Kamis, 10 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 029

Sungguh lucu sekali sumpah setia Yo Ko ini. Padahal saat itu ilmu silat Siao-liong-Ii entah berapa puluh kali lebih tinggi dari pada Yo Ko, tapi Yo Ko anggap orang adalah gadis jelita yang lemah lembut, maka timbul sikap perkasa sebagai seorang jantan sejati yang wajib melindungi wanita lemah, hingga akhirnya semakin lama ucapannya semakin gagah dan bersemangat.

Meski lagu suara Yo Ko masih berbau kanak-kanak, akan tetapi kata-kata yang diucapkannya dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat, mau tak mau membikin hati Siao-liong-Ii rada terguncang juga. BegituIah, sesudah Yo Ko menjura, kemudian ia berdiri kembali di hadapan orang dengan muka ber-seri tanda gembira.

“Apa yang membuat kau jadi begini girang?” tanya Siao-Iiong-li. “Kepandaianku toh belum tentu bisa menangkan imam-imam tua dari Coan-cin-kau itu, lebih tidak mungkin bisa di atas kau punya Kwe-pepek.”

“PeduIi apa meski kepandaian mereka lebih tinggi,” sahut Yo Ko spontan, “yang penting engkau mau mengajarkan ilmu kepandaian padaku dengan sungguh-sungguh.”

Siao-liong-li menghela napas mendengar jawaban orang. “Padahal apa gunanya biar pun sudah belajar ilmu silat?” ujarnya, “Cuma, dari pada iseng menganggur di dalam kuburan sunyi ini, baiklah aku akan ajarkan padamu, sekarang kau tunggu dulu disini, biar aku keluar sebentar.”

Mendengar dirinya akan ditinggal pergi, se-konyong-konyong Yo Ko menjadi takut karena harus tinggal sendirian di dalam kuburan.

“Kokoh, aku ikut keluar saja,” demikian katanya cepat.

Akan tetapi Siao-liong-Ii segera pelototi padanya. “Baru saja kau berjanji akan menurut perkataanku untuk selamanya, tapi hari pertama kau sudah membangkang,” damperatnya.

“Tetapi aku... aku takut,” sahut Yo Ko.

“Laki-laki jantan sejati, takut apa?” damperat Siao-liong-li pula, “Tadi kau masih bilang akan membela diriku dan membunuh orang jahat segala!”

“Baiklah, kalau begitu lekasan engkau kembali ya!” kata Yo Ko sesudah berpikir.

“ltu pun tidak bisa ditentukan, bagaimana jika seketika sukar menangkapnya?” ujar Siao-Iiong-li.

Yo Ko menjadi heran oleh jawaban ini. “Menangkap apa, Kokoh?” tanyanya.

Namun Siao-liong-Ii tak menjawab, dia terus bertindak pergi sendiri.


DARI BOCAH MENJADI REMAJA

Dengan keluarnya Siao-liong-Ii, keadaan di dalam kuburan menjadi sepi senyap. Sementara itu Yo Ko masih me-nerka dalam hati kata-kata Siao-liong-li tadi yang bilang hendak pergi menangkap sesuatu. Ia tidak tahu siapakah yang hendak ditangkapnya, tapi mengingat Siao-liong-li tidak pernah turun selangkah pun dari Cong-km-san, Yo Ko yakin tentu sasaran yang ditangkapnya adalah imam Coan-cin-kau, hanya tidak diketahui imam mana yang akan ditangkapnya dan guna apa menangkapnya?”

BegituIah Yo Ko berpikir serabutan sendirian, tanpa terasa ia pun telah melangkah keluar ruangan besar kuburan itu dan menuju ke arah barat melalui satu lorong, akan tetapi baru belasan tindak dilalui, tiba-tiba pandangannya menjadi gelap gulita. Karena kuatir kalau dia akan kesasar, Yo Ko pun balik kembali, dengan per-lahan merembet dinding. Siapa tahu meski telah beberapa puluh tindak ia berjalan masih belum juga dilihatnya sinar pelita di ruangan besar tadi.

Dalam gelisah dan takutnya, Yo Ko tambah cepat melangkah ke depan, akan tetapi ia jadi kesasar lebih jauh lagi. Memang ia sudah salah jalan, dalam keadaan gugup semakin salah pula. Makin jalan makin cepat, beberapa kali dia kebentur sini dan tertumbuk sana, dalam kegelapan dia merasa jalan lorong itu bersimpang-cabang belaka sehingga tak bisa lagi dia kembali ke ruangan besar di depan tadi.

“Kokoh, Kokoh! Lekas tolong!” saking kuatirnya ia ber-teriak.

Akan tetapi suara gemborannya segera berkumandang balik di antara lorong kuburan itu hingga membisingkan telinga. Namun Yo Ko tidak putus asa, ia maju terus mencari jalan keluarnya, kemudian tiba-tiba saja terasa tanah di mana dia injak ternyata basah becek, kiranya dirinya sudah tidak berada di lorong kuburan lagi melainkan berada di jalan lembah pegunungan yang bertembusan dengan lorong kuburan di bawah tanah.

Keruan Yo Ko semakin ketakutan. “Jika aku kesasar di dalam kuburan, bagaimana pun Kokoh pasti dapat mencari kembali,” demikian pikirnya. “Kini aku sudah sampai disini, jika tidak bisa menemukan aku, tentu dia mengira aku melarikan diri, dan tentu dia akan berduka sekali.”

Oleh karena itu, sesudah me-raba-raba mendapatkan sebuah batu, lalu ia bersedakap tangan dan berduduk di atas batu itu sambil ter-menung. Lama sekali ia duduk termangu-mangu, tiba-tiba ia dengar suara sayup-sayup orang sedang memanggilnya.

“Ko-ji...! Ko-ji...!”

Yo Ko dapat mengenali suara orang, tentu saja ia sangat girang, maka tanpa ayal lagi ia melompat bangun dan balas berteriak:

“Aku ada di sini, Kokoh!”

Akan tetapi suara panggilan “Ko-ji, Ko-ji” itu bukannya makin mendekat, sebaliknya malah semakin menjauh. Keruan saja Yo Ko sangat cemas, lekas-lekas ia pentang mulut dan berteiak lebih keras:

“Aku ada di siniiiiiii...!”

Namun sejenak kemudian ia tidak mendengar suara panggilan lagi, tentu saja ia menjadi kesal dan putus asa. Tanpa terduga, mendadak ia merasakan daun kupingnya menjadi “nyes” dingin, tahu-tahu kupingnya dijewer orang terus diangkat. Dalam kagetnya hampir saja Yo Ko menjerit, akan tetapi segera ia menjadi girang sekali.

“He, Kokoh, kau! Kenapa sedikit pun aku tidak merasa,” demikian teriaknya kemudian.



“Apa yang kau lakukan di sini?” omel Siao-liong-li.

“Aku kesasar,” sahut Yo Ko.

Siao-liong-li tidak menanya lebih jauh, ia tarik tangan Yo Ko dan diajak kembali. Meski pun dalam keadaan gelap gulita, namun Siao-liong-li ternyata bisa berjalan dengan cepat dan belak-belok seperti jalan di siang hari saja.

“Kokoh, kenapa engkau dapat melihat dengan terang?” tanya Yo Ko kagum.

“Seumur hidupku dibesarkan dalam kegelapan, dengan sendirinya aku tidak memerlukan sinar terang,” sahut Siao-liong-li.

Tidak berapa lama, kembali Siao-liong-li membawa Yo Ko sampai di ruang besar semula.

“Kokoh,” kata Yo Ko sambil tarik napas panjang, “sungguh, tadi aku merasa kuatir sekali.”

“Kuatir apa? Toh pasti aku akan menemukan kau,” sahut Siao-liong-li.

“Bukan kuatirkan soal ini,” kata Yo Ko pula, “tapi aku kuatir engkau akan menyangka aku melarikan diri hingga merasa berduka dalam hati.”

“Jika kau lari, janjiku pada Sun-popoh lantas batal pula, apanya yang perlu dibuat duka?” sahut Siao-liong-li.

Nyata watak kedua orang ini sama sekali terbalik, apa bila Yo Ko berpikir dengan penuh perasaan hangat, sebaliknya Siao-liong-li berhati dingin bagaikan es.

“Apa engkau telah berhasil menangkapnya, Kokoh?” tanya Yo Ko lebih jauh.

“Sudah,” jawab Siao-liong-li.

“Kenapa engkau menangkap dia?” tanya Yo Ko lagi.

“Bukankah buat membantu kau melatih silat?” sahut Siao-liong-li, “Sini, ikut padaku.”

Mendengar jawaban ini, seketika Yo Ko menjadi girang. “Eh, kiranya dia pergi menangkap imam Coan-cin-kau untuk dibuat untuI (mangsa latihan) bagiku,” begitu pikirnya. Keruan ia sangat tertarik, maka tanpa berkata lagi dia ikut di belakang Siao-liong-li.

Setelah memutar beberapa kali kemudian Siao-liong-li membuka sebuah pintu dan masuk ke dalam sebuah kamar batu. Yang aneh jalan di kamar batu ini ternyata sangat kecil dan sempit, dua orang berada di dalamnya saja sukar memutar tubuh, pula langit-langit kamar sangat rendah, hampir Siao-liong-li menyundul langit-langit kamar itu apa bila mengangkat tangannya.

Dalam pada itu Yo Ko juga heran, sebab tiada satu imam Coan-cin-kau yang terdapat di dalam kamar.

“Di manakah Tosu yang engkau tangkap itu?” begitulah ia lantas tanya.

“Tosu apa?” berbalik Siao-long-li balas tanya.

“Bukankah tadi engkau bilang hendak pergi menangkap orang buat membantu aku latihan silat?” sahut Yo Ko.

“Siapa bilang orang?” kata Siao-liong-li. “Tetapi ini, di sini.”

Habis ini ia berjongkok lantas menarik sebuah kantong kain dari pojok kamar. Setelah tali pengikat kantong dilepas, kantong itu dia kebas beberapa kali, maka terbang keluarlah tiga ekor burung gereja. Luar biasa herannya Yo Ko setelah mengetahui isi kantong itu. “Eh, kiranya Kokoh keluar tadi untuk menangkap burung gereja,” demikian ia membatin.

“Nah, sekarang coba kau tangkap ketiga burung gereja itu, tetapi tak boleh kau membikin rontok bulunya atau melukai cakarnya,” demikian Siao-liong-li berpesan padanya.

Yo Ko menjadi senang oleh permainan ini. “Bagus!” serunya gembira, dan begitu menubruk maju segera ia hendak menangkap salah satu burung gereja itu.

Akan tetapi burung gereja itu ternyata sangat gesit, meski Yo Ko sudah tubruk sini dan sambar sana, tetap tidak dapat menyenggol sedikit pun, apa lagi hendak menangkapnya. Akhirnya napas Yo Ko sendiri yang ter-engah dan berkeringat.

“Cara kau menangkapnya salah, Harus begini, lihat ini kuajarkan kau caranya,” kata Siao-liong-Ii.

Habis itu dia lantas memberi beberapa petunjuk caranya meloncat ke atas dan menubruk ke bawah, cara menangkap dan mencekal dengan cepat. Yo Ko memang sangat pintar. Ia tahu dengan melalui cara menangkap burung gereja itu sebenarnya Siao-liong-li lagi mengajarkan semacam ilmu silat yang tinggi padanya, maka ia memperhatikan sepenuhnya semua pelajaran itu dan diingatnya dengan baik.

Dengan main tubruk dan sambar tanpa teratur, nyatalah bahwa Yo Ko kewalahan sendiri untuk menangkap ketiga ekor burung gereja itu. Cara yang diajarkan Siao-liong-li kepadanya itu sudah bisa dipahaminya, hanya seketika belum dapat dia pergunakan. Namun Siao-liong-li tak peduli lebih jauh, ia membiarkan Yo Ko sibuk sendiri di dalam kamar itu, sedang dia sendiri lantas keluar sesudah merapatkan pintunya.

Hari pertama itu nyata Yo Ko belum sanggup menangkap burung gereja itu meski hanya seekor saja. Setelah bersantap malam, dia melatih Iwekang-nya lagi di atas ranjang batu pualam dingin. Esok paginya kembali ia mengudak burung gereja lagi, cara melompatnya ternyata sudah bertambah tinggi, gerak tangannya pun jauh lebih cepat.

Demikianlah seterusnya, sampai hari ke lima akhirnya berhasil juga ia menangkap seekor burung gereja. Luar biasa girang Yo Ko, cepat ia mencari Siao-liong-li dan melaporkan kemajuannya. Siapa tahu, bukannya Siao-liong-li memuji atas hasilnya itu, sebaliknya ia bersikap dingin saja menerima laporan itu, bahkan ia menyindir:

“Huh, apa gunanya kalau hanya seekor? Engkau harus menangkap tiga ekor sekaligus!”

Yo Ko tak berani menjawab, dalam hati ia berpikir: “Kalau sudah bisa menangkap seekor, menangkap lagi dua ekor apa susahnya?”

Tak tersangka prakteknya ternyata tidak begitu gampang sebagaimana dia kira, beruntun-runtun dua hari seekor saja tak mampu ditangkapnya lagi. Tiga burung gereja itu sudah payah karena terus menerus di-uber oleh Yo Ko, sehingga akhirnya Siao-liong-li melepaskannya setelah dilolohi sedikit makanan. Kemudian gadis ini menangkap lagi tiga ekor yang baru yang masih segar dan kuat untuk melatih Yo Ko. Dan pada hari ke delapan barulah Yo Ko mampu menangkap sekaligus ketiga burung gereja itu.

“Cukuplah sekarang, mari kita pergi ke Tiong-yang-kiong,” kata Siao-Iiong-li.

Tentu saja Yo Ko rada terperanjat oleh ajakan ini. “Untuk apa ke sana?” tanyanya heran.

Akan tetapi Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaannya. Ia menarik tangan bocah itu terus diajak menuju Tiong-yang-kiong. Selama itu meski hanya selisih delapan hari saja, namun keadaan Yo Ko ternyata sudah berlainan, kini tindakannya kuat dan langkahnya sangat enteng, jelas sekali lebih tangkas dari pada sebelumnya.

“Thio Ci-keng! Hayo lekas keluar!” seru Siao-liong-li setelah sampai di depan Tiong-yang-kiong kaum Coan-cin-kau itu.

Tadi sebelum mereka berdua sampai di depan istana ini, terlebih dahulu sudah ada imam Coan-cin-kau yang melaporkan kedatangan mereka, sebab itu baru saja Siao-liong-li berteriak, segera dari dalam istana itu membanjir keluar beberapa puluh orang Tosu atau imam, di antaranya dua imam cilik yang memayang Thio Ci-keng. Wajah Ci-keng tampak pucat lesu, kedua matanya cekung, kelihatannya tak sanggup berdiri sendiri.

Sementara itu para imam bisa mengenali Siao-liong-li berdua, mereka semua memegang senjata dan memandang dengan mata melotot marah. Siao-liong-li lantas keluarkan sebuah botol putih dari bajunya.

“Ini adalah air madu untuk menyembuhkan racun antupan tawon, ambil dan berikan pada Thio Ci-keng,” katanya dengan suara keras sambil menyerahkan botol itu kepada Yo Ko.

Waktu melihat Thio Ci-keng, sebenarnya rasa benci dan dendam kepada imam ini masih belum hilang dari hati Yo Ko. Hanya karena di hadapan orang banyak, rasanya tidak enak membantah maksud Siao-liong-li itu. Maka dengan langkah lebar terpaksa dia membawa botol madu tawon itu, kemudian ditaruh di depan Thio Ci-keng.

Pada waktu para imam Coan-cin-kau mendengar bahwa Siao-liong-li datang lagi, mereka menyangka gadis ini tentu akan mencari gara-gara dan membuat onar, untuk membalas sakit hatinya Sun-popoh, maka di samping mereka siap berjaga, di lain pihak segera dilaporkan kepada Ma Giok dan Khu ju-ki yang tingkatannya lebih tua.

Tanpa terduga-duga bahwa kedatangan Siao-liong-li ini ternyata sama sekali tidak bersifat permusuhan melainkan malah mengutarakan madu tawon penawar racun, keruan mereka menjadi heran, dalam bingungnya sampai mereka tidak bisa menyambut perkataan Siao-liong-li tadi. Sementara itu, setelah Yo Ko menaruh botol madu tawon didepan orang, ia pandang sekejap pula kepada Thio Ci-keng dengan sorot mata yang penuh menghina dan merasa jijik, habis ini ia putar tubuh terus melangkah kembali.

Slkap Yo Ko ini agaknya dapat dilihat dengan jelas oleh Ceng-kong yang berada di antara kawanan imam itu juga, ia tak bisa menahan amarahnya lagi.

“Anak celaka, sesudah mengkhianati perguruan, sekarang kau hendak pergi begitu saja?” demikian segera ia membentak sambil memburu maju hendak menawan Yo Ko.

“Ko-ji, hari ini jangan membalas serangannya,” tiba-tiba Siao-liong-li berpesan pada Yo Ko.

Sementara itu Yo Ko mendengar dari arah belakangnya ada suara tindakan orang dengan cepat, menyusul mana terdengar pula suara angin pukulan menyambar, nyata ada orang yang hendak menjamberet punggungnya. Karenanya tanpa pikir segera dia merendahkan tubuh ke bawah, lalu mendadak dia meloncat ke samping.

Walau pun baru delapan hari Yo Ko berlatih menangkap burung gereja di dalam Hoat-su-jin-bong atau kuburan orang hidup itu dan tidur di atas ranjang batu pualam dingin delapan malam pula, biar pun Siao-liong-li hanya mengajarkan sedikit caranya menangkap burung, tapi semua itu justru adalah intisari dari kunci dasar latihan Ginkang atau ilmu entengkan tubuh yang tinggi dari Ko-bong-pay (aliran kuburan kuno), maka kepandaiannya sekarang sudah jauh berbeda dari pada waktu bertanding dengan imam Coan-cin-kau dahulu.

BegituIah, maka dengan tepat sekali, pada waktu tangan Ceng-kong hampir menempel ke punggungnya, mendadak dia melompat pergi, bahkan berbareng itu sekalian dia tarik kain baju orang. Karena memang Ceng-kong luput menubruk orang dan tubuhnya mendoyong ke depan, dan kini ditambah oleh tarikan Yo Ko, keruan ia tak sanggup berdiri tegak lagi, tanpa ampun ia jatuh tersungkur dengan antap sekali. Ketika Ceng-kong bisa merangkak bangun, sementara itu Yo Ko sudah berdiri di samping Siao-liong-li.

Dalam gusarnya Ceng-kong berteriak murka terus hendak menyeruduk maju lagi. Syukur pada saat itu mendadak dari rombongan imam itu sudah maju satu orang yang secepat kilat menghadang di hadapan Ceng-kong sambil menarik tangannya dan diseret kembali ke tempat berdiri mereka semula.

Seketika Ceng-kong merasakan setengah tubuhnya menjadi kaku kesemutan. Pada saat dia mendongak, kiranya yang menariknya adalah Susiok atau paman gurunya, In Ci-peng. Karena itu kata-kata makian yang sebenarnya sudah siap dia lontarkan, seketika itu juga dia telan kembali.

“Banyak terima kasih atas pemberian obat nona tadi,” demikianlah In Ci-peng membuka suara sambil membungkuk memberi hormat.

Sebaliknya Siao-liong-li ternyata tidak membalas hormat orang, dia pun tidak menjawab, Dia gandeng tangan Yo Ko diajak kembali:

“Mari Ko-ji, kita pulang!”

“Liong-kohnio,” tiba-tiba In Ci-peng berseru lagi, “Yo Ko ini adalah anak murid Coan-cin-kau kami, tetapi secara paksa kau telah menerimanya. Sebenarnya cara bagaimana urusan ini harus diselesaikan?”

Siao-liong-li tertegun oleh teguran ini dan tak bisa menjawab. “Aku tidak senang mendengarkan ocehan orang,” katanya akhirnya.

Habis ini, tanpa menghiraukan orang Iain ia menarik tangan Yo Ko dan masuk kembali ke dalam rimba dengan langkah cepat. Di lain pihak In Ci-peng dengan para imam Coan-cin-kau jadi terkesima, mereka hanya saling pandang saja dengan bingung.

“Ko-ji, kepandaianmu memang nyata sudah ada kemajuan,” demikian kata Siao-liong-li kepada Yo Ko sesudah berada di dalam kuburan kuno itu, “cuma caranya kau menghajar imam gemuk tadi itu sebaliknya salah besar.”

“lmam gendut itu pernah hajar aku se-mena-mena, sayang tadi aku belum sempat membalas dia dengan hajaran yang setimpal,” sahut Yo Ko. “Dan mengapa Kokoh bilang aku salah menghajarnya?”

“Maksudku bukan tidak boleh menghajar dia, tetapi caramu menghajarnya itu yang salah,” ujar Siao-liong-li “Seharusnya jangan kau tarik dia hingga jatuh tersungkur ke depan, tapi seharusnya tidak pakai tarikan dan biar dia jatuh terjengkang sendirinya ke belakang.”

Yo Ko menjadi girang mendengar penuturan ini. “Ha, menarik sekali hal ini. Hayo, Kokoh, ajarkan caranya!” serunya cepat.

“Nah, anggap aku ini Ko-ji dan kau adalah imam gendut busuk itu, coba kau tangkap aku,” demikian kata Siao-liong-li puIa. Habis berkata, segera dia mulai melangkah perlahan ke depan.

Yo Ko menurut, dengan tertawa dia ulur tangannya untuk memegang tubuh orang. Akan tetapi punggung Siao-liong-li seperti bermata saja, biar pun Yo Ko menubruk dan meraup bagaimana pun juga, tetap tak dapat menyenggol baju orang, kalau Yo Ko berlari cepat, Siao-liong-li segera lari lebih cepat, dan kalau Yo Ko lambat, Siao-liong-li pun ikut lambat, jarak mereka selalu berselisih kira-kira satu kaki jauhnya.

“Ha-ha, Kokoh, awas sekali ini!” dengan tertawa Yo Ko berseru, mendadak dia menubruk maju dengan gerak cepat, dan Siao-liong-li ternyata tidak menghindarinya.

Tentu saja Yo Ko girang, ia yakin kedua tangannya pasti segera akan dapat merangkul leher orang. Siapa sangka, baru saja kedua tangannya dipentang dan hampir merangkul, se-konyong-konyong Siao-liong-li mencelat ke belakang hingga terlepas dari rangkulannya.

Karena menangkap angin, dengan cepat pula Yo Ko mendongak dan hendak menjambret, Akan tetapi dia baru saja menubruk ke depan lalu mendadak menekuk ke belakang sambil mendongak, karena terlampau besar menggunakan tenaga, maka Yo Ko tidak bisa berdiri tegak lagi, ia jatuh terjengkang ke belakang hingga tulang punggung terasa sakit sekali.

“Caramu ini sangat bagus, Kokoh,” teriak Yo Ko girang sesudah merangkak bangun, “Dan kenapa engkau bisa begini cepat?”

“Jika kau berlatih menangkap burung gereja setahun lagi, tentu kau akan jadi begini juga,” sahut Siao-liong-li.

“He, bukankah aku sudah bisa menangkapnya?” ujar Yo Ko.

“Hm, apakah itu dapat dianggap?” Siao-liong-li menjengek, “Apa kau sangka ilmu silat Ko-bong-pay kita ini begitu gampang kau pelajari?”

Karena dampratan ini, Yo Ko tak berani bicara lebih jauh.

“Sini ikut denganku,” kata Siao-liong-li kemudian. Lalu ia bawa Yo Ko pergi ke satu kamar batu yang lain. Kamar batu yang sekarang ini ternyata dua kali lebih besar dan luas dari pada yang dulu waktu mula-mula Yo Ko belajar menangkap burung. Di dalam kamar ini telah tersedia lagi enam ekor burung gereja.

Kalau tempatnya bertambah luas, dengan sendirinya untuk menangkap burung gereja itu menjadi jauh lebih sulit. Tetapi Yo Ko tidak perlu kuatir karena Siao-liong-li telah memberi petunjuk beberapa kepandaian lagi, yaitu caranya meloncat tinggi dan melompat jauh dari ilmu entengkan tubuh dan ilmu cara menangkap dan menawan. Dengan demikian, setelah lewat delapan atau sembilan hari lagi, sekaligus Yo Ko sudah sanggup menangkap enam burung gereja itu.

Selanjutnya kamar latihannya lantas bertambah besar dan makin luas lagi, jumlah burung gereja yang harus ditangkapnya bertambah banyak pula, akhirnya dia harus menangkap 9×9 = 81 burung gereja di ruangan tengah yang amat besar. Untung ranjang batu pualam dingin yang dipakai Yo Ko untuk tidur itu ternyata amat besar khasiatnya untuk membantu latihan Iwekang. Hanya dalam tempo tiga bulan saja, 81 ekor burung gereja itu sekaligus dapat Yo Ko tangkap semua.

Tentu saja Siao-liong-li sangat girang melihat kemajuan Yo Ko yang begitu pesat. “Dan sekarang kita harus menangkapnya di luar kuburan,” demikian katanya kemudian.

Selama tiga bulan itu Yo Ko terkurung di dalam kuburan, ia sudah bosan dan kesal juga. Kini mendengar akan latihan di luar kuburan, keruan ia menjadi sangat senang dan mukanya ber-seri-seri.

“Apanya yang perlu digirangkan?” ujar Siao-liong-li dingin, “justru ilmu kepandaian ini sulit sekali melatihnya. Di antara 81 burung gereja ini seekor saja tidak boleh lolos.”

Begitulah dengan membawa kantong kain yang penuh berisi 81 ekor burung gereja ia ajak Yo Ko keluar kuburan kuno itu. Tatkala itu adalah bulan tiga dan terhitung permulaan musim semi, oleh karena itu alam semesta di luar kuburan itu boleh dikatakan menghijau permai dan hawa sejuk diselingi hembusan harum bunga yang semerbak.

Ketika mendadak Siao-liong-li mengebaskan kantong yang dibawanya, maka terbanglah ke-81 ekot burung gereja itu, tapi pada saat burung itu hendak kabur, tiba-tiba kedua tangan Siao-liong-li yang putih halus itu bergerak, dari sana dia tarik ke sini dan dari sana ditepuk pula, tahu-tahu dua ekor burung gereja yang hampir kabur itu dapat ditolaknya kembali.

Begitu mendapat kebebasan, dengan sendirinya ke-81 ekor burung gereja itu segera ingin terbang pergi. Tetapi aneh bukan main, ketika Siao-liong-li keluarkan Ciang-hoat atau ilmu pukulan tangan kosong, di sana dia menolak dan di sini dia mengebas, ke-81 ekor burung gereja itu ternyata terhimpit semua di depan dadanya dalam jarak tiga kaki, satu pun tak ada yang sanggup kabur.

Terlihat Siao-liong-li menggerakkan kedua tangannya seakan-akan sedang menari, kedua tangan seperti berubah menjadi 81 tangan saja. Bagaimana pun ke-81 ekor burung gereja menubruk sana dan menerobos sini namun tetap tidak mampu kabur keluar dari lingkaran kedua tangan Siao-liong-li.
Nampak keajaiban ini Yo Ko hanya ternganga belaka. Dalam kagumnya ia pun bergirang pula. Pada waktu tenangkan diri ia berpikir: “Ah, yang sedang Kokoh ajarkan kepadaku ini adalah ciang-hoat hebat tiada bandingannya, aku harus mengingatnya dengan baik.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar