ia menyambung:

“Ya, memang, aku hanya dapat membawa seorang saja, tidak bisa lebih!”

“Nah, apa kataku,” ujar Yo Ko dengan tertawa. “Supek, menurut pendapatku, biarkan Suci saja yang ikut kami keluar, kau toh sudah tua, sudah hidup cukup lama bukan?”

Sungguh tak kepalang marah Li Bok-chiu hingga dadanya se-olah meledak, tapi soalnya menyangkut mati hidupnya, maka sedapat mungkin dia coba menahan api amarahnya. Ia bungkam dan tidak menjawab lagi.

“Baiklah, sekarang kita berangkat,” kata Yo Ko. “Kokoh jalan di depan sebagai penuntun jalan, aku nomor dua, dan siapa yang berada paling belakang, dia yang tidak akan dapat keluar.”

Maka tahulah sekarang Siao-liong-Ii maksud kata-kata Yo Ko, ia tersenyum manis, lalu dengan menggandeng tangan Yo Ko mereka mendahului keluar dari kamar batu itu. Saat itu juga Li Bok-chiu dan Ang Ling-po sudah berlari menyusul sehingga kedua orang ini berdesakan di ambang pintu, mereka berebutan lebih dahulu, mereka takut kalau Siao-liong-li menggerakkan alat perangkap rahasia sehingga salah seorang di antara mereka yang tertutup di bagian dalam.

“Berani kau berebutan denganku?!” bentak Li Bok-chiu marah, berbareng sebelah tangannya telah cekal pundak Ang Ling-po.

Walau pun keadaan amat berbahaya, namun Ang Ling-po kenal watak gurunya yang tak segan turun tangan kejam. Kalau dirinya tidak mengalah, pasti segera terbinasa di tangan gurunya sendiri. Karena itu terpaksa ia mundur selangkah dan mempersilakan Li Bok-chiu jalan di depan, sudah tentu dengan perasaan mendongkol tetapi takut pula.

Demikianlah, maka dengan rapat Li Bok-chiu mengintil di belakang Yo Ko, sedikit pun tak berani ketinggalan jauh. Dia merasa jalan yang ditempuh Siao-liong-li itu seperti belok ke sini dan putar ke sana, semakin jauh semakin menurun ke bawah, sementara itu kakinya terasa menginjak tempat becek. Dalam hati dia mengerti telah berada di luar kuburan kuno, hanya saja dalam kegelapan, remang-remang hanya kelihatan di mana-mana jalannya selalu me-lingkar dan ber-putar-putar.


KELUAR DARI HOAT-SU-JIN-BONG

Tak lama jalanan menjadi aneh, kini menurun lurus. Syukur ilmu silat keempat orang cukup tinggi, maka mereka tiada yang sampai terpeleset, jika orang Iain, tentu sejak tadi sudah jatuh keserimpet.

“Cong-lam-san ini memang tidak terlalu tinggi, dengan jalan cara begini, tidak lama tentu sudah berada di bawah gunung, apakah kami kini sudah berada di dalam perut gunung?” demikian Li Bok-chiu berpikir sendiri.

Sesudah jalan menurun agak lama, akhirnya jalanan mulai lapang, hanya rasa basah itu semakin banyak hingga akhirnya terdengar suara gemerciknya air, lalu betis mereka pun terendam dalam air. Tidak hanya begitu, makin jauh air makin dalam, dari betis bertambah sampai paha, dari paha terus perut dan per-lahan naik lagi sampai setinggi dada.

“Pi-gi-pit-koat (rahasia menutup jalan napas) apakah sudah kau apalkan dengan baik?” dengan suara perlahan Siao-liong-li tanya Yo Ko.

“lngat,” sahut Yo Ko lirih.

“Baik,” ujar Siao-liong-li. “Dan sebentar lagi kau harus tutup jalan napasmu, jangan sampai kemasukan air.”

“Ya, engkau sendiri juga harus hati-hati, Kokoh,” kata Yo Ko.

Siao-liong-li meng-angguk. Sedang mereka bicara, air di bawah sudah merembes sampai di tenggorokan. Keruan yang paling kaget adalah Li Bok-chiu, ia menjadi bingung.

“Sumoay, apa kau bisa berenang?” teriaknya kuatir.

“Selamanya aku hidup di dalam kuburan, mana bisa berenang?” sahut Siao-liong-li.

Hati Li Bok-chiu rada lega mendengar jawaban ini, ia melangkah maju lagi. Tak terduga air mendadak mendampar sampai mulutnya, Dalam kagetnya lekas ia mundur ke belakang. Tetapi pada saat itu juga Siao-liong-li dan Yo Ko malahan terus menyelam.

Dalam keadaan demikian, sungguh pun di depan sana sudah menanti gunung golok atau lautan pedang, terpaksa Li Bok-chiu juga menerjang maju. Dalam pada itu, mendadak dia merasakan baju di pungungnya menjadi kencang, kiranya tangan Ang Ling-po telah menjamberetnya. Li Bok-chiu menjadi dongkol, diri sendiri saja dalam keadaan bahaya, apa lagi kini malah diganduli. Dia coba meronta sekuatnya, namun tak bisa terlepas.

Maklumlah, seorang yang tidak dapat berenang, apa bila kelelap di dalam air, tentu orang akan bergolak sebisanya dan bila ada sesuatu benda sampai terpegang, maka sampai mati sekali pun tak bakal dilepaskannya. Begitulah halnya dengan Ang Ling-po sekarang.

Dengan bergandengan tangan Siao-Iiong-li bersama Yo Ko lalu menyelam ke bawah air, sementara Li Bok-chiu mencekal kencang tangan Yo Ko, sedangkan Ang Ling-po tetap menjambret baju punggungnya, mati pun tidak dilepaskan.

Tatkala itu suara menggerujuknya air sudah terdengar sangat keras. Walau pun ini adalah sungai di bawah tanah, namun suara yang berkumandang keras itu cukup mengejutkan orang. Dan akibat terdampar oleh arus air yang keras, Li Bok-chiu dan Ang ling-po menjadi terapung ke atas.

Meski pun ilmu silat Li Bok-chiu sangat bagus, tetapi dalam keadaan demikian ia menjadi gugup dan bingung. Dia ulurkan tangan menjamberet dan menarik serabutan, mendadak berhasil disentuhnya sesuatu, keruan saja ia pegang dengan kencang, mati pun tak akan dilepaskannya. Kiranya itu adalah tangan kiri Yo Ko. Saat itu Yo Ko sedang menahan napas dan sedang melangkah maju setindak demi setindak di dalam air dengan menggandeng tangan Siao-liong-li, sekarang mendadak dipegang Li Bok-chiu, lekas dia pakai Kim-na-jiu-hoat untuk melepaskan diri.

Akan tetapi sekali Li Bok-chiu sudah pegang, mana mau dilepaskan pula, meski air dingin terus-menerus masuk ke mulut dan hidungnya, bahkan sampai jatuh pingsan juga masih dipegangnya erat-erat tangan Yo Ko.



Beberapa kali Yo Ko coba kipatkan lengannya terlepas, tetapi tidak berhasil. Karena kuatir terlalu banyak membuang tenaga hingga air masuk perutnya, akhirnya ia pun membiarkan lengannya dipegang orang. Begitulah secara bererotan seperti kereta gandengan, mereka berempat berjalan terus di dasar sungai. Sesudah agak lama, akhirnya terasa sesak juga napas Siao-liong-li dan Yo Ko, mereka mulai tak tahan hingga perut mereka pun kenyang minum air.

Syukur lambat laun arus air mulai reda, keadaan tanah pun kini semakin tinggi, tidak lama kemudian mereka dapat menongol ke permukaan air. Mereka berjalan terus, makin jauh keadaan di depan sana bertambah terang, akhirnya mereka pun keluar melalui sebuah goa gunung. Tidak kepalang rasa letih Siao-Iiong-li dan Yo Ko, boleh dikatakan tenaga mereka sudah habis, apa lagi terendam lama di dalam air, maka lebih dahulu mereka kumpulkan tenaga untuk memuntahkan air di dalam perut yang kembung itu, kemudian mereka merebahkan diri di atas tanah dengan napas empas-empis.

Tatkala itu dengan kencang tangan Li Bok-chiu ternyata masih memegang lengan Yo Ko sehingga jari tangannya harus dipentang satu per satu oleh Siao-liong-Ii barulah bisa terlepas. Lalu Siao-liong-li menotok Hiat-to pada bahu Li Bok-chiu dan muridnya, kemudian baru menaruh mereka di atas batu, dengan demikian air di dalam perut mereka per-lahan mengalir keluar.

Selang agak lama, sambil mengeluarkan suara serak Li Bok-chiu sadar duluan. Tiba-tiba sinar matahari menyilaukan matanya, sekarang dia betul-betul di alam terbuka, bila ingat tadi terkurung di dalam kuburan kuno dan terancam berbagai macam bahaya, mau tak mau ia merasa ngeri. Sekarang meski separuh tubuhnya bagian atas dalam keadaan lumpuh karena ditotok Siao-liong-Ii, tapi hatinya malah jauh lebih lega dari pada tadi.

Tidak berapa lama Ang Ling-po pun tersadar, namun karena jalan darahnya ditotok, tangannya sudah tidak bertenaga lagi, maka sebelah tangannya masih tergeletak di atas punggung Suhu-nya. Cara menotok Siao-liong-li kali ini hanya dapat dibebaskan dengan ilmu ‘Kay-hiat-pit-koat’ seperti ajaran Kiu-im-cin-keng yang ditinggalkan Ong Tiong-yang, atau ditolong oleh kaum ahli, bila tidak harus tunggu 7X7 = 49 hari lagi baru bisa sembuh sendiri.

“Sekarang bolehlah kau pergi, Suci!” demikian kemudian Siao-liong-li berkata pada Li Bok-chiu.

Sungguh pun kedua tangan Li Bok-chiu dan Ang Ling-po sudah lumpuh, namun setengah badan bagian bawah masih baik-baik saja dan bisa bergerak seperti biasa, karena itu dengan bungkam guru dan murid itu saling pandang sekejap, entah rasa girang atau marah dalam hati mereka waktu itu, lalu pergilah mereka ber-iringan.

Menghadapi alam semesta dengan pemandangan yang indah permai itu, sungguh tidak terbilang rasa girang Yo Ko.

“Kokoh, bagus tidak pemandangan sekitar ini?” tanya Yo Ko.

Tetapi Siao-liong-li tidak menjawab, ia hanya bersenyum simpul. Apa bila teringat oleh mereka kejadian selama beberapa hari ini, mereka merasa seperti menjelma lagi di dunia Iain. Malam itu mereka berdua tidur seadanya di bawah sebuah pohon yang rindang. Kiranya goa gunung ini sudah berada di bawah Cong-lam-san, hanya tempatnya sangat sepi dan terpencil.

Keesokan paginya, sehabis mereka buang air, racun yang mengalir dalam tubuh mereka ternyata ikut lenyap. Apa bila menuruti Yo Ko, segera pemuda ini hendak mengajak pergi pesiar. Tetapi selamanya Siao-liong-li belum pernah berkenalan dengan dunia fana, entah mengapa, ia menjadi takut.

“Tidak, kita harus melatih dulu Giok-Ii-sim-keng hingga selesai,” kata Siao-liong-li.

Betul juga, pikir Yo Ko, dan dia pun menurut. Memang kalau berada di tempat ramai dan banyak orang, untuk melatih Giok-li-sim-keng dengan mencopot pakaian bersama gurunya sesungguh tak pantas dipandang. Maka mereka lantas mencari dan mendapatkan satu tempat semak yang lebat sekali. Malam itu juga mereka lantas mulai melatih diri lagi dengan di-alingi semak rumput bunga.

Demikianlah mereka lantas mendirikan gubuk. Mereka meneruskan latihan ilmu di gunung sunyi ini, siang mereka tidur dan malam hari berlatih dengan giat, sehingga sekejap saja beberapa bulan sudah berlalu tanpa sesuatu kejadian. Mula-mula Siao-liong-li mendahului berhasil dengan ilmunya, lewat sebulan lagi Yo Ko pun menyusul selesai dengan sangat memuaskan.

Meski pun begitu mereka berdua masih mengulangi lagi, nyata tak ada sesuatu lagi yang kurang, karena itu Yo Ko lagi-lagi bicara tentang pesiar sebagai kesenangan hidup manusia.

Tapi bagi Siao-liong-li, hidup secara aman tenteram seperti sekarang ini rasanya di dunia ini sudah tak ada lagi yang melebihi. Tetapi dilihatnya Yo Ko selalu suka pada keramaian, tampaknya sukar untuk tinggal di gunung sunyi untuk selamanya.

“Ko-ji,” akhirnya ia berkata, “meski pun ilmu silat kita telah jauh berbeda dari pada dahulu, tetapi kalau dibandingkan dengan kau punya paman dan bibi Kwe kira-kira bagaimana?”

“Tentu saja kita masih jauh ketinggalan,” jawab Yo Ko.

“Kau punya paman Kwe tentu sudah menurunkan kepandaian kepada puterinya dan kedua saudara Bu. Kalau begitu, jika kelak saling bertemu lagi, tetap saja kita akan dihina mereka,” kata Siao-liong-li.

Mendengar kata-kata ini, seketika Yo Ko menjadi gusar. “Kokoh, jika mereka berani hina diriku lagi, mana bisa aku menyerah mentah-mentah?” teriaknya sambil melonjak bangun.

“Tetapi kau tidak dapat menandingi mereka, bisa apa kau?” ujar Siao-liong-Ii.

“Jika begitu, kau bantu aku, Kokoh,” kata Yo Ko.

“Aku pun tak bisa menangkan kau punya paman Kwe, percuma saja,” sahut Siao-liong-li.

Yo Ko tidak bisa buka suara lagi. Dia menunduk dengan bungkam, dia coba pikirkan cara bagaimana harus menghadapinya kelak.

“Sudahlah, demi Kwe-pepek, aku tak akan berkelahi dengan mereka,” katanya kemudian sesudah merenung sebentar.

“Tetapi kalau mereka tidak mau lepaskan dirimu, bagaimana?” kata Siao-liong-li lagi.

“Biar aku menghindari mereka saja,” sahut Yo Ko. “Betapa pun juga aku toh tidak punya permusuhan apa-apa dengan mereka. Tidak akan mereka sampai mengincar jiwaku.”

“Sudah tentu. Bagaimana pun juga mereka memliki hubungan erat dengan kau,” kata Siao-liong-li sambil menghela napas, “Tapi orang-orang di Tho-hoa-to itu bukan sanak dan bukan kadangku.”

Mendengar kata orang yang terakhir ini, hati Yo Ko jadi tertekan. “Kokoh, apa kau maksudkan mereka bakal menghina kau?” tanyanya ragu.

“Ya, kalau sampai mereka tahu aku telah merebut anak murid Coan-cin-kau dan Tho-hoa-to, mana bisa mereka biarkan dirimu begitu saja,” sahut Siao-liong-Ii.

“Jangan kuatir, Kokoh!” teriak Yo Ko. “Tak peduli siapa saja yang berani menyenggol seujung rambutmu, pasti aku akan adu jiwa dengan dia.”

“Tetapi sayang kita tidak punya modal untuk mengadu jiwa itu,” sahut Siao-liong-li.

Yo Ko adalah anak yang sangat cerdik. Demi mendengar kata-kata gurunya, maka tahulah dia akan maksud orang.

“Kokoh,” katanya lagi dengan tersenyum, “kalau kita berhasil melatih baik-baik ilmu yang ditingalkan oleh Ong Tiong-yang, pasti kita akan dapat mengalahkan orang-orang Tho-hoa-to itu, bukan?”

Tiba-tiba alis Siao-Iiong-li bergerak, ia tertawa. “Tentu saja, memangnya orang-orang di Tho-hoa-to itu punya tiga kepala dan bertangan enam?” sahutnya kemudian.

Dan oleh karena percakapan mereka inilah, akhirnya Yo Ko dan Siao-liong-li telah tinggal setahun lebih lama di lembah pegunungan ini. Dalam satu tahun ini, baik Iwekang mau pun Gwakang mereka berdua sudah mencapai kemajuan pesat sekali. Sering kali mereka berdua mengambil tangkai bunga terus saling serang menyerang dan gempur menggempur untuk melatih diri di lembah gunung.

Tangkai bungai itu sesungguhnya adalah benda yang lemas, tetapi berada di tangan mereka yang telah memiliki Iwekang kelas wahid, maka serupa saja seperti golok tajam atau pedang pusaka. Pada suatu hari, sehabis berlatih, wajah Siao-liong-li terlihat muram durja, tampak nyata hatinya tidak senang. Melihat perubahan wajah orang ini, terus-menerus Yo Ko berusaha menghiburnya agar tertawa, namun tetap Siao-liong-Ii bungkam tanpa ber-kata-kata

Yo Ko menjadi bingung, ia kehabisan akal, Setelah dipikir berulang kali, akhirnya ia menduga tentu karena ilmu tinggalan Ong Tiong-yang yang mereka latih sudah berakhir, maka Siao-Iiong-li merasa berat kalau ditinggalkan dirinya, sebaliknya untuk menahannya juga tiada alasan, oleh karena itu hatinya menjadi kesal.

“Kokoh, jika engkau tidak ingin aku turun gunung, biarlah untuk selamanya kita tinggal di sini saja,” demikian katanya kemudian.

Keruan saja Siao-liong-Ii menjadi girang karena memang itulah yang membuat pikirannya menjadi kesal.

“Baik sekali...” demikian serunya, tetapi baru sepatah dua kata dia ucapkan, mendadak ia berhenti. Ia mengerti pula apa yang dikatakan Yo Ko itu sukar dilaksanakan. Sungguh pun Yo Ko terpaksa tinggal terus disitu, tentu pula hati pemuda itu tidak akan gembira. Maka dengan suara lirih ia lanjutkan: “Sudahlah, kita bicarakan besok saja.”

Malam itu Siao-liong-Ii tiada napsu makan, ia kembali ke gubugnya sendiri untuk tidur. Gubuk yang mereka dirikan di bawah pohon besar itu ada dua. Melihat gurunya kelihatan kesal, maka Yo Ko ikut muram, ia duduk sendirian di depan gubuknya sendiri dengan ter-mangu, lama sekali baru dia bisa tidur.

Sampai tengah malam, se-konyong-konyong ia terjaga bangun oleh suara deru angin yang santer, suara angin yang lain dari pada yang lain. Keruan ia kaget, lekas pasang kuping lebih cermat, hingga akhirnya dapat dikenali itu adalah angin pukulan orang yang sedang saling berhantam. Lekas Yo Ko menerobos keluar dari gubuknya. Ia berlari ke gubuk Siao-liong-li, dari luar segera ia memanggil dengan suara perlahan:

“Kokoh, Kokoh, kau dengar tidak?”

Pada saat itu menderunya angin pukulan bertambah keras, sepantasnya Siao-liong-li mendengar juga, tapi aneh, dari dalam gubuk tidak terdengar sahutan. Yo Ko memanggil dua kali lagi dan masih tetap sunyi. Akhirnya ia tidak sabar, ia dorong pintu kemudian melongok ke dalam, tapi yang dia dapatkan hanya dipan yang kosong, ternyata gurunya sudah menghilang.

Dalam kejutnya Yo Ko berlari menuju ke tempat di mana datangnya suara angin pukulan. Setelah belasan tombak dia berlari, meski pun orang yang sedang saling labrak itu belum kelihatan, tetapi dari angin pukulannya Yo Ko dapat membedakan salah satu di antaranya tidak lain adalah gurunya, yakni Siao-liong-li. Akan tetapi angin pukulan lawannya ternyata lebih hebat, agaknya kepandaiannya masih di atas gurunya.

Yo Ko percepat larinya. Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya kini sudah terlatih masak, jauh berlainan dari pada dahulu, maka sekejap saja lereng gunung itu sudah dilintasinya, kemudian tampaklah olehnya di bawah sinar bulan yang remang Siao-liong-li yang berbaju putih mulus sedang bertempur melawan seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar.

Ilmu silat orang itu tinggi sekali hingga meski Siao-liong-li berlaku amat gesit dan enteng, tetapi selalu terkurung dalam angin pukulan orang dan hanya bertahan sebisanya saja.

“Suhu, jangan kuatir, kubantu kau!” demikian Yo Ko cepat berseru sambil melompat maju.

Tetapi sesudah sampai di samping kedua orang dan melihat muka Iaki-laki itu, tanpa terasa Yo Ko menjadi terkesima. Orang itu ternyata penuh berewok yang pendek kaku seperti sikat kawat hingga mukanya se-akan kulit landak, siapa lagi dia kalau bukan ayah angkatnya yang sudah lama berpisah, Auwyang Hong!

“Berhenti, orang sendiri semua, jangan berkelahi lagi!” teriak Yo Ko.

Siao-liong-li tertegun mendengar seruan Yo Ko ini, dia pikir laki-laki gila bermuka berewok ini mana bisa orangnya sendiri? Dan karena sedikit melengnya ini, secepat kilat Auwyang Hong segera mengirim serangan yang mengarah muka Siao-liong-li dengan kekuatan luar biasa.

Kaget sekali Yo Ko. Lekas dia melompat maju hendak memisah, tetapi Siao-liong-li sudah keburu mengangkat tangannya untuk menangkis hingga kedua tangan mereka saling dorong.

Yo Ko tahu bahwa tenaga gurunya masih jauh tak bisa menandingi ayah angkatnya, dan jika bertahan lama tentu akan terluka dalam. Karena itu segera dia mengulur lima jarinya dan menyabet perlahan ke lengan Auwyang Hong. Ini adalah ilmu ‘jiu-hun-ngo-hian’ atau tangan mengebut lima senar, kepandaian yang baru saja dipelajarinya dari kitab Kiu-im-cin-keng. Meski ilmu itu belum matang dilatihnya, namun datangnya cepat dan tempatnya jitu, maka Auwyang Hong merasakan lengannya rada mati rasa sehingga tenaganya hilang.

Setiap kesempatan selalu digunakan Siao-liong-li dengan cepat sekali. Begitu ia merasa daya tekanan musuh kendur, segera ia balas menghantam. Dalam keadaan begitu, Auwyang Hong yang seluruh tubuhnya tak bertenaga hanya ditutuI perlahan saja pasti akan terluka parah. Syukur Yo Ko telah menyelak lagi, ia putar tangannya terus mencekal lengan Siao-liong-li, berbareng ia menyelip ke-tengah kedua orang itu.

“Berhentilah kalian berdua, semuanya orang sendiri,” demikian dengan tertawa ia berkata.

Di lain pihak Auwyang Hong masih belum mengenali Yo Ko. Dia hanya merasa ilmu silat pemuda ini terlampau aneh dan sangat tinggi tidak boleh dipandang enteng. Maka dengan marah dia membentak:

“Siapa kau?! Orang sendiri apa?!”

Yo Ko sudah kenal kelakuan Auwyang Hong yang linglung dan gila-gilaan. Dia kuatir orang benar-benar lupa padanya, maka segera ia pun berseru memanggil:

“Aku, ayah, inilah anakmu sendiri! Apa kau tidak kenal lagi?”

Kata-kata Yo Ko membawa lagu suara yang mengguncangkan perasaan, seketika Auwyang Hong tercengang. Ia tarik tangan si Yo Ko, ia putar muka pemuda ini ke arah sinar bulan, kemudian baru dikenalnya memang betul dia adalah anak angkatnya sendiri yang selama beberapa tahun ini telah dicarinya kian kemari. Karena perawakan Yo Ko sekarang sudah tumbuh tinggi, lagi pula ilmu silatnya hebat, maka semula tidak dikenalnya.

Dasar Auwyang Hong juga seorang yang suka mengumbar perasaannya, seketika itu pula dia rangkul Yo Ko sambil ber-teriak:

“O, anakku, sudah lama sekali aku mencari kau!”

BegituIah kedua orang itu saling rangkul dan sama mengalirkan air mata. Kiranya sesudah Auwyang Hong berpisah dengan Yo Ko di kelenteng bobrok di daerah Kanglam dulu, di mana dia bersembunyi dalam sebuah genta raksasa untuk menghindari pencarian Kwa Tin-ok, dia lantas menjalankan ilmu saktinya untuk menyembuhkan luka dalamnya selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya lukanya bisa pulih kembali, tapi Iuka luar yang babak-belur karena dihajar Kwa Tin-ok itu masih belum sembuh.

Sesudah dia angkat genta raksasa itu dan keluar, ia masih merawat lukanya lagi selama dua puluhan hari di dalam hotel, habis ini kesehatannya baru pulih seluruhnya. Karena dia pernah berjanji pada Yo Ko bahwa tidak peduli ke mana pun bocah ini pergi, ke sana juga akan dicarinya, tapi janji itu sudah lewat sebulan, dan bumi begitu luas, ke mana dia bisa mencari jejaknya. Auwyang Hong pikir bocah ini tentu pergi ke Tho-hoa-to. Turuti wataknya yang suka berlaku cepat, maka segera juga ia mencari satu perahu kecil dan berlayar ke pulau itu.

Ia tahu juga dirinya bukan tandingan Kwe Ceng beserta isterinya, Oey Yong, apa lagi ditambah seorang Oey Yok-su, ayah Oey Yong (tentang kepergian Oey Yok-su dari pulau itu tidak diketahui Auwyang Hong), sekali pun kepandaiannya sekali lipat lebih tinggi lagi juga tidak ungkuIan melawan ketiga orang itu. Oleh sebab itu ia menunggu malam tiba barulah berani mendarat. Siang hari ia sembunyi di dalam goa pegunungan pulau itu, ketika malam tiba baru diam-diam kelayapan keluar dengan harapan bisa menemukan Yo Ko.

Meski secara hati-hati sekali dia bersembunyi selama lebih dua tahun tanpa berani keluar selangkah pun pada waktu siang hari, toh kabar beritanya Yo Ko tetap tak diketemukan. Kemudian pada suatu malam secara kebetulan dia mendengar percakapan antara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si berdua saudara, barulah ia tahu bahwa Yo Ko sudah dikirim oleh Kwe Ceng ke Coan-cin-kau untuk belajar silat.

Tentu saja Auwyang Hong amat girang memperoleh kabar itu. Segera malam itu juga dia meninggalkan pulau dan memburu ke Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san. Tetapi siapa duga tatkala itu Yo Ko sudah bikin ribut dengan imam-imam Coan-cin-kau dan sudah masuk ke Hoat-su-jin-bong.

Peristiwa itu oleh Coan-cin-kau dianggap sebagai satu noda besar yang amat memalukan, maka seluruh imam Coan-cin-kau tiada satu pun yang mau bicara. Meski Auwyang Hong sudah berusaha dengan segala daya-upaya untuk mencari tahu toh tetap tiada satu kabar pun yang dia peroleh. Selama beberapa tahun seluruh gunung Cong-lam-san boleh dikatakan sudah dijelajahi oleh kaki Auwyang Hong, siapa tahu Yo Ko justru bersembunyi di bawah tanah gunung itu dan sedang melatih ilmu sakti secara giat.

Sangat kebetulan malam itu, pada waktu Auwyang Hong sedang lewat di lembah gunung, mendadak dilihatnya ada satu gadis berbaju putih mulus sedang menghela napas sambil duduk tepekur menghadap bulan.

“Hai, di manakah anakku? Kau lihat dia tidak?” demikian dengan kelakuan kasar dan gila Auwyang Hong menegur.

Gadis itu adalah Siao-liong-li. Ia sedang kesal, ia menjadi tambah sebal demi melihat seorang gila menegurnya, maka dia hanya melotot saja dan tak digubrisnya. Tanpa terduga tiba-tiba Auwyang Hong melompat maju. Ia pegang lengan Siao-liong-li dan membentak:

“He, di manakah anakku?!”

Siao-liong-li menjadi kaget demi merasakan tenaga cengkeraman orang yang sangat kuat, nyata ilmu silat orang tinggi luar biasa dan belum pernah dilihatnya seumur hidup, sekali pun jago paling lihay dari Coan-cin-kau masih jauh di bawahnya. Dalam terkejutnya itu, lekas ia lepaskan diri dengan Kim-na-jiu-hoat (ilmu cara menawan dan memegang) yang lihay.

Dengan sekali pegang tadi Auwyang Hong mengira lawan pasti akan terpegang kencang, namun siapa tahu dengan gampang saja orang bisa mengelakkan diri. Dasar dia memang linglung, ia pun tidak tanya lagi, segera sebelah tangannya menyerang lagi dan begitulah, tanpa sebab musabab mereka berdua lantas saling labrak.

Kembali tadi… Karena sudah beberapa tahun berpisah, maka Yo Ko dan Auwyang Hong lantas saling menceritakan rasa kangennya selama ini. Pikiran Auwyang Hong masih tetap setengah jernih dan setengah butek, kejadian yang lalu sudah tak banyak lagi yang bisa diceritakan, terhadap cerita Yo Ko ia pun tak begitu mengerti, yang dia tahu hanya selama beberapa tahun ini Yo Ko belajar silat pada Siao-liong-Ii. Meski usianya sudah lanjut toh Auwyang Hong masih bersifat kanak-kanak, segera dia bilang lagi:

“llmu kepandaiannya tidak bisa mengungkuli aku, untuk apa belajar padanya, biar aku sendiri yang mengajar kau.”

Baiknya watak Siao-liong-li dingin saja, maka ia tidak merecoki urusan ini, meski dengar, ia hanya tersenyum saja terus menyingkir pergi. Sebaliknya Yo Ko menjadi rikuh terhadap Siao-liong-li.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar