Kamis, 17 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 035

Berbareng dengan itu terdengarlah suara “krak” yang keras, ternyata di ujung barat-daya sana telah terbuka satu lobang, Sungguh terkejut sekali Li Bok-chiu, dengan cepat ia pun memutar tubuh hendak merintangi larinya Yo Ko. Akan tetapi Siao-liong-li lidak membiarkan lawannya sempat berputar. Ia buang selendang suteranya, kemudian dengan kedua tangannya sekaligus ia menyerang dengan tipu yang mematikan. Karena terpaksa, dengan sendirinya Li Bok-chiu berputar balik menangkis serangan itu.

“Ayo, Ko-ji, lekas kau berangkat!” teriak Siao-Iiong-li pula.

Semula Yo Ko agak ragu-ragu. Dia coba memandang Siao-liong-li, tetapi segera dia insaf bahwa urusan ini tak mungkin bisa ditarik kembali Iagi.

“Kokoh, aku pergi dulu!” demikian teriaknya segera, berbareng ia ayunkan pedangnya dan susul menyusul menyerang tiga kali, semuanya ia arahkan ke muka Ang Ling-po. Oleh karena tadi Ang Ling-po melihat bahwa gerak pedang Yo Ko tidak bertenaga, maka sama sekali dia tak menduga bahwa Yo Ko dapat melontarkan serangan berbahaya ini. Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia melompat mundur ke belakang.

Karena kesempatan inilah, begitu Yo Ko gerakkan tubuhnya, tahu-tahu dia sudah menyerobot keluar pintu goa tadi, namun demikian, dia masih mencoba menoleh hendak memandang lagi pada Siao-liong-li untuk penghabisan kalinya. Sebenarnya jika dia tidak menoleh, terus pergi begitu saja, kelak entah berapa banyak kesulitan akan terhindar dan berkurang dengan macam-macam godaan. Namun karena Yo Ko dilahirkan dengan watak dan perasaan yang penuh kemanusiaan, meski pun berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, ia masih ingin memandang sekali lagi kepada Siao-liong-Ii.

Justru oleh karena pandangan inilah, seumur hidup Yo Ko lantas berubah juga nasibnya. Siao-liong-li melawan kakak seperguruan sendiri dengan sama-sama bertangan kosong, kalau hanya beberapa puluh jurus saja belum tentu dia akan dikalahkan. Tapi karena kepergian Yo Ko yang bayangan tubuhnya berkelebat keluar pintu, tiba-tiba teringat oleh Siao-liong-li bahwa dengan perginya Yo Ko ini mereka tak akan bersua lagi untuk se-lamanya, maka dadanya tiba-tiba serasa sesak, matanya pun menjadi sepat dan ingin meneteskan air mata.

Selama hidup perasaan murni Siao-liong-li tak pernah terguncang, akan tetapi siapa tahu hari ini sudah dua kali ia hampir menangis, keruan seketika ia tersadar dan luar biasa terkejutnya. Justru pertandingan di antara jago silat sedikit pun pantang teledor. Sedikit tertegunnya tadi yang sejenak saja telah digunakan Li Bok-chiu dengan baik, se-konyong-konyong dia berhasil mencengkeram ‘hwe-cong-hiat’ di pergelangan tangan Siao-liong-li, menyusul sebelah kakinya menjegal, keruan saja Siao-liong-li tak sanggup berdiri tegak, ia kena dirobohkan ke lantai.

Pada saat robohnya Siao-liong-li itulah, Yo Ko tepat sedang menoleh dan memandangnya. Dengan sendirinya ia kaget luar biasa demi dilihatnya sang guru hendak dicelakai Li Bok-chiu. Darahnya seketika mendidih, dalam keadaan demikian, sekali pun langit ambruk atau bumi terbalik dia tidak hiraukan lagi.

“Jangan celakai Kokoh!” demikian ia berteriak.

Berbareng ia menubruk masuk kembali, dari belakang segera ia merangkul pinggang Li Bok-chiu dengan kencang. Tipu serangan Yo Ko ini ‘di luar kamus silat’, sama sekali tidak terdapat dalam teori persilatan dari golongan mana pun, hanya saking kuatirnya Yo Ko tidak pikirkan apakah rangkulannya ini masuk akal atau tidak, yang dia pikir hanya menolong Siao-liong-li saja.

Sebaliknya karena pikiran Li Bok-chiu hanya ingin menawan Siao-liong-li, maka tak menduganya bahwa Yo Ko yang telah kabur keluar itu bisa masuk kembali, bahkan terus menubruk punggungnya. Karena tak tersangka-sangka, maka pinggangnya seketika kena terangkul kencang dan tak dapat dilepaskan meski pun dia coba me-ronta. Walau pun tindak-tanduk Li Bok-chiu biasanya sangat kejam dan tidak suka terikat oleh segala adat-istiadat umum, namun tubuhnya yang suci bersih senantiasa dia jaga baik-baik. Oleh karena itu, meski sudah beberapa puluh tahun berkelana di dunia Kangouw dia masih tetap bertubuh perawan.

Tapi kini mendadak dirangkul Yo Ko se-kencangnya, seketika terasa olehnya semacam hawa hangat kaum pria se-olah menembus punggungnya terus masuk ke lubuk hatinya, tanpa tertahan lagi seluruh badannya menjadi lemas tak bertenaga, mukanya pun berubah merah.

Dahulu waktu di daerah Kanglam sebelah matanya sampai kena ditotol buta oleh burung merahnya Yo Ko, juga disebabkan oleh rangkulan Yo Ko. Tatkala itu Yo Ko masih kecil, tetapi toh sudah memiliki bau laki-laki umumnya yang khas. Siapa tahu kejadian kini bisa terulang lagi, apa lagi kini Yo Ko sudah pemuda, maka hawa hangat yang mengalir keluar dari tubuhnya itu menggoncangkan perasaan kaum wanita.

Oleh karena rangkulan Yo Ko inilah, tangan Li Bok-chiu yang mencekal pergelangan Siao-liong-li lantas menjadi kendor, kesempatan ini tidak disia-siakan Siao-liong-li, seketika ia membalikkan tangannya dan bergantian menekan urat nadi tangan orang, tapi di lain pihak ujung senjata Ang Ling-po sudah menempel juga di punggung Yo Ko. Tatkala itu Siao-liong-li sudah terebah di lantai ketika dilihatnya Yo Ko terancam bahaya. Segera dia menggulingkan tubuhnya ke kiri, sekaligus dia tarik Li Bok-chiu serta Yo Ko ke samping, dengan demikian tusukan Ang Ling-po menjadi mengenai tempat kosong.

“Ko-ji, lekas berangkat!” bentak Siao-liong-li sesudah melompat bangun.

Akan tetapi sekali ini Yo Ko ternyata tidak turut perintahnya, ia masih merangkul pinggang orang kencang-kencang.

“Tidak, Kokoh, kau saja yang pergi, aku menyekap dia begini, dia tidak bisa lolos,” teriak Yo Ko.

Di lain pihak, dalam sekejap pikiran Li Bok-chiu sudah berputar belasan kali. Sebentar kemudian ia insaf keadaan sangat membahayakan dirinya, terpaksa dia harus kumpulkan tenaga dalam untuk melepaskan diri dari pelukan orang, namun pada lain saat terasakan olehnya bahwa berada dalam pelukan Yo Ko, rasanya begitu enak, begitu meresap hingga sukar dilukiskan.

Keruan saja Siao-Iiong-li ter-heran. Ia pikir ilmu silat sang Suci begitu tinggi, kenapa bisa ditaklukkan Yo Ko hingga tak mampu berkutik? Sementara itu dilihatnya Ang Ling-po telah mengangkat pedangnya hendak menusuk Yo Ko lagi. “Tadi perempuan ini sudah berlaku kurang ajar terhadap diriku, harus kuhajar adat padanya,” demikian ia pikir dengan lekas.

Karena itu, tiba-tiba kedua jarinya menyentil ke batang pedang Ang Ling-po yang kiri, begitu hebat selentikan ini hingga pedangnya mendadak meloncat terus membentur pedang Ang Ling-po di tangan kanan dengan mengeluarkan suara nyaring. Keruan Ang Ling-po terkejut, kedua tangannya pun linu oleh karena tenaga benturan tadi sehingga sepasang pedangnya langsung terjatuh ke lantai, saking kagetnya sampai Ang Ling-po berkeringat dingin, ia melompat mundur.

Dan oleh karena saling beradunya kedua pedang tadi sehingga mencipratkan lelatu api, maka sekilas terlihat oleh Li Bok-chiu bahwa di antara sinar mata sang Sumoay seperti mengunjuk semacam perasaan aneh dan sedang memandang kepadanya dengan dingin. Karena itu tanpa terasa Li Bok-chiu jadi malu juga.

“Anak busuk, apa kau minta mampus?” damperatnya segera.



Berbareng ini kedua lengannya tiba-tiba bekerja, yang satu meronta dan yang lain melepas, maka dia berhasil loloskan diri dari pelukan Yo Ko yang ‘mesra’, bahkan menyusul telapak tangannya memukul ke arah Siao-liong-li. Dengan sendirinya Siao-liong-li menangkis, tetapi segera terasa olehnya tenaga pukulan sang Suci terlalu hebat, terlampau kuat. Ia sendiri baru sembuh dari luka parah, maka kini dadanya menjadi sakit lagi oleh karena getaran pukulan orang. Sementara itu, dilihatnya Yo Ko merangkak bangun dan kembali menubruk maju hendak membantu dirinya. Keruan ia sangat mendongkol.

“Ko-ji, apa betul-betul kau tidak mau turut perkataanku?” bentaknya.

“Apa saja yang bibi katakan akan kuturuti, hanya sekali ini saja aku tidak mau menurut,” sahut Yo Ko tiba-tiba. “O, Kokoh yang baik, biarlah aku mati-hidup selalu bersama dengan kau.”

Mendengar lagu suara orang begitu tulus dan sungguh-sungguh, kembali hati murni Siao-Iiong-li terguncang lagi.

Sementara ia lihat Li Bok-chiu kembali melontarkan sekali gablokan. Ia insaf bahwa kepandaian sendiri kini banyak terganggu sehingga pukulan keras ini tidak dapat ditangkisnya. Tanpa pikir segera ia melompat ke samping, berbareng ia sambar tubuh Yo Ko terus melarikan diri keluar dari lubang pintu tadi. Namun Li Bok-chiu tidak tinggal diam, segera ia menyusul di belakang orang dan ulurkan tangan hendak menjambret punggung Yo Ko.

“Jangan lari!” demikian bentaknya.

Tetapi Siao-liong-li sudah siap, tiba-tiba ia balikkan tangannya dan berhamburlah segenggam pasir tawon putih dengan cepat ke arah Li Bok-chiu. Begitu lihay Giok-hong-soa atau pasir tawon putih itu se-akan tak bersuara, tahu-tahu sudah menyambar tiba. Namun betapa pun juga Li Bok-chiu terhitung seperguruan dengan Siao-liong-li, dia kenal betapa lihaynya Am-gi ini. Pada saat hidungnya mendadak mengendus bau manis dan harum madu tawon, dalam kagetnya sekonyong-konyong dia mengayun tubuhnya sendiri ke belakang. Karena perbuatannya ini sama sekali tidak ter-duga, maka Ang Ling-po yang membuntut di belakang sang guru kena tertumbuk hingga kedua-duanya jatuh terjungkal.

Sementara itu terdengarlah suara “cring-cring” nyaring halus, kiranya belasan butir pasir tawon putih sudah kena menyambit dinding batu, menyusul terdengar pula suara “krekat-kreket” dua kali, nyata Siao-liong-li sudah lari keluar kamar batu sambil menggondol Yo Ko, alat perangkap rahasia dikerahkan, maka kembali pintu goa tersumbat rapat. Setelah meloloskan diri keluar kuburan bersama gurunya, tidak kepalang girangnya Yo Ko, ia menghisap hawa segar beberapa kali di alam terbuka itu.

“Kokoh, sekarang biar kuturunkan batu raksasa itu, agar dua wanita jahat itu mampus di dalam kuburan,” katanya kemudian kepada Siao-liong-li, kemudian dia lantas hendak pergi mencari alat rahasianya. Di luar dugaan Siao-liong-li goyang2 kepala atas usulnya tadi.

“Nanti dulu, tunggu kalau aku sudah masuk ke dalam,” katanya tiba-tiba.

Keruan Yo Ko terkejut. “He, kenapa mau masuk lagi?” tanyanya cepat.

“Ya, Suhu sudah pesan supaya aku menjaga baik-baik kuburan ini, maka tidak boleh aku membiarkannya dikangkangi orang lain,” kata Siao-liong-li.

“Jika kita tutup rapat pintu kuburan, mereka kan tidak bakal hidup lebih lama lagi,” ujar Yo Ko.

“Ya, tetapi aku pun tidak dapat masuk kembali,” sahut Siao-liong-li. “Apa yang dikatakan Suhu tak berani kubantah, Hm, tidak seperti kau!” Habis berkata, dengan sengit ia pelototi Yo Ko sekejap.

Seketika hati Yo Ko terkesiap, darahnya segera bergolak lagi, tiba-tiba ia pegang lengan Siao-liong-li dan berkata:

“Baiklah Kokoh, aku pasti turut segala perkataanmu.”

Mendengar kata-kata Yo Ko yang diucapkan dengan mesra ini, sedapat mungkin Siao-liong-li menahan perasaan hatinya, tak berani ia terguncang lagi, maka sepatah kata pun ia tidak menyahut, ia kipatkan tangan orang terus masuk kembali ke dalam kuburan kuno itu.

“Nah, lekaslah kau turunkan batu penutupnya!” katanya kemudian sambil berdiri mungkur. Ia sengaja membelakangi Yo Ko yang masih berdiri di luar kuburan, ia kuatir kalau dirinya tak sanggup menguasai perasaan sendiri, maka dia tak mau memandang pemuda itu lagi.

Di lain pihak Yo Ko sendiri pun telah mengambil suatu keputusan. Ia sedot dalam-dalam hawa segar alam terbuka itu, waktu ia menengadah, ia lihat cakrawala penuh bertaburan dengan bintang yang berkelap-kelip.

“lnilah untuk penghabisan kalinya aku memandang langit dan bintang,” katanya dalam hati.

Kemudian ia mendekati sebelah kiri pilar kuburan itu, ia turuti apa yang pernah Siao-liong-li tunjuk padanya, dengan kuat dia geser pilar batu itu. Benar saja, di bawahnya terdapat sepotong batu lagi yang berbentuk bundar, maka dipegangnya batu bulat itu terus ditarik sekuat tenaganya. Oleh karena tarikan itu, batu bundar itu terlepas sehingga berwujut satu lubang, menyusul dari dalam lubang itu per-lahan mengalir keluar pasir halus bagai mata air yang mengalir keluar dari sumbernya, maka tampaklah dua batu raksasa di atas kuburan per-lahan mulai menurun.

Kedua potong batu raksasa ini beratnya beratus ribu kati. Dahulu waktu Ong Tiong-yang membangun kuburan ini, untuk memasang batu-batu ini diperlukan tenaga ratusan orang gotong-royong. Kini kalau sampai pintu kuburan tersumbat rapat, maka dapat dipastikan Li Bok-chiu, Siao-liong-li serta Ang Ling-po selama hidup tidak bakal bisa keluar kembali. Menyadari akibatnya apa bila batu raksasa itu merapat, tanpa tertahan lagi air mata Siao-liong-li bercucuran, mendadak dia menoleh.

Sementara itu batu raksasa tinggal dua kaki lagi hampir sampai di tanah. Se-konyong-konyong dengan gerak tipu ‘giok-li-tau-so’ (si gadis ayu melempar tali), secepat kilat Yo Ko menerobos masuk lagi ke dalam kuburan melalui lubang selebar dua kaki itu secepat anak panah terlepas dari busurnya.

Siao-liong-li menjerit kaget oleh perbuatan Yo Ko yang tidak terduga itu. sementara itu Yo Ko sudah berdiri tegak lagi di hadapannya.

“Kokoh, kini kau tak bisa mengusir aku lagi,” kata bocah ini dengan tertawa.

Baru habis berkata, tiba-tiba terdengar dua kali suara keras, kiranya kedua batu raksasa itu sudah membentur tanah hingga kuburan itu tertutup rapat. Dalam kagetnya tadi segera Siao-liong-li merasakan kegirangan yang tak terhingga pula, saking hebat guncangan perasaannya, hampir saja dia jatuh pingsan. Dengan badan lemas dia bersandar pada dinding batu, napasnya ter-sengal-sengal.

“Baiklah, biar kita mati bersama di suatu tempat,” katanya kemudian sesudah agak lama, kemudian ia gandeng tangan Yo Ko dan masuk ke ruangan dalam.

Tatkala Li Bok-chiu berdua sedang berusaha hendak membuka pintu kamar yang tertutup rapat itu, namun belum berhasil. Keruan mereka kaget ketika melihat Siao-liong-li dan Yo Ko mendadak muncul kembali, segera mereka kegirangan. Begitu bergerak, segera Li Bok-chiu melompat ke belakang Siao-liong-li dan Yo Ko dengan tujuan hendak memotong jalan mundur mereka.

Namun demikian, sikap Siao-liong-li tetap tenang saja. “Suci, marilah kubawa kau ke suatu tempat,” katanya tiba-tiba dengan dingin.

Karena ajakan ini, Li Bok-chiu berbalik ragu-ragu. Ia tidak menjawab, hanya dalam hati ia membatin: “Di dalam kuburan ini penuh terpasang perangkap rahasia, jangan sampai aku kena dikibuli.”

“Aku hendak bawa kau berziarah ke depan abu Suhu, terserah jika kau tidak mau pergi!” kata Siao-liong-li.

“Jangan kau coba gunakan nama Suhu untuk menipu aku,” sahut Li Bok-chiu.

Siao-liong-li tersenyum dingin oleh jawaban orang, ia pun tidak ber-kata lagi, tetapi lantas berjalan menuju ke pintu sambil menggandeng tangan Yo Ko. Lagu suara serta tingkah laku Siao-liong-li seperti membawa semacam keangkeran yang tidak bisa dibantah orang, maka Li Bok-chiu berdua pun lantas mengikut di belakangnya, cuma senantiasa ia berlaku waspada, sedikit pun tak berani lengah.

Meski diikuti orang dari belakang, namun Siao-liong-li masih terus jalan ke depan dengan menggandeng tangan Yo Ko, sama sekali tidak ada pikiran kalau sang Suci mungkin akan membokong dirinya. Ia terus masuk ke kamar peti mati batu.

Meski Li Bok-chiu sudah pernah tinggal di dalam kuburan kuno ini, namun kamar makam yang ini ternyata belum dikenalnya. Teringat olehnya budi mendiang gurunya yang sudah mendidiknya, dalam hatinya rada pilu juga, tetapi bila teringat sang guru berat sebelah, pilih kasih pada sesama muridnya, rasa duka itu seketika berubah menjadi marah, dan karena ini dia tidak berlutut dan menyembah pada abu makam gurunya.

“Hubungan kami antara guru dan murid sudah lama terputus, untuk apa membawa aku ke sini?” dengan marah segera ia damperat Siao-liong-li.

“Bukankah disini masih tersisa dua peti mati kosong, yang satu disediakan untuk kau dan yang lain buat aku,” kata Siao-liong-li kemudian dengan tawar saja, “Sebab inilah aku ingin tanya dulu padamu, kau suka peti yang mana, boleh kau pilih sesukamu.”

Ia berkata sambil menuding pada kedua peti batu yang masih kosong itu. Keruan saja tidak kepalang marahnya Li Bok-chiu.

“Kurang ajar, berani kau mempermainkan aku?!” bentaknya murka, sekali pukul tahu-tahu telapak tangannya telah menuju dada Siao-liong-li.

Demikian cepat pukulan ini hingga tampak dengan segera tangannya akan mampir di dada orang. Namun Siao-liong-li ternyata masih diam saja, sedikit pun ia tidak berusaha menangkis atau mengelakkan diri. Keruan berbalik Li Bok-chiu sendiri tertegun.

“Jika kena, pasti dia mampus seketika,” pikir Li Bok-chiu, dan karena orang masih tetap tidak menangkis, tiba-tiba telapak tangannya yang tinggal beberapa senti di depan dada Siao-liong-li itu mendadak dia tarik kembali mentah-mentah.

Di lain pihak Siao-liong-li ternyata masih tenang-tenang saja meski setiap saat jiwanya terancam bahaya.

“Suci, Toan-liong-ciok pintu kuburan sudah menutup rapat!” demikian katanya.

“Haa?!” seru Li Bok-chiu kaget, seketika mukanya menjadi pucat pasi.

Ya, meski tidak semua perangkap rahasia di dalam kuburan ini dikenalinya, namun ‘Toan-liong-ciok’ atau batu pemotong naga, yaitu dua batu raksasa penutup pintu kuburan tadi, cukup dikenalnya sebagai satu jalan paling lihay pada saat terakhir. Dahulu batu raksasa itu disediakan gurunya untuk men-jaga bila kedatangan musuh tangguh yang tidak bisa dilawan, maka batu itu dapat dipakai sebagai benteng pertahanan, siapa tahu dirinya kini justru kena ditutup rapat di dalam kuburan oleh sang Sumoay.

“Kau tahu jalan ke... keluar lain, bukan?” tanyanya kemudian dengan suara ter-putus-putus.

“Kau sendiri cukup tahu, bila mana Toan-liong-ciok sudah menutup, maka pintu kuburan tidak akan bisa dibuka lagi,” kata Siao-liong-li dingin.

“Kau bohong!” teriak Li Bok-chiu dengan bengis sambil jambret dada orang.

Walau pun diperlakukan secara kasar, tetap saja Siao-liong-li tidak melawan atau menjadi marah.

“Nah, di sanalah Giok-li-sim-keng yang ditinggalkan Suhu, jika kau ingin membacanya, pergilah baca sesukamu,” kata Siao-liong-li lagi tetap tenang. ”Aku sendiri menanti di sini bersama Ko-ji, mau kau bunuh, boleh kau lakukan, tetapi kalau kau ingin keluar dari sini, kukira tidak mungkin lagi!”

Melihat sikap orang, tangan Li Bok-chiu yang menjambret baju dada Siao-liong-li kini per-lahan menjadi kendur dan lurus ke bawah lagi. Dengan penuh perhatian dia coba awasi orang, melihat wajah Siao-liong-li mengunjuk sikap acuh tak acuh, maka percayalah dia bahwa sang Sumoay tidak berdusta.

“Baik juga, biar kubunuh dahulu kalian berdua!” katanya tiba-tiba, pikirannya mendadak berubah.

Berbareng ini sebelah telapak tangannya dia pukulkan ke muka Siao-liong-li. Diluar dugaan, se-konyong-konyong Yo Ko melompat maju terus menghadang di depan Siao-liong-li.

“Mau bunuh, bunuh saja diriku!” demikian teriaknya.

Karena ini, telapak tangan Li Bok-chiu berubah arah menuju dada Yo Ko, namun sesudah dekat, sesaat masih dia tahan dan tidak dipukulkan terus, dengan sorot mata gemas dia memandang marah.

“Lagi-lagi sedemikian rupa kau membela dia, apa kau memang sudah rela mati untuk dia?” tanyanya kemudian.

“Ya!” sahut Yo Ko dengan suara lantang.

Atas jawaban ini, secepat kilat Li Bok-chiu sudah dapat merampas pedang Yo Ko yang terselip di ikat pinggangnya, dengan senjata rampasan ini segera ditodongkannya ke tenggorokan anak itu.

“Aku hanya perlu membunuh satu orang saja,” kata Li Bok-chiu. “Coba kau katakan sekali lagi, kau yang mati atau dia yang mati?”

Yo Ko tidak menjawab, dia pandang Siao-liong-li sambil tertawa, Nyata tatkala itu mereka berdua sudah tak menghiraukan mati-hidup lagi, tidak peduli Li Bok-chiu akan membunuh mereka dengan cara bagaimana, yang jelas mereka tidak akan menggubrisnya. Nampak kelakuan Yo Ko dan Siao-liong-li ini, Li Bok-chiu menghela napas panjang, pedangnya dilemparkan ke lantai.

“Sudahlah, Sumoay, sumpahmu sudah batal, sekarang kau boleh bebas keluar dari sini,” katanya dengan suara lemah.

Sebab apakah tiba-tiba Li Bok-chiu berkata demikian.....?


TULISAN DALAM BAJU KAPAS

Kiranya Ko-bong-pay yang didirikan oleh Lim Tiao-eng ini, karena dulu dia mencintai Ong Tiong-yang secara sepihak dan tidak terbalas, dalam dukanya maka Lim Tiao-eng sudah menetapkan satu peraturan perguruan yang keras, yaitu barang siapa yang menjadi ahli waris golongan Ko-bong-pay harus bersumpah untuk selama hidupnya menetap di kuburan kuno dan seumur hidup tidak akan turun dari Cong-lam-san.

Akan tetapi ada sebuah kekecualian, yakni apa bila ada seorang pemuda dengan rela dan tulus hati bersedia mati untuknya, maka sumpah seumur hidup tak akan turun gunung itu menjadi batal. Hanya saja hal ini sekali-kali tidak boleh diketahui lebih dulu oleh lelaki itu. Sebab Lim Tiao-eng anggap kaum laki-laki di seluruh jagat semuanya berhati palsu, tidak ada laki-laki yang rela mati untuk seorang perempuan. Tetapi bila betul-betul ada orangnya, maka anak murid keturunannya boleh mengikuti lelaki itu turun gunung.

Li Bok-chiu sendiri lebih dulu masuk perguruan dari pada Siao-liong-li, maka seharusnya dialah yang menjadi ahli waris Ko-bong-pay, tetapi karena dia tidak mau bersumpah untuk tidak turun gunung, maka akhirnya Siao-liong-li yang diangkat sebagai ahli waris Ko-bong-pay.

Melihat Yo Ko begitu tulus dan setia pada Siao-liong-li, tanpa terasa dari kagum, iri, terasa menjadi benci pula. Teringat oleh Li Bok-chiu ketika dulu Liok Tian-goan telah ingkar janji dan membuat dia patah hati, maka tiba-tiba ia menjadi beringas lagi.

“Ya, Sumoay, kau sungguh beruntung sekali,” teriaknya mendadak, kemudian dia sambar pedang yang jatuh tadi terus ditusukkan ke tenggorokan Yo Ko.

Melihat tusukan orang sekali ini benar-benar keji dan sungguhan, dalam keadaan berbahaya itu, tidak bisa tidak Siao-liong-li harus menolong Yo Ko. Belasan butir Giok-hong-soa dia hamburkan lagi. Lekas Li Bok-chiu enjot kakinya, dia meloncat ke atas menghindari serangan pasir berbisa itu. Tetapi kesempatan ini kembali dipergunakan Siao-liong-li dengan baik, ia tarik Yo Ko dan berlari lagi ke pintu dengan cepat.

“Suci, tidak perlu kau pikirkan sumpahku batal atau tidak. Tapi pendek kata kita berempat rupanya sudah pasti akan mati bersama dalam kuburan ini,” demikian Siao-liong-li masih berpaling dan berseru pada Li Bok-chiu, “Aku tidak ingin melihat rupamu lagi, biarlah kita mati sendiri-sendiri saja.”

Sembari berkata ia meraba ujung dinding, lalu turun lagi pintu batu, kembali mereka berempat di-pisahkan. Sementara itu, saking tergoncangnya perasaan Siao-liong-li, seketika sukar melangkah lagi, Iekas Yo Ko memayangnya dan dibawa mengaso ke kamarnya Sun-popoh. Yo Ko menuang dua cangkir madu tawon, dia serahkan secangkir pada Siao-liong-li dan dia sendiri minum secangkir.

“Ko-ji, coba kau katakan, mengapa kau rela mati untuk aku?” tanya Siao-liong-li kemudian sambil menghela napas perlahan.

“Ya, di dunia ini hanya kau saja yang sangat baik padaku, mengapa aku tidak mau mati untukmu?” sahut Yo Ko tegas.

Mendengar jawaban yang pasti ini, Siao-liong-li berbalik terdiam. “Kalau tahu begini sebelumnya, kita pun tidak perlu lagi kembali ke dalam kuburan untuk mati bersama mereka,” katanya sesudah lewat sejenak.

“Kokoh, apa kita tak bisa berdaya untuk keluar?” tanya Yo Ko.

“Nyata kau tidak tahu betapa kuat bangunan kuburan ini,” sahut Siao-liong-li. “Walau pun kepandaianku sepuluh kali lebih tinggi lagi juga tak akan mampu keluar.”

Mengerti jawaban orang ini bukan omong kosong belaka, Yo Ko menjadi putus asa dan menghela napas.

“Kau menyesal bukan?” tanya Siao-liong-li.

“Tidak, tidak,” sahut Yo Ko cepat dan pasti “sedikitnya di sini aku berada bersama kau, padahal di luar sana tiada seorang pun yang sayang padaku.”

Dulu Siao-liong-li sudah pernah melarang Yo Ko mengatakan “kau sayang padaku” segala, karenanya sejak itu Yo Ko tak pernah mengucapkannya lagi. Tapi kini perasaannya telah berubah, maka demi mendengar kata-kata itu, sebaliknya terasalah semacam perasaan yang hangat dan mesra.

“Kalau begitu, kenapa kau menghela napas?” ia tanya lagi.

“Kokoh, aku pikir apa bila kita bisa sama-sama turun gunung, di dunia luar sana banyak sekali hal yang sangat menarik. Lagi pula kau selalu mendampingi aku, siapa pun tentu tak ada yang berani menghina aku lagi,” sahut Yo Ko.

Sesungguhnya hati Siao-liong-li bersih dan tenang, sebab sejak bayi dia tinggal di dalam kuburan kuno ini dan selamanya sang guru dan Sun-popo tidak pernah bercerita tentang keadaan di dunia luar. Dengan sendirinya hal semacam itu pun tak pernah dia bayangkan, akan tetapi kini di-sebut Yo Ko, tanpa tertahan perasaannya menjadi bergolak dan susah ditekan.

Siao-liong-li merasa darah hangat di dadanya serasa mendidih dan membanjir ke atas. Ia berniat kumpulkan Iwekang-nya buat mengatasi, namun tetap tidak menjadi tenang. Diam-diam dia heran dan terkejut. Dia merasa seumur hidupnya belum pernah mengalami pergolakan serupa ini, ia pikir tentu hal ini disebabkan sehabis terluka parah, maka tenaga dalam sukar dipulihkan kembali.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar