Minggu, 20 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 036

Nyata dia tidak tahu bahwa hal ini disebabkan di dalam tubuhnya sudah banyak mengalir darahnya Yo Ko yang panas, keadaan sudah jauh berbeda dengan wataknya dahulu yang selalu tenang dan dingin, oleh karena itu gangguan tenaga dan berbagai macam pikiran se-konyong-konyong lantas membanjir. Ia coba bersemadi di atas dipan, tetapi rasanya tetap gelisah, begitu kusut pikirannya. Dia lantas mondar-mandir dalam kamar, tapi semakin jalan rasanya semakin sumpek dan langkahnya juga semakin cepat hingga akhirnya dia ber-Iari sendirian.

Melihat kedua pipi orang bersemu merah dan sikapnya berubah aneh, Yo Ko heran bukan kepalang. Semenjak mereka berkenalan, belum pernah dia melihat kelakuan Siao-liong-li seperti sekarang ini. Setelah ber-lari-lari sebentar, kemudian Siao-liong-li duduk lagi di atas pembaringan. Ia coba pandang Yo Ko, ia lihat wajah pemuda ini cakap, tapi penuh rasa kuatir atas dirinya. Tiba-tiba hatinya tergerak, ia pikir:

“Aku sudah mau mati, begitu juga dia, Lalu buat apa lagi urus segala soal guru dan murid atau bibi dan kemenakan? Kalau dia mau peluk aku, pasti aku tidak akan menolak dan membiarkan dia peluk aku se-kencang-kencangnya.”

Sementara itu Yo Ko sedang mengamat-amati Siao-liong-li. Ia lihat mata orang seperti sedang bicara, dadanya naik-turun dengan napas memburu, ia sangka sang guru kambuh lagi luka dalamnya.

“Kokoh, kenapakah kau?” segera ia tanya.

“Mari sini, Ko-ji,” panggil Siao-liong-li dengan suara halus.

Yo Ko menurut, ia mendekatinya. “Ko-ji, kau suka tidak kepadaku?” tanya Siao-liong-li tiba-tiba dengan suara rendah sambil memegang tangan Yo Ko dan di-gosokan ke pipinya sendiri.

Karena tangannya menempel di pipi orang, Yo Ko merasakan muka Siao-liong-li sepanas dibakar. Keruan ia kaget dan kuatir sekali.

“Ko... kokoh, ap... apa dadamu sangat sakit?” tanyanya dengan suara gemetar.

“Oh, tidak, malah sebaliknya rasa hatiku enak sekali,” sahut Siao-liong-li dengan tertawa, “Ko-ji, aku sudah hampir mati, coba katakanlah apakah betul kau sangat suka padaku?”

“Tentu saja, di dunia ini hanya kau seorang saja yang baik terhadap diriku,” sahut Yo Ko cepat.

“Tetapi kalau ada seorang gadis lain yang sangat baik, ya, baik sekali terhadap kau, bisa tidak kau suka padanya?” kata Siao-liong-li lagi.

“Siapa saja yang baik padaku, tentu aku perlakukan dia dengan baik pula,” sahut Yo Ko.

Se-konyong-konyong Yo Ko merasakan tangan Siao Iiong-li yang menggenggamnya gemetar beberapa kali, kemudian mendadak berubah menjadi dingin sekali seperti es. Waktu Yo Ko memandang muka orang, ia melihat pipi Siao-liong-li yang tadinya merah dadu kini kembali pucat pasi seperti tadi lagi. Keruan Yo Ko sangat terkejut.

“Apakah aku salah omong, Kokoh?” tanyanya kuatir.

“Apa bila kau masih suka pada gadis lain di dunia ini, maka janganlah kau suka padaku lagi,” kata Siao-liong-li.

Yo Ko tertegun, tetapi segera ia mendapat pikiran lain. “Kokoh, tidak seberapa hari lagi kita akan mati, mana ada gadis lain lagi yang bisa suka padaku,” katanya kemudian dengan tertawa.

Karena ucapan inilah, Siao-liong-li ketawa juga. “Ya, benar aku sudah pikun,” katanya sambil tertawa. “Cuma aku tetap ingin mendengar kau bersumpah di hadapanku,” lanjutnya, kali ini dengan sungguh-sungguh.

“Sumpah apakah?” tanya Yo Ko.

“Aku ingin kau mengucapkan bahwa kau hanya menyukai aku satu orang, bila mana kau berubah pikiran dan suka lagi pada orang lain, maka kau harus dibunuh olehku.” kata Sio-liong-li tiba-tiba.

Nyata meski Siao-Iiong-li telah berusia dua puluhan tahun, tetapi karena selama hidupnya dilewatkan di dalam kuburan kuno ini, maka kelakuannya masih sangat ke-kanak-kanakan dan suka terang-terangan, sedikit pun dia tidak bersikap malu-malu seperti kaum gadis umumnya, makanya tanpa tedeng aling-aling ia minta sumpah setia dari Yo Ko.

“Selamanya tak bakal terjadi hal demikian, seandainya memang aku berlaku tidak baik dan tidak turut pada perkataanmu lantas kau hendak membunuh, aku pun pasti akan kuterima,” demikian Yo Ko menyahut dengan tertawa. Kemudian betul juga dia lantas mengucapkan sumpah: “Tecu Yo Ko selama hidupku hanya menyukai Kokoh seorang saja, apa bila aku berubah pikiran, tidak usah Kokoh membunuh aku, begitu melihat muka Kokoh, segera Tecu bunuh diri sendiri.”

Senang sekali hati Siao-liong-li ketika mendengar sumpah ini. “Bagus sekali apa yang kau katakan, dengan demikian aku tak perlu kuatir lagi,” katanya kemudian dengan menghela napas lega. Dia menggenggam tangan Yo Ko kencang-kencang, maka terasalah oleh Yo Ko ada semacam hawa hangat yang menembus ke tubuhnya melalui tangan orang.

“Ko-ji, sungguh aku ini orang tidak baik,” kata Siao-Iiong-li pula.

“Tidak, kau sangat baik,” Yo Ko membetulkan.

“Tidak,” kata Sio-liong-li sambil menggelengkan kepala, “duIu aku terlalu kejam terhadap kau. Mula-mula aku hendak usir kau, syukur Sun-popoh menahan kau, jika waktu itu aku tidak usir kau, tentu Sun-popoh tak akan mati!”

Berkata sampai disini, tak tertahan lagi air mata Siao-liong-li mengucur keluar. Sejak umur lima tahun Siao-liong-li mulai melatih diri sampai kini, selama itu tak pernah lagi dia menangis dan mengalirkan air mata, tapi sekarang dia menangis, seketika perasaan hatinya tergoncang hebat, ruas tulang seluruh tubuhnya seolah-olah berkeretakan hingga sebagian tenaga latihannya menjadi buyar.

Kaget sekali Yo Ko melihat keadaan Siao-liong-li yang hebat itu. “He, Kokoh, Kokoh!” teriaknya kuatir.

Justru pada saat genting itu, tiba-tiba terdengar suara “krekat-kreket” beberapa kali, ternyata pintu batu mulai terpentang didorong orang, terlihat Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah melangkah masuk. Kiranya Li Bok-chiu yang terkurung di dalam kuburan itu berusaha keras untuk dapat meloloskan diri. Ia pikir meski pun batu Toan-liong-ciok itu telah menutup, tetapi lebih baik berusaha mencari hidup dari pada duduk terpekur menunggu kematian.

Oleh karena itu nyalinya menjadi besar. Dia tidak jeri lagi terhadap alat perangkap yang lihay di dalam kuburan itu, dengan berani ia lantas terjang terus hingga beberapa ruangan dan akhirnya dapat ditembus dan tibalah sampai di kamar Sun-popoh.

Melihat munculnya orang secara mendadak itu, lekas Yo Ko tampil ke depan mengalingi Siao-liong-li.



“Kau mau apa lagi?” teriaknya sengit.

“Kau menyingkirlah, ada yang hendak kukatakan kepada Sumoay,” kata Li Bok-chiu.

Tapi karena kuatir orang akan memakai tipu muslihat dan gurunya nanti dicelakai, Yo Ko tetap tak mau menyingkir.

“Apa yang hendak kau katakan boleh katakan saja di situ,” sahutnya kemudian.

Melihat kebandelan pemuda ini, dengan mata melotot Li Bok-chiu memandang sejenak pada Yo Ko.

“Lelaki macam kau ini sungguh jarang terdapat di dunia ini,” akhirnya ia berkata dengan menghela napas.

“Suci, barusan kau bilang apa tentang dia?” tanya Siao-liong-li tiba-tiba sambil turun dari pembaringan. “Dia baik atau tidak?”

“Sumoay, selamanya kau tak pernah turun gunung, maka kau tidak kenal hati manusia di dunia ini yang kejam dan palsu,” sahut Li Bok-chiu. “Orang yang berbudi luhur dan berhati setia seperti dia ini, boleh dikatakan di seluruh jagat ini sukar dicari bandingannya.”

Rupanya Siao-liong-li sangat senang dan terhibur oleh kata-kata sang Suci. “Seorang seperti dia ini suka mati bersama aku. Kalau begitu hidupku ini terasa tidak penasaran lagi,” kata Siao-liong-li dengan suara perlahan.

“Sebenarnya pernah apakah dia dengan kau, Sumoay? Apa kau sudah mengawini dia?” tanya Li Bok-chiu lagi.

“Tidak, dia adalah muridku, dia bilang aku sangat baik padanya. Tetapi sebenarnya baik atau tidak, aku sendiri pun tidak tahu,” sahut Siao-liong-li.

Sudah tentu Li Bok-chiu sangat heran oleh jawaban ini. “Aku tidak percaya,” ujarnya sambil menggeleng kepala.

Kemudian se-konyong-konyong ia menarik tangan kanan Siao-liong-li, ia gulung lengan baju orang, maka tampaklah olehnya di atas kulit yang putih bersih bagai salju itu terdapat satu titik merah. Tidak salah lagi, itu adalah ‘Siu-kiong-seh’ yang ditisik guru mereka ketika pertama masuk perguruan golongan Ko-bong-pay.

‘Siu-kiong-seh’ atau andeng-andeng cecak, menurut cerita kuno dibuat dengan cara demikian: setelah cecak dipelihara dan diberi makanan obat-obatan khusus sebangsa ‘Cuseh’ sebanyak tujuh kali berturut-turut hingga akhirnya seluruh badan binatang cecak ini berubah merah darah, lalu cecak ini dibunuh dan darah merah itu diambil untuk ditisikkan di tubuh kaum wanita. Apa bila wanita ini masih perawan, maka selama itu Siu-kuong-seh atau andeng-andeng merah buatan ini akan tetap tinggal pada tempatnya, tetapi bila wanita itu sudah melanggar kesuciannya, maka andeng-andeng merah segera lenyap. Di jaman kuno konon cara ini dipakai untuk menjaga perjinahan.

Demikianlah, oleh karena itu, demi nampak ‘Siu-kiong-seh’ masih tetap di tangan Siao-liong-li, mau tak mau Li Bok-chiu sangat kagum atas perilaku kedua orang yang tinggal berdampingan di dalam kuburan ini yang ternyata bisa menjaga diri dalam batas-batas kesopanan sehingga Siao-Iiong-li masih tetap putih bersih bertubuh perawan.

Lalu Li Bok-chiu menggulung lengan bajunya sendiri, maka tampak pula di tangannya terdapat juga sebuah titik merah segar yang amat menyolok. Sungguh menarik sekali dua lengan yang putih mulus itu berjajar menjadi satu. Hanya saja Li Bok-chiu mempertahankan diri dan tetap bertubuh suci disebabkan karena terpaksa, sebaliknya sang sumoay ternyata ada lelaki yang rela membelanya. Jika dipikir, yang beruntung dan yang malang, nyata bedanya seperti langit dan bumi. Berpikir sampai di sini, tak tahan lagi Li Bok-chiu menghela napas panjang.

“Tadi kau bilang ada yang hendak kau katakan padaku, nah, katakanlah lekas,” terdengar Siao-liong-li memecah kesunyian.

Semula Li Bok-chiu hendak menghina dan membikin malu Siao-liong-Ii karena bergendak dengan lelaki dan merusak nama baik perguruan, namun demi melihat Siu-kiong-seh sang Sumoay masih belum lenyap, ia berbalik bungkam.

“Sumoay, kedatanganku ini untuk minta maaf padamu,” akhirnya ia berkata sesudah merenung sejenak.

Tentu saja hal ini sama sekali tidak diduga Siao-liong-Ii. Dia cukup kenal watak sang Suci yang sombong dan angkuh, tidak akan dia mau tunduk kepada orang lain, siapa tahu kini bisa buka mulut minta maaf padanya. Ia menjadi ragu apa orang tiada maksud tertentu, karena itu dengan dingin saja ia menjawab:

“Kau lakukan urusanmu dan aku kerjakan urusanku. Kita masing-masing tentu menganggap diri sendiri yang betul, jadi tidak perlu kau minta maaf segala.”

“Sumoay, dengarlah kataku,” kata Li Bok-chiu, “kita yang menjadi wanita ini, selama hidup paling beruntung ialah kalau memiliki seorang kekasih yang berhati tulus. Nasibku sendiri jelek, itu sudah tak perlu dibicarakan lagi, tetapi pemuda ini begini baik terhadapmu, maka boleh dikatakan hidupmu ini tidak kekurangan apa-apa lagi.”

Siao-Iiong-Ii tersenyum senang oleh kata-kata sang Suci. ”Ya, sesungguhnya aku pun sangat suka padanya,” katanya kemudian. “Selamanya dia tak akan mengingkari aku, aku yakin benar.”

Rasa hati Li Bok-chiu menjadi lebih pedih oleh keterangan Siao-liong-li itu. “Kalau begitu seharusnya kau turun gunung saja untuk hidup baru yang menggembirakan. Hendaklah diketahui, usiamu masih muda, hari depanmu yang bahagia masih tidak habis-habisnya.”

Siao-liong-li mendongak, ia termenung. “Ya, memang, cuma sayang kini sudah terlambat,” akhirnya ia berkata.

“Sebab apa?” tanya Li Bok-chiu cepat.

“Bukankah Toan-Iiong-ciok itu sudah menutup, sekali pun Suhu hidup kembali, juga tidak mungkin kita bisa keluar,” sahut Siao-Iiong-li.

Bukan buatan rasa kecewa Li Bok-chiu oleh jawaban orang. Ia sengaja merendah dan me-muji orang dengan putar lidah, ia berharap bisa menimbulkan keinginan Siao-liong-li untuk mencari hidup, dengan mengenal keadaan kuburan kuno ini tentu Siao-liong-li dapat mencari satu jalan keluar, tapi siapa tahu akhirnya tetap putus asa. Karena itu tanpa terasa napsu membunuhnya tiba-tiba timbul. Begitu tangannya diangkat, segera ia menghantam ke atas kepala Siao-liong-li.

Sejak tadi dengan bingung Yo Ko mendengarkan percakapan mereka di samping. Ketika tiba-tiba melihat Li Bok-chiu menyerang, dalam gugup dan kuatirnya, otomatis ia berjongkok lalu berteriak “kok” sekali, kedua telapak tangannya didorong ke depan. Ternyata yang dilontarkan ini adalah Ha-mo-kang yang amat lihay, yang dipelajarinya dari Auwyang Hong.

Pada saat itu pukulan Li Bok-chiu sudah sampai di tengah jalan. Ketika mendadak terasa olehnya ada sambaran angin pukulan yang keras dari samping, lekas ia putar tangannya menangkis. Tak terduga tenaga dorongan Yo Ko ternyata luar biasa kuatnya, begitu hebat sampai tubuhnya kena didorong ke belakang, maka terdengarlah suara “blek” yang keras, punggung Li Bok-chiu tertumbuk dinding batu. Percuma saja dia memiliki ilmu silat yang tinggi, tidak urung ia merasakan tulang punggungnya tidak kepalang sakitnya.

Keruan Li Bok-chiu menjadi murka, sekonyong-konyong dia meng-gosok kedua telapak tangannya, seketika seluruh kamar timbul semacam bau amis. Nyata ia telah keluarkan ‘Jik-Iian-sin-ciang’.

Di lain pihak Siao-Iiong-li tahu serangan Yo Ko tadi hanya secara kebetulan saja berhasil. Setelah sang Suci melontarkan ‘Jik-lian-sin-ciang’, maka sukar dilawan lagi meski mereka berdua mengeroyoknya bersama. Karena itu segera dia tarik lagi tangan Yo Ko, dengan cepat mereka menyelinap keluar pintu kamar.

Namun gerak tubuh Li Bok-chiu secepat kilat, tidak akan dia membiarkan kedua orang itu melarikan diri kembali. Sebelah tangannya telah memukul. Siapa tahu, baru saja tangannya sampai di tengah jalan, tahu-tahu pipi kiri sendiri merasakan sekali tempelengan. Meski pun tamparan ini tidak sakit, namun suaranya terdengar jelas, ia dengar pula Siao-Iiong-li berseru:

“lnilah Giok-li-sim-keng yang hendak kau pelajari nah, rasakan dahulu!”

Dalam tertegunnya Li Bok-chiu merasakan tangan orang telah mampir pula pada pipi kanannya. Dia tahu ilmu Giok-li-sim-keng luar biasa lihaynya, kini dia menyaksikan sendiri gerak pukulan Siao-liong-li begitu cepat, pula datangnya pukulan tidak diketahui arahnya, maka ia menjadi jeri dan terpaksa hanya dapat menyaksikan sang Sumoay masuk kamar lain sambil bergandeng tangan dengan Yo Ko, lalu pintu kamar itu tertutup rapat lagi.

Seperginya orang, Li Bok-chiu masih terkesima sendiri. Ia me-raba kedua belah pipinya, katanya dalam hati: “Beruntung pukulannya tadi sengaja bermurah hati. Jika dia gunakan tenaga yang cukup keras, tentu jiwaku sudah melayang.”

Nyata tidak diketahuinya bahwa ilmu Giok-li-sim-keng itu masih belum sempurna terlatih oleh Siao-liong-li, meski pukulannya sudah mahir, namun belum bertenaga dan tak dapat melukai orang.

Sementara itu di kamar lain Yo Ko sedang senang sekali karena melihat gurunya dengan gampang saja menghajar Li Bok-chiu dengan dua kali tempelengan.

“Kokoh, sungguh tidak nyana ilmu kepandaian Giok-li-sim-keng itu bisa begitu bagus...”

Tapi belum habis ia berkata, dilihatnya Siao-liong-li dalam keadaan gemetar, tampaknya seperti tak sanggup menguasai diri lagi. Keruan Yo Ko kaget sekali, cepat dia berteriak:

“Kenapakah kau, Kokoh?”

“A... aku... di... dingin...” sahut Siao-liong-li sambil menggigil.

Kiranya tadi karena dia menyerang orang dua kali, meski pun tenaga yang dikeluarkannya sangat enteng, namun yang dipakai adalah tenaga dalam. Padahal dia baru sembuh dari luka berat, kesehatannya belum pulih seluruhnya, dan kini mendadak terganggu lagi, tentu saja tidak sedikit resikonya.

Selama hidupnya dia melatih diri di atas ranjang batu pualam yang dingin, dasarnya menjadi terlatih dingin sekali, kini daya tahannya telah hilang, keruan seketika Siao-liong-li seperti terjerumus ke dalam lembah es, ia merasakan dingin luar biasa sampai menusuk tulang sumsum, giginya tiada hentinya berkerutukan.

“Celaka, bagaimana baiknya ini?” dalam gugupnya Yo Ko hanya ber-teriak tak berdaya.

Begitu rupa ia lihat Siao-liong-li kedinginan hingga teringat sesuatu olehnya. Lekas dia melepaskan buntalan yang menggemblok pada punggungnya, ia keluarkan baju kapas tinggalan Sun-popoh dan dengan cepat dikemulkan pada badan Siao-liong-li. Karena tambahan baju kapas ini, mula-mula Siao-liong-li merasa rada hangat, tetapi sebentar saja hawa hangat baju kapas itu menjadi hilang dikalahkan rasa dingin yang timbul dari dalam tubuhnya. Kembali ia menggigil terus.

Dalam gugupnya, tanpa pikir lagi Yo Ko memeluk orang kencang-kencang. Ia pikir dengan hawa hangat badan sendiri dapat membantu untuk menghalau rasa dingin orang. Tetapi sebentar saja Yo Ko merasa tubuh Siao-liong-li semakin menjadi dingin, ia sendiri seperti ketularan hingga lambat laun ia pun tak tahan.

“Ko-ji, lepaskan!” teriak Siao-liong-li tiba-tiba.

“Tidak, Kokoh, jangan kuatir, aku peluk kau, tentu kau akan baikan,” sahut Yo Ko.

Akan tetapi rasa dingin Siao-liong-li sukar ditahan, dengan mengertak gigi ia bertahan sedapatnya. Tiba-tiba ia meronta-ronta, dua tangannya menjambret dan menarik sekenanya, karena itu mendadak terdengar suara “brebet”, tahu-tahu kain baju kapas peninggalan Sun-popoh itu robek tertarik, di bawah sinar lilin tampak di antara robekan baju itu ada sepotong kain putih dan lapat-lapat di atasnya seperti tertulis sesuatu.

Dasar Yo Ko memang sangat cerdik. Tiba-tiba teringat olehnya kelakuan Sun-popoh pada saat orang tua ini mendekati ajal, seperti maha penting baju kapas ini diserahkan kepadanya, mungkin tidak melulu sebagai tanda mata saja, melainkan di dalamnya masih mengandung maksud lain. Maka dengan cepat Yo Ko menarik keluar kain putih itu. Betul saja ia lihat di atas kain itu tertulis 16 huruf yang maksudnya:

GURU BESAR TIONG-YANG MENINGGALKAN ILMU KEPANDAIAN. PERIKSA LUKISANNYA DAN PELAJARI JARI TANGANNYA’.

Sebenarnya Yo Ko lagi kehabisan akal dan tak berdaya menghadapi keadaan Siao-liong-li yang kedinginan itu, sekarang mendadak membaca enam belas huruf ini, seketika seperti sebuah perahu yang sedang terombang-ambing di samudera raya dalam kegelapan dan sekonyong-konyong melihat mercu suar. Dalam girangnya dia rangkul Siao-liong-li terlebih kencang lagi.

“Marilah Kokoh, kita pergi melihat gambar Tiong-yang Cosu,” demikian ajaknya.

Tetapi Siao-liong-li seperti tidak mendengar, kedua matanya tampak terpejam rapat. Terpaksa Yo Ko melompat turun. Sambil memondong Siao-liong-li, dengan gugup dan bingung dia berlari ke ruangan depan. Dalam hati ia berdoa: “Semoga Li Bok-chiu berdua jangan berada di sana.”

Begitulah, dengan perlahan-lahan sekali ia mendorong pintu. Ia lihat keadaan gelap gulita, syukur Li Bok-chiu berdua tak berada di situ. Ia dudukan Siao-liong-li pada satu kursi, lalu ia menyalakan lilin dan pergi memeriksa gambar yang melukiskan pribadi Ong Tiong-yang.

Tempo hari sewaktu Yo Ko menjalankan upacara pengangkatan guru pada Siao-liong-li, pernah dia diperintahkan meludahi lukisan ini. Semenjak itu sering juga ia melihatnya lagi, tetapi selamanya tidak merasa ada sesuatu yang aneh atas lukisan itu. Sekarang teringat olehnya kata-kata tentang “pelajari jari tangannya” maka dengan teliti ia coba periksa jari tangan Ong Tiong-yang dalam lukisan itu yang sedang menuding.

Gambar itu melukiskan tangan kiri orang berada di depan tubuh yang mungkur, dengan sendirinya tidak kelihatan jarinya, hanya tampak tangan kanannya yang menuding miring ke ujung atas. Meski sudah dia lihat dan lihat lagi, tetap tak bisa dimengerti di mana letak rahasianya.

Selagi dia hendak memeriksa lebih cermat, ketika dia menoleh, dilihatnya Siao-liong-li per-lahan sedang mendatangi dengan berpegangan kursi, lekas Yo Ko memayangnya. Kemudian Siao-liong-li ikut memeriksa lukisan itu, lama sekali keadaan menjadi sunyi.

“Jika badanku baik-baik saja, mungkin rahasianya dapat kuselidiki lebih mendalam,” kata Siao-liong-li sesudah agak lama, “tetapi kini... kini mataku pun terasa menjadi buram...”

Segera Yo Ko melompat ke atas. Ia tanggalkan lukisan itu lantas ditaruh ke depan Siao-liong-li. Maka diperiksanyalah lebih teliti oleh Siao-liong-li. Dia lihat guratan pada jari lukisan Ong Tiong-yang itu memang digores dengan jelek dan kasar, berbeda sekali dengan goresan pada bagian lain, kecuali ini, tidak ada lagi sesuatu yang menimbulkan pertanyaan. Karena belum juga ketemukan rahasianya, Yo Ko mengambil Cektay (tancapkan lilin) dan didekatkan pada Siao-liong-li agar bisa melihat lebih jelas.

“Sudahlah, tidak perlu melihat lagi,” kata Siao-liong-li tiba-tiba. Namun belum habis bicara, badannya gemetar lagi, karena itu cek-tay yang dipegang Yo Ko tergentak hingga minyak lilin yang lumer tercecer di atas lukisan. Siao-liong-li terkejut.

“Ai, aku telah bikin kotor lukisan ini!” katanya dengan menyesal.

“Tak apa, toh tiada sesuatu yang aneh,” ujar Yo Ko.

Kemudian ia payang Siao-liong-li duduk kembali ke kursi. Selang tak lama, minyak lilin tadi sudah kering, Yo Ko coba merhbersihkannya dengan kuku. Di luar dugaan, sehabis kertas gambar itu ketetesan minyak lilin, kini menjadi tembus dan terlihat terang, lapat-lapat jari tangan gambar itu seperti tertulis huruf 'dua... tiga dan lain-lain'.

Hati Yo Ko tergerak, dia memeriksanya lebih dekat lagi. Kiranya jari tangan yang sedang menuding dalam lukisan itu, di samping goresan yang Iembut itu penuh tertulis pula huruf kecil, tetapi tulisan-tulisan ini terlalu halus, kecuali beberapa huruf sederhana yang dapat dilinatnya, selebihnya sukar dibaca.

“Kokoh, lihat ini!” dalam girangnya segera Yo Ko berteriak, berbareng ia pindahkan lukisan itu dan lilin ke hadapan Siao-liong-li.

Selama hidup Siao-liong-li lewatkan di dalam kuburan kuno yang gelap gulita, maka pandangan matanya sangat tajam, melihat barang di tempat gelap dianggapnya seperti di siang hari saja. Maka sesudah diperiksanya dua kali, akhirnya dia mendongak, mukanya mengunjuk senyuman tetapi bukan senyuman, sikapnya sangat aneh.

“Kokoh, apakah kata tulisan itu?” tanya Yo Ko tak sabar.

“Sesudah Cosu-popoh meninggal, kiranya Ong Tiong-yang telah masuk kembali ke dalam kuburan kuno ini,” sahut Siao-liong-li sambil menghela napas.

“Untuk apa dia kembali?” tanya Yo Ko.

“Dia datang lagi buat ziarah Cosu-popoh,” kata Siao-liong-li. “Dan di sini dilihatnya Giok-li-sim-keng tinggalan Cosu-popoh yang diukir diatas langit-langit, ternyata dapat memecahkan semua tipu silat Coan-cin-kau, karenanya ia telah tinggalkan tulisan di atas lukisan ini. Ia bilang apa yang dipecahkan Cosu-popoh itu hanya kepandaian kasar yang tak berarti dari Coan-cin-kau, bagi ilmu paling tinggi dari Coan-cin-pay yang dipahaminya, Giok-li-sim-keng ini pun tidak akan berarti lagi!”

“Cis, imam tua ini membual,” kata Yo Ko meng-olok-olok, “yah, Cosu-popoh sudah meninggal, maka dia boleh omong sesukanya.”

“Tetapi dia bilang lagi dalam tulisannya ini bahwa di kamar lain lagi dia juga meninggalkan ilmu cara memecahkan Giok-li-sim-keng. Kelak kalau ada yang punya jodoh, tentu akan tahu bila sudah melihatnya,” kata Siao-liong-li.

Hati muda Yo Ko jadi tertarik oleh keterangan ini.


ILMU SILAT PALING TINGGI

“Ayoh, Kokoh, kita pergi melihatnya,” ajaknya.

“Baik juga kita pergi melihatnya,” ujar Siao-liong-li, “seumur hidupku selalu tinggal di sini, tapi belum pernah aku mengetahui masih ada kamar batu sebagaimana dikatakan ini.”

Tapi ketika dia membaca lagi, tiba-tiba ia meng-gelengkan kepala dan menyatakan aneh.

“Aku tak percaya,” katanya kemudian sesudah lewat sejenak.

“Aku pun tidak,” sambung Yo Ko, “kehebatan Giok-li-sim-keng tiada taranya, betapa pun tinggi kepandaiannya tidak akan mampu memecahkannya.”

“Bukan itu maksudku,” ujar Siao-liong-li. “Kamar batu yang dikatakan Ong Tiong-yang itu terang sekali adalah tempat di mana terletak peti mati Cosu-popoh, dari mana lagi ada kamar batu lain?”

“Marilah Kokoh, tiada halangannya kita memeriksa,” pinta Yo Ko.

Kini Siao-liong-li tidak begitu garang lagi terhadap Yo Ko. Meski tubuh sesungguhnya sangat letih, namun ia paksakan diri buat turuti permintaan pemuda itu.

“Baiklah,” sahutnya kemudian dengan senyuman manis.

Maka pergilah mereka menuju kamar peti mati itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar