Rabu, 16 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 034

Pandangan Li Bok-chiu ternyata sangat tajam, meski kejadiannya sudah lewat beberapa tahun, lagi pula Yo Ko telah tumbuh besar, akan tetapi dia masih tetap mengenali pemuda ini adalah anak yang menggunakan burung merahnya untuk menotol sebelah biji matanya sehingga buta. Kejadian itu senantiasa dianggap oleh Li Bok-chiu sebagai sebuah peristiwa yang sangat menyakitkan hati, kini demi saling bertemu lagi, tentu saja dia sangat marah. Akan tetapi sebelum Li Bok-chiu sempat bertindak sesuatu, se-konyong-konyong Siao-liong-li telah bangun.

“Suci!” serunya, kembali darah segar menyembur dari mulutnya.

“Siapa dia ini?” dengan sikap dingin Li Bok-chiu bertanya tanpa menghiraukan keadaan sang Sumoay yang amat payah, “Tidakkah kau tahu larangan Cosu-popoh bahwa dalam kuburan ini tidak boleh diinjak kaum laki-laki busuk barang selangkah pun, tetapi kenapa kau berani ijinkan dia tinggal di sini?”

Mendadak Siao-liong-li ter-batuk hebat, ia tak sanggup menjawab teguran sang Suci. Nampak keadaan Siao-liong-li, tanpa disuruh segera Yo Ko maju menghadang ke depan buat melindunginya.

“Dia adalah aku punya Kokoh, urusan di sini tidak perlu kau turut campur!” dengan suara lantang dia wakilkan Siao-liong-li menjawab.

“Hmm, bagus kau Sah Thio, kau pandai berlagak bodoh!” sindir Li Bok-chiu. Habis ini, mendadak kebut yang dia pegang bergerak, susul menyusul menyerang tiga kali.

Sungguh pun tiga serangan itu dilontarkan susul-menyusul, akan tetapi datangnya kepada sasaran se-akan berbareng saja saatnya. Tipu serangan cepat itu memang termasuk tipu serangan yang paling lihay dari ilmu silat Ko-bong-pay, bagi jago silat golongan lain yang tidak kenal kebagusan tipu serangan itu, begitu maju, seketika pasti akan dihantam hingga otot putus dan tulang patah.

Akan tetapi Yo Ko sendiri sudah matang dan apal terhadap semua ilmu silat Ko-bong-pay. Biar pun belum bisa dibandingkan keuletan Li Bok-chiu yang sudah terlatih, namun untuk menghindari tiga kali serangan yang disebut ‘sam-yan-tau-lim’ (tiga burung sriti menyusup masuk rimba) itu masih bisa dilakukannya dengan gampang.

Dan karena serangan yang lihay itu luput mengenai sasarannya, tentu saja Li Bok-chiu sangat kaget, ia masih ragu akan pemuda yang berhadapan dengan dirinya sekarang ini. Dengan sebelah matanya ia coba melirik tajam, akan tetapi jelas pemuda ini adalah anak yang dulu dijumpainya di Oh-ciu di daerah Kanglam. Kenapa berpisah beberapa tahun saja ilmu silatnya sudah maju begini pesat?

Terlebih lagi melihat cara bergeraknya buat menghindari serangannya tadi ternyata adalah ilmu silat dari perguruan sendiri, keruan hal ini makin menambah rasa curiganya.

“Sumoay, ada hubungan apa antara kau dengan bangsat cilik ini?” dengan suara bengis segera dia membentak Siao-liong-li.

Kuatir kalau muntah darah lagi, Siao-liong-li tak berani buka suara keras, hanya dengan perlahan ia bilang pada Yo Ko:

“Ko-ji, lekas memberi hormat pada Supek (paman guru).”

“Cis, paman guru macam apa ini?” Yo Ko berbalik meng-olok.

“Ko-ji, coba tempelkan kupingmu ke sini, ada yang hendak kukatakan,” kata Siao-liong-li pula.

Tentu saja Yo Ko rada penasaran karena dia mengira Siao-liong-li akan bujuk dirinya buat menjura kepada Li Bok-chiu. Meski pun demikian, terpaksa ia menurut juga, ia tempelkan kupingnya ke mulut Siao-liong-li.

“Di pojok kaki ranjang ini terdapat sebuah papan batu yang menonjol,” demikian dengan suara lembut bagaikan bunyi nyamuk Siao-liong-li berkata, “lekas kau melompat turun dan dongkel sekuatnya papan batu itu.”

Sementara itu, melihat cara mereka bisik-bisik, Li Bok-chiu mengira Siao-liong-li sedang berpesan kepada sang murid agar menjura padanya untuk minta ampun, apa lagi orang yang berada di hadapannya ini yang satu terang terluka parah dan yang lain hanya satu bocah angkatan muda, tentu saja tiada yang dia pikirkan. Li Bok-chiu sendiri justru sedang memeras otak untuk mendapatkan akal bagus agar bisa memaksa sang Sumoay menyerahkan Giok-li-sim-keng tinggalan guru mereka.

Sementara itu atas kisikan Siao-liong-li tadi, terlihat Yo Ko meng-angguk, lantas dengan suara lantang ia berkata:

“Baiklah, Tecu memberi hormat kepada Supek!”

Sambil berkata dia lantas melompat turun dari ranjang, dan ketika tangannya meraba ke pojok ranjang yang di bawah sana, benar saja tangannya menyentuh sepotong batu yang menonjol. Tanpa ayal lagi segera ia tarik dengan seluruh tenaganya hingga terdengarlah suara “kreeek” yang berat, dan mendadak ranjang batu itu ambles ke bawah.

Dengan sendirinya Li Bok-chiu terperanjat oleh kejadian yang mendadak itu. Ia tahu dalam kuburan kuno di mana-mana terpasang perangkap rahasia. Mendiang gurunya telah pilih kasih dan dirinya sudah dikelabui, sebaliknya semua rahasia itu sudah diturunkan kepada sang Sumoay. Karenanya, tanpa pikir lagi segera dia melesat maju, dengan sekali jamberet dia hendak mencengkeram Siao-liong-li.

Saat itu Siao-liong-li sedikit pun tak punya tenaga buat menangkis jamberetan itu. Meski ranjang batunya mendadak ambles ke bawah, tetapi karena Li Bok-chiu cepat mengetahui dan mengambil tindakan kilat, juga cara turun tangannya pun sebat luar biasa, maka dengan jamberetannya itu tampaknya Siao-liong-li segera akan ditarik kembali mentah-mentah.

Keruan saja Yo Ko terkejut sekali. Sekuat tenaga ia tangkiskan sebelah tangannya, maka terdengarlah suara “crat” sekali, lalu tiba-tiba lengannya terasa kesakitan. Kiranya lengan kirinya dan lengan kanan Siao-liong-li secara berbareng terkena kuku jari Li Bok-chiu hingga menusuk masuk daging.

MenyusuI kemudian matanya tiba-tiba menjadi gelap, lalu terdengarlah suara gedebukan yang keras dua kali, kiranya ranjang batu mereka telah anjlok sampai ruangan di bawah tanah, sedang papan batu di bagian atas secara otomatis telah menutup sendiri. Seketika Siao-liong-li dan Yo Ko kena dipisahkan dengan Li Bok-chiu dan Ang Ling-po, yang satu pihak terpotong di bagian atas dan yang lain berada di bawah.

“Coba kau meraba dinding di mana terdapat sebuah bola batu, kau putar tiga kali ke kiri lalu empat kali ke kanan,” kata Siao-liong-li kemudian.



Yo Ko menurut, ia melompat turun dari ranjang batu, ia me-raba dalam kegelapan. Betul saja ia dapatkan sebuah batu bundar. Ia menuruti petunjuk Siao-liong-li tadi, diputarnya ke kiri dan kanan, maka terdengarlah suara “kerekak-kerekek” beberapa kali, kemudian tubuhnya terasa terguncang. Kiranya ruangan di bawah tanah di mana mereka berada itu dibangun tergantung. Karena alat rahasianya digerakkan, segera ruangan ini bergeser pindah tempat, dengan demikian sekali pun kini Li Bok-chiu berhasil menyerbu ke bawah juga tak akan mendapatkan jejak mereka lagi.

“Untuk sementara boleh dikata kita sudah lolos dari tangan jahat dua orang tadi,” kata Siao-liong-li dengan menghela napas lega.

Sementara itu remang-remang Yo Ko bisa melihat di dalam ruangan itu seperti terdapat benda-benda sebangsa meja kursi. Secara geremet didekatinya meja itu, ia ambil ketikan api lalu menyalakan lilin yang ada di atas meja. Akan tetapi begitu lilin menyala, tanpa tertahan ia terkejut, sebab terlihat olehnya separoh bajunya sudah basah kuyup oleh darah, sedang luka di atas lengan yang terkena cakaran tadi masih terus mengalirkan darah segar.

Waktu dia periksa keadaan Siao-liong-li, dia lihat di lengannya juga terdapat goresan yang cukup parah oleh cakaran kuku Li Bok-chiu tadi, hanya Siao-liong-li sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, karena itu darah yang merembes keluar dari luka cakaran ini cuma sedikit.

“Ko-ji,” kata Siao-liong-li lagi sambil menghela napas, “aku telah kekurangan darah, maka susahlah untuk menyembuhkan luka dengan menjalankan Iwekang sendiri, Tetapi sekali pun aku tak terluka, kita berdua tak mampu menandingi Suci...”

Belum habis bicara, mendadak Yo Ko melompat naik ke atas ranjang batu. Kiranya tadi pada saat Yo Ko mendengar Siao-liong-li bilang kekurangan darah, mendadak otaknya yang cerdas itu tergerak. Sebelum orang habis bicara ia sudah melompat ke atas ranjang, lalu ia tempelkan luka pada lengannya sendiri dengan luka di lengan Siao-liong-li hingga dempet menjadi satu, dengan cara demikian ia bermaksud menyalurkan darahnya sendiri kepada nona itu.

Tetapi mengalirnya darah dari lengannya ternyata tidak dapat dikendalikan oleh keinginan hatinya, meski pun darah masih mancur keluar dari lengannya, tetapi tidak bisa menyalur masuk ke otot darahnya Siao-liong-li.

“Ko-ji, usahamu ini hanya sia-sia saja, sekali pun kau dapat menolong diriku, tapi jiwamu sendiri bukankah malah akan melayang,” dengan menghela napas Siao-liog-li berkata.

Tetapi Yo Ko tak menghiraukan, sebaliknya ia semakin kuatir karena melihat darah merembes keluar dari celah lengan mereka yang berdempetan itu, nyata usahanya memang tidak berhasil. Tiba-tiba ia teringat pada Iwekang yang dipelajari dari Auwyang Hong, ilmu itu memaksa aliran darah menjadi terbalik, kenapa tidak dicobanya?

Maka segera ia membalikkan tubuhnya, berjungkir dengan kepala menahan di atas ranjang batu, ia jalankan ilmu Kiu-im-sin-kang yang terbalik ajaran Auwyang Hong. Benar saja, jalannya darah menjadi terdesak oleh semacam hawa yang dia keluarkan sehingga ber-angsur secara teratur bisa mengalir masuk ke dalam badan Siao-liong-li.

Sebenarnya seluruh badan Siao-liong-li sudah terasa dingin bagai es, tetapi aneh, tiba-tiba ia merasakan ada aliran darah hangat yang merembes masuk ke dalam tubuhnya. Tiba-tiba terpikir olehnya hal ini kurang baik, segera dia berniat hendak memberontak. Tetapi di luar dugaan, sebelumnya Yo Ko telah memperhitungkan akan reaksi ini, lebih dulu ia sudah ulurkan jarinya dan menotok Hiat-to Siao-liong-li sehingga tak bisa berkutik.

‘Transfusi darah’ yang dilakukan Yo Ko ini berjalan beberapa saat, akhirnya Yo Ko sendiri merasa kepalanya pusing dan matanya ber-kunang. Dia mengerti bahwa dia tidak sanggup bertahan lebih lama lagi, maka barulah dia duduk kembali seperti biasa, dia balut luka mereka berdua dan melepaskan totokannya tadi atas diri Siao-liong-li.

Dengan terkesima Siao-liong-li memandang Yo Ko hingga lama, akhirnya dia menghela napas perlahan. Ia pun tak ber-kata-kata lagi melainkan melakukan semadi untuk memulihkan kekuatannya sendiri.

Malam itu mereka berdua memulihkan diri sendiri. Kalau Yo Ko bersemadi untuk memulihkan rasa letih akibat kehilangan darahnya, adalah Siao-liong-li sesudah mendapat transfusi darah dari Yo Ko, semangatnya ternyata banyak bertambah segar. Dia pun telah menjalankan darah baru yang hangat itu ke seluruh tubuhnya hingga beberapa kali, maka lewat dua tiga jam kemudian, dia mengerti jiwanya tidak berhalangan lagi. Maka waktu ia membuka matanya, ia tersenyum kepada Yo Ko.

Sebenarnya pipi Siao-liong-li selalu putih pucat, tetapi kini tiba-tiba Yo Ko melihat ada semu merah pada kedua belah pipinya sehingga tampak lebih cantik.

“Ha, Kokoh, kau sudah baik,” seru Yo Ko girang.

Siao-liong-li meng-angguk dan selagi hendak buka suara, tiba-tiba terdengar suara letikan api. Kiranya lilin yang dipasang itu sudah tersulut habis, keruan seketika seluruh ruangan menjadi gelap guIita. Karena itu, luar biasa rasa senangnya Yo Ko, namun toh dia tidak tahu cara bagaimana harus berbicara.

“Marilah kita pergi ke kamarnya Sun-popoh, ada sesuatu yang akan kukatakan padamu,” kata Siao-liong-li kemudian.

“Apa kau tidak letih?” tanya Yo Ko.

“Tidak apa-apa!” sahut Siao-liong-li.

Habis itu ia menarik beberapa kali pada pesawat rahasia yang terpasang di dinding batu. Segera terasa dinding itu bergerak, lalu terbentanglah sebuah pintu. Jalan baru ini sudah tak dikenal lagi oleh Yo Ko, tapi Siao-liong-li mengajaknya memutar kian kemari beberapa kali dalam suasana gelap itu, akhirnya tiba juga mereka di kamarnya Sun-popoh.

Waktu Siao-liong-li menyalakan lilin lagi, dia lantas gulung pakaian Yo Ko hingga berupa satu buntalan, ia bungkus pula sepasang sarung tangan benang emas miliknya ke dalam buntalan baju itu. Perbuatan Siao-liong-li ini disaksikan Yo Ko dengan terkesima karena merasa heran.

“Kokoh, apa yang kau lakukan?” tanyanya tak mengerti.

Siao-liong-li tidak menjawab, dia malah mengambil lagi dua botol besar madu tawon dan memasukkan ke dalam buntalan pula.

“He, Kokoh, kita akan meninggalkan kuburan kuno ini bukan?” tanya Yo Ko tiba-tiba dengan girang.

“Pergilah saja kau, aku tahu kau adalah anak baik, terhadap diriku kau pun berlaku sangat baik,” ujar Siao-liong-li.

Luar biasa terperanjatnya Yo Ko. “Dan kau sendiri, Kokoh?” tanyanya cepat.

“Aku sudah bersumpah selama hidupku ini tidak akan keluar lagi dari kuburan ini,” sahut Siao-liong-li.

Melihat orang berkata dengan sungguh-sungguh, lagu suaranya pun amat tegas, terang tidak bisa dibantah, oleh karenanya Yo Ko tak berani bicara lebih banyak. Akan tetapi karena soalnya terlalu penting, akhirnya ia beranikan diri buat buka suara lagi:

“Kokoh, jika kau tidak pergi, aku pun tak mau pergi, biarlah aku mengawani kau disini.”

“Suci-ku menunggui kita di mulut kuburan dan hendak memaksa aku menyerahkan Giok-li-sim-keng,” kata Siao-liong-li pula, “Sedang ilmu kepandaianku tidak bisa menandingi dia, maka pasti tidak bisa lolos, bukan?”

“Ya,” sahut Yo Ko.

“Dan ransum yang tersisa di sini, aku kira paling tahan hanya untuk dua puluhan hari saja, umpama bisa makan sedikit madu tawon, paling lama juga tidak lebih dari satu bulan, dan sesudah sebulan, lalu bagaimana baiknya?”

“Kita terjang keluar saja,” sahut Yo Ko sesudah tertegun sejenak. “Walau pun kita tak bisa mengalahkan Supek, tapi belum tentu kita tak mampu menyelamatkan jiwa.”

“Sulit,” kata Siao-liong-li sambil menggeleng kepala, “jika kau kenal ilmu kepandaian dan tabiat Supek, tentu kau akan tahu kita tidak mampu menyelamatkan diri. Apa bila sampai tertangkap, tatkala itu tidak hanya akan mengalami siksaan dan hinaan, bahkan di waktu akan mati terlebih susah lagi penderitaan badaniah kita.”

“Jika begitu, bukankah seorang diri akan tak mampu lari,” ujar Yo Ko.

“ltu soal lain.” sahut Siao-liong-li. “Aku ke bagian dalam kuburan, pada kesempatan itulah kau lantas melarikan diri. Sebelum itu kau pindahkan dulu batu besar di sebelah kiri pintu kuburan lantas tarik alat rahasia di dalamnya, menyusul itu segera ada dua batu raksasa yang akan anjlok turun dan menutup rapat pintu kuburan untuk selama-lamanya.”

Yo Ko semakin terkejut oleh cerita orang. “Dan Kokoh tahu akan ja!an rahasia lain sehingga bisa keluar sendiri, bukan?” tanyanya cepat.

“Tidak,” sahut Siao-liong-li sambil gelengkan kepala pula. “Dulu waktu cikal-bakal Coan-cin-kau, Ong Tiong-yang mendirikan Hoat-su-jin-bong ini, ia tahu dirinya selalu dikejar dan diincar oleh raja Kim, oleh karena itu dia sengaja atur kuburan ini dan menaruh dua batu raksasa yang beratnya berlaksa kati. Ia tunggu apa bila dirinya kepepet dan tak sanggup melawan musuh yang jauh lebih banyak, segera ia akan lepaskan batu raksasa itu untuk menutup dirinya di dalam kuburan, dengan demikian sampai mati pun ia tidak mau takluk pada musuh.

Akan tetapi karena selama itu musuhnya tiada satu pun yang mampu melawan ilmu silat Ong Tiong-yang yang amat tinggi, maka kedua batu raksasa ini selamanya belum pernah terpakai. Dan pada waktu Ong Tiong-yang harus menyerahkan kuburan kuno ini kepada Cosu-popoh, dia sudah memberi-tahukan juga semua alat rahasia yang dia atur di dalam kuburan hingga akhirnya turun temurun sampai pada diriku.”

“Tetapi Kokoh, mati atau hidup aku tetap akan berada di sampingmu.” Dengan air mata ber-linang Yo Ko berkata pula.

“Apa gunanya kau mengikuti diriku terus?” kata Siao-liong-li pula. “Kau bilang di dunia luar sana indah sekali, maka pergilah kau bermain sepuasnya, nanti kalau kau sudah berhasil melatih cinkeng sampai sempurna, maka tiada satu pun di antara imam-imam busuk Coan-cin-kau itu yang berani cari gara-gara lagi padamu, Tatkala itu kau tentu bisa malang melintang di seluruh jagat, bukankah itu sangat menyenangkan?”

Akan tetapi Yo Ko ternyata tidak tergoyah oleh bujukan itu, tiba-tiba dia menubruk maju dan merangkul tubuh Siao-liong-li sambil menangis tersedu-sedan.

“Kokoh, di jagat ini hanya ada kau seorang saja yang sangat baik terhadapku,” demikian katanya cemas, “Jika kau tak hidup lagi, pasti seumur hidupku tak akan merasa senang.”

Sebenarnya watak Siao-liong-li selalu dingin dan lenyap dari segala macam perasaan, apa yang dia ucapkan pun selalu tegas dan tidak bisa ditarik kembali lagi. Tetapi aneh, entah mengapa, sesudah mendengar kata Yo Ko yang diucapkan dengan setengah meratap ini, tanpa tertahan darah dalam tubuhnya seolah-olah bergolak, dalam pilunya hampir ia meneteskan air mata.

Tapi segera ia terkejut, teringat olehnya apa yang pernah dipesan wanti-wanti oleh mendiang gurunya sewaktu hendak mangkat, bahwa ilmu yang dilatihnya itu adalah semacam ilmu rohaniah yang harus menghilangkan segala cita rasa dan napsu, bila sampai mengalirkan air mata karena seseorang sehingga menggoncangkan perasaan, bukan saja ilmu silatnya akan punah, bahkan dapat membahayakan jiwa sendiri. Teringat oleh pesan sang guru, segera Siao-liong-li mendorong pergi Yo Ko, kemudian dengan lagu suara dingin ia berkata pula:

“Apa yang aku katakan kau harus menurut, kau berani adu mulut dengan aku?”

Melihat orang kembali berubah sungguh-sungguh dan kereng, Yo Ko tak berani buka suara lagi. Segera Siao-liong-li ikat buntalan yang sudah disiapkan itu, lalu diikat pada punggung Yo Ko. Dia mengambil sebatang pedang yang tergantung di dinding.

“Ambillah ini. Sebentar bila aku katakan pergi, segera juga kau harus angkat kaki, begitu keluar dari kuburan ini, seketika juga kau harus lepaskan batu raksasa penutup pintu itu,” dengan suara bengis Siao-Iiong-li memesan sambil menyerahkan tadi. “lngat, Supek-mu itu teramat lihay, jika asal sedetik saja maka kesempatan akan segera hilang, karena itu kau mau turut tidak perkataanku ini?”

“Aku menurut,” sahut Yo Ko dengan suara berat.

“Jika kau tidak melakukan apa yang aku katakan, di alam baka sekali pun aku akan benci padamu,” kata Siao-liong-Ii pula. “Dan sekarang marilah berangkat!”

Habis berkata, Siao-liong-Ii menarik tangan Yo Ko kemudian membuka pintu untuk keluar ke ruangan.


MATI HIDUP SELALU BERSAMA

DahuIu Yo Ko pernah menyentuh tangan Siao-liong-li yang selamanya terasa dingin bagai es, tetapi kini demi tangannya dipegang, ia merasa tangan Siao-Iiong-li sebentar dingin dan sebentar lagi hangat, ternyata berlainan sekali dengan biasanya. Akan tetapi karena perasaannya sedang bergoIak, maka urusan ini pun tidak sempat dia pikirkan lagi, dia hanya ikut Siao-Iiong-li keluar kembali.

Sambil meraba dinding batu Siao-liong-li berpesan lagi pada Yo Ko: “Di dalam kamar inilah mereka berada, sebentar bila aku pancing Suci agar menyingkir, segera kau terjang keluar melalui pintu ujung barat-laut. Kalau Ang Ling-po mengejar kau, boleh kau lukai dia dengan Giok-hong-soa (pasir tawon putih).”

Yo Ko tidak menjawab sebab perasaannya tak kepalang kusutnya, ia hanya mengangguk saja. Giok-hong-soa atau pasir tawon putih yang baru disebut Siao-liong-li itu adalah Am-gi atau senjata gelap Ko-bong-pay yang khas. Dahulu Lim Tiao-eng disegani di kalangan Bu-lim disebabkan dia mempunyai dua macam Am-gi yang amat lihay, satu di antaranya adalah Peng-pek-gin-ciam yang dipakai Li Bok-chiu itu dan yang lain adalah Giok-hong-soa.

Bentuk Giok-hong-soa ini segi enam dan terbuat dari pasir emas yang digembleng dengan racun tawon putih. Meski bentuknya kecil lembut, tetapi karena terbuat dari emas yang berat, maka waktu dihamburkan dapat mencapai jarak jauh. Tetapi karena Am-gi ini terlalu keji, maka selamanya jarang digunakan Lim Tiao-eng. Guru Siao-liong-li tahu akan jiwa Li Bok-chiu yang tidak gampang dikendalikan dan tidak sudi tinggal selamanya di dalam kuburan, maka yang diturunkan kepadanya hanya Peng-pek-gin-ciam, sedang Giok-hong-soa tidak diajarkan padanya.

Begitulah, maka setelah Siao-liong-li tenangkan semangatnya, segera ia menekan sebuah alat rahasia di atas dinding batu, menyusul terdengarlah suara “krak-krak” beberapa kali, ternyata dinding batu itu sudah menggeser terbuka sendiri. Dan begitu dinding melekah, tanpa ayal Siao-liong-li segera ayunkan selendang suteranya, sekaligus dia serang kedua lawannya, Li Bok-chiu dan Ang Ling-po, serangannya cepat dan orangnya ikut melayang maju pula dengan gesit.

Tatkala itu Li Bok-chiu sudah dapat melepaskan tutukan Hiat-to pada tubuh Ang Ling-po, ia damperat muridnya ini yang tak becus sampai kena diingusi ‘anak kemarin’. Kemudian guru dan murid ini telah meraba keadaan dalam kuburan kuno itu hingga akhirnya tujuh atau delapan kamar telah dapat dibobolkan dan masih hendak masuk lebih dalam lagi.

Tentu saja mereka menjadi kaget ketika mendadak nampak Siao-liong-li malah menyerbu keluar. Lekas Li Bok-chiu ayunkan senjata kebut untuk menangkis serangan selendang sutera orang. Kebut dan selendang sutera semuanya adalah benda yang lemas, sekarang lemas lawan lemas, tetapi Li Bok-chiu lebih ulet, maka begitu kedua senjata saling beradu, seketika selendang sutera Siao-liong-li menggulung balik.

Namun Siao-liong-li tidak andalkan serangan tadi saja. Ketika ujung selendang membalik, sebelah ujung yang lain segera menyambar maju lagi, dalam sekejap mata saja dia telah melontarkan beberapa kali serangan. Begitu lemas saja penampilan selendangnya hingga se-akan sedang menari.

Dalam kagetnya tadi Li Bok-chiu menjadi amat dongkol. “Nyata Suhu memang tidak adil. Bilakah dia pernah mengajarkan kepadaku kepandaian seperti Sumoay ini?” demikian dia membatin.

Tetapi karena dia menaksir masih sanggup menandingi sang Sumoay, maka sementara ini tipu serangan mematikan belum dia lontarkan, sebaliknya dia justru mengulur tempo hendak menyaksikan ilmu silat lihay apa yang telah diajarkan gurunya kepada Siao-liong-li.

Di lain pihak Ang Ling-po ternyata tidak tinggal diam. Selama hidup ia amat bangga atas dirinya yang pintar dan cerdik, tapi siapa tahu hari ini bisa terjungkal di bawah tangan ‘anak kemarin sore’, bahkan selama setengah harian dirinya telah dipermainkan orang yang berlagak tolol dan untuk ini sedikit pun dirinya ternyata tidak mengetahui, keruan saja tidak kepalang gemasnya.

Sementara itu dia melihat sang Suhu dengan sengitnya sedang menempur sang Susiok, maka kesempatan ini hendak dia gunakan untuk membalas dendam.

“Hayo, Sah Thio, kau keparat ini benar-benar kurang ajar,” demikian segera ia bentak Yo Ko dengan suara garang, kemudian ia lolos sepasang pedangnya sambil melangkah maju, lalu membentak lagi: “lni lihat, akan kuiris batang hidungmu!”

Nampak orang cukup kalap, terpaksa Yo Ko harus angkat pedang buat menangkis. Sebenarnya bila dalam keadaan biasa, sesuai adat Yo Ko, tentu dia akan keluarkan kata sindiran untuk menggoda orang, tetapi kini karena teringat dirinya bakal berpisah dengan Siao-liong-li, maka matanya telah basah mengembeng air hingga pandangannya menjadi kabur, karena itu atas serangan orang ia hanya menangkis asal menangkis saja, sama sekali ia tidak melakukan serangan balasan.

Di pihak sana setelah Ang Ling-po melontarkan beberapa kali serangan, meski tidak bisa melukai Yo Ko, namun melihat gerak tangan orang seperti tak bertenaga, dia menyangka kepandaian bocah ini hanya sekian saja, keruan dia tambah gemas dan penasaran kena diingusi orang.

Sementara itu setelah saling gebrak belasan jurus antara Li Bok-chiu dengan Siao-Iiong-li, mendadak yang tersebut duluan itu putar kebutnya hingga selendang sutera Siao-liong-li kena terlibat.

“Sumoay, lihatlah kepandaian Suci-mu ini,” kata Li Bok-chiu.

Habis berkata sekonyong-konyong ia getarkan kebutnya dengan tenaga dalam, karena itu selendang sutera lawannya segera terputus menjadi dua. Ilmu kepandaian yang diunjukkan Li Bok-chiu memang lihay luar biasa. Biasanya dalam pertarungan senjata tajam melawan senjata tajam, untuk mematahkan senjata lawan saja sangat sukar, apa lagi kini baik kebut mau pun selendang tergoIong benda yang lemas.

Akan tetapi Li Bok-chiu toh mampu membetot putus selendang sutera itu, sungguh hal ini berpuluh kali lipat lebih sulit dari pada mematahkan senjata tajam yang keras. Sungguh pun demikian, namun Siao-liong-Ii sedikit pun tidak menjadi jeri oleh kepandaian orang.

“Hmm, sekali pun kepandaianmu hebat, kau mau apa lagi?” sambutnya dingin.

Berbareng itu tiba-tiba ia gunakan separoh selendangnya yang terputus itu untuk menyerang, sekali dia mengayun, tahu-tahu ujung kebut Li Bok-chiu kena terlilit, menyusul ini ujung selendang yang lain segera menyambar lantas melilit pula gagang kebut yang terbikin dari kayu. Ketika yang satu ditarik ke kiri dan yang lain dibetot ke kanan, maka terdengarlah suara “pletak”, nyata kebut Li Bok-chiu juga telah kena dipatahkan.

Apa bila mempersoalkan kekuatan, serangan balasan Siao-liong-li ini memang belum bisa melebihi tenaga betotan Li Bok-chiu yang memutuskan selendang dengan tenaga getaran tadi, tapi ketepatan dan kesebatannya mengeluarkan serangan balasan cukup membikin Li Bok-chiu tak berdaya. Begitulah, maka Li Bok-chiu rada terperanjat juga oleh serangan kilat tadi, tetapi segera ia membuang gagang kebut yang patah itu, lantas dengan tangan kosong merangsak maju hendak merebut selendang Siao-liong-li.

Karenanya Siao-Iiong-li didesak hingga terus mundur ke belakang. Sesudah belasan jurus berlalu lagi, akhirnya Siao-liong-li mundur sampai di dekat dinding batu sebelah timur, tampaknya untuk mundur lebih jauh tidak mungkin lagi. Dalam keadaan demikian, mendadak dia membalikkan sebelah tangannya terus menekan pada tembok batu sambit berteriak:

“Ko-ji, lekas pergi!”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar