Senin, 14 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 032

“Kokoh benci cara kalian mengoceh tak keruan dan suruh aku membunuh kalian,” jawab Yo Ko.

Mendadak In Ci-peng menghantam hingga pedang kiri Yo Ko terguncang ke samping, berbareng Ci-peng melompat mundur tiga langkah lalu berseru:

“Berhenti dulu!”

“Apa kau ingin kabur?” kata Yo Ko.

“Yo Ko,” jengek In Ci-peng, “kau ingin membunuh kami, memangnya kau mampu? Cuma untuk membuat lega hati Kokoh-mu, biarlah aku berjanji bahwa kejadian hari ini pasti tak akan aku siarkan. Jika sampai kusiarkan sepatah saja segera aku bunuh diri, jika mungkir janji biarlah serupa jari ini.” Sampai di sini mendadak ia menyerobot maju dan merampas sebuah pedang Yo Ko terus menebas kutung dua jari tangan kiri sendiri.

Beberapa gerakan In Ci-peng itu dilakukan dengan cepat luar biasa, maka sedikit pun Yo Ko tidak menduga dan tidak berjaga. Seketika ia menjadi kesima, tapi segera ia pun tahu ucapan In Ci-peng itu memang timbul dari hati yang tulus. Ia pikir untuk mengalahkan Ci-peng berdua memang sulit, lebih baik bunuh saja orang she Thio itu lebih dulu, habis itu barulah membunuh orang she In ini.

Walau pun usia Yo Ko masih muda, tapi pikirannya sangat cerdik, segera ia membentak:

“Orang she In, apa gunanya kau mengutungi jari tanganmu, kalau kau penggal kepalamu sendiri barulah tuanmu mau percaya padamu.”

Ci-peng menjawab dengan menyeringai: “Menghendaki jiwaku, he-he, boleh juga asalkan Kokoh-mu membuka suara sepatah kata saja.”

“Baik!” kata Yo Ko sambil melangkah maju, tapi mendadak pedangnya sudah menusuk ke belakang mengarah dada Thio Ci-keng. Tipu serangan ini lihay luar biasa!

Saat itu Ci-keng lagi mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian, sama sekali tidak menduga akan diserang secara mendadak. Ketika dia sudah menyadari apa yang terjadi, namun ujung pedang telah menempel pada ulu hatinya. Di sini tertampak juga betapa hebatnya kepandaian Ci-keng, sebisanya ia menarik napas sehingga perutnya seakan-akan mendekuk dua-tiga senti ke dalam, berbareng itu sebelah kakinya terus menendang. Dalam keadaan kepepet ternyata dia bisa mengubah keadaan menjadi kemenangan, pedang Yo Ko tertendang terbang ke udara.

Tetapi Yo Ko juga tidak kalah lihaynya. Sebelum kaki orang tertarik mundur, cepat ia totok Hiat-to dengkul musuh dengan tepat. Meski Ci-keng berhasil menyelamatkan jiwanya, tapi ia tidak sanggup berdiri lagi, dengan sebelah kaki ia bertekuk lutut di depan Yo Ko. Pada saat lain Yo Ko sempat menangkap kembali pedang yang mencelat ke udara tadi, lalu dengan ujung pedang itu ia tuding tenggorokan Ci-keng dan membentak:

“Aku pernah mengangkat dan menyembah padamu, tetapi sekarang kau bukan lagi guruku, lekas kau menyembah kembali padaku!”

Sungguh tidak kepalang gusar Ci-keng hingga mukanya menjadi merah padam. Ketika Yo Ko sedikit menekan pedangnya, ujung pedang lantas menusuk masuk satu senti ke dalam daging lehernya dan menimbulkan sakit. Dengan bandel Ci-keng mendamperat:

“Mau bunuh boleh bunuh, untuk apa banyak cakap lagi?”

Baru saja Yo Ko hendak menusukkan pedangnya lebih keras, mendadak terdengar Siao-liong-li berkata:

“Ko-ji, membunuh guru sendiri tidak membawa berkah. Boleh kau suruh dia bersumpah takkan menyiarkan kejadian ini, lalu kau boleh mengampuninya.”

Yo Ko mematuhi ucapan Siao-Iiong-li seperti titah malaikat dewata, tanpa pikir segera dia membentak Ci-keng:

“Nah, lekas kau bersumpah!”

Dalam keadaan demikian, sungguh pun tidak kepalang rasa marah Thio Ci-keng, tapi apa daya, selamatkan jiwa paling perlu. Maka berkatalah dia:

“Asal aku tidak biIang-bilang, buat apa bersumpah segala?”

“Tidak bisa, harus bersumpah berat,” sahut Yo Ko.

Mau tak mau Ci-keng harus menurut. “Baik, kejadian ini hanya kita berempat saja yang tahu. Jika aku sampai mengatakan pada orang ke lima, biarlah badanku sial dan namaku rusak, diusir keluar perguruan dan takkan diampuni sesama orang Bu-lim, akhirnya mati tanpa terampunkan!” demikian sumpahnya kemudian.

Yo Ko dan Siao-liong-li sama-sama belum paham seluk-beluk orang hidup, mereka menyangka orang betul-betul telah bersumpah berat. Sebaliknya In Ci-peng menarik kesimpulan bahwa di antara sumpah itu tersembunyi akal licik. Sebetulnya ia hendak peringatkan Yo Ko, tetapi merasa salah juga, karena tidak baik terang-terangan membantu orang luar.

Sementara ia lihat Yo Ko telah pondong Siao-liong-Ii dan dengan langkah cepat melintasi lereng bukit sana. Saking terkesimanya, meski darah segar dari luka jarinya yang kutung tadi masih mengucur, tak terasakan sakit olehnya.

Di lain pihak, setelah Yo Ko memondong Sao-liong-li kembali ke kuburan kuno mereka, ia letakkan gurunya ini di atas ranjang batu pualam dingin.

“Aku terluka parah, dari mana ada kekuatan melawan hawa dingin itu?” dengan menghela napas Siao-liong-Ii berkata.

Yo Ko bersuara kaget, ia menjadi kuatir, pikirnya diam-diam: “Kiranya luka Kokoh begini berat.”

Karena itu dia lantas memondong Siao-Iiong-li ke bekas kamarnya Sun-popoh. Tapi baru saja Siao-Iiong-li rebah, kembali dia menyemburkan darah segar lagi, tatkala itu Yo Ko masih belum memakai bajunya, keruan seluruh dadanya penuh tersemprot darah.

Siao-liong-li coba pejamkan mata untuk mengatur pernapasan dengan maksud menutup urat nadinya, tapi siapa tahu semakin dia gunakan tenaga dalam, luka pada otot darahnya menjadi semakin hebat, darah segar pun menyembur terus menerus. Sudah tentu Yo Ko kelabakan, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, hanya air mata saja yang bercucuran.

“Asal darahku sudah habis keluar, dengan sendirinya pasti akan berhenti, untuk apa kau berduka,” dengan senyum tawar Siao-liong-li coba menghibur padanya.

“Kokoh, jangan kau mati,” kata Yo Ko.

“Ha, kau sendiri takut mati bukan?” kata Siao-liong-li.

“Aku?” tukas Yo Ko bingung.



“Ya, sebab sebelum aku mati, sudah tentu kubunuh kau dahulu,” kata Siao-liong-li pula.

Apa yang dikatakan ini dua tahun yang lalu sudah pernah diucapkannya juga, sebenarnya Yo Ko sudah lama melupakannya, tak dinyana sekarang Siao-liong-li mengulangi kata itu lagi.

“Jika aku tidak membunuh kau, sesudah mati cara bagaimana aku harus menemui Sun-popoh?” kata Siao-liong-li demi melihat muka Yo Ko yang mengunjukkan heran dan kaget. “Dan kau seorang diri hidup di dunia ini, siapa lagi yang akan menjaga kau?”

Pikiran Yo Ko sudah kusut, saking ruwetnya hingga ia tak tahu bagaimana menjawabnya. Sementara itu Siao-liong-li masih terus muntahkan darah, tapi sikapnya ternyata sangat tenang, ia anggap bukan soal apa-apa. Tiba-tiba tergerak kecerdasan Yo Ko, dia ber-lari-lari pergi mengambil semangkok madu tawon lalu dicekokan pada Siao-liong-li.

Khasiat madu tawon itu untuk menyembuhkan luka dalam ternyata amat mujarab. Selang tak lama, Siao-liong-li tidak muntah darah lagi, ia rebah di ranjang dan akhirnya puIas. Melihat gurunya bisa tidur, hati Yo Ko rada lega. Dia sendiri sudah sangat letih, ditambah rasa kuatir pula, sesungguhnya dia pun tak tahan lagi, maka sambil berduduk di lantai, ia bersandar pada dinding dan akhirnya ia pun tertidur.

Entah lewat berapa lama, sampai suatu saat sekonyong-konyong Yo Ko terjaga dari kantuknya karena merasa lehernya sendiri rada dingin. Dalam kagetnya segera ia meleki matanya. Ia sudah beberapa tahun tinggal di dalam kuburan kuno itu, meski dia tak dapat melihat sesuatu benda dalam kegelapan seperti siang hari seperti kepandaian Siao-liong-Ii, tapi untuk mondar-mandir dalam kuburan yang gelap itu sudah tidak memerlukan sinar lampu lagi.

Begitu matanya terpentang, tampaklah olehnya Siao-liong-li duduk di pinggir ranjang, tangannya mencekal pedang dan ujung senjata ini tepat ditudingkan ke tenggorokannya, maka terasa dingin.

“Kokoh!” teriak Yo Ko kaget.

“Ko-ji,” dengan sikap tawar Siao-liong-li berkata padanya, “lukaku ini terang tak akan bisa sembuh, maka sekarang juga kubunuh kau, marilah kita pergi bersama untuk menemui Sun-popoh!”

Sungguh bukan buatan kejut Yo Ko, kembali ia berteriak memanggil: “Kokoh!”

“Dalam hati kau sangat ketakutan, bukan?” Siao-liong-li berkata lagi. “Jangan takut, hanya sekali saja sudah cukup, cepat sekali.”

Tiba-tiba Yo Ko melihat mata Siao-liong-li memancarkan sinar yang aneh, ia tahu dengan segera orang pasti akan turun tangan. Dalam saat demikian, keinginan buat pertahankan hidup menjadi berkobar. Ia pun tidak hiraukan Iain-lain lagi, dengan sekali jatuhkan diri ke samping, kakinya berbareng melayang hendak menendang senjata yang dipegang Siao-liong-Ii.

Siapa tahu meski pun luka Siao-liong-li susah disembuhkan tetapi gerak tangannya masih gesit dan cepat luar biasa, begitu tubuhnya miring sedikit dapatlah ia hindarkan tendangan orang dan kembali ujung pedangnya menuding tenggorokan Yo Ko. Beberapa kali Yo Ko mengganti tipunya untuk meloloskan diri, tetapi setiap gerak tipunya semuanya diperoleh dari petunjuk Siao-liong-li sendiri, sudah tentu ke mana dia hendak pergi selalu dalam dugaannya, pedang Siao-liong-li selalu membayanginya dan tak pernah berjarak lebih jauh dari tiga inci di depan lehernya.

Saking takutnya hingga Yo Ko mandi keringat dingin, diam-diam dia mengeluh: “Celaka, jika hari ini tak bisa menyelamatkan diri, akhirnya aku pasti akan dibunuh Kokoh.”

Karena kepepet, se-konyong-konyong ia angkat kedua tangannya memukul ke depan sekaligus. Ia pikir dalam keadaan terluka tentu Siao-liong-li tak bertenaga dan tentunya kurang kuat untuk mengadu tangan dengan dirinya.

Rupanya Siao-liong-li mengetahui juga maksud tujuannya. Dia hanya sedikit memiringkan tubuh saja dan membiarkan tenaga pukulan itu susul menyusul menyambar lewat di atas pundaknya, habis ini mendadak ia berseru:

“Ko-ji tak perlu kau melawan lagi!”

Berbareng itu mendadak pedang diluruskan, ujung senjata ini tergetar beberapa kali, lalu dengan tipu ‘hun-hoa-hut-liu’ (memisahkan bunga mengebut pohon liu), seperti mengarah ke kiri, tapi tahu-tahu menjurus ke kanan, leher Yo Ko se-konyong-konyong sudah ditempel ujung pedang.

Selagi Siao-liong-li hendak menyorongkan senjatanya ke depan, dengan demikian maka tenggorokan Yo Ko pasti akan tertusuk tembus, di luar dugaan, tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi lemas dan lumpuh.

“Trangg…!”

Terdengar suara nyaring. Pedang jatuh ke lantai, menyusul tubuh Siao-liong-li ikut roboh dan pingsan.


DIBODOHI SI TOLOL

Ketika Siao-liong-li menusukkan pedangnya tadi, Yo Ko telah pejamkan mata menantikan kematian, siapa tahu pada saat yang menentukan itu tiba-tiba Siao-liong-li jatuh pingsan, keruan Yo Ko tertegun. Sungguh boleh dikatakan dia baru lolos dari lubang jarum. Lekas ia merangkak bangun, tanpa hiraukan apa yang bakal terjadi lagi, dengan langkah cepat segera dia berlari keluar kuburan kuno itu.

Begitu kakinya menginjak keluar pintu kuburan, tampaklah olehnya sinar sang surya yang menyilaukan mata, angin meniup sepoi-sepoi, burung berkicauan di atas pohon, nyata bukan lagi suasana yang gelap seram seperti di dalam kuburan kuno tadi. Dalam keadaan masih ber-debar, Yo Ko kuatir kalau-kalau Siao-liong-li mengejarnya dari belakang, maka ia angkat langkah seribu lebih jauh, dengan menggunakan Ginkang ia lari cepat ke bawah gunung.

Kini tenaga dalamnya sudah terlatih kuat dan penuh, biar pun ilmu silatnya belum terlatih sampai puncak kesempurnaan, tapi sudah terhitung jago kelas atasan di kalangan Bu-lim. Dengan cara larinya yang cepat itu, pula di jalan pegunungan yang menurun, dengan sendirinya lebih cepat dari pada menanjak, maka pada lohor itu juga dia sudah sampai di kaki gunung. Melihat Siao-liong-li tidak mengubernya, barulah Yo Ko merasa lega, kini dia baru berani melambatkan langkahnya untuk melanjutkan perjalanan.

Dia jalan dan jalan terus, akhirnya dia merasa lapar, perutnya sudah keroncongan, sudah berkeruyukan. Dia pikir harus mencari rumah penduduk untuk membeli sedikit penganan buat menangsal perut. Tetapi ketika dia merogoh sakunya, nyata duit tak ada, satu mata uang saja tidak gableg. Namun Yo Ko tidak kurang akal. Sudah semenjak kecil dia luntang-Iantung di kalangan Kangouw, kepandaiannya dalam mencari pangan sudah sangat besar. Ketika ia melongok sekitarnya, tampak olehnya di lereng bukit sebelah barat sana banyak tanaman jagung. Segera ia menuju ke sana dan memetik beberapa buah jagung itu.

Jagung itu belum cukup tua, namun sudah dapat dimakan. Yo Ko kumpulkan sedikit kayu kering, tapi baru saja akan menyalakan api buat membakar jagung, tiba-tiba di belakangnya terdengar ada suara keresekan perlahan, nyata ada orang sedang jalan mendekatinya. Lekas-lekas Yo Ko miringkan tubuh dengan maksud mengaling-alingi jagung colongan itu agar tidak dilihat orang apa bila yang datang ini adalah penduduk setempat, tetapi ketika ia melirik, ternyata yang datang ini adalah seorang To-koh yang masih muda jelita. To-koh atau imam wanita ini mengenakan jubah kuning langsat, langkahnya enteng dan gayanya manis seperti bidadari yang baru turun dari kayangan.

Yo Ko melirik lebih jauh. Dia melihat di punggung To-koh itu terselip dua batang pedang, gagang senjata yang bertali sutera warna merah darah itu menambah kecantikan si To-koh, jelas sekali To-koh ini pandai ilmu silat. Yo Ko pikir tentu orang ini adalah imam yang hendak naik ke Tiong-yang-kiong, dan besar kemungkinan adalah murid Jing-ceng Sanjin Bun Put-ji, imam wanita satu-satunya dari Coan-cin-chit-cu.

Karena Yo Ko tak ingin mencari onar, maka ia sengaja menundukkan kepala dan kembali menyalakan api. Sesudah dekat di samping Yo Ko, mendadak To-koh itu berhenti.

“Eh, adik cilik, mana jalannya kalau hendak naik ke atas gunung?” tiba-tiba ia bertanya.

“Aneh,” Yo Ko merasa heran, “Jika perempuan ini adalah anak murid Coan-cin-kau, mengapa dia tidak kenal jalan ke atas gunung? Hah, tentu dia tidak mengandung maksud baik!”

Karena itu tanpa menoleh ia menunjuk ke atas gunung sambil menjawab: “lkut saja jalan besar ini terus ke atas.”

Melihat baju Yo Ko compang-camping dan berjongkok di pinggir jalan sedang membakar jagung, To-koh itu mengira Yo Ko adalah anak petani. Biasanya To-koh ini sangat bangga dengan kecantikannya sendiri, laki-laki mana saja bila meIihat dia pasti akan terpesona hingga mata tak berkedip. Tapi pemuda desa ini ternyata hanya melirik sekali saja padanya kemudian tidak memandang buat kedua kalinya, nyata kecantikannya dianggap seperti rupa wanita pegunungan saja. Diam-diam To-koh itu rada mendongkol. Akan tetapi segera ia berpikir pula: “Ahh, orang desa semacam ini tahu apa?”

Karena itu, ia lantas membuka suara lagi: “He, berdirilah, aku ingin bertanya padamu.”

Tetapi Yo Ko sudah terlanjur berpikir jelek terhadap semua orang Coan-cin-kau, maka dia tidak mau menggubrisnya lagi, dia pura-pura tuli dan berlagak bisu.

“Hei, anak tolol, apa yang kukatakan kau dengar tidak?” To-koh itu bertanya lagi.

“Dengar, cuma aku malas berdiri,” sahut Yo Ko.

Karena jawaban ini To-koh itu tertawa geli. “He, lihatlah ke sini! Ini, lihat dulu padaku, akulah yang suruh kau berdiri!” dengan tertawa merdu ia berkata lagi.

Suara ucapannya ini begitu halus dan genit pula, rasanya manis lagi berminyak. Keruan mau tak mau hati Yo Ko terkesiap, “He, mengapa suara wanita ini begitu aneh,” demikian ia membatin.

Lalu dia mendongak dan tertampak olehnya wanita ini berkulit putih bersih, kedua pipinya bersemu merah, sinar matanya bening dan sedang memandang mesra kepadanya. Yo Ko menunduk lagi untuk menyalakan api pembakaran jagungnya. Demi nampak muka Yo Ko yang masih hijau, sudah melihat dirinya untuk kedua kalinya tapi hatinya tetap tak terguncang sedikit pun, maka bukannya marah, sebaliknya si To-koh tertawa geli.

“Eh, kiranya anak yang masih pelonco, kebetulan dapat kuperalat dia sebagai pembantu,” demikian pikirnya.

Karena pikiran ini, dari dalam bajunya segera dia mengeluarkan dua renceng uang perak dan sengaja di-kocok hingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring, dengan uang perak ini ia coba mengiming-imingi Yo Ko.

“Adik cilik, asal kau turut perkataanku, dua renceng perak ini segera kuberikan padamu,” katanya kemudian.

Yo Ko sangat cerdik. Sesungguhnya dia tidak ingin cari penyakit, tetapi demi mendengar kata orang semakin aneh, akhirnya ia tertarik juga dan ingin tahu cara bagaimana orang akan perlakukan dirinya, maka sekilas ia sengaja pura-pura tolol dan berlagak bodoh, dengan rasa tercengang ia pandang kedua renceng perak itu.

“Eh, barang mengkilap ini apa namanya?” dengan sikap dungu ia sengaja bertanya.

Kembali To-koh itu tertawa geli oleh kebodohan ‘anak udik’ ini. “lni adalah uang perak,” sahutnya kemudian. “Kau ingin pakaian baru, ingin ayam goreng, ingin nasi liwet, semuanya dapat dibeli dengan ini!”

“Ah, kembali kau dustai aku lagi, aku tidak percaya,” kata Yo Ko dengan air muka seperti orang linglung.

“Kapankah pernah aku mendustai kau?” sahut imam wanita itu dengan tertawa pula, “He, siapa namamu?”

“Aku bernama Sah Thio (Thio si tolol), apa kau belum kenal?” jawab Yo Ko dengan nama palsunya, “Dan kau sendiri bernama siapa?”

“Ah, tak usah tanya, panggil saja Sian-koh (bibi dewi),” sahut si To-koh. “Di mana ibumu?”

“Buat apa kau menanyakan ibuku?” Yo Ko balik bertanya. “Dia sedang mencari kayu di atas gunung.”

“Ha, kebetulan aku pun hendak naik ke atas gunung,” kata To-koh itu. “Pakaianku ini tidak baik dipakai ke sana, pergilah kau mengambilkan baju ibumu dan pinjamkan padaku!”

Luar biasa heran Yo Ko oleh kelakuan orang. Tetapi pada lahirnya ia unjuk muka tololnya semakin mirip, ber-ulang ia gelengkan kepala oleh bujukan orang tadi.

“Tidak, aku tidak berani mencuri baju ibu, nanti aku pasti akan dihajar, kalau menghajar, ibuku menggunakan palang pintu,” sahutnya dengan lagak lucu.

“Begitu melihat uang perak ini ibumu pasti akan kegirangan, tentu kau tak akan dipentung lagi,” ujar si To-koh dengan tertawa.

Berbareng itu, sekali tangannya bergerak, serenceng uang perak itu segera ia lemparkan kepada Yo Ko.

Yo Ko ulur tangannya buat menangkap, tetapi dia sengaja membiarkan rencengan perak itu tertimpuk pada pundaknya dan jatuh ke bawah membentur sebelah kakinya.

“Aduh kau pukul aku,” dia berteriak-teriak sambil memegang sebelah kaki yang tertimpuk uang perak itu dan dengan sebelah kaki yang lain ia ber-jingkrak, pura-pura kesakitan. “Akan aku adukan kepada ibuku!”

Habis ini, sambil masih menjerit-jerit, uang perak itu dia tinggalkan terus lari pergi dengan cepat. Nampak kelakuan orang yang tolol lucu itu, si To-koh tersenyum geli. Tiba-tiba dia lepaskan ikat pinggangnya yang terbikin dari kain sutera, kemudian dengan sekali mengebas, ikat pinggang disabetkan hingga menggubet sebelah kaki Yo Ko terus diseret kembali.

Begitu mendengar suara ikat pinggang menyambar, kemudian merasakan tenaga tarikan yang menggulung kakinya itu, seketika Yo Ko menjadi terkejut. “He, gaya ini terang sekali adalah ilmu dari golongan Ko-bong-pay kami, apa dia ini bukan imam dari Coan-cin-pay?” ia bertanya dalam hati.

Oleh karena itu, ia sengaja lemaskan badannya, ia membiarkan dirinya diseret kembali si To-koh, hanya dalam hati dia bertambah waspada dan bersiap-siap untuk menjaga segala kemungkinan,

“Dia hendak naik ke atas gunung, apa tujuannya hendak memusuhi Kokoh?” demikian dia membatin pula.

Bila teringat olehnya keadaan Siao-liong-li yang waktu itu tidak diketahui mati atau hidup, mau tak mau ia menjadi kuatir dan sedih sekali, segera ia ambil suatu keputusan, sekali pun nanti harus mati di tangan Siao-liong-li, dia bertekad hendak naik lagi ke atas untuk menyambanginya. Pikiran itu sekilas bekerja dalam otaknya, sementara itu tubuhnya sudah kena diseret ke hadapan si To-koh tadi.

Ketika si To-koh melihat muka Yo Ko penuh berlepotan debu, namun toh tidak menutupi wajahnya yang cakap, diam-diam ia berpikir: “Anak gunung ini mukanya ternyata tampan juga, cuma sayang, bantal sulam, isinya jerami belaka.”

Sementara itu ia dengar Yo Ko masih ber-teriak dan mengoceh sendiri tak keruan.

“He, Sah Thio kau cari mampus atau ingin hidup?” dengan tersenyum segera ia menegur, “Sret”, tahu-tahu pedangnya sudah dilolos dan ditudingkan ke dada Yo Ko.

Melihat gerakan tangan orang barusan ini jelas adalah tipu ‘kim-pit-tiam-cu’ (potlot emas menutul titik) yang merupakan ajaran asli Ko-bong-pay, maka Yo Ko tidak ragu lagi.

“Orang ini pasti anak murid Li Bok-chiu Su-pek. Dia hendak naik ke atas gunung mencari Kokoh, tentu tidak bermaksud baik. Jika melihat caranya mengayunkan ikat pinggang dan caranya melolos senjata ini, terang keuletannya masih jauh di atas diriku. Orang ini hanya bisa dimenangkan oleh akal, tetapi tak boleh dilawan dengan kekerasan. Aku harus pura-pura bodoh sampai saat terakhir agar supaya dia sama sekali tidak ber-jaga-jaga,” demikian Yo Ko berpikir.

Oleh karena ancaman orang tadi, dengan mengunjuk rasa takut segera ia memohon: “Jangan... jangan kau bunuh aku, Sian-koh, aku... aku akan menurut perkataanmu!”

“Baiklah, tetapi kalau kau membangkang lagi, ngek, sekali gorok saja aku sembelih kau,” kata si To-koh dengan ketawa sambil memberi contoh dengan pedang menggorok leher.

“Menurut, pasti menurut,” sahut Yo Ko cepat.

Habis itu, sekali menggerakkan tangannya lagi, tahu-tahu To-koh itu telah mengayunkan ikat pinggangnya hingga melilit kembali pinggangnya sendiri. Gayanya sangat manis dan caranya menarik sekali.

“Bagus!” dalam hatinya Yo Ko memuji juga atas kepandaian orang, tetapi wajahnya tidak mengunjuk sesuatu perasaan melainkan masih ber-pura-pura seperti orang linglung.

Sudah tentu hal ini tidak diketahui si To-koh, di dalam hati dia membatin: “Hm, si tolol ini mana mengerti kebagusan kepandaianku tadi? Aku ini seperti sedang main mata dengan orang buta saja.”

“Nah, Sah Thio, lekaslah kau pulang dan ambilkan aku sebuah kampak, aku mau pakai,” demikian katanya kemudian.

Yo Ko menurut. Dia lalu ber-lari menuju ke rumah petani yang tertampak di depan sana. Ia sengaja berjalan lambat, tubuhnya bergoyang-goyang dengan gaya ‘lenggang sampan’, langkahnya berat, kelakuannya amat lucu, tampaknya tepat sekali sebagai seorang yang goblok, mana bisa orang berilmu silat berlaku seperti dia ini?

Menyaksikan orang macam ini, tampaknya si To-koh rada muak. “He, Sah Thio, jangan kau bilang pada orang lain, lekas pergi dan lekas kembali!” serunya pula memesan.

“Ya,” sahut Yo Ko sambil berjalan terus.

Akhirnya tibalah dia di depan pintu rumah petani. Ia longak-longok ke dalam rumah, nyata tidak ada seorang pun penghuninya, mungkin orangnya sedang sibuk bercocok tanam di sawah ladang, maka dengan bebas Yo Ko lalu menyambar sebilah kampak pendek yang biasa dipakai membelah kayu, kemudian dengan lagak ke-tolol-tololan ia berlari kembali Iagi.

Sungguh pun dengan senangnya Yo Ko mempermainkan si To-koh, namun dalam hati dia menguatirkan keselamatan Siao-liong-li, oleh sebab ini, mau tak mau air mukanya terlihat mengunjuk rasa sedih.

“He, Sah Thio, kenapa kau muram durja?” omel si To-koh. “Hayo, lekas ketawa!”

Eh, betul juga Yo Ko lantas menyengir beberapa kali. Tentu saja si To-koh mengkerut alis melihat macamnya itu.

“Mari, ikut aku!” katanya kemudian.

“Tidak, tidak, ibuku sedang menunggu aku untuk makan siang!” seru Yo Ko cepat.

“Kurang ajar,” bentak si To-koh, “berani kau membangkang, segera kusembelih kau!”

Habis berkata, sekali ulur tangannya, segera daun kuping Yo Ko kena dijewer terus ditarik sambil mengancam dengan pedang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar