Senin, 21 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 037

Menghadapi dua peti mati yang masih kosong itu, tiba-tiba timbul pikiran aneh dalam hati Siao-liong-Ii.

“Di dalam kuburan kini ada empat orang, lalu cara bagaimana harus mengisi dua peti mati batu ini?” demikian katanya.

“Kita tidur dalam satu peti dan biar kedua perempuan jahat itu pakai yang satunya,” ujar Yo Ko.

Apa yang dikatakan Yo Ko ini timbul dari hatinya yang murni, sedikit pun dia tidak berpikir yang tidak-tidak, tetapi muka Siao-liong-li menjadi merah jengah.

“Tapi kalau kita mati dahulu, kedua perempuan jahat itu pasti tidak memperbolehkan kita tinggal bersama, tentu mereka akan pisahkan tubuh kita sejauh mungkin,” ujar Siao-liong-li dengan suara rendah.

BetuI juga, pikir Yo Ko. Karena ini dia se-akan membayangkan sehabis dirinya dan sang guru mati dan mayatnya sedang dihina dan dirusak oleh Li Bok-chiu bersama Ang Ling-po. Tanpa terasa dia menjadi gusar luar biasa.

“Kokoh, kita harus bunuh dahulu mereka berdua!” teriaknya tiba-tiba.

“Tapi sayang, kita tak mampu mengalahkan mereka,” sahut Siao-liong-li menghela napas.

Setelah melatih iwekang, tenaga Yo Ko sudah luar biasa hebatnya, maka tanpa susah dia dorong dan balikkan tutup peti mati itu.

“Ya, jika kita dapat mempelajari ilmu silat tinggalan Ong Tiong-yang itu, mungkin kita bisa menangkan mereka,” kata Yo Ko sesudah berpikir.

Siao-liong-li tertawa oleh pikiran orang. “Umpama betul-betul ada ilmu silat yang begitu lihay, apakah dapat dipelajari dalam waktu satu setengah tahun saja?” katanya, “Sedangkan ransum kita paling banyak hanya cukup untuk beberapa hari.”

Tentu saja kembali Yo Ko putus asa. Melihat wajah orang mengunjuk kecewa, hati Siao-liong-li menjadi tidak tega.

“Ko-ji,” katanya lagi, “kalau menurut apa yang dikatakan Ong Tiong-yang, untuk datang ke kamar batu yang dia sebut maka diharuskan memindahkan jenazah Cosu-popoh, dan ini yang aku kuatirkan. Jangan-jangan ini adalah tipu muslihat Ong Tiong-yang, tujuannya agar kita masuk perangkap.”

Dasar perasaan Yo Ko memang sangat gampang terguncang, maka segera dia mencaci-maki orang:

“Ya, betul, imam hidung kerbau ini mana mungkin punya maksud baik?”

Ketika dilihatnya Siao-liog-Ii mengunjuk rasa sangsi, segera ia bertanya lagi: “Kenapa lagi, Kokoh?”

“Tapi menurut cerita Sun-popoh, sebenarnya Ong Tiong-yang sangat baik sekali terhadap Cosu-popoh,” sahut Siao-liong-li. “Cuma disebabkan watak Cosu-popoh yang terlalu aneh, maka hubungan mereka menjadi retak. Jika begini soalnya, agaknya tidak akan sesudah Cosu-popoh mati, lalu dia datang lagi buat menganiaya padanya.”

Setelah dia pikir lagi, tiba-tiba dia mengambil keputusan. “Ko-ji, mari kita buka tutup peti matinya!” ajaknya kemudian.

Kemudian, bersama Yo Ko mereka menarik sekuatnya membuka tutup peti batu. Waktu membuka peti mati, mula-mula Yo Ko mengira pasti akan terhembus bau busuk mayat dari dalamnya, maka sebelumnya dia sudah siap-siap menahan napas. Siapa tahu begitu tutupnya terpentang, bukannya bau busuk lagi yang dia cium, melainkan bau wangi semerbak yang teruar keluar, walau pun ia tahan napas dan tidak menyedot tetapi terasa juga bau harum itu.

Sebagai seorang yang sudah melatih Iwekang, maka tenaga Yo Ko sudah beberapa kali lipat dari orang biasa. Ketika dia gunakan sedikit tenaga, tutup peti batu itu sudah dibaliknya ke atas tanah. Ketika dia pandang ke dalam peti, dia sendiri terkejut.

“He, Kokoh, dalamnya kosong!” teriaknya cepat.

Betul juga! Waktu Siao-liong-li melongok ke dalam peti, ia dapatkan peti batu itu kosong blong, di dalamnya hanya terdapat dua mangkok porselen yang masing-masing berisi setengah mangkok minyak gemuk, bau harum itu agaknya teruar dari minyak gemuk ini.

“Sungguh aneh, lalu di manakah jenazah Cosu-popoh!?” Siao-liong-li menggumam sendiri “Jika begini, tampaknya apa yang dikatakan Ong Tiong-yang bukannya dusta.”

“Jangan-jangan kamar batu yang disebut imam tua itu ialah peti batu ini,” kata Yo Ko.

“Bukan begitu maksudnya,” sahut Siao-liong-li tersenyum.

Dia sudah lama tinggal di dalam kuburan kuno ini, maka dia mahir sekali tentang segala macam alat-alat rahasia. Ia coba memeriksa teliti peti batu itu sejenak, lalu terdengar ia berkata lagi:

“Alas peti ini bisa dibuka.”

Tentu saja Yo Ko sangat girang. “Ahh, tahulah aku sekarang, itu adalah pintu yang menuju ke kamar batu,” serunya.

Kemudian, tanpa diperintah segera ia melompat masuk ke dalam peti mati. Ia keluarkan dahulu kedua mangkok berisi minyak wangi itu, lalu me-raba seluruh peti. Benar juga, akhirnya diketemukan satu tempat dekuk yang bisa dipegang. Dengan kencang ia tarik ke atas sekuatnya, tetapi sedikit pun ternyata tidak bergerak.

“Putar dulu ke kiri, baru ditarik ke atas,” kata Siao-liong-li.

Yo Ko menurut, dia putar lalu ditarik. Betul saja lantas terdengar suara “krak” yang keras, satu papan batu telah kena ditarik naik.

“Kokoh, berhasil!” serunya girang.

“Jangan terburu-buru. Duduklah sebentar, biar bau apek di dalam goa teruar keluar baru kita masuk,” ujar Siao-liong-li.



Dalam keadaan demikian Yo Ko menjadi tak sabar, hanya sebentar saja dia sudah tanya.

“Bagaimana Kokoh, apa sudah cukup?”

“Ai, orang tak sabar seperti kau ini sukar dimengerti bisa tahan mengawani aku beberapa tahun,” ujar Siao-liong-li menghela napas.

Habis berkata, perlahan ia berdiri, ia angkat cektay dan turun ke bawah melalui peti batu itu. Sesudah melalui satu lorong di bawah tanah yang sempit dan membelok lagi dua kali, betul saja akhirnya mereka sampai di satu kamar batu.

Kamar batu itu ternyata tiada sesuatu yang spesial. Waktu mereka sama-sama mendongak ke atas, maka tampaklah oleh mereka di langit-langit kamar penuh tertulis huruf dan tanda-tanda, sedang ujung paling kanan tertuliskan empat huruf besar:

KIU-IM-CIN-KENG’.

Siao-liong-li dan Yo Ko tidak tahu bahwa ‘Kiu-im-cin-keng’ adalah sebuah kitab ilmu silat paling tinggi di seluruh kolong langit. Tetapi sesudah mereka melihat tulisan serta tanda-tanda itu, mereka merasakan tiada terbilang bagusnya intisari yang terkandung di dalamnya, dan seketika itu pun mereka tak bisa memahami seluruhnya.

“Sekali pun ilmu kepandaian ini dapat mengalahkan Giok-li-sim-keng, namun kita pun tak keburu lagi mempelajarinya,” ujar Siao-Iiong-li.

Yo Ko menjadi kecewa dan putus asa lagi. Sebenarnya dia tidak mau melihat lagi, tapi tanpa sengaja, sekilas mendadak terlihat olehnya pada ujung barat langit-langit kamar itu terlukis satu gambar yang agaknya tiada hubungannya dengan ilmu silat. Oleh karena tertarik, kembali dia kumpulkan perhatian dan memandang lebih jauh, agaknya gambar itu seperti sebuah peta.

“Kokoh, apakah itu?” katanya kemudian kepada Siao-liong-li.

Siao-liong-li berpaling. Ia memandang menurut arah yang ditunjuk. Tiba-tiba ia pandang peta itu dengan ter-mangu, tubuhnya sedikit pun tidak bergerak, lama dan lama sekali masih tetap tidak bergerak. Akhirnya Yo Ko sendiri menjadi ngeri. Dia coba tarik lengan baju orang sambil bertanya:

“Kokoh, kenapakah kau?”

Tetapi Siao-liong-li masih tetap memandang dengan terkesima. Kira-kira lewat beberapa lama, mendadak ia mendeprok terduduk, ia menangis ter-guguk bersandar di tubuh Yo Ko.

“Apakah badanmu sakit lagi, Kokoh?” pemuda itu tanya dengan bingung.

“Bukan, bu... bukan,” sahut Siao-liong-li tersenggak-sengguk. Selang tak lama kemudian dia menyambung lagi: “Ki... kita kini bisa keluar sudah.”

Keruan bukan buatan rasa girang Yo Ko, seketika ia ber-jingkrak-jingkrak. “Betulkah katamu?” teriaknya gembira. Dengan masih mengembeng air mata Siao-liong-li mengangguk.

Tentu saja Yo Ko semakin kegirangan. “Dan kenapa engkau malah menangis?” tanyanya kemudian.

“Entah, aku pun tak tahu, mungkin terlalu bergirang,” sahut Siao-liong-li tersenyum manis dalam menangisnya, “Ko-ji, dahulu tak pernah aku gentar mati, sebab seumur hidupku toh pasti akan tinggal di dalam kuburan ini, mati sekarang atau mati kelak tiada bedanya? Tetapi aneh, dalam beberapa hari ini selalu timbul pikiran ingin pergi melihat keluar.”

“Mari, Kokoh, kita keluar bersama, nanti aku petik bunga untukmu, aku tangkap jangkrik buat kau, mau tidak?” kata Yo Ko sambil menarik kencang tangan orang.

Nyata meski usia Yo Ko sudah menanjak, namun pikirannya masih tetap kanak-kanak. Sebaliknya Siao-liong-li selamanya tak pernah bermain dengan anak lain, kini mendengar cerita Yo Ko yang menarik dan begitu bernapsu, ia sendiri pun merasa senang.

Dalam keadaan buntu mendadak kedua orang ini mendapatkan jalan hidup, maka mereka menjadi lupa daratan, bukannya mereka cepat-cepat mencari jalan keluar itu, sebaliknya mereka duduk bersandaran pundak. Mereka bercerita tentang aneka macam permainan kanak-kanak, makin cerita Yo Ko semakin bernapsu hingga akhirnya Siao-liong-li lupa letih dan lupa capek. Tetapi bagaimana pun juga ia habis luka parah, maka sesudah setengah jam mendengarkan cerita, akhirnya ia tidak tahan lagi, tanpa terasa ia pulas bersandar di pundak Yo Ko.

Setelah bercerita sendiri dan mendapatkan orang tidak tanya-jawab seperti semula, waktu Yo Ko menoleh, ia lihat Siao-liong-li sudah menggeros, nona itu ternyata sudah tertidur. Oleh karena tekanan batinnya sudah lapang, akhirnya Yo Ko sendiri merasa sangat letih, kemudian ia pun pulas.

Keadaan itu entah lewat berapa lama, ketika mendadak Yo Ko merasakan pinggangnya sakit linu, ‘jiau-yao-hiat’ di pinggangnya kena ditotok orang sekali. Dalam kagetnya Yo Ko terjaga dari tidurnya, selagi ia hendak melompat bangun, tahu-tahu tengkuknya kena dicekal orang dengan kencang hingga Yo Ko tak mampu berkutik. Waktu Yo Ko sedikit melengos, ia lihat Li Bok-chiu dan Ang Iing-po berdua sudah berdiri di samping dengan ter-tawa, sebaliknya gurunya, Siao-liong-li, sudah kena ditotok orang pula sehingga tak berdaya.

Kiranya Yo Ko dan Siao-Iiong-li tidak memiliki pengalaman Kangouw yang selalu harus waspada terhadap musuh dan berjaga diri. Dalam girangnya ternyata mereka lupa daratan sehingga tutup peti batu tadi belum mereka tutup kembali, karena itu kemudian dapat diketahui Li Bok-chiu bahwa di bawah tanah ini masih terdapat kamar lagi dan dia berhasil menyergap selagi mereka tertidur.

“Ha, bagus, bagus, kiranya di sini masih terdapat tempat seenak ini, kalian berdua lantas bersembunyi untuk ber-senang-senang,” demikian Li Bok-chiu mengejek “Sumoay, tentu kau tahu bagaimana caranya keluar dari sini. Kalau kau masih merahasiakannya, jangan kau sesalkan jika nanti Enci-mu berlaku kejam.”

Namun Siao-liong-li sama sekali tak gentar oleh gertakan orang. “Memang aku tidak tahu, seumpama tahu pun tak sudi kukatakan padamu,” sahutnya ketus.

Li Bok-chiu cukup kenal watak sang Sumoay yang kepala batu, bahkan Suhu mereka pun dahulu suka mengalah padanya, maka bila menggunakan kekerasan, pasti tidak berhasil. Tetapi dalam keadaan demikian, soalnya menyangkut mati-hidupnya, bagaimana pun juga dia harus memaksa sang Sumoay. Karena itu segera ia keluarkan dua jarum Peng-pek-sin-ciam, ia lemparkan jarum-jarum itu ke lantai hingga mengeluarkan suara gemerincing yang halus.

“Awas! Jika aku menghitung dari satu sampai sepuluh dan kau masih belum bicara, maka terpaksa kusuruh kau mengicipi rasanya jarum perak ini,” demikian ia mengancam.

Namun Siao-liong-Ii tetap tidak menjawab, bahkan ia pejamkan matanya dan tidak gubris gertakan orang.

“Satu... dua... tiga... empat...” demikian Li Bok-chiu mulai menghitung.

“Jika Kokoh kenal jalan keluarnya, kenapa kami tidak melarikan diri sejak tadi, sebaliknya masih tinggal di sini?” Yo Ko membentak.

“Hm, pandai juga kau bicara,” jengek Li Bok-chiu, “Aku telah mempelajari keadaan tempat ini, aku taksir tentu ada jalan keluar yang kalian rahasiakan. Kalian bermaksud tidur dulu, nanti sesudah semangat pulih, bukankah kalian lantas angkat kaki?” Lalu ia menyambung hitungannya lagi:

“lima... enam... tujuh... delapan... sembilan...”

Sampai di sini ia berhenti sejenak, ia coba peringatkan orang lagi: “Sumoay, apa benar tak mau kau katakan?”

Pada saat itu juga, mendadak di lorong bawah itu meniup angin dingin yang menghembus masuk hingga lilin yang dipegang Ang Ling-po tersirap.

“Hmm, aku masih ngantuk, jangan kau bikin ribut lagi,” kata Siao-liong-li, ia sengaja menguap keras.

“Hmm, baiklah, Peng-pek-ciam ini adalah warisan Cosu-popoh kita sendiri, maka jangan kau sesalkan aku, kini aku telah menghitung sampai sepuluh,” demikian kata Li Bok-chiu.

Sembari berkata ia gunakan ujung jarum peraknya yang berbisa jahat itu menggosok satu kali ‘Ciang-tay-hiat’ di punggung Yo Ko, menyusul ‘Hian-ki-hiat’ di dada Siao-liong-li ia gosok satu kali dengan cara yang sama. Walau pun biasanya sifat Siao-liong-li sangat dingin dan tenang, tetapi kini tidak urung ia merasa ngeri juga, sebab racun jarum perak ini pe-Iahan akan merembes masuk melalui jalan darah di pinggangnya dan lambat laun merata ke seluruh tubuh, tatkala itu akan terasa di seluruh tubuh se-akan ribuan semut menggerogoti tulang sumsum dan be-ribu bisul tumbuh di seluruh badan. Dalam keadaan demikian rasanya tak ada yang lebih lihay dari pada siksaan ini.

Sebenarnya Siao-liong-li punya obat pemunah racunnya, sebab asalnya jarum berbisa ini dari perguruannya sendiri, tetapi kini Hiat-to kena ditotok orang dan tak mampu berkutik, cara bagaimana ia bisa berdaya buat menolong diri sendiri?

Di lain pihak Li Bok-chiu memang keji juga kejam, sesudah menggosokkan jarum berbisa itu pada badan orang, ia lalu duduk di samping mereka untuk menunggu bekerjanya racun jarumnya. Dia pikir orang tentu akan bicara terus terang.

Selang tidak lama kemudian, aliran darah di tubuh Siao-liong-li dan Yo Ko berjalan tambah cepat, perlahan-lahan pun terasa panas. Siao-liong-li tahu racun mulai bekerja, tidak Iama lagi tentu akan merembet lagi lebih dalam, akan tetapi kini ia justru merasakan enak yang tak terkatakan.

“Kokoh, jangan kau katakan rahasia keluar kuburan ini pada mereka. Kedua perempuan jahat itu betapa pun tidak boleh terlepas begitu saja,” dengan suara perlahan Yo Ko bisiki Siao-liong-li.

“Ya,” sahut nona itu.

Teringat tentang rahasia jalan keluar kuburan itu, tanpa terasa Siao-liong-li menengadah dan memandang ke langit-langitan kamar yang terdapat peta bumi itu. Kiranya dahulu demi mengetahui Lim Tiao-eng sudah meninggal dunia di dalam kuburan, walau pun dia sudah bersumpah tidak akan masuk lagi, akhirnya Ong Tiong-yang masuk lagi ke kuburan itu secara diam-diam melalui sebuah jalan rahasia. Teringat oleh Ong Tiong-yang betapa cintanya Lim Tiao-eng kepada dirinya dan suka-duka mereka semasa mudanya, maka Cosu dari Coan-cin-kau itu lantas menangis di hadapan jenazah bekas kekasihnya itu.

Setelah puas menangis seorang diri dan sesudah melihat untuk yang penghabisan kalinya wajah kekasihnya yang sudah tidak bernyawa, kemudian Ong Tiong-yang memeriksa lagi keadaan kuburan raksasa buah karyanya itu. Di situ bukan saja ia melihat gambar dirinya sendiri yang dilukis oleh Lim Tiao-eng, bahkan dia dapatkan pula ukir-ukiran di langit-langit kamar yang ditinggalkan kekasihnya. Ketika diketahuinya betapa bagus dan betapa hebat ilmu kepandaian yang terkandung di dalam Giok-li-sim-keng, setiap gerakan dan setiap tipu pukulan ternyata merupakan lawan dan khusus anti ilmu silat Coan-cin-pay, dalam kagetnya muka Ong Tiong-yang menjadi pucat. Lekas ia keluar dari kuburan itu.

Lalu seorang diri ia tirakat di puncak gunung, selama tiga tahun selangkah pun tidak turun gunung, dengan memusatkan pikiran dia mempelajari cara untuk memecahkan ilmu Giok-li-sim-keng. Namun demikian, hasilnya terlampau kecil, bagaimana pun juga dia tidak mendapatkan semacam ilmu yang sempurna untuk mengalahkannya. Dalam putus asanya, terhadap kecerdikan dan kepintaran Lim Tiao-eng ia menjadi sangat kagum, lalu ia terima menyerah dan tidak melanjutkan pelajarannya lagi.

Tetapi siapa tahu belasan tahun kemudian diadakan ‘Hoa-san-lun-kiam’ atau pertandingan pedang di atas Hoa-san. Ketika itu Ong Tiong-yang sudah keluar sebagai juara dan dapat merebut kitab tertinggi dari ilmu silat, yaitu ‘Kiu-im cin-keng’. Sebenarnya Ong Tiong-yang telah bersumpah tidak akan berlatih ilmu yang terdapat di dalam kitab itu, tetapi terdorong oleh rasa ingin tahu, tidak urung ia balik-balik halaman kitab itu dan membacanya.

Ilmu silat Ong Tiong-yang waktu itu sudah diakui sebagai juara dunia, dengan sendirinya inti sari dari apa yang tertulis di dalam Kiu-im-cin-keng itu dengan gampang saja dapat dia pahami, hanya dalam sepuluh hari saja seluruhnya sudah bisa dia selami dengan baik. Ia tertawa panjang sambil menengadah lalu masuk lagi ke Hoat-su-jin-bong.

Di langit kamar batu yang paling dirahasiakannya sudah dia ukir bagian penting dari Kiu-im-cin-keng dan satu per satu dia tunjuk cara untuk mematahkan ilmu Giok-li-sim-keng. Kemudian pada jari tangan lukisan dirinya itu dia tinggalkan pula beberapa baris tulisan, dia bilang jika keturunan Lim Tiao-eng ada jodoh, biarlah orang itu mengetahui bahwa ilmu silat dari pendiri Coan-cin-kau itu sekali-kali tidak bisa dikalahkan Giok-li-sim-keng dengan begitu saja.

Setelah Ong Tiong-yang keluar lagi dari kuburan, ia mencoba memenangkan pula bekas tulisan dengan jari yang dulu dilakukan Lim Tiao-eng di atas batu gunung Cong-lam-san. Terpikir lagi olehnya kata-kata yang ditinggalkan di atas lukisan yang terlalu halus itu. Belum pasti orang keturunan Ko-bong-pay dapat melihatnya, akan tetapi bila ditunjukkan secara terang-terangan, apakah itu bukan berarti kitab Kiu-im-tin-keng yang hebat itu sengaja dia siarkan kepada umum?

Tengah ia ter-menung, tiba-tiba terdengar suara orang perempuan sedang menangis dengan sedih sekali. Ia coba mendekatinya dan ditanya. Kiranya wanita itu she Sun, dahulu jiwanya pernah ditolong Lim Tiao-eng, maka kini sengaja naik gunung hendak menemuinya. Demi mengetahui Lim Tiao-eng sudah meninggal, dia bermaksud masuk ke kuburan buat sembahyang, namun jalan masuknya tidak diketemukan.

Ong Tiong-yang lalu tunjukkan cara memasuki Hoat-su-jin-bong itu dan pesan pula: “Aku memberi enam belas huruf, hendaklah kau ingat-ingat dengan baik, tetapi jangan dibocorkan pada orang lain. Kelak bila dekat hari tuamu baru boleh kau beri-tahukan tuan rumah dari kuburan kuno ini.”

Wanita she Sun itu menghaturkan terima kasih dan mengingat baik-baik ke-16 huruf itu, dan kemudian berziarah ke dalam Hoat-su-jin-bong. Belakangan dia diterima oleh dayang Lim Tiao-eng yang kemudian menjadi gurunya Siao-liong-li untuk tinggal terus dalam kuburan. Dia inilah lalu dikenal sebagai Sun-popoh. Enam belas huruf tinggalan Ong Tiong-yang itu kemudian oleh Sun-popoh ditulis di atas secarik kain putih lantas dijahit dalam baju kapasnya dan pada saat sebelum ajalnya, baju kapasnya telah dia berikan pada Yo Ko. 16 huruf itu berarti:

Guru besar Tiong-yang meninggalkan ilmu kepandaian, periksa lukisannya dan pelajari jari tangannya’.

Akan tetapi karena bakat Sun-popoh tidak pintar, maka terhadap enam-belas huruf itu tak pernah dia selidiki hingga tidak mengetahui rahasia yang terpendam di kamar batu itu. Sedang mengenai peta bumi rahasia yang terukir pada langit-langit kamar itu memang sudah ada sejak muIa kuburan kuno ini dibangun, hal ini malahan Lim Tiao-eng sendiri pun tidak mengetahuinya.

Begitulah ketika Siao-liong-li dapat melihatnya, maka segera dia tahu jelas jalan rahasia untuk keluar dari kuburan itu, hanya sayang jalan darahnya ditotok Li Bok-chiu, sekali pun sudah mendapatkan jalan hidup toh percuma juga. Ia menjadi menyesal kenapa tadi tidak cepat-cepat melarikan diri bersama Yo Ko sebaliknya malah duduk saja untuk mengobrol segala permainan anak yang tak berguna.

Lambat-laun seluruh badannya menjadi makin panas. Dia memandang lagi beberapa kali peta bumi itu. Dia menghela napas panjang, pandangan matanya beralih lagi pada tulisan pelajaran Kiu-im-cin-keng yang berada di sebelah peta bumi itu.

Tiba-tiba matanya menjadi terbelalak. Seperti sinar kilat yang mendadak berkelebat, dapat dilihatnya ada empat huruf yang bertuliskan ‘Kay-hiat-pit-koat’ atau kunci rahasia membuka jalan darah. Seketika hatinya tergerak, ia coba mengamat-amati beberapa kali lagi pelajaran ilmu itu. Keruan bukan buatan senangnya, saking girangnya hampir-hampir saja dia berteriak.

Kiranya ilmu itu menjelaskan cara melancarkan jalan darahnya sendiri. Bagi orang yang melatih Kiu-im-cin-keng, sesungguhnya ilmu silatnya pasti telah mencapai tingkatan kelas wahid dan sekali-kali tidak akan kena ditotok orang. Tetapi dalam keadaan kepepet seperti Siao-liong-li sekarang ini, ilmu ini justru merupakan bintang penolong baginya.

Tetapi bila terpikir lagi olehnya meski pun dapat melepaskan diri dari totokan toh tak lebih ungkuIan dari pada sang Suci, bukankah percuma juga? Karenanya dia lantas membaca lagi lebih teliti tulisan di atas kamar itu, ia bermaksud mencari lagi semacam ilmu silat yang sifatnya praktis, yang begitu dipelajari segera dapat dipergunakan dan sekaligus bisa mengalahkan Li Bok-chiu.

Tetapi meski dia sudah ulangi membaca dari awal sampai akhir dan dari akhir kembali ke awal sampai dua kali, ia dapatkan meski pun ilmu yang paling gampang dipelajari sedikitnya juga harus makan beberapa puluh hari baru bisa jadi. Dalam keadaan putus harapan itu, tiba-tiba ia merasakan tubuh Yo Ko yang bersandar dengan tubuhnya itu rada gemetar, agaknya racun jarum perak telah merembes masuk. Pada saat genting ini tiba-tiba pikirannya menjadi jauh lebih tajam dari biasanya, tergerak pikirannya dan dapat diperoleh akal bagus.

Dengan cepat ia menengadah lagi, ia apalkan baik-baik ‘Kay-hiat-pi-koat’ dan ‘Pi-gi-pit-koat’, yakni dua macam ilmu membuka jalan darah dan menutup jalan pernapasan, lalu dengan apa yang dia apalkan ini dia bisikkan ke telinga Yo Ko untuk mengajarkan pemuda ini. Dasar Yo Ko memang sangat pintar, sedikit diberi petunjuk saja dia lantas mengerti, diberi tahu awalnya, segera ia paham lanjutannya.

“Nah, sekarang kita membuka jalan darah dulu,” kata Siao-Iiong-li kemudian dengan suara perlahan.

Yo Ko manggut-manggut sebagai tanda mengerti. Dalam pada itu seluruh kamar dalam keadaan gelap gulita. Li Bok-chiu dan Ang Ling-po hanya menanti, bila mana Siao-liong-li dan Yo Ko tidak tahan oleh serangan racun dalam tubuhnya, tentu dengan sendirinya akan mengatakan rahasia jalan keluar dari kuburan itu. Sudah tentu dia tidak menduga bahwa mereka justru sedang main gila secara diam-diam.

Demikianlah, maka Siao-liong-li dan Yo Ko telah menuruti petunjuk Ong Tiong-yang pada ukiran itu, mereka menjalankan darah menurut ajaran ‘Kay-hiat-pit-koat’. Memang Iwekang mereka berdua sudah cukup kuat, maka hanya sebentar saja dua tempat Hiat-to yang tertotok tadi sudah berhasil mereka Iepaskan. Lalu Siao-liong-li ulur tangan perlahan ke dalam bajunya, dia ambil dua pil penawar racun jarum itu, lebih dulu dia jejalkan satu butir ke mulut Yo Ko, kemudian dia sendiri menelan sebutir.

Meski perbuatannya ini dilakukan dengan amat perlahan dan hati-hati, tapi Li Bok-chiu mana bisa dikelabui, segera hal ini dapat diketahuinya.

“Apa yang kau lakukan?!” bentaknya terus melompat maju.

Namun Siao-liong-li sudah siap sedia, segera dia papaki orang dengan sekali gablokan. Ini adalah ilmu silat tertinggi dari Giok-li-sim-keng, maka pundak Li Bok-chiu kena hantam satu kali walau pun hanya perlahan.

Sungguh Li Bok-chiu tidak pernah menyangka bahwa sang Sumoay ini ternyata mampu melepaskan Hiat-to sendiri. Dalam kagetnya akibat kena pukulan itu, lekas ia melompat mundur lagi.

“Suci, kami hendak keluar, kau mau ikut keluar tidak?” demikian Siao-liong-li lalu berkata kepadanya.

Li Bok-chiu menjadi mati kutu menghadapi Sumoay-nya. Biasanya ia suka unggulkan ilmu silatnya sendiri yang tiada tandingannya di seluruh jagat, pula kecantikannya susah dicari lawan, siapa tahu kini dapat dipermainkan oleh sang sumoay yang masih muda-belia dan belum pernah kenal muka jagat itu, keruan tak kepalang gusar dan dongkolnya.

Akan tetapi karena kepepet, dia kuatir bila sampai sang Sumoay menjadi marah, mungkin dirinya tidak dibawa keluar, hal ini berarti dirinya bakal celaka, karena itu ia tak berani berlaku kasar. Dia pikir paling penting keluar dulu dari kuburan ini. Ilmu silat sendiri toh lebih tinggi dari pada Sumoay-nya, nanti apa bila sudah di luar, tidak sukar untuk bikin perhitungan dengan dia. Maka Li Bok-chiu mencoba menahan amarahnya, sambil tertawa ia mencoba membujuk:

“Nah, beginilah baru seorang Sumoay yang baik, biarlah aku minta maaf padamu dan bawalah aku keluar dari sini!”

“Tetapi Kokoh bilang, hanya satu orang saja di antara kalian berdua yang bisa ikut, maka katakan saja, kau atau muridmu itu?” sahut Yo Ko tiba-tiba.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar