Minggu, 13 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 031

Oleh karena itulah Siao-Iiong-li merasa apa yang dikemukakan Yo Ko tadi masuk di akal juga, Segera ia memanjat ke atas pohon dan memandang sekelilingnya, ia lihat semua penjuru sunyi senyap belaka, yang terdengar hanyalah suara mata air yang gemercik dan berkicaunya burung, namun tidak kelihatan satu pun bayangan manusia. Nyata tempat ini memang satu tempat yang sangat bagus untuk berlatih ilmu.

“Bagus sekali tempat ini, beruntung kau bisa mendapatkannya. Baiklah, malam nanti kita datang ke sini mulai berlatih,” demikian katanya kemudian.

Tentang penuntun dasar Giok-li-sim-keng itu Siao-liong-li sudah apal sekali, maka tanpa kesulitan dia ajarkan kepada Yo Ko. Malamnya antara pukul sebelas mereka lantas mendatangi semak bunga yang sangat lebat itu.

Di tengah malam sunyi, bau harum bunga lebih terasa. Mereka berdua mengambil tempat sendiri-sendiri, mereka melepas baju dan berlatih Giok-li-sim-keng. Yo Ko ulur tangan kanannya melalui semak dan saling menempel dengan telapak tangan Siao-liong-li, dengan demikian kalau salah seorang mengalami kesulitan dalam latihan itu, segera pihak yang lain akan terasa dan segera kumpulkan tenaga buat membantunya.

Sejak itulah malam hari mereka anggap sebagai siang hari dan tekun berlatih, malam hari latihan di semak bunga dan siangnya mengaso di dalam kuburan kuno. Tatkala itu justru musim panas, tentu saja menjadi lebih segar dan nyaman menggunakan malam hari untuk berlatih, maka lebih dua bulan dengan cepat sudah berlalu tanpa terjadi sesuatu.

Giok-li-sim-keng seluruhnya terbagi dalam sembilan bagian. Malam itu Siao-liong-li sudah melatihnya hingga bagian ke tujuh. Menurut kitab Giok-Ii-sim-keng itu, yang menjalankan tenaga pada bagian hitungan yang ganjil adalah ‘lm-cin’ atau perempuan yang aktip, tetapi sebaliknya apa bila jatuh angka genap maka yang menjalankan tenaga adalah ‘Yang-dwe’ atau laki-laki yang pasip. Waktu itu Siao-liong-li sudah sampai bagian ke tujuh, sedang Yo Ko sampai bagian ke enam.

Dalam pada itu, dengan dialingi semak bunga mereka berdua sedang tekun menjalankan tenaga dalam sehingga seluruh badan mereka panas beruap. Bunga yang mekar itu se-akan tergarang, keruan harumnya semakin semerbak.

Sementara itu rembulan kelihatan sudah berada di tengah cakrawala, lewat setengah jam lagi latihan kedua orang bagian ke tujuh dan ke enam dengan segera akan selesai. Pada saat itu juga se-konyong-konyong dari belakang sana terdengar suara kumandang orang berjalan, terdengar pula ada dua orang sedang bicara.

Apa yang dilatih Yo Ko pada waktu itu adalah ‘Yang-dwe’ atau bagian yang pasip, maka se-waktu-waktu ia boleh berhenti latihannya, sebaliknya Siao-liong-li tidak bisa demikian karena yang dilatihnya waktu itu adalah aktip, bila terdapat gangguan, maka akan timbul bahaya besar.

Karena waktu itu Siao-liong-li sedang berlatih sampai titik yang penting, maka terhadap suara tindakan dan bicara orang sama sekali dia tidak mendengarkan. Sebaliknya Yo Ko sudah mendengar dengan jelas, dalam hati ia heran sekali, Iekas ia atur pernapasannya dan berhenti Iatihan.

Sementara itu ia mendengar kedua orang yang bercakap itu makin mendekat, suaranya kedengaran sudah dikenalnya. Waktu Yo Ko pasang telinga lebih cermat, kiranya kedua orang itu adalah gurunya: Thio Ci-keng dan In Ci-peng adanya. Suara pembicaraan kedua orang itu semakin menjadi keras, nyata sekali mereka sedang bertengkar.

“ln-sute,” demikian terdengar Thio Ci-keng berkata, “meski kau mungkir lagi juga percuma. Biarlah kulaporkan Khu-supek dan terserah dia untuk memeriksanya sendiri.”

“Dengan sengaja kau mendesak diriku, apakah tujuanmu sesungguhnya?” terdengar In Ci-peng menjawab dengan gusar, “Apa kau sangka aku tidak tahu, bukankah karena kau ingin menjadi murid pertama dari angkatan ketiga? Dengan begitu kelak kau bisa menjadi ciangbunjin kita?”

“Kau sendiri tidak patuh pada peraturan suci ini, sudah melanggar larangan besar agama kita, mana bisa kau menjadi murid pertama lagi dari angkatan ketiga kita?” sahut Thio Ci-keng dengan tertawa dingin.

“Larangan besar apa yang kulanggar?” terdengar In Ci-peng mendebat.

“Larangan ke-4 Coan-cin-kau kita, yaitu berjinah!” bentak Ci-keng dengan suara keras.

Yo Ko coba mengintip dari tempat persembunyiannya. Dia melihat kedua imam itu berdiri berhadapan, muka In Ci-peng terlihat pucat.

“Berjinah apa maksudmu?” demikian terdengar Ci-peng menjawab dengan suara berat, sambil mengucapkan kata-kata ini tangannya meraba pedangnya.

“Sejak kau melihat Siao-liong-li dari Hoat-su-jin-bong, bukankah setiap hari kau selalu tak bersemangat? Siang-malam kau selalu mengenangkan wajahnya, dalam hatimu entah sudah beratus kali atau mungkin ribuan kali ingin sekali memeluk Siao-liong-li untuk dirayu dan dicumbu,” demikian sahut Ci-keng. “Justru agama kita mengutamakan latihan batin, kini hatimu menyeleweng berpikirnya, apa itu bukan melanggar pantangan berjinah?”

Terhadap Siao-liong-li yang menjadi gurunya boleh dikatakan Yo Ko menghormat tiada taranya. Ia pandang gurunya se-akan dewi kayangan saja. Kini mendengar percakapan kedua imam Coan-cin-kau ini, keruan luar biasa marah dan dendamnya, walau pun tidak begitu dipahami apa artinya ‘dirayu dan dicumbu’ seperti apa yang dikatakan Thio Ci-keng tadi, tapi ia yakin tentu perbuatan yang busuk. Sementara ia dengar In Ci-peng telah mendebat lagi dengan suara rada gemetar.

“Ngaco-belo, sampai apa yang kupikirkan dalam hati kau pun mengetahuinya?” demikian sahutnya.

“Hm, apa yang kau pikirkan sudah tentu aku tidak tahu, tetapi waktu kau mengigau dalam tidur, apakah tidak mungkin didengar orang lain?” kata Ci-keng dengan suara mengejek. “Dan bolak-balik kau menuliskan nama Siao-liong-li di atas kertas, kau robek kertasnya lalu tulis lagi, apakah perbuatan ini pun tidak bisa diketahui orang lain?”

Karena isi hatinya kena betul dikatai, seketika muka In Ci-peng menjadi lebih pucat lagi, ia bungkam dan tidak bisa mendebat pula. Di lain pihak rupanya Thio Ci-keng jadi mendapat angin. Dengan berseri-seri ia keluarkan selembar kertas putih yang kemudian dibeberkan di hadapan Ci-peng.

“Lihat ini, apa ini bukan tulisanmu?” katanya, “Nah, biarlah kita serahkan pada Ma-supek dan gurumu sendiri Khu-supek untuk mengenalinya.”

Karena kata-kata yang lebih mirip ancaman ini, Ci-peng menjadi tak tahan lagi, dengan cepat pedangnya dilolos terus menusuk ke ulu hati orang. Namun dengan sedikit mengegos Ci-keng bisa menghindarkan serangan itu, ia masukkan kembali kertas tadi ke dalam bajunya.

“Hm, kau ingin membunuh aku untuk menghilangkan saksi bukan?” ejeknya lagi dengan tertawa dingin. “Tetapi rasanya tidak begitu gampang.”



Ci-peng tidak buka suara puIa, be-runtun ia menusuk tiga kali lagi secepat kilat, namun setiap serangannya selalu dapat dihindarkan Ci-keng. Sampai jurus ke empat, mendadak terdengar suara “trang” yang nyaring, Ci-keng telah lolos senjata juga, maka bertempurlah kedua saudara seperguruan itu dengan serunya di samping semak bunga dan di bawah sinar bulan yang terang.

Ci-keng dan Ci-peng sama-sama tergolong murid pandai Coan-cin-kau angkatan ketiga. Yang satu murid utama Ong Ju-it dan yang lainnya murid pertama Khu Ju-ki, ilmu silat mereka sebenarnya sama kuatnya. Tetapi In Ci-peng terus menerus merangsak dengan mati-matian, sebaliknya Thio Ci-keng kadang-kadang menyelingi pula kata-kata ejekan di tengah pertarungan sengit itu dengan maksud membikin marah lawannya agar terjadi kesalahan.

Waktu itu Yo Ko sendiri sudah mempelajari semua Kiam-hoat dari Coan-cin-kau, maka demi menyaksikan pertarungan sengit dua imam ini, ia lihat setiap tipu yang dikeluarkan meski banyak sekali perubahannya, akan tetapi setiap gerakan selalu dalam dugaannya, Karenanya ia pikir apa yang Kokoh (Siao-liong-li) ajarkan itu ternyata tidak salah.

Sementara itu kedua orang itu sudah saling labrak beberapa puluh jurus lagi, tiap-tiap tipu yang dilontarkan In Ci-peng semuanya adalah tipu serangan, maka berulang kali Thio Ci-keng terpaksa harus menggeser langkah.

“Hmm, apa yang aku bisa, kau pun bisa semua, begitu pula apa yang kau bisa, aku pun sudah seluruhnya bisa, kini kau hendak membunuh aku, jangan kau harap selama hidup ini,” demikian Ci-keng mengejek pula.

Dan memang nyata penjagaannya terlalu rapat hingga meski In Ci-peng sudah berusaha menyerangnya dari segala jurusan yang dianggapnya lemah, tapi selalu dapat dipatahkan oleh Ci-keng. Tidak lama kemudian kedua orang itu menggeser ke dekat semak di mana Siao-liong-li berada. Keruan Yo Ko terkejut sekali.


TERLUKA PARAH DALAM BERLATIH

“Kurang ajar, kalau kedua imam bangsat ini saling labrak sampai di samping Kokoh, tentu keadaan bisa runyam!” demikian pikirnya, Oleh karenanya ia lantas ber-siap-siap.

Dalam pada itu mendadak Thio Ci-keng melakukan serangan balasan sehingga Ci-peng kena didesak mundur. Dia merangsek maju tiga kali, be-runtun Ci-peng pun mundur tiga langkah.

Yo Ko merasa girang karena jarak mereka semakin menjauh dari tempat gurunya. Di luar dugaan, mendadak In Ci-peng menyerang lagi. Ia pindahkan pedang ke tangan kiri lantas tangan kanannya se-konyong-konyong memukul ke depan mengarah dada orang.

“Sekali pun kau punya tiga tangan, paling banter kau hanya pandai mencuri perempuan, tidak akan kau bisa membunuh diriku,” dengan tertawa Thio Ci-keng menyindir lagi, habis ini ia angkat tangannya buat menangkis.

BegituIah kembali mereka saling labrak terlebih seru dan lebih sengit dari pada tadi. Sementara Siao-Iiong-Ii masih tekun berlatih, terhadap semua kejadian di luar tetap ia tak mau tahu dan tidak mau meIihatnya. Sebaliknya Yo Ko melihat kedua orang yang lagi saling labrak itu mendekat, dalam hati ia lantas kuatir, tetapi bila mana mereka menggeser pergi lagi, ia menjadi lega pula.

Sampai akhirnya, mendadak Ci-peng membentak dengan murka, kemudian dia merangsek maju dengan kalap, dia tidak hiraukan lagi serangan lawan, dia sendiri merangsek dengan hebat.

Melihat Ci-peng sudah nekat, diam-diam Ci-keng mengeluh. Dia tahu kedudukan Ci-peng memang sulit, dan dia lebih suka ditusuk mati olehnya dari pada rahasianya yang diam-diam mencintai gadis orang disiarkan. Meski pun biasanya Ci-keng tidak akur dengan Ci-peng, tetapi sebenarnya tiada maksud buat bunuh orang, karenanya, dengan perubahan Ci-peng yang menjadi nekat, seketika ia sendiri terdesak di bawah angin.

Setelah berapa jurus berlangsung pula, tiba-tiba Ci-peng membuka serangan lagi, pedangnya menusuk cepat berbareng tangannya yang lain menghantam, bahkan ia tambahi lagi dengan menyapu dengan sebelah kakinya. Inilah tipu serangan ‘sam-lian-hoan’ (serangan mata-rantai tiga) yang lihay.

Untuk menghindari, lekas Ci-keng meloncat ke atas berbareng pedangnya memotong ke bawah. Namun Ci-peng lebih lihay lagi, se-konyong-konyong pedangnya ditimpukkan sekeras-kerasnya, menyusul ini kedua tangannya dipukulkan berbareng sekaligus.

Menyaksikan beberapa kali serangan yang mendebarkan hati ini, mau tak mau Yo Ko ikut berkeringat dingin. Dia melihat tubuh Ci-keng waktu itu masih terapung di udara, mungkin pukulan Ci-peng yang hebat itu akan bikin tulangnya patah dan ototnya putus.

Namun Thio Ci-keng benar-benar tidak malu sebagai jago utama anak murid angkatan ke tiga Coan-cin-pay. Dalam saat yang sangat kepepet dan luar biasa bahayanya, tiba-tiba saja dia berjumpalitan di udara terus mencelat mundur sejauh beberapa tombak, lalu dengan enteng dia turun ke bawah.

Menurunnya ini bukan soal, tetapi tempat di mana dia akan tancapkan kaki justru tempat sembunyinya Siao-Iiong-li, biar pun tidak persis akan menjatuhi kepala orang, namun bila sampai terjatuh ke semak bunga itu, sedikitnya tubuh Siao-liong-li yang telanjang bulat sedang berlatih ilmu Giok-Ii-sim-keng itu pasti akan kelihatan di bawah sinar cahaya bulan.

Karena ituIah, luar biasa kaget Yo Ko. Tanpa pikir lagi cepat ia meloncat ke atas, sebelah tangannya dia ulurkan untuk menyanggah punggung Thio Ci-keng, lalu dengan gerak tipu ‘Say-cu-bau-kiu’ (singa melempar bola), dengan kuat dia kipatkan ke samping, maka tidak ampun lagi tubuh Thio Ci-peng yang besar terlempar sejauh lebih tiga tombak.

Tetapi sewaktu turunnya kembali, Yo Ko sendiri tanpa sengaja sebelah kakinya menginjak setangkai bunga. Oleh karena tergoyangnya tangkai bunga yang sedikit mentul itu, maka separoh tubuh Siao-liong-li bagian atas sekilas berkelebat di bawah sinar bulan yang terang.

Meski tangkai bunga itu dengan cepat dapat merapat kembali, tapi karena itu Siao-liong-li jadi kaget, seketika keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, sesaat pernapasannya jadi terganggu hingga tak bisa dihempas keluar dari perut, maka jatuhlah dia semaput.

Ketika melihat Yo Ko mendadak unjuk diri dan sekilas melihat nona yang diidam-idamkan siang dan malam itu tahu-tahu ternyata bersembunyi di antara semak bunga itu, sesaat In Ci-peng jadi terkesima. Dia ternganga ragu, apa yang dilihatnya itu entah sungguh-sungguh atau khayalan belaka.

Sementara itu Thio Ci-keng sudah sempat tancapkan kakinya ke bawah. Sebagai seorang ahli silat, dengan sendirinya pandangan matanya sangat tajam sekali, meski dalam jarak sejauh beberapa tombak, namun sekilas dia sudah dapat melihat juga wajah Siao-liong-li.

“Bagus, bagus! Kiranya dia sedang main gila dengan laki-laki di sini,” demikian segera dia berteriak.

Keruan Yo Ko menjadi marah. “Kalian dua imam busuk jangan coba-coba lari, sekembaliku nanti akan kubikin perhitungan dengan kalian,” dengan suara geram segera ia membentak.

Berbareng itu cepat ia sambar celananya sendiri dan dipakai, lalu ia jemput juga pakaian Siao-liong-li dengan maksud hendak menyerahkan kepadanya.

“lni pakailah dulu, Kokoh!” serunya-sambil mengangsurkan pakaian Siao-liong-li itu.

Akan tetapi ditunggu-tunggu masih juga tidak terdengar suara jawaban, juga orang tidak angsurkan tangan untuk menerima baju itu. Waktu dia berpaling, di antara semak yang remang itu dia melihat Siao-liong-li sudah menggeletak roboh.

Tiba-tiba teringat olehnya Siao-liong-li pernah pesan wanti-wanti bahwa di waktu latihan harus menjaga diri sepenuh tenaganya, sekali pun hanya ditubruk atau diterjang seekor kelinci saja pasti akan mengakibatkan mala petaka.

Kini dia kaget oleh peristiwa tadi, tentu tidak kecil bahaya yang menimpa gurunya ini. Keruan Yo Ko gugup dan kuatir, lekas ia jereng baju orang lalu dikemulkan pada badan Siao-liong-li. Waktu Yo Ko meraba jidatnya, ia merasa dingin sekali seperti es, maka lekas ia sambar pula bajunya sendiri lalu bungkus rapat seluruh tubuh Siao-liong-li dan dipondongnya.

“Kokoh, kau tidak apa-apa, bukan?” demikian ia bertanya dengan kuatir.

Terdengarlah suara sahutan Siao-liong-li yang sangat lemah, lalu nona ini tidak membuka suara lagi. Namun demikian, sedikit lega juga hati Yo Ko.

“Mari kita pulang dulu, Kokoh,” kata Yo Ko pula, “Nanti aku datang lagi untuk membunuh kedua imam bangsat ini.”

Akan tetapi seluruh badan Siao-liong-li ternyata lemas tak bertenaga sedikit pun, ia hanya meggelendot dalam pelukan Yo Ko. Maka berjalanlah Yo Ko dengan langkah lebar melalui samping kedua imam Coan-cin-kau itu.

Ternyata In Ci-peng masih terpesona dengan berdiri menjublek di tempatnya, sebaliknya Thio Ci-keng lantas tertawa ter-bahak-bahak.

“Ha-ha-ha, In-sute, jantung hatimu itu telanjang bulat sedang melakukan perbuatan yang tidak tahu malu dengan orang lain di sini. Dari pada kau hendak bunuh aku, tidakkah lebih baik kau bunuh saja dia (maksudnya Yo Ko)!” demikian ia berolok-olok.

Namun In Ci-peng pura-pura tidak mendengar. Dia tidak menggubris dan tetap bungkam. Mendengar kata-kata “perbuatan yang tidak tahu malu” yang diucapkan Thio Ci-keng tadi, meski Yo Ko masih hijau pelonco dan tidak paham apa maksud orang sebenarnya, tetapi ia yakin pasti kata caci-maki yang sangat keji. Maka ia naik darah juga.

Dalam marahnya ia letakkan Siao-liong-li di tanah, ia biarkan gurunya ini bersandar pada satu batang pohon dan betulkan bajunya yang membungkus tubuhnya, lalu dengan menjemput setangkai kayu segera ia mendekati Ci-keng.

“Kau membacot apa tadi?” damperatnya segera sambil menuding dengan kayunya.

Semula sebenarnya Ci-keng tidak tahu bahwa laki-laki yang berada bersama dengan Siao-liong-li itu ialah Yo Ko, sebab sudah lewat dua tahun, tubuh Yo Ko sudah tumbuh menjadi jejaka cakap. Sekarang sesudah Yo Ko bersuara untuk kedua kalinya, lagi pula mukanya menghadap ke arah sinar bulan, maka tampak jelas olehnya bahwa orang ini ternyata adalah muridnya sendiri. Tadi waktu dirinya sedang terapung di udara malah kena dibanting pergi olehnya, keruan ia menjadi malu tercampur marah.

“Ha, Yo Ko, kiranya kau si binatang cilik ini!” segera ia membentak memaki.

“Hm, kau mencaci maki aku tidak mengapa, tetapi mengapa kau memaki juga aku punya Kokoh?” jawab Yo Ko.

Namun kembali Ci-keng bergelak tertawa. “Ha-ha, orang bilang Ko-bong-pay turun-temurun hanya kepada wanita dan tidak menurun kepada pria, katanya tiap-tiap murid suci bersih tetap perawan, siapa tahu secara diam-diam berbuat begini kotor dan rendah, mengeram anak laki-laki dan melakukan perbuatan terkutuk secara blak-blakan di tempat terbuka seperti ini!” demikian ia ber-olok dan memfitnah pula.

Belum lagi Yo Ko paham maksud kata-kata orang, saat itu juga Siao-Iiong-li baru siuman kembali, demi mendengar fitnahan kotor itu, dalam marahnya napasnya yang telah teratur kembali itu tiba-tiba terasa sesak lagi di dada. Dia tahu dalam dirinya telah terluka parah, tapi tetap saja ia mendamperat:

“Tutup bacotmu, kami tidak...”

Belum sempat kata-kata-nya habis, mendadak darah segar menyembur dari mulutnya seperti pancuran air. Kaget sekali Yo Ko dan In Ci-peng, keduanya memburu maju serentak.

“Kenapa kau?” tanya Ci-peng. Lalu dia membungkuk dengan maksud hendak memeriksa keadaan Siao-liong-li.

Tetapi Yo Ko menyangka Ci-peng bermaksud jahat, tanpa pikir dia ayun tangannya terus menghantam dada orang. Sudah tentu In Ci-peng tak mau tinggal diam, ia mengangkat tangannya buat menangkis, Tak terduga, setiap gerak tipu serangan Coan-cin-kau boleh dikata semua telah dipahami oleh Yo Ko, maka begitu telapak tangannya membalik, seketika itu tangan Ci-peng malah kena terpegang. Segera Yo Ko mendorong sambil tiba-tiba dilepaskan, kontan Ci-peng kena disengkelit pergi.

Kalau soal ilmu silat sejati sebenarnya Yo Ko belum lebih unggul dari pada Ci-peng, cuma dulu sewaktu Lim Tiao-eng menciptakan ilmu silatnya yang khusus buat mematahkan tipu serangan silat Coan-cin-kau, setiap gerakan dan setiap tipu melulu hanya dipergunakan untuk melawan Coan-cin-pay. Lagi pula sejak ciptaannya ini berhasil selama itu belum pernah dipergunakan, maka anak murid Coan-cin-kau selama itu juga belum tahu bahwa di jagat ini ternyata ada semacam kepandaian yang khusus dapat mengalahkan ilmu silat mereka.

Kini kepandaian luar biasa itu mendadak dikeluarkan Yo Ko, sudah tentu In Ci-peng tidak mampu bertahan, walau pun ia tidak sampai jatuh terjengkang, akan tetapi tubuhnya telah terlempar sejauh beberapa tombak hingga kini berdiri sejajar dengan Thio Ci-keng.

“Sudahlah, tak perlu kau gubris mereka, Kokoh, biar aku pondong kau pulang dahulu,” Yo Ko berkata.

“Tidak… tidak bisa,” sahut Siao-liong-Ii dengan napas memburu, “kau bunuh saja mereka, supaya... supaya mereka tidak bisa siarkan di luaran bahwa... bahwa kita...”

“Baiklah,” kata Yo Ko tanpa menunggu perintah lagi, Segera dia angkat tangkai kayunya tadi, sekali bergerak, segera dia tutulkan ke dada Thio Ci-keng.

Sudah tentu Ci-keng tidak pandang sebelah mata pada Yo Ko, pedangnya lalu bergerak, segera ia bermaksud memotong tangkai kayu orang. Tanpa terduga Kiam-hoat Ko-bong-pay yang dimainkan Yo Ko ini justru merupakan lawan keras yang tiada bandingnya dari Coan-cin-kiam-hoat. Begitu Yo Ko sedikit sendal ujung kayunya, se-konyong-konyong tangkai kayu itu seperti dapat melengkung dan tahu-tahu menerobos lewat terus menutul Hiat-to pergelangan tangan Ci-keng.

Begitu cepat serangan ini hingga tiba-tiba Ci-keng merasakan tangannya kesemutan, ia mengeluh. Dalam pada itu serangan susulan Yo Ko telah dilontarkan kembali, sekali ini telapak tangan kirinya hendak menempeleng pipinya. Gerak tempelengan ini caranya ternyata sangat aneh, yakni tahu-tahu datang dari jurusan yang tak ter-sangka-sangka. Jika Ci-keng ingin pertahankan pedangnya, maka dia harus terima ditempeleng mentah-mentah, sebaliknya kalau mau berkelit, maka pedangnya tidak boleh tidak harus terlepas dari tangan.

Namun ilmu silat Ci-keng sudah terlatih cukup sempurna, meski berada dalam kedudukan berbahaya, sedikit pun ia tidak jadi bingung. Ia lepas tangan buang pedang, berbareng itu kepala menunduk menghindarkan pukulan, bahkan menyusul tangan kirinya terus diulur maju, dalam sekejap ia bermaksud merebut kembali pedangnya yang dia lepaskan itu.

Akan tetapi lagi-lagi tak terduga bahwa beberapa puluh tahun yang lalu Lim Tiao-eng yang menciptakan ilmu silat yang lihay itu juga telah memperhitungkan lebih dulu akan adanya perubahan gerakan ini, terhadap segala kemungkinan perubahan tipu lihay dari Coan-cin-pay, semuanya sudah dia atur cara untuk melayaninya.

Dengan tipu serangan balasan untuk merebut kembali pedangnya, Thio Ci-keng mengira bisa merubah kalah menjadi menang. Tapi sama sekali tak diduganya bahwa Yo Ko dan Siao-liong-Ii justru telah apal dengan cara untuk mematahkan tipunya ini. Hanya melihat tangannya bergerak segera Yo Ko tahu ke mana Ci-keng hendak mengarah, maka segera ia mendahului, dengan pedang yang dapat direbutnya dari Ci-keng itu ia menebas tangan lawan.

Keruan saja tidak kepalang kaget Ci-keng, lekas ia menarik kembali tangannya. Walau pun demikian, namun sudah terlambat juga, tahu-tahu ujung pedang Yo Ko sudah menempel pada dadanya.

“Rebah!” bentak Yo Ko sambil kaki menjegal.

Karena tempat berbahaya sudah terancam, Thio Ci-keng jadi tidak bisa berkutik, apa lagi ditambahi pula dengan terjegal kakinya. Tanpa ampun lagi ia jatuh terlentang. Dengan segera pula Yo Ko mengangkat pedangnya terus menusuk ke perut orang. Namun di luar dugaan Yo Ko, mendadak dari belakang terdengar suara sambaran angin, nyata ada senjata telah menusuk punggungnya.

“Berani kau membunuh guru sendiri?” terdengar suara bentakan keras In Ci-peng.

Serangannya ini mengarah tempat yang harus dihindari, apa bila Yo Ko tetap meneruskan tusukannya hingga Ci-keng dibinasakan maka ia sendiri pun akan tertembus oleh pedang In Ci-peng. Karena itu, tanpa pikir Yo Ko putar kembali pedangnya buat menangkis, maka terdengarlah suara “trang” yang nyaring, kedua pedang telah saling bentur.

Nampak balikan senjata orang begitu cepat lagi jitu, mau tak mau In Ci-peng memuji juga di dalam hati. Sementara itu tiba-tiba terasakan pula pedangnya sendiri telah kena ditarik pergi seperti melengket dengan senjata orang, dalam kagetnya lekas Ci-peng kumpulkan tenaga dalamnya untuk menarik kembali sekuatnya.

Dengan sendirinya tenaga Ci-peng lebih kuat dibandingkan Yo Ko, maka dengan segera pedang Yo Ko kena ditarik ke jurusan Iain. Di luar dugaan, justru hal ini sengaja dilakukan Yo Ko untuk memancingnya, karena begitu orang menarik, mendadak ia malah lepaskan senjatanya sendiri menyusul dua telapak tangannya dipukulkan berbareng ke dada orang, sedang batang pedangnya juga mental ke depan, dengan begitu serangannya sekaligus datang dari tiga jurusan, yakni kedua telapak tangan dan satu pedang. Dalam keadaan demikian, lebih tinggi lagi ilmu silat In Ci-peng juga sukar hendak menangkis tipu serangan yang aneh luar biasa ini.

Di bawah ancaman elmaut ini, terpaksalah In Ci-peng melepaskan senjatanya sendiri dan menekuk tangannya. Dengan tangan melintang di dada lekas-lekas dia paksakan diri buat menangkis serangan orang yang hebat tadi, tapi karena tangannya tertekuk terlalu rapat sehingga sukar mengeluarkan tenaga besar.

Syukur latihan Yo Ko juga belum mendalam, maka kedua tulang tangannya tidak sampai dipatahkan. Walau pun demikian dadanya terasa sakit sekali karena getaran pukulan itu, juga kedua lengannya pegal linu. Cepat-cepat ia lompat mundur beberapa tindak, dengan mengatur pernapasannya ia coba lindungi Hiat-to penting di dadanya itu. Sementara itu, karena kedua pedang lawan sudah terebut semua olehnya, segera Yo Ko melakukan rangsekan pula.

Hanya dalam beberapa gebrakan saja Ci-keng dan Ci-peng telah dibikin kalang kabut oleh seorang pemuda ‘anak kemarin’. Mereka terperanjat lagi marah, mereka tidak berani ayal lagi. Segera mereka berdiri sejajar, lantas mengeluarkan ilmu menjaga diri saja dan tidak menyerang, tiap-tiap serangan lawan selalu dipatahkan, dengan demikian supaya mereka dapat menyelami sampai di mana kelihayan musuh.

Dengan perubahan siasat ini, kini Yo Ko tak bisa se-mau-maunya lagi seperti tadi. Sekali pun ia bersenjata tapi kedua lawannya bertahan dengan rapat, bagaimana pun ia menyerang tetap tak sanggup menembus pertahanan mereka. Sungguh pun Kiam-hoat Ko-bong-pay diciptakan sebagai penunduk ilmu pedang Coan-cin-kau, tetapi kesatu karena Ci-keng dan Ci-peng jauh lebih ulet dari pada Yo Ko, kedua, mereka bertahan bersama, ketiga, mereka hanya menjaga diri saja dan tak pernah balas menyerang, maka akhirnya Yo Ko berbalik tak berdaya.

Meski kedua pedangnya masih me-layang kian kemari, tapi lambat laun ia sendiri malah terdesak di bawah angin, apa lagi tenaga pukulan Thio Ci-keng termasuk berat dan kuat, maka perlahan-lahan senjata Yo Ko malah kena tertekan ke bawah.

Dalam pada itu Ci-peng sudah dapat menenangkan dirinya. Dia berpikir apa yang akan dikatakan orang bila mengetahui dua orang tua mengerubut seorang anak kecil? Kini tampaknya pihak dirinya telah dalam kedudukan tak terkalahkan, pula sebetulnya hatinya sangat menguatirkan keadaan Siao-liong-li, maka tiba-tiba ia membentak:

“Yo Ko, lekas kau bawa pulang Kokoh-mu saja, untuk apa kau masih terus membabi-buta berkelahi dengan kami?”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar