Rabu, 09 Juni 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 028

Mendengar bocah itu berkata sambil menggigil kedinginan, tiba-tiba Siao-liong-li bertanya:

“Dinginkah kau?”

“Ya, dingin sekali,” sahut Yo Ko, “Di bawah ranjang ini ada sesuatu yang aneh, mengapa begini hebat rasa dinginnya?”

“Kau suka tidur di situ tidak?” tanya Siao-liong-li pula.

“Aku... aku tidak suka,” sahut Yo Ko ragu-ragu.

“Huhh, kau tidak suka?” jengek Siao-liong-li, “Ketahuilah bahwa entah ada berapa banyak tokoh-tokoh Bu-lim di seluruh jagat ini yang justru ingin meniduri ranjang ini, tetapi cita-citanya tak pernah kesampaian.”

“Aneh, bukankah itu berarti mencari siksaan belaka?” ujar Yo Ko heran.

“Hm, siksaan?” jengek Siao-liong-Ii, “Kiranya aku sayang dan kasihan padamu, tetapi kau malah anggap tersiksa, sungguh tidak kenal kebaikan orang.”

Mendengar lagu suara si nona agaknya memang tidak bermaksud jelek dengan menyuruh dirinya tidur di atas ranjang dingin ini, maka Yo Ko lantas memohon dengan suara lunak.

“Kokoh yang baik, apakah faedahnya ranjang dingin ini? Maukah kau terangkan padaku?”

“Apa bila mulai sekarang kau tidur di atas ranjang ini, faedahnya pasti akan kau ketahui kelak,” sahut Siao-liong-li. “Nah, sekarang pejamkan matamu dan tak boleh bicara Iagi.”

Dalam kegelapan itu lalu terdengar suara gemerisik yang perlahan sekali dari baju sutera yang dipakainya, agaknya Siao-liong-li sudah membalik tubuh. Sungguh sukar dimengerti, padahal hanya tidur di atas seutas tali yang terapung di udara, tetapi bisa membalik tubuh sesukanya.

Karena kata-kata yang terakhir tadi bernada kereng, maka Yo Ko tidak berani bertanya lagi, betul juga ia lantas pejamkan mata untuk tidur. Tapi hawa dingin yang berhembus keluar dari bagian bawah terus-menerus menyerang, mana bisa ia puIas. Lama kelamaan, tak sangguplah Yo Ko bertahan lagi.

“Kokoh, aku tidak tahan lagi,” dengan suara perlahan ia memanggil.

Namun suara pernapasan Siao-Iiong-li lapat terdengar, agaknya si nona sudah tertidur. Kembali Yo Ko memanggil dua kali lagi dengan perlahan dan tetap tiada jawaban.

“Biarlah aku turun ke bawah sebentar, tentu dia takkan tahu,” demikian ia pikir.

Maka dengan perlahan-lahan dia merosot turun ke pinggir ranjang, dia berlaku hati-hati sekali dengan menahan napas agar tidak mengeluarkan suara. Siapa tahu baru saja kakinya menginjak lantai, se-konyong-konyong terdengar suara gemerisik yang sangat perlahan, tahu-tahu Siao-liong-li sudah melompat turun dari atas talinya, sekali cekal tangan kiri Yo Ko telah dipegangnya terus ditelikung ke belakang, bahkan ia digusur ke atas tanah.

Karena tindakan tiba-tiba ini, Yo Ko menjerit kaget tetapi sehabis ini ia lantas bungkam dalam segala bahasa. Sementara itu Siao-liong-li telah angkat kemocengnya, dengan keras ia sabet pantat Yo Ko.

Yo Ko tahu percuma saja meski pun minta ampun, oleh karena itu dengan mengertak gigi kencang dia menahan rasa sakit sabetan kemoceng. Lima sabetan yang pertama luar biasa sakitnya, tapi pada sabetan ke enam kalinya, Siao-liong-li turunkan tangannya dengan enteng saja, sampai dua kali yang terakhir, kuatir Yo Ko tak tahan gebukannya, ia memukul terlebih perlahan lagi. Sesudah genap menyabet sepuluh kali, Siao-liong-li lantas menjambret tubuh Yo Ko dan dilemparkan lagi ke atas ranjang batu.

“Awas! Apa bila kau berani turun lagi, segera kau rasakan pula kemoceng ini!” bentaknya mengancam.

Tanpa bersuara Yo Ko rebah di atas ranjang batu itu. Ia mendengar Siao-liong-li telah kembalikan kemocengnya ke belakang pintu tadi, lalu melompat kembali ke atas tali buat tidur. Siao-liong-li menyangka Yo Ko tentu akan menangis dan bikin ribut lagi oleh hajarannya itu. Tapi tanpa terduga, sepatah kata pun anak muda itu tak bersuara, ini benar-benar tak pernah disangkanya.

“Ko-ji, kenapa kau diam saja?” tanyanya kemudian.

“Tidak ada yang perlu kukatakan, sekali engkau bilang pukul, tentu aku akan dipukul juga, percuma saja meski aku minta ampun,” sahut Yo Ko.

“Hm, tetapi dalam hatimu kau tentu mencaci maki,” kata Siao-liong-li.

“Tidak, aku takkan mencaci-maki kau, betapa pun engkau masih jauh lebih baik dari pada guruku yang dahulu,” kata Yo Ko.

“Sebab apa?” Siao-liong-li menjadi heran.

“Ya, sebab meski engkau memukul aku, tapi dalam hatimu kau tetap sayang dan kasihan padaku, makin pukul makin perlahan, engkau kuatir kalau aku kesakitan,” kata Yo Ko.

Wajah Siao-liong-li rada merah karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai, syukur dalam kegelapan sehingga tidak sampai dilihat Yo Ko.

“Cis, siapa sayang padamu. Kalau lain kali kau tak menurut kata lagi, tentu akan kupukul terlebih keras,” omelnya kemudian.

Mendengar lagu suara orang sudah berubah menjadi halus, Yo Ko jadi mendapat hati. “Lebih keras engkau memukul, tetap aku suka,” demikian katanya dengan cengar-cengir.

“Cis, agaknya tulangmu memang gatal, kalau sehari tidak merasakan gebukan, tentu kau tidak bisa tidur nyenyak,” omel Siao-liong-li pula.

“ltu pun harus me-Iihat-lihat dulu siapa yang memukulku,” kata Yo Ko. “Jika orang yang suka padaku menghajar diriku, sedikit pun aku pasti tak akan dendam, mungkin malah merasa senang, sebab dia hajar aku karena ingin aku berbuat baik, Tetapi kalau orang yang benci diriku, sekali pun dia hanya memaki sekata atau mendeliki mata padaku, kelak kalau aku sudah dewasa, satu persatu pasti akan kucari mereka buat bikin perhitungan.”

“Coba katakan, siapa yang benci kau dan siapa lagi yang suka kepadamu?” tanya Siao-liong-li.

“ltu sudah kuingat baik-baik di dalam hati,” kata Yo Ko. “Tentang orang yang benci padaku boleh tidak perlu disebut, tapi orang-orang yang sayang padaku adalah ibuku yang sudah meninggal, ayah angkatku Auwyang Hong, paman Kwe Ceng dan ada lagi Sun-popoh dan engkau.”



“Hmm, jangan harap aku akan sayang padamu,” sahut Siao-liong-li dengan tertawa dingin. “Aku hanya menurut pesan Sun-popoh, dia minta agar aku menjaga kau, maka aku lantas menjaga kau, selama hidupmu ini jangan kau harapkan aku akan berbaik hati padamu.”

Memang Yo Ko sedang kedinginan, demi mendengar kata-kata orang ini, sama saja ia telah ditambahi dengan siraman seember air dingin.

“Kokoh, aku ini kurang baik apanya? Kenapa engkau begini benci padaku?” tanya Yo Ko menahan rasa mendongkolnya.

“Kau baik atau tidak, peduli apa dengan aku?” sahut Siao-Iing-li dingin, “Akan tetapi aku pun tidak benci kau. Selama hidup ini aku tinggal di dalam kuburan ini, aku tak suka pada siapa pun dan tak benci pada siapa pun!”

“Selama hidup tinggal di sini? Itu kan tidak menarik,” kata Yo Ko. “Kokoh, pernah tidak kau keluar.”

“Selamanya aku belum pernah turun dari Cong-lam-san,” sahut Siao-liong-li. “Di luar sana paling banyak juga cuma ada gunung ada pohon, ada matahari ada rembulan, lalu apanya yang menarik?”

“Ai, kalau begitu hidupmu ini benar-benar sia-sia saja,” kata Yo Ko menepuk tangan, “Jika hidup di kota, di sana ada bermacam ragam benda yang aneh, itulah baru menyenangkan dan menarik.”

Habis ini ia lantas ceritakan semua pengalamannya dan apa saja yang pernah dilihatnya selama ia ter-Iunta-lunta sejak kecil. Dasar si Yo Ko memang pandai bicara, apa lagi sengaja dia bumbu-bumbui, dia tambahi kecap, tambahi merica, tambahi minyak, keruan ceritanya menjadi lebih aneh dan menarik dengan aneka macam ragamnya.

Meski pun Siao-liong-li telah berumur 20 tahun, tetapi selamanya belum pernah turun dari Cong-lam-san barang selangkah pun, maka apa saja yang dibualkan Yo Ko, semuanya ia percaya penuh, malahan sampai akhirnya, tak tertahan dia telah menghela napas.

“Kokoh, akan kubawa kau pergi pesiar, mau tidak?” kata Yo Ko akhirnya.

Di luar dugaan, Siao-liong-li menjadi marah oleh ajakan ini. “Ngaco-belo,” damperatnya, “Cosu-popoh telah meninggalkan pesan bahwa barang siapa yang pernah tinggal di dalam ‘Hoat-su-jin-bong’ ini maka dia tidak boleh turun dari Cong-lam-san meski selangkah pun.”

“Ha, apakah aku pun tak boleh turun gunung?” tanya Yo Ko kaget oleh keterangan orang.

“Sudah tentu,” sahut Siao-liong-li.

Tetapi Yo Ko tidak menjadi gugup, sebab dalam hati ia telah berpikir: “Satu pulau terpencil seperti Tho-hoa-to saja bisa aku tinggalkan, apa lagi kalau hanya sekian kuburan kuno ini, mana bisa mengurung selama hidupku.”

Begitulah selama mereka bicara, sesaat itu pula Yo Ko telah melupakan rasa dingin yang menggigilkan tadi, tapi sejenak saja percakapan mereka berhenti, maka seluruh tubuhnya segera terasa gemetar lagi.

“Kokoh, ampuni diriku, aku tak mau tidur di atas ranjang ini lagi,” demikian ia memohon.

“Dalam perkelahianmu dengan guru Coan-cin-kau, sepatah kata saja kau tidak sudi minta ampun, kenapa sekarang begini tak berguna?” sahut Siao-liong-li.

“ltu soal lain,” kata Yo Ko sambil tertawa, “Siapa yang tidak baik terhadap diriku, meski aku mati dipukul pun tidak akan aku sudi minta ampun kepadanya. Tetapi siapa yang baik padaku, meski aku harus mati untuknya juga aku rela, apa lagi hanya minta ampun.”

“Cis, tak malu, siapa baik padamu?” jengek Siao-liong-li.

Sejak kecil Siao-liong-li dibesarkan oleh gurunya dan Sun-popoh, selama dua puluh tahun itu hanya kedua orang tua itu saja yang berdampingan dengan dia. Biar pun kedua orang tua itu sangat baik padanya, tetapi gurunya mengharuskan dia berlatih ‘Giok-li-sim-keng’ (ilmu gadis suci), maka sejak kecil dia sudah diajarkan membuang segala cita-rasa. Asal terlihat Siao-liong-li mengunjuk sedikit perasaan saja, segera gurunya mendamperat.

Sedangkan Sun-popoh walau pun cukup simpatik, namun ia juga tak berani menghalangi pelajaran Siao-liong-li sehingga oleh karena itu tabiatnya yang aneh dan menyendiri tanpa emosi itu sudah terpelihara sejak kecil. Kini dengan kedatangan Yo Ko, anak ini justru berhati panas bagaikan api, usianya masih kecil pula, baik tutur katanya mau pun tindak-tanduknya sudah tentu berbeda seluruhnya dari pada kedua nenek-nenek.

Sebenarnya Siao-liong-li juga tahu apa yang dituturkan Yo Ko itu jelas menyalahi ajaran gurunya, namun tidak urung ia ikut bercerita dengan asyik sekali hingga lupa daratan. Siao-liong-li menerima Yo Ko sebenarnya hanya untuk memenuhi permintaan Sun-popoh saja, tapi kemudian Yo Ko selalu bilang dia sangat baik padanya, maka dengan sendirinya lambat laun ia pun merasa memang benar ia memperlakukan anak ini dengan amat baik.

Demikianlah, karena lagu bicaranya Siao-liong-li sudah berubah halus, maka Yo Ko makin mendapat hati.

“Wah, dingin, Kokoh, dingin sekali. Aku tak tahan lagi!” akhirnya ia berani ber-teriak-teriak.

Padahal sekali pun kedinginan sebenarnya belum perlu ber-teriak-teriak minta tolong dan bikin geger segala.

“Jangan ribut, biar kuceritakan kepadamu mengenai asal-usul ranjang batu ini,” kata Siao-liong-li kemudian.

“Baiklah,” sahut Yo Ko girang. “Nah, Kokoh aku tidak berteriak lagi, mulailah bercerita!”

“Tadi kukatakan tidak sedikit tokoh Bu-lim di jagat ini ingin tidur di atat ranjang batu ini, hal ini bukan untuk mendustai kau,” demikian Siao-liong-li menutur, “Harus diketahui bahwa ranjang ini dibikin dari batu pualam dingin purbakala, alat pembantu utama bagi orang yang ingin berlatih Iwekang yang tinggi.”

“lni bukan batu biasa?” tanya Yo Ko heran.

“Katanya kau sudah banyak berpengalaman dan pernah melihat benda yang aneh-aneh, tetapi pernahkah kau melihat batu sedingin ini?” sahut Siao-liong-li. “Hendaklah diketahui batu ini adalah hasil jerih-payah Cosu-popoh selama tujuh tahun berada di kutub utara yang paling dingin, disana batu pualam dingin ini dia gali dari bawah es yang tebalnya ratusan tombak, Siapa yang berlatih Iwekang dengan tidur di atas ranjang batu pualam ini, maka setahun saja sama dengan berlatih sepuluh tahun secara biasa.”

“He, begini besar faedahnya?” seru Yo Ko kegirangan.

“Ya,” kata Siao-liong-li. “Ketika mula-mula tidur di atasnya memang terasa dingin tak tertahan, tapi asal kau kumpulkan seluruh tenaga untuk melawannya, lama kelamaan akan menjadi biasa, sekali pun di waktu tidur. Itu berarti tidak pernah berhenti berlatih diri. Sebab orang biasa kalau berlatih ilmu, sekali pun orang yang paling giat dan rajin, setiap hari pasti ada beberapa jam perlu buat tidur. Dan kau harus tahu, melatih ilmu yang menjalankan napas dan darah dalam tubuh sama sekali berlawanan dari pada ilmu biasa. Jika sampai tertidur maka jalan darah itu akan berputar seperti biasa dan ini sebaliknya membikin semua yang dilatihnya di waktu siang hari menjadi percuma. Tapi kalau orangnya tidur di atas ranjang ini, bukan saja hasil yang dilatih pada siang harinya tidak percuma, bahkan Iwekang-nya akan bertambah menjadi lebih kuat.”

Mendengar penjelasan ini, saking senangnya Yo Ko berseru: “Kokoh, sungguh baik sekali engkau padaku. Dengan tidur di ranjang ini, sekarang aku tidak akan takut lagi pada kedua saudara Bu dan Kwe Hu, biar pun Thio Ci-keng dari Cian-cin-kau yang telah Iama berlatih itu, kelak aku pasti dapat melebihinya,” demikian katanya.

“Tapi Cosu-popoh telah menetapkan peraturan bahwa orang yang sudah tinggal di kuburan ini harus tekun berlatih diri dengan tenang dan sabar, menghapus segala napsu berlomba dengan orang luar,” kata Siao-liong-li dengan dingin.

Yo Ko menjadi gugup oleh kata-kata ini. “Mereka begitu menghina, juga telah menewaskan Sun-popoh, apakah begitu saja kita anggap beres?” katanya penasaran.

“Setiap manusia akhirnya toh mesti mati. Sekali pun Sun-popoh tidak mati di tangan Hek Tay-thong, lewat beberapa tahun lagi ia pun akan mati sendiri,” ujar Siao-liong-li. “Apa bedanya hidup lebih lama beberapa tahun atau mati lebih cepat beberapa tahun? Kata balas dendam, untuk selanjutnya tak boleh kau sebut lagi di hadapanku.”

Yo Ko merasa kata-kata Siao-liong-li ini ada benarnya juga, tetapi ia pun merasa ada tempat-tempat yang tidak tepat, hanya saat itu dia tidak mendapatkan kata-kata yang tepat untuk mendebatnya.

Ketika itu juga hawa dingin terasa menyerang lebih hebat lagi. Tiba-tiba Yo Ko teringat pada apa yang dikatakan Siao-liong-li tadi, ia berpikir: “Mengapa aku tidak mencobanya dengan Iwekang ajaran ayah angkat?”

Segera tubuhnya menegak ke atas, ia menjungkir dengan kepala di bawah, ia keluarkan ilmu yang pernah dipelajarinya dari Auwyang Hong. Tak lama kemudian terasalah semacam hawa hangat mengalir melalui seluruh tubuhnya, segera perasaan dingin tadi banyak berkurang. Waktu dia me-mutar tiga kali, tiba-tiba tubuhnya malah terasa panas dibakar, sedikit pun tidak kedinginan lagi, bahkan setelah dia rebah kembali di atas ranjang batu itu terasa segar dan sangat enak, ketika matanya dipejamkan akhirnya ia tertidur dengan nyenyak.

Tetapi sesudah tertidur kira-kira setengah jam, setelah hawa hangat tubuhnya buyar, kembali ia terjaga dari tidurnya oleh karena hawa dingin telah menyerang kembali. Maka segera ia menjungkir lagi mengeluarkan ilmu ajaran Auwyang Hong.

Dan begitulah seterusnya, tidur sebentar kemudian sadar dan tidur lagi. Ia ribut sendiri semalam suntuk, tetapi paginya sesudah bangun, bukannya dia merasa letih, sebaliknya ia malah penuh semangat, suatu tanda bahwa ilmu menjungkirnya itu khasiatnya memang hebat.

Waktu Siao-liong-li meraba jidat anak ini, merasa suhu badan orang biasa saja, keruan ia menjadi heran bukan kepalang, maka dengan sabar ia tanya Yo Ko ilmu apa yang pernah dipelajarinya dahuIu.

Sedikit pun Yo Ko tidak membohong. Ia menerangkan seluruhnya, dia ceritakan Iwekang yang dahulu dipelajarinya dari ibu kandungnya sendiri serta Ha-mo-kang yang diterimanya dari Auwyang Hong.

Diam-diam Siao-liong-li ber-pikir. Ia merasa kedua macam Iwekang yang diuraikan Yo Ko itu sama sekali tidak sejurus dan berlainan, terang pula berbeda sekali dengan Iwekang-nya sendiri. la pikir meski apa yang Yo Ko pahami itu hanya sedikit dasar penuntun saja, akan tetapi dengan ini saja bisa dibayangkan bahwa kedua ilmu Iwekang yang dipelajarinya itu justru luar biasa bagusnya, sebenarnya tidak di bawah Iwekang dari pada perguruannya sendiri.

BegituIah, setelah ter-menung sejenak, Siao-liong-li lalu membatin lagi: “Kiranya anak ini sudah mempunyai dasar Iwekang yang kuat, soalnya tidak dipergunakan secara baik dan tepat. Sebab itu sekarang tak perlu ter-buru-buru mengajarkan dia Iwekang dari perguruanku.”

Paginya, sesudah mereka sarapan, berkatalah Siao-liong-li kepada Yo Ko: “Ko-ji, ada satu soal yang harus kau pikirkan sendiri dengan masak. Jika kau sungguh-sungguh ingin mengangkat guru kepadaku, maka seumur hidup ini kau harus tunduk pada kata-kataku, tapi jika kau tidak mengangkat guru padaku, aku pun tidak menurunkan ilmu kepandaian padamu, kelak bila kau mampu menangkan aku, maka dengan ilmu silatmu itu boleh kau terjang keluar Hoat-su-jin-bong ini.”

“Sudah tentu aku ingin mengangkat kau sebagai guru,” sahut Yo Ko tanpa berpikir sedikit pun “Sekali pun kau tidak mengajarkan kepandaian padaku juga pasti aku akan menuruti segala perkataanmu.”

Keruan Siao-liong-li heran oleh jawaban ini. “Sebab apa?” tanyanya.

“Kokoh, di dalam hati engkau sangat baik terhadapku, memang kau kira aku tidak tahu?” sahut Yo Ko.

“Baik tidak aku terhadapmu selanjutnya tidak boleh dipakai membacot,” kata Siao-liong-li dengan menarik muka, “Baiklah, jika kau angkat guru padaku, mari kita pergi ke ruangan belakang menjalankan upacara.”

Maka ikutlah Yo Ko ke ruangan belakang. Di ruangan ini Yo Ko melihat keadaannya juga kosong belaka tanpa sesuatu pajangan, hanya saja di antara kedua belah dinding timur dan barat tampak tergantung dua lukisan.

Lukisan yang tergantung di dinding sebelah barat menggambarkan dua gadis jelita. Yang satu usianya 25-26 tahun sedang bersolek menghadapi cermin, ada pun gadis yang lain berumur 14-15 tahun, dari dandanannya jelas adalah seorang dayang atau pelayan, tangannya terlihat memegang sebuah baskom sedang melayani junjungannya yang lagi bersolek itu.

Kedua gadis ini semuanya berwajah cantik molek, yang berumur lebih tua itu alisnya lentik panjang sampai mendekati pelipis, di antara sorot matanya lapat-lapat membawa perbawa yang agung dan kereng.

Tanpa terasa Yo Ko memandang beberapa kali lebih banyak kepada gadis ini, dalam hati se-akan-akan dengan sendirinya timbul semacam perasaan hormat kepadanya.

“lni adalah Cosu-popoh (nenek guru), hayo lekaslah kau menjura,” demikian Siao-liong-li lantas berkata padanya sambil menunjuk gambar gadis yang tua-an.

“Dia ini Cosu-popoh?” tanya Yo Ko dengan heran, “Kenapa usianya begini muda?”

“Waktu membikin lukisan ini dia masih muda, kemudian tentunya tidak muda lagi,” sahut Siao-liong-li.

Jawaban ini diulangi Yo Ko di dalam hati, tiba-tiba dia merasakan semacam kesunyian yang memilukan, maka dengan tercengang dia memandang lukisan itu, tanpa tertahan air matanya meleleh.

Sudah tentu Siao-liong-li tidak tahu isi hati bocah ini. Kembali dia menuding gambar gadis yang berdandan sebagai pelayan itu lantas berkata pula:

“lni adalah Suhu-ku. Nah, lekas kau menjura.”

Pada waktu Yo Ko mengamat-amati lukisan ini, ia lihat gadis jelita yang dimaksud ini masih bodoh pelonco, wajahnya bersifat kanak-kanak, siapa tahu telah menjadi gurunya Siao-liong-li. Akan tetapi tanpa ragu lalu ia berlutut terus menjura.

Menunggu sesudah Yo Ko berdiri kembali kemudian Siao-liong-li tuding lagi pada lukisan yang tergantung di dinding sebelah timur sambil berkata:

“Sekarang ludahi sekali pada Tojin itu!”

Waktu Yo Ko menegasi, dia lihat lukisan itu memang menggambarkan seorang Tojin atau imam yang berperawakan jangkung, pada pinggangnya tergantung sebatang pedang dan jari telunjuk kanannya sedang menuding ke jurusan timur-laut, hanya saja gambar Tojin ini dalam keadaan mungkur, karena itulah maka wajah imam ini tidak jelas. Tentu saja Yo Ko sangat heran.

“Siapa dia? Kenapa harus meludahinya?” tanyanya kemudian.

“Dia adalah Kaucu (ketua agama) Coan-cin-kau, Ong Tiong-yang,” tutur Siao-liong-Ii. “Kita memiliki satu peraturan, apa bila sudah menyembah pada Cosu-popoh, kemudian harus meludahi dia.”

Dalam hati kecilnya Yo Ko memang sudah dendam dan benci terhadap orang-orang Coan-cin-kau. Setelah diberi penjelasan itu, tanpa pikir lagi segera ia meludahi lukisan itu dan tepat mengenal punggung gambarnya Ong Tiong-yang.

“Kokoh, apakah Cosu-popoh kita sangat benci kepada Ong Tiong-yang?” tanya Yo Ko.

“Ya,” jawab Siao-liong-li.

“Kalau begitu kenapa gambar ini tidak dibakar saja, sebaliknya malah digantung di sini?” ujar Yo Ko.

“Soal itu aku tidak tahu. Aku hanya dengar dari Suhu dan Sun-popoh bahwa kaum laki-laki di jagat ini tidak ada satu pun yang baik,” demikian sahut Siao-liong-li. Sesudah ini suaranya seketika berubah menjadi bengis dan membentak: “Kelak bila mana kau sudah besar dan berani melakukan perbuatan jahat, hm, lihat saja apa aku akan mengampuni kau?”

“Sudah tentu kau akan mengampuni aku,” tiba-tiba Yo Ko menjawab.

Keruan Siao-Iiong-li tertegun seketika. Dengan kata-kata terakhirnya tadi sebetulnya ia hanya bermaksud hendak me-nakut-nakuti dan sebagai peringatan saja, tidak terduga ternyata Yo Ko berani menjawab. Dalam tertegunnya, Siao-liong-Ii malah menjadi bingung dan kehabisan akal.

“Lekas menyembah guru!” akhirnya ia membentak lagi.

“Kepada guru sudah tentu aku akan menyembah,” sahut Yo Ko lagi, “Cuma engkau harus berjanji dulu satu hal padaku, kalau tidak, aku tidak mau menyembah.”

“Kurang ajar anak ini,” diam-diam Siao-liong-li menggerutu dalam hati. “Selamanya hanya guru yang minta murid harus berjanji, mana ada aturan bahwa murid malah meminta janji dari sang guru?”

Akan tetapi dasar sifatnya memang sabar dan pendiam, maka ia pun tidak menjadi marah.

“Soal apa? Boleh coba kau katakan,” sahutnya kemudian.

“Begini,” kata Yo Ko, “di hatiku sudah terang kuanggap engkau sebagai Suhu. Aku menghormati kau dan menjunjung kau, apa yang kau katakan tentu kuturut, tetapi dalam sebutan aku tidak panggil engkau sebagai Suhu melainkan tetap panggil engkau Kokoh (bibi) saja.”

Permintaan ini kembali membikin Siao-liong-li tercengang. “Sebab apa?” tanyanya kemudian.

“Ya, sebab sudah dua kali aku mengangkat Suhu, tapi mereka perlakukan aku tidak baik, sampai di waktu mimpi saja aku akan mengutuki Suhu,” demikian Yo Ko menutur. “Oleh sebab itu lebih baik kupanggil kau Kokoh saja, agar bila aku mengutuki Suhu engkau tidak ikut tersangkut.”

Tanpa tertahan Siao-liong-Ii tertawa geli oleh keterangan Yo Ko ini. Ia merasa walau pun kelakuan anak ini terlalu aneh dan nakal, tapi cara berpikirnya menarik juga.

“Baiklah, aku terima permintaanmu,” janjinya kemudian.

Yo Ko lantas berlutut, dengan sangat hormat ia menyembah delapan kali pada Siao-liong-li. Lalu Yo Ko mengucapkan janji pula:

“Tecu (anak murid) Yo Ko hari ini mengangkat Siao-liong-li Kokoh sebagai guru, sejak kini dan selamanya Yo Ko akan dengar kata Kokoh, jika Kokoh ada kesulitan dan menghadapi bahaya, Yo Ko akan mati-matian membela Kokoh tanpa hiraukan jiwa sendiri, jika ada orang jahat berani menghina Kokoh, Yo Ko pasti akan membunuh orang jahat itu.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar