Selasa, 15 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 033

Yo Ko berteriak-teriak kesakitan seperti babi hendak disembelih. “Auuuuh, sakit! baiklah, aku ikut, aku ikut!” teriaknya.

“Orang ini sebodoh kerbau, kebetulan dapat kuperas,” demikian To-koh itu membatin.

Lalu ia tarik lengan baju Yo Ko terus diseret ke atas gunung. Orang yang memiliki ilmu silat, cara jalannya dengan sendirinya sangat cepat. Tetapi Yo Ko justru sengaja berlaku asal-asalan, ia tumbuk sini dan kesandung sana, langkahnya sekali cepat sekali lambat, ia sengaja bikin dirinya ketinggalan di belakang.

Tak lama ia pura-pura tak tahan, ia duduk di atas satu batu di tepi jalan sambil mengusap keringatnya, napasnya ter-engah-engah senin-kemis. Karena kelakuannya ini, dalam gelinya si To-koh ber-ulang mendesaknya supaya segera melanjutkan perjalanan.

“Begitu cepat kau berjalan, mana bisa aku menyusulmu?” sahut Yo Ko.

Akan tetapi karena sang surya sudah mendoyong ke langit barat, hari sudah sore, To-koh itu menjadi tidak sabar Iagi. Segera ia dekati Yo Ko, dipegang lengannya dan ditarik terus berlari cepat ke atas. Tetapi Yo Ko tetap tidak bisa mengikuti tindakan orang yang terlalu cepat, kedua kakinya harus mancal-mancal tak keruan dan tiba-tiba menginjak sebelah kaki si To-koh dengan keras.

“Auuh! Kau cari mampus!” jerit To-koh itu sambil mendamperat.

Dia melihat napas Yo Ko memang sudah senin-kemis dan terlalu payah, segera ia ulurkan tangan kirinya, ia angkat pinggang Yo Ko sambil membentak:

“Naik!”

Maka tangannya merangkul tubuh Yo Ko terus dibawa lari ke atas gunung. Dengan menggunakan Ginkang yang hebat, hanya sekejap saja beberapa li sudah dilalui. Karena tubuhnya dirangkul sebelah tangan orang, maka terasalah oleh Yo Ko punggung sendiri menempel dada orang yang hangat dan empuk, hidungnya tercium pula bau wangi kaum gadis umumnya. Keruan saja Yo Ko kesenangan, sekalian dia menggelendot tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun, dia biarkan dirinya dicangking orang.

Sesudah beberapa li, ketika To-koh itu memandang ke bawah, ia lihat wajah Yo Ko mengunjuk senyuman, tampaknya enak sekali rasanya. Keruan ia mendongkol, begitu tangannya dikendorkan segera Yo Ko terbanting ke tanah.

“Senang ya, kau?” bentak si To-koh.

Karena bantingan ini, Yo Ko me-raba bokongnya sambil ber-teriak kesakitan. Mau tak mau To-koh itu tertawa lagi oleh kelakuan Yo Ko yang tolol lucu itu. Dia merasa dongkol sekaligus geli.

“Kenapa kau begini tolol?” dia mengomel.

“Ya, memang namaku Thio si tolol,” sahut Yo Ko. “Sian-koh, aku she Thio, apakah kau she Sian?”

“Asal kau panggil aku Sian-koh, peduli mau anggap aku she apa,” damperat si To-koh.

Kiranya To-koh atau imam wanita ini memang betul adalah murid pertama Jik-lian-siancu Li Bok-chiu, ia she Ang dan bernama Ling-po. To-koh yang dulu disuruh pergi membunuh seluruh keluarga Liok Lip-ting tapi akhirnya berhasil diusir oleh Bu-samnio, bukan lain ialah Ang Ling-po ini. Tetapi meski Yo Ko ingin menyelidiki namanya, namun sama sekali dia tak mau menerangkan. Begitulah, lalu Ang Ling-po duduk juga di atas satu batu sambil membetulkan rambutnya yang tersebar tertiup angin.

Ketika Yo Ko berpaling dan memandangi orang, mau tak mau ia berkata dalam hati: “To-koh ini terhitung cantik juga, cuma masih belum dapat mengungkuli Kwe-pekbo (bibi Kwe, maksudnya Oey Yong), lebih-lebih tidak bisa menandingi aku punya Kokoh (maksudnya Siao-liong-li).”

Walau pun demikian pendapat Yo Ko, kalau soal kecantikan sebenarnya Oey Yong dan Siao-liong-li boleh dikatakan sukar dibedakan mana yang lebih elok, tetapi lantaran Yo Ko sudah pakai pikiran yang berat sebelah, dengan sendirinya ia merasa Siao-liong-li lebih cantik.

Sementara itu, begitu tahu orang sedang menikmati kecantikannya, Ang Lin-po melerok sekali pada Yo Ko.

“Kenapa kau pandang aku terus, Sah Thio?” dengan tertawa ia bertanya.

“Pandang ya pandang, aku tak tahu, jika kau tak boleh kupandang, baiklah aku tak memandang lagi, siapa yang kepingin lihat?” sahut Yo Ko ke-tolol-tololan.

Ang Ling-po tertawa genit. “Kau mau pandang, nah, pandanglah terus. Ehh, bagaimana aku ini, cantik tidak kelihatannya?” dia bertanya sembari mengeluarkan sebuah sisir emas kecil dan dengan perlahan dia sisir rambutnya yang gombyok indah itu.

“Bagus sih bagus,” sahut Yo Ko, “hanya... hanya...”

“Hanya apa?” sela Ang Ling-po.

“Hanya kurang putih,” kata Yo Ko.

“Sah Thio, kau mencari mampus ya? Berani kau bilang aku kurang putih?” mendadak Ang Ling-po membentak sambil berdiri.

Kiranya selama ini Ang Ling-po paling bangga dengan kulit badannya sendiri yang putih mulus laksana susu. Dia kira di jagat ini pasti tiada bandingannya lagi, siapa tahu Yo Ko berani bilang kulitnya masih kurang putih, keruan dia menjadi sangat marah. Di luar dugaan, meski sudah dibentak, Yo Ko tetap geleng kepala.

“Ya, kurang putih,” sahutnya tegas.

“Lalu siapa yang lebih putih dariku?” tanya Ang Ling-po dengan marah.

“Yang tidur bersama aku setiap malam jauh lebih putih darimu,” kata Yo Ko.

“Siapa dia, binimu atau ibumu?” tanya Ang Ling-po.

“Bukan, semua bukan, tetapi dombaku,” sahut Yo Ko akhirnya.



Mendengar toh bukan manusia lain yang lebih putih dari pada dia, maka dari marah Ang Ling-po berubah tertawa geli.

“Sungguh tolol, manusia mana dapat dibandingkan dengan hewan?” omelnya kemudian, “Ayo, kita berangkat lagi.”

Dia tarik lagi tangan Yo Ko dan diseret ke atas gunung. Pada waktu hampir mendekati jalan yang lurus menuju Tiong-yang-kiong, tiba-tiba Ang Ling-po membelok ke barat dari menuju ke arah Hoat-su-jin-bong.

“He, betul dia hendak mencari Kokoh,” pikir Yo Ko diam-diam.

Selang tak lama kemudian Ang Ling-po lalu mengeluarkan sebuah peta dari bajunya dan berdasarkan peta ini dia mencari jalan.

“Sian-koh,” kata Yo Ko tiba-tiba, “lebih ke depan lagi jalan ini buntu, di rimba sana ada macannya.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Ling-po.

“Ya, di rimba sana ada sebuah kuburan raksasa, dalam kuburan terdapat mayat hidup dan setan gentayangan, siapa pun tidak berani mendekatinya,” sahut Yo Ko.

“Ha, ternyata Hoat-su-jin-bong memang betul ada di sini,” ujar Ang Ling-po girang.

Kiranya belakangan ini Ang Ling-po telah memperoleh ajaran tingkat terakhir dari gurunya, Li Bok-chiu, karena itu ilmu silatnya sudah maju pesat sekali. Setelah membantu gurunya mengalahkan keroyokan kalangan Bu-lim di Soasay, ia sangat bangga diri.

Belakangan dia dengar cerita tentang asal-usul perguruan sendiri dari Li Bok-chiu. Dari itu dia pun tahu bahwa di Hoat-su-jin-bong masih ada kitab rahasia pelajaran ilmu silat kelas wahid, terutama ‘Giok-li-sim-keng’.

Li Bok-chiu memang seorang yang suka jaga gengsi sendiri. Terhadap kejadian-kejadian cara bagaimana ia diusir terbirit keluar dari Hoat-su-jin-bong ketika dirinya mengeluruk lagi ke sana, hal ini sama sekali tak diceritakan kepada sang murid. Karena itu, ketika Ang Ling-po tanya dia kenapa tidak mendatangi kuburan kuno itu untuk mempelajari ilmu silat yang hebat itu, namun selalu Li Bok-chiu menjawabnya dengan samar. Dia bilang tempat kuburan itu sudah diberikan pada Sumoay-nya yang masih muda dan karena kedua saudara seperguruan tidak akur, maka sudah lama tak ada hubungan satu sama lain.

Walau pun begitu, Ang Ling-po selalu menghasut sang guru supaya pergi mengangkangi Hoat-su-jin-bong. Padahal Li Bok-chiu sendiri siang dan malam tak pernah melupakan hal itu, hanya perangkap di dalam kuburan itu belum bisa dia menembusnya, oleh karena itu sampai kini dia masih belum berani sembarang turun tangan. Kini mendengar bujukan sang murid yang begitu bernapsu, dia hanya tersenyum dan tidak menjawab.

Sesudah Ang Ling-po beberapa kali mengemukakan maksudnya namun sang guru tetap tinggal diam, maka ia sendiri pun mulai mengincar. Ia telah menanyakan keadaan dan jalan yang menuju ke kuburan itu, lalu ia sendiri menyiapkan sebuah petanya. Kali ini, pada kesempatan dia diperintah gurunya ke Tiang-an untuk membunuh seorang musuh, sesudah tugasnya selesai, ia menuju ke Cong-lam-san dan di luar dugaan bertemu dengan Yo Ko.

Kalau menurut cerita gurunya, katanya di sekitar kuburan kuno dilingkari tumbuh-tumbuhan lebat sehingga putus hubungan dengan dunia luar. Tetapi dia tidak tahu bahwa sebenarnya Li Bok-chiu belum cerita seluruhnya yang betul, padahal kuburan kuno itu masih ada jalan rahasia lain yang bertembusan dengan dunia luar. Begitulah, dia lantas perintahkan Yo Ko membabat belukar yang merintangi jalan dengan menggunakan kampak curian, dengan cara ini dia mencari jalan menuju Hoat-su-jin-bong.

Sebenarnya Yo Ko sudah cukup apal jalan yang menembus ke kuburan kuno itu. Dengan membabat hutan belukar seperti apa yang dilakukan ini bukan hanya membuang tenaga dan waktu, bahkan berbahaya pula. Tetapi ia pura-pura tidak tahu dan tidak mengerti, Ang Ling-po suruh kerjakan apa, dia lantas lakukan. Sampai akhirnya, cuaca gelap, tapi baru lebih satu li yang mereka tempuh, jaraknya dengan kuburan kuno itu masih sangat jauh.

Karena masih menguatirkan keselamatan Siao-liong-li, maka Yo Ko menjadi tidak sabar. Ia pikir tidakkah lebih baik membawa To-koh ini ke sana dan melihat apa yang hendak dia lakukan. Maka ia mem-babat beberapa kali lagi, sengaja ia mengincar sebuah batu terus mengampak dengan keras. Keruan lelatu api bercipratan, mata kampak itu gumpil.

“Ai, celaka, di sini ada sebuah batu besar, kampaknya rusak, tentu nanti aku bakal dihajar ibuku!” teriak Yo Ko pura-pura takut.

Sesungguhnya Ang Ling-po sendiri sudah tak sabar melihat cara mereka menempuh perjalanan ini. Agaknya malam ini tidak bisa sampai di kuburan kuno itu. Oleh karenanya terus menerus ia rnendamperat:

“ToIol, sungguh tolol!”

“Sian-koh, kau takut setan atau tidak?” Yo Ko bertanya.

“Takut setan?” sahut Ling-po, “Hm, setan yang takut padaku, tahu? Dengan sekali tebas nanti setannya kubikin kutung menjadi dua.”

Yo Ko pura-pura girang oleh jawaban orang. “BetuIkah, Sian-koh? Kau tidak dusta?” tanyanya.

“Buat apa dusta?” ujar Ling-po.

“Baiklah, jika memang kau tak takut setan, segera kubawa kau pergi ke kuburan raksasa itu,” kata Yo Ko. “Cuma kalau setannya keluar, kau harus mengusirnya, ya!”

Girang sekali Ang Ling-po mendengar si tolol mengenal jalan ke kuburan itu. “Kau kenal jalannya? Baiklah, lekas bawa aku ke sana!” sahutnya cepat.

Kuatir orang curiga, Yo Ko sengaja mengoceh lagi. Ia minta Ang Ling-po harus janji akan membunuh setan bila muncul. Karena itu berulang kali Ling-po bersumpah dan menyuruh dia jangan kuatir.

“Beberapa tahun yang lalu.” demikian kata Yo Ko, “aku pernah mengangon dombaku ke samping kuburan raksasa itu. Di sana aku tertidur dan waktu bangun, ternyata telah tengah malam. Dengan mata kepalaku sendiri kulihat satu setan perempuan berbaju putih menongol keluar dari kuburan itu, saking takutnya aku lari hingga di tengah jalan aku jatuh kesandung, kepalaku sampai bocor dan terluka, lihat ini, masih ada bekasnya di sini.”

Sambil bicara Yo Ko sengaja mendekati Ang Ling-po agar orang suka meraba kepalanya, Meski Yo Ko masih pelonco, namun terasa juga badan Ang Ling-po sangat wangi, kalau dapat berdekatan, rasanya sangat sedap dan enak, maka sekarang sengaja dia gunakan kesempatan untuk mengakali orang, kepalanya dimiringkan ke dekat mulut orang.

“Tolol!” sambil tertawa Ang Ling-po mengomel karena kelakuan Yo Ko itu, lalu sekenanya ia meraba kepalanya, tapi tidak terasa ada sesuatu belang bekas luka, namun ia pun tidak pedulikan, segera ia mendesak lagi: “Lekas bawa aku ke sana!”

Maka tanpa bicara lagi Yo Ko menggandeng tangan orang dan diajak keluar dari semak belukar dan memutar menuju jalan yang menembus ke kuburan kuno. Waktu itu sudah dekat tengah malam. Dengan memegangi tangan orang, terasa oleh Yo Ko tangan Ang Ling-po ini sangat halus dan empuk, pula hangat. Yo Ko menjadi heran.

“Kokoh dan dia sama wanita, tapi tangan yang satu kenapa dingin seperti es, sedangkan tangan yang ini begini hangat?” demikian pikirnya tak mengerti.

Karena tidak tahan, tanpa terasa ia gunakan sedikit tenaga dan me-remas tangan orang yang halus itu beberapa kali. Jika orang Bu-lim ada yang berani main gila seperti kelakuan Yo Ko ini, pasti sudah sejak tadi Ang Ling-po lolos pedangnya dan bikin jiwanya melayang. Tetapi, pertama karena dia anggap Yo Ko seorang bebal, lagi pula melihat wajahnya yang tampan dan gagah, dalam hati Ang Ling-po mau tak mau rada suka juga, maka ia pun tidak menjadi marah. Hanya dalam hati ia berpikir: “Si tolol ini ternyata tidak seluruhnya tolol, nyata ia tahu juga akan kecantikanku.”

Dengan membawa orang ke kuburan kuno itu, sekali ini Yo Ko tidak ber-pura-pura lagi, maka tidak berapa lama dia sudah membawa Ang Ling-po sampai di tempat tujuannya.

Pada waktu Yo Ko lari keluar kuburan kuno itu, saking takutnya ia belum sempat menutup kembali pintunya. Kini batu yang dipakai sebagai daun pintu ternyata masih menggeletak di samping dan belum ditutup kembali. Sesaat hati Yo Ko menjadi ber-debar, dia berdoa: “Harap saja Kokoh belum mati, supaya aku bisa berjumpa dengan dia sekali lagi.”

Karena sudah tak sabar, ia tidak permainkan Ang Ling-po lagi. Ia berkata padanya:

“Sian-koh, kubawa kau masuk ke sana untuk bunuh setan, tetapi jangan kau biarkan setannya menelan diriku.” Habis berkata segera ia melangkah duluan ke dalam kuburan yang aneh.

Melihat Yo Ko tiba-tiba menjadi berani, Ling-po merasa heran, pikirnya: “Kenapa si tolol ini mendadak besar nyalinya?”

Tetapi ia pun tak sempat berpikir panjang lagi. Segera ia kintil di belakang Yo Ko, pedang disiapkan di tangan untuk menjaga segala kemungkinan. Dari gurunya Ang Ling-po mendengar, katanya jalan di dalam Hoat-su-jin-bong itu belak-belok dan ber-putar-putar, asal salah jalan satu langkah saja segera jiwa bisa melayang. Tapi tanpa pikir ternyata Yo Ko berani melangkah sesuka hatinya, dengan cepat dia memutar ke timur dan membelok ke barat, di sini ia dorong sebuah pintu dan masuk, nanti dia tarik sebuah batu besar lagi, tampaknya sudah apal luar biasa.

Ang Ling-po mulai curiga, “Jangan-jangan Suhu yang mendustai aku karena kuatir aku masuk ke sini sendiri,” demikian batinnya.

Sementara itu, sekejap saja Yo Ko sudah membawa Ang Ling-po masuk ke kamar Siao-liong-li yang terletak di tengah kuburan. Perlahan Yo Ko mendorong pintu kamar. Ia coba pasang kuping, tapi tak terdengar suara sedikit pun. Sebenarnya ia hendak memanggil Kokoh, tetapi urung ketika teringat olehnya bahwa Ang Ling-po berada di sampingnya. Maka dengan suara perlahan ia berkata padanya:

“Sudah sampai!”

Sekali pun ilmu silat Ang Ling-po tinggi dan nyalinya besar, akan tetapi sesudah berada di tengah kuburan raksasa, betapa pun juga hatinya kebat-kebit. Maka, begitu mendengar perkataan Yo Ko, segera ia ketik batu api dan menyalakan lilin yang berada di atas meja. Kemudian tampaklah olehnya ada seorang gadis berbaju putih sedang rebah tenang tanpa bergerak sedikit pun.


TERKURUNG DI “RUMAH” SENDIRI

Memang sudah diduga olehnya bahwa di dalam kuburan ini dia akan bertemu dengan Susiok atau paman gurunya, Siao-liong-li, tetapi sama sekali tak tersangka Siao-liong-li sedang tidur seenaknya saja di atas ranjangnya se-akan tak gentar dengan bahaya apa yang akan menimpa tidak pandang sebelah mata padanya. Karena itu Ang Ling-po tidak berani asal, ia melintangkan pedangnya di depan dada sebagai penghormatan lalu ia buka suara:

“Tecu Ang Ling-po mohon bertemu Susiok!”

Jantung Yo Ko memukul keras seperti mau melompat keluar dari dadanya. Dengan mulut melongo dia curahkan seluruh perhatiannya untuk melihat gerak-gerik Siao-liong-li, tetapi sedikit pun Siao-liong-li tidak bergerak, sesudah lama sekali baru terdengar dia menyahut dengan suara yang perlahan tetapi orangnya masih rebah menghadap tembok. Sejak Ang Ling-po mulai berkata sampai Siao-liong-li menyahut tadi, selama itu pula Yo Ko menunggu dengan luar biasa gopohnya, ia ingin menubruk maju dan merangkul Suhu-nya buat menangis se-puasnya.

Kemudian sesudah mendengar Siao-liong-li bersuara, barulah hatinya merasa lega seperti sebuah batu besar yang menindih dapat diangkat, dalam girangnya dia tak sanggup menguasai perasaannya lagi, menangislah dia tersedu-sedu. Keruan Ang Ling-po sangat heran.

“He, ada apa, Sah Thio?” dia bertanya.

“Huu... huk... aku takut,” sahut Yo Ko terguguk-guguk.

Sementara itu Siao-liong-li telah berpaling dengan perlahan. “Tidak usah kau takut,” katanya dengan suara lemah, “tadi aku sudah mati satu kali, rasanya sedikit pun tidak menderita.”

Terperanjat sekali Ang Ling-po ketika mendadak melihat wajah Siao-Iiong-li yang begitu cantik tiada taranya, tetapi mukanya pucat lesu tanpa darah, “Ternyata di dunia ini ada wanita sedemikian molek seperti dia ini.” demikian pikirnya. Karenanya seketika ia merasa dirinya sendiri menjadi jelek.

“Tecu Ang Ling-po, menghadap Susiok di sini,” ia berkata lagi.

“Dan di manakah Suci (kakak guru perempuan)? Juga datangkah dia?” dengan perlahan Siao-liong-li bertanya.

“Suhu menyuruh Tecu ke sini duluan untuk menyampaikan salam hormat kepada Susiok,” sahut Ang Ling-po.

“Lekas kau keluar saja. Jangankan kau, sekali pun gurumu tidak diperkenankan masuk ke sini,” ujar Siao-liong-Ii.

Melihat muka Siao-iiong-!i yang mirip orang sakit, pula baju di dadanya penuh noda darah, cara bicaranya pun ter-putus-putus dan napasnya memburu, terang sekali orang terluka parah, keruan Ang Ling-po menjadi berani, seketika lenyaplah sebagian besar rasa kebat-kebitnya tadi.

“Dan di manakah Sun-popoh?” dia coba bertanya lagi.

“Sudah lama dia meninggal, lekas kau keluar saja,” sahut Siao-liong-li.

Ang Ling-po tambah lega demi mendengar Sun-popoh sudah mati, ia girang dan berpikir: “Sungguh kebetulan sekali dan rupanya memang ada jodoh, tak terduga aku Ang Ling-po ternyata bisa menjadi ahli waris Hoat-su-jin-bong ini.”

Tampaknya jiwa Siao-liong-li sudah tinggal sesaat saja, Ang Ling-po kuatir orang tiba-tiba mati sehingga tiada orang Iain lagi yang mengetahui di mana tersimpannya kitab ‘Giok-li-sim-keng’, maka cepat ia buka suara.

“Susiok,” demikian ia memanggil. “Suhu menyuruh Tecu ke sini buat mohon kitab Giok-li-sim-keng. Harap engkau suka serahkan padaku dan Tecu segera mengobati lukamu.”

Selama ini hati Siao-liong-li selalu dalam keadaan tenang tenteram, semua cita-rasanya sudah terbuang jauh dan terlupa, tetapi kini setelah menderita luka, ilmu kepandaian yang dilatihnya ludes semua, hakekatnya ia sudah tak punya kekuatan untuk menguasai perasaan sendiri, maka begitu mendengar apa yang dikatakan Ang Ling-po, dalam gugup dan marahnya, tiba-tiba matanya mendelik terus jatuh pingsan.

Secepat kilat Ang Ling-po memburu maju. Dia pijat sekali ‘Jin-tiong-hiat’ di atas bibir orang, maka secara perlahan Siao-liong-li siuman kembali.

“Kalian guru dan murid lebih baik jangan berpikir yang muluk-muluk, di manakah Suci-ku? Lekas kau suruh dia ke sini, ada sesuatu yang hendak kukatakan kepadanya,” kata Siao-liong-li kemudian dengan gusar.

Tetapi Ang Ling-po tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin, lalu dari bajunya ia keluarkan dua buah jarum perak yang panjang.

“Susiok, kau tentu kenal dengan sepasang jarum ini,” katanya mengancam, “kalau kau tak mau bicara, jangan kau sesalkan jika aku berlaku kurang ajar.”

Melihat orang mendadak unjuk senjata, Yo Ko segera kenal itu adalah Peng-pek-gin-ciam yang pernah dipakai Li Bok-chiu untuk membunuh orang. Ia sendiri tanpa sengaja pernah memegangnya sehingga terkena racunnya yang sangat jahat, maka ia cukup tahu betapa lihaynya jarum perak itu.

Di lain pihak, tentu saja Siao-liong-li lebih kenal lagi bagaimana lihay dan kejinya senjata perguruannya sendiri. Masih mendingan bila orangnya segera mati setelah tertusuk jarum perak berbisa itu, yang paling ngeri jika jarum itu dipakai untuk menggosok beberapa kali di tempat jalan darah yang bisa bikin kaku kesemutan, segera seluruh tubuh orang akan terasa gatal pegal laksana be-ribu semut merubung dan menggigit kian kemari di antara tulang sumsum. Dalam keadaan demikian si penderita itu boleh dikata ingin hidup tak bisa dan minta mati pun tak dapat.

Karena itulah, ketika melihat Ang Ling-po memegang jarum peraknya sambil digerakkan beberapa kali, lalu maju mendekatinya, saking kuatir Siao-Iiong-li jatuh kelengar lagi.

Melihat keadaan sudah genting, Yo Ko tidak bisa tinggal diam lagi, tiba-tiba dia berteriak:

“Sian-koh, di sana ada setan, hiiih, aku takut!”

Sembari berteriak, Yo Ko berlari mendekati orang terus merangkulnya, seketika tangan merangkul punggung orang, segera dia menotok dua kali tempat ‘Ko-ceng-hiat’ dan ‘Jiau-yao-hiat’.

Sungguh di dalam mimpi pun Ang Ling-po tidak pernah menduga bahwa Thio si tolol ini ternyata memiliki kepandaian silat yang tinggi. Selagi dia hendak mendamperat, tahu-tahu seluruh tubuhnya sudah terasa Iumpuh, seketika dia sendiri roboh ke lantai. Kuatir kalau-kalau orang mampu melancarkan jalan darah sendiri, Yo Ko menambahi pula menotok sekali lagi pada tempat ‘ki-kut-hiat’, yakni tulang punggung yang besar. Dengan demikian orang tak akan bisa berkutik lagi.

“Kokoh, perempuan ini sangat jahat, bagaimana kalau aku tusuk dia beberapa kali dengan jarum peraknya, supaya senjata makan tuannya?” dengan ketawa Yo Ko tanya Siao-liong-li.

Sambil berkata betul juga Yo Ko lantas membungkus jari tangannya dengan ujung baju, lalu ia jemput jarum perak Ang Ling-po tadi. Meski badan Ang Ling-po lumpuh tidak bisa berkutik, tetapi setiap perkataan Yo Ko dapat dia dengar dengan terang, apa lagi dia melihat Yo Ko telah menjemput jarumnya tadi dan sambil tertawa sedang memandang kepadanya, keruan tidak kepalang terkejutnya hingga semangat serasa terbang meninggalkan raganya. Dia ingin buka suara minta ampun, namun sayang, mulutnya tak kuasa, terpaksa ia hanya mengunjuk maksud minta ampun melalui sinar matanya yang redup.

“Ko-ji, pergilah kau menutup pintu untuk menjaga supaya Suci tidak dapat masuk kemari,” demikian Siao-liong-li berkata pada Yo Ko.

“Baik,” sahut Yo Ko.

Segera ia hendak melakukan perintah itu. Tetapi baru saja ia putar tubuh, se-konyong-konyong ia di-kejutkan oleh satu suara seorang perempuan yang sangat genit merdu di belakangnya.

“Baik-baikkah kau, Sumoay? Sudah semenjak tadi aku masuk ke sini,” demikian kata suara itu tiba-tiba.

Sungguh kaget Yo Ko bukan buatan. Cepat dia berpaling, maka tampaklah olehnya di bawah sorot cahaya lilin, di ambang pintu kamar sudah berdiri seorang To-koh setengah umur, raut mukanya potongan daun sirih, pipinya putih bersemu merah, sayang matanya buta sebelah. Siapa lagi dia kalau bukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang dahulu sebelah matanya kena ditotol buta oleh burung merahnya sendiri.

Dari manakah Li Bok-chiu bisa muncul di situ secara tiba-tiba? Ternyata sewaktu Ang Ling-po selalu menanyakan jalan ke Hoat-su-jin-bong kepadanya, sejak mula Li Bok-chiu sudah menduga pasti anak muridnya ini secara diam-diam akan pergi mencuri kitab Giok-li-sim-keng, maka sengaja ia peralat muridnya. Ia sengaja mengirim Ang Ling-po pergi membunuh seorang musuh di Tiang-an, padahal ini hanyalah siasat Li Bok-chiu agar dengan demikian Ang Ling-po ada kesempatan pergi ke kuburan kuno itu, sedang ia sendiri menguntit di belakang sang murid.

Maka pertemuan antara Ang Ling-po dan Yo Ko, kemudian masuk ke kuburan dan cara bagaimana muridnya memaksa Siao-liong-li untuk menyerahkan kitab Giok-li-sim-keng, semua kejadian itu dapat disaksikannya dengan mata kepala sendiri. Cuma karena gerak tubuhnya sangat gesit dan cepat maka Ang Ling-po dan Yo Ko tiada yang merasa sedikit pun dan baru sekarang inilah, karena dianggap sudah tiba waktunya, maka dia lantas unjuk diri.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar