Jumat, 11 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 030

Karena itu segera dia pusatkan perhatiannya untuk mengikuti gerak-gerik Siao-liong-li, dia ingat dengan baik cara bagaimana orang ulur tangan buat menahan dan cara bagaimana membaliki tangan buat meraup. Meski pun cara Siao-liong-li menggerakkan tangan sangat cepat dan aneh, tetapi tiap gerakan dan tiap jurus cukup jelas dan teratur. Setelah mengikuti agak lama, meski Yo Ko masih belum paham di mana letak keajaiban Ciang-hoat orang, namun sedikitnya ia tidak bingung lagi seperti tadi.

Sementara itu sudah lama Siao-liong-li menari ketika tiba-tiba kedua tangannya mengebas lagi sekali, lalu ia luruskan tangannya ke belakang. Karena terlepas dari kekangan tenaga tangan Siao-liong-li, segera burung-burung gereja itu bercuitan hendak terbang kabur pula.

Tapi di luar dugaan, mendadak Siao-liong-li mengebas lagi dengan kedua lengan bajunya yang membawa sambaran angin santer, karena itu ke-81 ekor burung itu seketika terjatuh lagi ke atas tanah dengan suara cuitan yang ramai. Lewat agak lama kemudian barulah burung-burung gereja itu bisa pentangkan sayap dan terbang pergi satu demi satu.

Sungguh luar biasa girangnya Yo Ko oleh pertunjukan kepandaian yang hebat itu. Ia tarik baju Siao-liong-li sambil berkata:

“Kokoh, kukira sekali pun Kwe-pepek juga tak akan bisa seperti engkau tadi.”

“Ciang-hoat yang kuperlihatkan tadi disebut ‘Thian-lo-te-bang-sik’ (gaya jaring langit dan jala bumi), adalah ilmu kepandaian pengantar dari Ko-bong-pay kita,” sahut Siao-liong-li menerangkan. “Maka kau harus belajar dengan baik.”

Lalu Siao-liong-li mengajarkan belasan jurus Ciang-hoat itu dan semuanya dipelajari Yo Ko dengan baik. Lewat belasan hari kemudian, ternyata Yo Ko sudah bisa mempelajari ‘Thian-lo-te-bang-sik’ yang meliputi 108 jurus itu dengan baik dan apal sekali. Oleh karena itu, Siao-Iiong-Ii lantas pergi menangkap seekor burung gereja dan menyuruh Yo Ko mencoba merintangi kaburnya burung ini dengan Ciang-hoat yang baru dipelajarinya.

Tentu saja dengan senang hati Yo Ko melakukan perintah itu, Mula-mula dia hanya sanggup menahan dua-tiga kali lantas burung gereja itu sudah menerobos lolos di bawah telapak tangannya. Tetapi Siao-liong-li selalu mendampingi dia, hanya sekali ulurkan tangannya, segera burung gereja itu dapat ditolak kembali.

Maka Yo Ko lalu melanjutkan permainan Ciang-hoat-nya lagi, tapi lantaran gerak-geriknya masih kurang cepat, pula kurang tepat mengepas waktunya, maka hanya beberapa kali gerakan kembali burung gereja itu lolos lagi.

Begitulah, setiap hari Yo Ko meneruskan latihannya tanpa kenal lelah. Sang waktu lewat dengan cepat, hari berganti bulan dan bulan berganti bulan puIa, tanpa terasa perawakan Yo Ko sudah tambah tinggi, suaranya yang kekanak-kanakan dulu sudah berubah besar pula seperti orang dewasa umumnya, perlahan dia sudah berubah menjadi pemuda yang tampan, berlainan dari pada waktu dia masuk ke dalam kuburan kuno ini.

Berkat bakat pembawaan Yo Ko, lagi pula Siao-liong-li sudah mengajar dengan sepenuh tenaga, maka selewatnya musim rontok, ilmu pukulan gaya ‘jaring langit dan jala bumi’ itu telah berhasil dilatihnya.

Kini bila ia permainkan Ciang-hoat ini, sekaligus ia sudah sanggup menahan ke-81 burung gereja tanpa bisa lolos, kalau terkadang terlolos juga satu ekor, itu boleh dikatakan hanya penyakit kecil saja dari Ciang-hoat yang baru dia pelajari itu.

“Ko-ji,” kata Siao-liong-Ii pada suatu hari, “Ciang-hoat yang telah kau latih ini, di kalangan kangouw sudah jarang lagi ada tandingannya, maka kapan berjumpa pula dengan imam gendut itu, boleh kau banting dia beberapa kali lagi yang keras.”

“Tetapi jika bergebrak dengan Thio Ci-keng, bagaimana?” tanya Yo Ko.

Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaan itu, sebab di dalam hati ia lagi berpikir: “Ya, Thio Ci-keng itu adalah jago terkemuka dari anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, kalau hanya dengan kepandaian Ko-ji sekarang, memang betul masih belum bisa mengalahkan dia.”

Melihat Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaannya, Yo Ko langsung tahu juga apa yang sedang dipikirkan orang.

“Tak bisa menangkan dia juga tidak mengapa, lewat beberapa tahun lagi tentu aku dapat menangkan dia,” demikian ia kata, “Kokoh, bukankah ilmu silat Ko-bong-pay kita memang jauh lebih lihay dari ilmu silat Coan-cin-kau?”

“Apa yang kau katakan tadi, di jagat ini mungkin hanya kita berdua saja yang percaya,” sahut Siao-liong-Ii sambil menengadah memandang langit. “Tempo hari pada waktu aku bergebrak dengan imam she Khu dari Coan-cin-kau itu, rasa-rasanya kalau soal ilmu silat memang aku belum bisa menangkan dia, tapi ini tidak berarti Ko-bong-pay kita tidak bisa menandingi Coan-cin-kau, melainkan karena aku masih belum berhasil meyakinkan ilmu kepandaian yang paling hebat dari Ko-bong-pay kita.”

Sebenarnya Yo Ko kuatir kalau Siao-liong-li tidak dapat menangkan Khu Ju-ki. Sekarang mendengar kata-kata itu, ia bergirang dan merasa mantap.

“llmu kepandaian apakah itu, Kokoh?” cepat ia bertanya, “Apa susah melatihnya? Kenapa engkau tidak mulai melatihnya?”

“Biarlah kututurkan satu cerita pendek dahulu, supaya kau mengetahui asal usul golongan Ko-bong-pay kita ini,” sahut Siao-liong-li. “Sebelum engkau menyembah aku sebagai guru, bukankah kau ingat pernah menjura pada Cosu-popoh? Dia itu she Lim, namanya Tiao-eng.

Pada, kira-kira 60-70 tahun yang talu, di kalangan Kangouw terkenal dengan kata-kata ‘di selatan ada Lim dan di utara ada Ong, tetapi Im (negatip, perempuan) menangkan Yang (positip, laki-laki). Apa yang dikatakan Lim di selatan itu ialah Cosu-popoh, dia berasal dari Kwisay, dan Ong di utara bukan lain ialah Ong Tiong-yang dari Soa-tang.

Waktu itu di kalangan Bu-lim ilmu silat mereka berdua terhitung paling tinggi. Sebenarnya kepandaian mereka boleh dikatakan sembabat dan sukarlah dibedakan mana yang lebih tinggi, tapi belakangan karena Ong Tiong-yang sibuk dengan gerakan membela tanah air untuk melawan pasukan Kim, dia repot siang dan malam, sebaliknya Cosu-popoh dapat berlatih silat lebih tekun, maka akhirnya dia jadi lebih tinggi setingkat dari pada Ong Tiong-yang, oleh karena itu orang bilang Im lebih unggul dari Yang.”

“Kemudian pergerakan Ong Tiong-yang ternyata gagal, maka dengan perasaan menyesal dia lantas mengasingkan diri di dalam Hoat-su-jin-bong ini, saking iseng setiap hari, waktu senggang itu dia lewatkan buat berlatih silat dan mempelajari segala ilmu sakti, sebaliknya waktu itu Cosu-popoh malah menjelajahi Kangouw untuk melakukan berbagai perbuatan yang terpuji. Oleh karena itu, sampai Ong Tiong-yang untuk kedua kalinya turun gunung, kembali ilmu Cosu-popoh tak lebih unggul dari padanya.



Dan paling akhir kedua orang entah soal apa terjadi percekcokan sehingga saling gebrak dan bertaruhan. Ternyata akhirnya Ong Tiong-yang kalah sehingga kuburan kuno ini pun diserahkan pada Cosu-popoh. Mari sini, biar kubawa kau pergi melihat bekas-bekas yang ditinggalkan kedua Locianpwe itu.”

Sesungguhnya kuburan kuno itu seluruhnya dibangun dari batu dan entah dibangun sejak kapan, Tetapi kamar yang ditunjukkan Siao-liong-li pada Yo Ko sekarang ternyata sangat aneh bentuknya, sebelah depan sempit bagian belakang lebar, sedangkan sebelah timur bundar, sebaliknya di sebelah barat berbentuk lencip sehingga berwujud segi tiga.


GIOK-LI-SIM-KENG (Ilmu Suci si Gadis Ayu)

“Kenapa kamar ini dibikin sedemikian rupa Kokoh?” saking herannya Yo Ko bertanya.

“Kamar ini merupakan tempat Ong Tiong-yang mempelajari ilmu silat,” sahut Siao-Iiong-li, “bagian depan yang sempit dibuat latihan pukulan telapakan, dan yang lebar di belakang buat latihan pukulan kepalan, yang bundar di sebelah timur buat mempelajari ilmu pedang dan bagian barat yang lancip itu buat latihan senjata rahasia.”

Sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar aneh ini, Yo Ko menjadi heran luar biasa, sama sekali dia tidak paham kegunaannya.

“ltu intisari ilmu silat Ong Tiong-yang semuanya berada di situ,” tiba2 Siao-liong-li berkata sambil menuding ke atas.

Waktu Yo Ko mendongak, ia lihat langit-langit kamar yang terbuat dari papan batu itu ternyata penuh terukir goresan dan tanda rahasia yang beraneka macamnya. Coretan itu semuanya digores dengan senjata tajam, ada yang dalam dan ada yang cetek secara tidak teratur. Yo Ko tidak tahu apa maksudnya.

Sementara itu Siao-liong-li sudah mendekati dinding sebelah timur. Ia mendorong tembok yang mendekuk setengah bundar itu, dan dengan perlahan sebuah batu menggeser, lalu tampak sebuah pintu rnembentang. Dengan membawa lilin Siao-liong-li mengajak Yo Ko masuk ke situ.

Kiranya di dalam sana kembali ada sebuah kamar batu dan kamar ini ternyata mirip sekali dengan kamar yang duluan, cuma tiap tempatnya berlawanan, kalau yang duluan sempit di depan dan bagian belakang luas, maka kamar yang kedua ini terbalik menjadi depan luas dan belakang sempit, begitu pula bagian barat bundar dan ujung timur lancip. Waktu Yo Ko mendongak, ia melihat di atas langit-langit kamar juga penuh terukir tanda-tanda rahasia yang aneh.

“lni adalah rahasia ilmu kepandaian Cosu-popoh,” demikian Siao-liong-li berkata padanya, “Dulu meski beliau menangkan kuburan ini, tetapi boleh dikatakan berkat tipu akal belaka, kalau soal ilmu silat sebenarnya belum bisa menandingi Ong Tiong-yang. Tetapi sesudah Cosu-popoh berdiam di dalam kuburan kuno ini, ia telah mempelajari dan menyelami ilmu silat yang ditinggalkan Ong Tiong-yang di atas langit-langit kamar sebelah tadi, akhirnya beliau bahkan berhasil menciptakan tipu-tipu cara mematahkan ilmu silat Ong Tiong-yang, Dan tipu-tipu yang dia ciptakan itu semuanya telah ditulis di atas itu.”

“Bagus kalau begitu, Kokoh,” teriak Yo Ko girang, “Pikir saja, sekali pun kepandaian Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bisa lebih tinggi lagi juga tidak mungkin melebihi Ong Tiong-yang yang menjadi guru mereka. Kini kalau kau telah mempelajari ilmu silat tinggalan Cosu-popoh ini, bukankah dengan sendirinya akan menangkan para imam Coan-cin-kau itu.”

“Kata-katamu memang tidak salah, hanya sayang tiada orang Iain yang bisa membantu aku,” sahut Siao-Iiong-li.

“Aku bantu kau,” seru Yo Ko tiba-tiba dengan membusungkan dada.

Di luar dugaan, Siao-liong-li menyambut kata-katanya itu dengan mata melotot. “Tetapi sayang kepandaianmu belum cukup,” sahutnya kemudian dengan dingin.

Muka Yo Ko menjadi merah karena malu.

“llmu silat ciptaan Cosu-popoh itu disebut Giok-li-sim-keng (ilmu suci si gadis ayu). Untuk melatihnya harus dilakukan oleh dua orang berbareng dengan saling bantu membantu,” demikian kata Siao-liong-li lebih lanjut. “Dahulu Cosu-popoh telah melatih ilmu ini bersama dengan guruku.”

Mendengar penjelasan ini, dari rasa malu tadi Yo Ko berubah menjadi girang. “Ha, kalau begitu, aku adalah muridmu, tentu bisa juga berlatih bersama engkau,” serunya cepat.

Karena kata-kata ini, Siao-liong-li termangu sejenak. “Baiklah, boleh juga kita mencobanya,” akhirnya ia berkata, “Langkah pertama, lebih dulu kau harus latih ilmu silat perguruan kita sendiri, langkah kedua baru kau mempelajari ilmu kepandaian Coan-cin-kau dan langkah penghabisan barulah kita melatih Giok-li-sim-keng yang diciptakan untuk mengalahkan ilmu silat Coan-cin-kau itu.”

BegituIah, maka sejak hari itu Siao-liong-li lalu mengajarkan semua ilmu kepandaian Ko-bong-pay kepada Yo Ko, baik mengenai Kun-hoat dan Ciang-hoat (ilmu pukulan telapak tangan) mau pun memakai senjata tajam dan senjata rahasia. Selang setahun kemudian, semua ilmu kepandaian itu sudah diperoleh Yo Ko. Walau pun latihannya masih belum cukup masak, namun berkat bantuan ranjang batu pualam dingin, kemajuannya ternyata sangat pesat sekali.

ilmu silat Ko-bong-pay atau aliran kuburan kuno ini asal-usulnya diciptakan oleh seorang wanita, yakni kakek guru Siao-liong-Ii yang menjadi kekasih Ong Tiong-yang, sedangkan guru dan murid mereka tiga turunan juga wanita semua, dengan sendirinya ilmu silat yang diciptakan itu gerak-geriknya rada halus dan lincah bagai kaum wanita.

Karena sifat Yo Ko memang suka sekali bergerak, maka semua tipu silat Ko-bong-pay ini malah menjadi sangat cocok dengan tabiatnya. Sementara usia Siao-liong-Ii semakin bertambah, makin lama wajahnya ternyata semakin cantik. Tahun ini umur Yo Ko sudah menginjak enam belas, anak ini ternyata mempunyai perawakan tinggi, kalau berdiri sudah setinggi gurunya. Walau pun demikian, Siao-liong-Ii masih tetap menganggap Yo Ko sebagai bocah saja, sama sekali mereka tidak pusingkan soal perbedaan laki-perempuan.

Di lain pihak, semakin lama Yo Ko tinggal bersama Suhu-nya, semakin menaruh hormat juga kepadanya. Selama dua tahun itu, ternyata belum pernah dia membantah sesuatu perintah sang guru. Bocah ini ternyata pandai memahami kemauan orang, baru saja Siao-liong-li inginkan Yo Ko melakukan sesuatu, belum sampai diutarakan tahu-tahu Yo Ko sudah mendahului mengerjakannya dengan baik.

Hanya saja sifat Siao-liong-li yang amat dingin laksana es masih tetap seperti sedia kala. Terhadap apa saja yang dikatakan Yo Ko masih selalu ia sambut dengan dingin, bahkan kadang kala menyindir, sedikit pun ia tidak mengunjuk rasa kasih sayang. Tetapi karena sudah biasa, lambat laun Yo Ko tidak memikirkan pula sikap sang guru ini.

Pada suatu hari, berkatalah Siao-liong-li kepada Yo Ko: “Ko-ji, kini ilmu lo-bong-pay kita sendiri sudah kau pelajari semua, maka mulai besok bolehlah kita mulai berlatih ilmu silat Coan-cin-kau.”

Karena itu, besoknya mereka lantas mendatangi kamar batu yang berbentuk aneh dengan ukiran-ukiran aneka macam di atas langit-langit. Dengan menurutkan tanda yang terukir ini mereka mulai berlatih.

Kiranya tanda ukiran itu dahulu digores oleh Ong Tiong-yang dengan meloncat ke atas dengan ujung pedang. Dan karena Lim Tiao-eng adalah bekas kekasih Ong Tiong-yang, maka ia cukup paham intisari ilmu silat orang, sesudah diselaminya mendalam, kemudian dia turunkan kepada dayang kepercayaannya dan dayang ini akhirnya mengajar kepada Siao-liong-li, dan kini Siao-Iiong-Ii mengajarkan pula rahasia silat itu kepada Yo Ko.

Sesudah Yo Ko berlatih beberapa hari, karena memang sudah memiliki landasan yang bagus, maka banyak bagian penting yang begitu diberi petunjuk segera dapat dia terima, maka kemajuannya sangat cepat. Akan tetapi sesudah belasan hari, keadaan mendadak berubah lain, be-runtun beberapa hari Yo Ko ternyata tidak memperoleh kemajuan kalau tak mau dikatakan malah mundur. Semakin ia latih, semakin keliru dan nyasar.

Siao-liong-li lantas membantu muridnya ini memecahkan kesulitan itu, tapi dia sendiri juga tidak tahu di mana letak gangguan itu. Dasar Yo Ko ingin lekas pandai, keruan ia menjadi gopoh sehingga sering uring-uring-an sendiri.

“Tak perlu kau uring-uring-an,” demikian kata Siao-liong-li padanya, “soal ini sebenarnya tidak sulit, asal kita pergi menangkap seorang imam Coan-cin-kau dan paksa dia mengajarkan kunci rahasia penuntun ilmu silat mereka, bukankah urusan ini lantas beres? Nah, marilah kita pergi ke sana!”

Kata-kata Siao-liong-li menyadarkan Yo Ko. Tiba-tiba teringat olehnya dahulu Thio Ci-keng pernah ajarkan istilah-istilah penuntun dasar ilmu silat Coan-cin-kau itu. Maka dengan segera ia mengapalkannya kepada Siao-liong-li. Siao-liong-li sangat memperhatikan istilah yang diucapkan Yo Ko ini, dengan cermat dia menyelami intisari istilah-istilah itu.

“Ya, memang tepat itulah yang kita inginkan,” katanya kemudian setelah berpikir. “Dahulu pada waktu aku belajar ilmu silat Coan-cin-kau ini dengan mendiang guruku, sesampainya setengah jalan tiba-tiba saja sukar untuk maju setindak lagi, saat mana Cosu-popoh telah meninggal maka tiada orang yang bisa kami mintai petunjuk. Walau pun kami tahu juga soalnya karena belum mengetahui rahasia penuntun dasarnya, tetapi kami tidak berdaya pula, justru karena mendiang guruku orangnya amat alim. Pernah kukatakan hendak pergi mencuri dengar rahasia ilmu Coan-cin-kau itu, tetapi aku malah didamperat habis-habisan olehnya. Syukurlah sekarang kau sendiri malah sudah mengetahuinya, sudah tentu hal ini sangat baik sekali.”

Kemudian satu demi satu Yo Ko memberi-tahukan pula secara lebih jelas dari apa yang pernah dia pelajari dari Thio Ci-keng. Apa yang diajarkan Thio Ci-keng kepada Yo Ko tempo hari itu memang betul-betul adalah istilah pelajaran dasar Iwekang Coan-cin-kau yang paling tinggi, soalnya hanya karena Yo Ko sengaja tidak diberi pelajaran cara bagaimana mempraktekkannya.

Sekarang setelah diselami secara mendalam oleh Siao-Iiong-li, tentu saja segera menjadi terang dan semua kesulitan dapat ditembus, ditambah lagi Iwekang yang dulu Cin Lam-khim ajarkan pada Yo Ko memang juga Iwekang asli ajaran Ma Giok dari Coan-cin-kau. Dengan digabungnya dua dasar ini, keruan tidak berapa lama beberapa bulan Siao-liong-li dan Yo Ko sudah berhasil mempelajari seluruh intisari ilmu silat yang ditinggalkan Ong Tiong-yang di atas langit-langit kamar batu itu.

Pada suatu hari, sesudah kedua orang selesai berlatih ilmu pedang di dalam kamar batu itu, dengan menghela napas Siao-liong-li berkata:

“SemuIa aku pandang rendah ilmu silat Coan-cin-kau, kuanggap apa yang disebut sebagai ilmu silat asli dunia persilatan toh tidak lebih hanya sekian saja, akan tetapi hari ini barulah aku mengerti bahwa ilmu silat mereka sesungguhnya terlalu dalam untuk dimengerti dan tak ada habisnya untuk dipelajari. Ko-ji, meski sekarang kau sudah paham semua rahasia ilmu ini, tetapi untuk dapat mencapai tingkatan yang sempurna sehingga dapat dipergunakan sesuka hati, untuk ini entah harus sampai tahun kapan?”

Akan tetapi Yo Ko se-akan anak banteng yang baru lahir dan tak kenal apa artinya takut, segera dia menjawab:

“Ya, sungguh pun ilmu silat Coan-cin-kau sangat bagus, tetapi ilmu yang ditinggalkan Cosu-popoh itu dengan sendirinya ada jalan untuk menangkan dia.”

“Ya, maka mulai besok kita harus melatih Giok-li-sim-keng,” ujar Siao-liong-li.

Hari berikutnya, Siao-liong-li mengajak Yo Ko ke dalam kamar batu yang kedua. Mereka melatih diri pula dengan menuruti petunjuk ukiran yang terdapat di atas kamar itu, sekali ini mereka sudah lebih gampang melatihnya dari pada saat pertama, sebab ilmu silat yang diciptakan Lim Tiao-eng untuk mematahkan ilmu silat Ong Tiong-yang ini berinti ilmu silatnya sendiri, hanya di bagian yang dipandang perlu telah ditambah hingga lebih bagus dan lebih sempurna.

Maka dalam beberapa bulan saja mereka berdua telah berhasil melatih Gwa-kang (bagian luar) dari ‘Giok-li-sim-keng’ dengan baik. Pada waktu latihan, kalau Yo Ko menggunakan Kiam-hoat dari Coan-cin-kau, maka Siao-liong-li lantas memakai Giok-li-kiam-hoat untuk mematahkannya, sebaliknya, kalau Siao-liong-li memainkan Coan-cin-kiam-hoat, maka Yo Ko yang mengeluarkan kepandaian Giok-li-kiam-hoat untuk mengatasinya.

Nyata sekali kalau Giok-li-kiam-hoat (ilmu pedang gadis ayu) memang sengaja diciptakan untuk mengalahkan Coan-cin-kiam-hoat. Setiap gerakan dan setiap tipu serangan Coan-cin-kiam-hoat selalu dapat dipatahkan dengan tepat sekali sehingga tak mampu berkutik, meski Coan-cin-kiam-hoat bisa berubah dan berganti gerakan bagaimana pun juga, tetapi selalu tak dapat melepaskan diri dari kurungan lingkaran Giok-li-kiam-hoat.

Oleh karena Gwakang yang dilatih mereka sudah jadi, langkah selanjutnya lantas berlatih Iwekang (ilmu bagian dalam). Sebenarnya Iwekang Coan-cin-kau amat luas dan bagus sekali, jika ingin menangkannya dengan menciptakan Iwekang baru sebetulnya bukan sebuah soal gampang. Akan tetapi Lim Tiao-eng ternyata pintar luar biasa, nyata ia bisa mencari jalan lain untuk menembus kesulitan itu, ia telah kumpulkan ilmu silat berbagai aliran lainnya untuk mengungkulinya, Meski pun ilmu silat yang dia ciptakan ini sukar sekali untuk dilatih, tetapi kalau sampai berhasil mempelajari, maka dengan mudah menangkan Iwekang Coan-cin-kau.

Untuk mempelajarinya, Siao-Iiong-li mendongak memahami lukisan dan tulisan penjelasan yang terukir di atas langit-langit kamar batu itu. Lama sekali ia berdiam diri tanpa buka suara, dengan tekun ia membacanya sampai beberapa hari, tetapi akhirnya.

“Apa ilmu kepandaian ini demikian sukar dilatih, Kokoh?” tanya Yo Ko demi nampak sikap sang guru.

“Ya,” sahut Siao-liong-li. “Dulu pernah kudengar dari Suhu bahwa Giok-li-sim-keng harus dilatih oleh dua orang secara bersama-sama, semula kukira bisa melatihnya bersama kau, siapa tahu ternyata tidak dapat.”

Tentu saja Yo Ko menjadi cemas oleh keterangan ini. “Sebab apa, Kokoh?” tanyanya cepat.

“Jika kau wanita, itulah soal lain lagi,” sahut Siao-liong-li.

“Apa bedanya untuk itu?” kata Yo Ko. “Laki-laki atau perempuan yang melatihnya, bukankah sama saja?”

“Tidak, sama sekali Iain,” sahut Siao-liong-li sambil menggelengkan kepala, “Tidakkah kau lihat, bagaimana corak gambar yang terukir di atas itu?”

Waktu Yo Ko mengangkat kepalanya dan memandang dengan penuh perhatian menurut arah yang ditunjuk Siao-liong-li, maka tampaklah olehnya dipojok langit-langit kamar itu ada ukiran gambar bentuk manusia, rupanya seperti potongan kaum wanita, tetapi gambar itu semuanya telanjang bulat, terukir tanpa memakai baju selembar pun, Gambar-gambar wanita itu seluruhnya ada beberapa puluh, gerak-gerik serta gayanya berlainan semua, akan tetapi semuanya juga dalam keadaan telanjang.

Melihat gambar-gambar itu, segera pikiran Yo Ko tergerak, ia pun segera mengerti akan maksudnya.

“Oh, jadi pada waktu berlatih Iwekang Giok-li-sim-keng ini orang tidak boleh berpakaian, begitukah, Kokoh?” katanya kemudian.

“Ya, betul,” sahut Siao-liong-li. “Di dalam kitab pelajaran ini sudah dikatakan dengan jelas bahwa sewaktu berlatih Iwekang maka seluruh badan orang yang berlatih menjadi panas dan beruap, karena itu harus dipilih suatu tempat terbuka yang luas dan sepi tanpa orang lain, dengan begitu barulah bisa berlatih dengan melepas baju supaya hawa panas badan bisa buyar keluar tanpa tertahan di dalam. Jika tidak, tentu hawa panas itu akan tertimbun di dalam badan dan sedikitnya akan membuat orang sakit berat atau mungkin nyawanya akan melayang pula.”

“Jika begitu, marilah kita melatihnya tanpa pakai baju,” sahut Yo Ko tanpa pikir.

Muka Siao-liong-li menjadi merah oleh kata-kata ini. “Tetapi akhirnya kedua orang yang latihan harus saling membantu satu sama lain dengan hawa murni badannya masing-masing. Kau dan aku berlainan jenis, jika harus berhadapan tanpa pakaian, lalu apa jadinya?” sahut Siao-liong-li.

Tatkala itu umur Yo Ko telah menginjak enam belas, biar pun perawakannya tinggi besar, urusan laki dan perempuan apa lagi soal cinta segala sama sekali ia tidak paham, sedikitpun belum tahu. Hanya lapat-lapat ia merasa sang guru ini cantik luar biasa, setiap kali melihat dia dengan sendirinya timbul semacam rasa suka dalam batinnya. Dia pikir kalau berhadapan dengan melepas pakaian, agaknya memang tidak baik, tetapi sebab apa tidak baik, inilah dia sendiri tidak dapat menjawab.

Sebaliknya Siao-liong-li sejak kecil sudah hidup di dalam kuburan kuno ini, maka terhadap segala urusan keduniawian boleh dikatakan lebih tak mengerti dari pada Yo Ko. Tahun ini dia sudah berusia 22 tahun, tetapi karena giat berlatih dan tekun belajar, maka segala cita rasa manusia umumnya ternyata telah terlatih hingga lenyap sama sekali.

Meski guru dan murid berdua, mereka boleh dikatakan merupakan pasangan gadis cantik dan pemuda tampan, tetapi siang malam berhadapan, yang satu dingin dan yang lain jujur polos, sedikit pun mereka tak pernah berbuat sesuatu yang melanggar susila. Kini meski berbicara tentang telanjang bulat untuk melatih silat, mereka pun merasakan itu hanya suatu soal sulit saja dan sama sekali tiada pikiran lain yang menyimpang.

“Sudahlah, asal Iwekang ini dapat kita latih lebih masak, kiranya sudah cukup juga untuk mengalahkan para imam kolot Coan-cin-kau itu. Tentang Iwekang yang sulit ini tak perlu kita mempelajarinya,” ujar Siao-liong-li.

Karena pendapat gurunya ini, Yo Ko mengiyakan juga, urusan ini pun tidak dia pikirkan lagi.

Hari itu, sesudah Yo Ko latihan, ia keluar untuk berburu sebangsa kijang dan kelinci untuk rangsum. Setelah mendapat seekor menjangan kecil kemudian ia meng-uber lagi seekor kelinci. Siapa tahu kelinci ini ternyata licin luar biasa, binatang ini lari ke sini dan loncat ke sana, meski Ginkang atau ilmu entengkan tubuh Yo Ko kini sudah hebat, namun seketika ternyata tak mampu menyandaknya.

Karena uber-uberan ini, hati kanak-kanak Yo Ko menjadi timbul. Ia tak ingin melukai kelinci itu dengan Am-gi atau senjata rahasia, pula ia tidak mau menangkapnya dengan paksa pakai Kim-na-jiu-hoat (ilmu menawan dan menangkap), tapi ia malah berlomba Ginkang dengan binatang kecil itu. Ia ingin bikin kelinci itu kehabisan tenaga sehingga akhirnya berhenti tak sanggup lari lagi.

BegituIah, maka satu manusia dan satu kelinci terus udak-udakan dan semakin lama semakin jauh hingga melintasi sebuah lereng bukit. Kelinci itu tiba-tiba memutar beberapa kali lalu menyelusup masuk semak bunga merah yang tumbuh sangat lebat di sana.

Semak bunga merah itu terbentang seluas beberapa tombak jauhnya dan tumbuh lebat dan rapat sekali, baunya pun wangi semerbak. Ketika Yo Ko kemudian memutar melewati semak bunga ini, nyata kelinci itu sudah menghilang tanpa bekas Iagi.

Sebaliknya Yo Ko melihat semak-semak bunga ini bagaikan sebuah pintu angin raksasa saja yang membentang Iebar, bunganya tumbuh merah dengan tangkai segar menghijau, sungguh indah sekali, begitu lebat tumbuhnya bunga itu hingga mirip sebuah panggung alam. Sesaat itu pikiran Yo Ko jadi tergerak, lekas-lekas ia kembali dan mengajak Siao-liong-li datang lagi buat melihat semak bunga itu.

“Aku tak suka bunga, jika kau suka, bolehlah kau bermain-main sendiri di sini,” demikian dengan dingin Siao-liong-li berkata.

“Bukan itu maksudku, Kokoh,” sahut Yo Ko menjelaskan keinginannya, ”tempat ini justru adalah sebuah tempat bagus untuk kita gunakan, siapa pun tidak bisa melihatnya, Di waktu kau berlatih aku menjaga engkau, kalau aku yang berlatih, engkau yang melindungi aku, bukankah itu sangat bagus?”

Memang pada waktu berlatih Iwekang yang paling hebat, orang yang berlatih harus tekun memusatkan segala pikirannya, terhadap segala kejadian di luar tidak boleh memandang dan tidak boleh melihat, kalau ada serangan dari pihak luar, sekali pun tempat yang tidak berarti juga sukar menangkisnya dan pasti akan celaka, juga ilmu yang dilatihnya gagal semua. Begitu lihay akibatnya, maka perlu ada orang lain yang menjaganya di samping.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar